19
Waktu beranjak menuju tengah malam. Edwin sengaja menyalakan lampu di ruangan itu agar tetap menyala. Matanya terus memerhatikan Melati yang tengah terlelap dengan deru nafas teratur. Masih teringat apa yang diucapkan oleh dokter beberapa saat yang lalu, kalau Melati merasakan kontraksi hebat dibagian bawahannya, lebih dari kram yang biasanya dialami oleh wanita itu."Jika dia terus-terusan mengalami hal itu, maka bisa dipastikan kalau dia akan keguguran mengingat janin dalam kandungan sudah berusia lima bulan, dan itu sangat membahayakan ibu maupun bayi yang ada dalam kandungannya. Makanya usahakan agar jangan sampai dia berpikiran yang membuatnya stress ataupun berpikiran yang berat dan berlebihan. Biarkan pasien merasakan ketenangan dan jauhkan dia dari hal-hal yang dapat memicu amarahnya." Edwin mengangguk dengan kepala berat, mendengar penjelasan dokter tadi yang telah selesai memeriksa Melati, kemudian masuk ke dalam ruangan itu, dimana wanita itu sudah t20"Apa kau sengaja ingin memerasku?" Lelaki itu menggebrak meja, dan menatap tajam pada seorang pria yang tampak menyunggingkan senyumnya dengan licik. Kaki pria tersebut sengaja diangkat ke atas dan bertumpu pada kaki kirinya, menandakan kalau dia sama sekali tidak takut dengan gertakan pria yang masih tampan di depannya tersebut."Ada harga ada informasi, Tuan. Lagipula apa yang aku katakan kali ini pasti akan membuatmu tak menduga sama sekali. Dan informasi yang aku bawa kali ini, adalah berita yang besar, yang anda pun pasti akan langsung syok ataupun berbunga-bunga setelah mendengarkannya.""Apa yang kau ketahui sebenarnya. Cepat katakan!""Jika anda mengira ini akan gratis, sebaiknya aku pergi saja. Tapi, akan kupastikan kalau Anda akan kehilangan sesuatu yang berharga, dibandingkan dengan harta yang selama ini anda kejar-kejar itu!""Sepenting itukah?" Lelaki yang memakai topi di depannya mengangguk mantap."Ya, tentu saja!"
21Edwin membiarkan apa yang dilakukan ibunya kepada wanita yang perutnya sudah membulat di depannya. Bahkan terlihat sekali kebahagiaan di wajah Ernawati saat Melati sudi memakai pakaian yang dirinya berikan untuk wanita itu. Sementara Melati sendiri tidak banyak bicara dan terlihat canggung, makanya Ernawati meninggalkannya bersama dengan Edwin menuju ke arah ruang makan untuk memastikan semua makanan siap saji."Ajak istrimu makan, Ed!" seru Ernawati sambil menata piring di atas meja yang membuat Edwin dan Melati menoleh ke arah kanan ruangan itu, lalu saling menatap sekilas."Apa kau sudah lapar sekarang? Ayo kita makan siang," ajak Edwin dengan muka datar."Sebenarnya aku tidak terlalu la-""Mel, tolong hargai usaha ibuku. Lagi pula dia pasti sudah menyiapkan masakan sehat untukmu dan juga bayimu," tukas Edwin sambil berjalan terlebih dahulu yang membuat Melati tidak enak hati. Dia menyadari kekeliruannya. Dia menyadari kalau dia adalah wanita yang berhutang budi kepada Edwin dan
22Suasana di bandara tampak ramai meskipun hari sudah menunjukkan tengah malam. Edwin berdiri menetap kearah kedatangan dimana adik semata wayangnya tengah berjalan menuju ke arahnya dengan sebelah tangannya menyeret sebuah koper besar dengan paper bag yang menggantung di sampingnya.Gadis itu celingukan mencari keberadaan kekasihnya yang janji akan menjemput."Kamu mencari siapa, Kirana? Kakakmu yang tampan sudah berdiri di depanmu, lho," kata Edwin dengan senyumnya yang lebar, membuat Kirana mendalik padanya. Namun sepersekian detik kemudian, mencubit pipi Edwin dengan gemas sambil memeluk lelaki itu erat sekali. Sudah hampir sepuluh hari Kirana menghabiskan waktu di luar negeri, karena keinginannya untuk melihat keindahan dibagian belahan dunia lain."Kok kakak sih yang menjemput aku. Padahal kan aku berharap pada seseorang," katanya dengan wajah kecewa, saat lelaki yang diharapkan untuk menjemputnya, tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali."Kamu menunggu orang lain? Ya, si
23"Ma-maaf, aku nggak sengaja. Kamu pasti tak nyaman dan kesakitan." Edwin segera menarik tangannya, beranjak dan langsung menuju ke dalam kamar mandi untuk bersuci. Setelahnya, menggelar sajadah dan menunaikan kewajibannya serta melafalkan doa-doa dengan khusyuk yang terus mendapat perhatian dari Melati.Meskipun dirinya juga sudah diajarkan ilmu pengetahuan agama sejak kecil oleh sang ayah dengan mendatangkan guru ngaji ke rumahnya, namun Melati sangat jarang sekali melakukan ritual ibadah, bahkan dia sudah hampir lupa kapan terakhir kali dia melakukan sholat, tepatnya mungkin ketika dirinya beranjak remaja. Melati sedikit menyesali apa yang sudah dilakukannya, berbanding terbalik dengan lelaki di depannya, yang selain soleh juga tak pernah meninggalkan kewajibannya. Meskipun Melati sedikit menyayangkan sikap lelaki itu yang selalu berbicara ketus dan membuatnya kesal.Melati segera pergi ke kamar mandi saat Edwin tengah melantunkan ayat-ayat suci. Hanya beberapa saat dia sudah
24Ernawati menyibak gorden dalam ruangan enam kali enam meter persegi itu hingga sinar matahari langsung masuk ke dalam ruangan. Tidak lupa membuka jendela, agar udara yang bersih bisa masuk menggantikan udara pengap dalam kamar itu."Bangun, Kirana, hari sudah siang. Kamu tidak ingin melewatkan sarapan pagi bersama-sama, bukan." Ernawati mendekat menyentuh rambut anaknya lalu mengusap kepalanya dengan rasa sayang. Kirana yang pulang larut malam, tidak sempat menemui sang ibu karena tidak mau mengganggu istirahatnya. Namun demikian, gadis itu sangat merindukan ibunya, terlebih karena baru kembali ke kediaman Wijaya, setelah tiga tahun lamanya memilih menyendiri di desa untuk menenangkan pikirannya."Selamat pagi ibuku yang sangat cantik," gumamnya sambil mengerjapkan matanya akibat silau yang mendera. Gadis berusia hampir dua puluh tahun itu segera mencium pipi ibunya, yang dibalas dengan pelukan di bahunya oleh Erna."Pergilah ke kamar mandi dan bersihkan dirimu, karena ibu akan b
Suasana pagi hari itu seharusnya lebih menyenangkan karena seluruh anggota keluarga berada di rumah yang sama. Namun kenyataannya tidak. Kirana yang duduk di kursi makan menatap kehadiran dua orang yang berjalan beriringan menuju ke tempatnya. Fokus dan perhatiannya tertuju pada wanita di belakang kakaknya sendiri, yang tengah menunduk dengan perut membuncit. Bahkan kedua tangan Melati saling bertautan, pertanda wanita itu takut dengan tatapan gadis di depannya. Meskipun Ernawati dan Candra menyuruhnya untuk duduk dan menikmati sarapan paginya, nyatanya tatapan tajam Kirana membuat Melati tidak nyaman.Edwin yang melihat tatapan tidak baik dari adiknya, segera berdehem dan mencairkan suasana dengan mengangsurkan beberapa makanan untuk Kirana nikmati."Sepuluh hari di luar negeri pasti membuatmu rindu makanan khas Indonesia. Makanlah, Kiran. Kamu tahu, ini masakan ibu yang pasti sudah membuatnya khusus untuk menyambutmu." Edwin meletakkan sepotong ayam woku kesukaan adiknya, tapi Ki
26"Kenapa wajahmu mendadak murung, Ed?" Jovan menatap wajah sahabat sekaligus bosnya yang tak biasa. Lelaki itu bahkan memijat kepalanya yang terasa berat."Sepertinya karena semalam kurang tidur, atau entahlah," balas Edwin sekenanya. Tapi dadanya merasakan gelisah tak biasanya. Kendati demikian, pekerjaan harus tetap diutamakan dan dia harus mengikuti prosedur dan meninjau proyeknya di kota lain."Andaikan saja aku berkuasa, aku akan menyuruhmu untuk tinggal di rumah saja dan membaca koran. Tapi tidak bisa seperti itu, proyek di Surabaya membutuhkan kehadiranmu di sana untuk memantau dan melihat kegiatan mereka. Dan seperti yang telah kuselidiki sebelumnya, ada aliran dana yang terpakai tidak semestinya, dan masuk ke kantong beberapa orang dan membuat proyek kita sedikit terbengkalai. Kita hampir kehilangan beberapa digit, dan itu jumlahnya terus mengalir secara teratur, Ed." Jovan berkata panjang lebar, menjelaskan sekali lagi agar Edwin mengerti. Meskipun dia menduga kalau lelaki
27"Kenapa kita harus tetap pergi sih, Bu. Aku kan ingin diam aja di rumah. Lagian malas juga harus ketemu Tante Anita dan Om Teguh." Kirana memajukan bibirnya saat Ernawati bersikukuh mengajaknya pergi ke rumah om dan tantenya."Kirana, ibu tak tega menolak undangan mereka. Lagipula apa salahnya sesekali berkumpul mengingat ibu baru bertemu lagi dengan mereka setelah tiga tahun lamanya. Lagipula Wina dan kakekmu pergi ke rumah sakit, jadi tak apa-apa."Kirana mengingat Melati. Sebuah kesempatan bagus meninggalkan dirinya seorang diri di rumah besar itu."Baiklah, jika ibu memaksa," imbuh Kirana sambil bersiap.Keduanya berjalan menuju halaman, dimana mobil warna putih sudah siap mengantar kepergian mereka. Sebelum benar-benar melaju, Ernawati menatap ke atas dimana kamar Melati terlihat terang benderang. Sebelumnya dia mengetuk pintunya pelan untuk pamit, namun wanita yang tengah hamil itu tak menjawab ucapannya. Dan Ernawati memaklumi kalau Melati belum terbiasa.******Suara langka