26"Kenapa wajahmu mendadak murung, Ed?" Jovan menatap wajah sahabat sekaligus bosnya yang tak biasa. Lelaki itu bahkan memijat kepalanya yang terasa berat."Sepertinya karena semalam kurang tidur, atau entahlah," balas Edwin sekenanya. Tapi dadanya merasakan gelisah tak biasanya. Kendati demikian, pekerjaan harus tetap diutamakan dan dia harus mengikuti prosedur dan meninjau proyeknya di kota lain."Andaikan saja aku berkuasa, aku akan menyuruhmu untuk tinggal di rumah saja dan membaca koran. Tapi tidak bisa seperti itu, proyek di Surabaya membutuhkan kehadiranmu di sana untuk memantau dan melihat kegiatan mereka. Dan seperti yang telah kuselidiki sebelumnya, ada aliran dana yang terpakai tidak semestinya, dan masuk ke kantong beberapa orang dan membuat proyek kita sedikit terbengkalai. Kita hampir kehilangan beberapa digit, dan itu jumlahnya terus mengalir secara teratur, Ed." Jovan berkata panjang lebar, menjelaskan sekali lagi agar Edwin mengerti. Meskipun dia menduga kalau lelaki
27"Kenapa kita harus tetap pergi sih, Bu. Aku kan ingin diam aja di rumah. Lagian malas juga harus ketemu Tante Anita dan Om Teguh." Kirana memajukan bibirnya saat Ernawati bersikukuh mengajaknya pergi ke rumah om dan tantenya."Kirana, ibu tak tega menolak undangan mereka. Lagipula apa salahnya sesekali berkumpul mengingat ibu baru bertemu lagi dengan mereka setelah tiga tahun lamanya. Lagipula Wina dan kakekmu pergi ke rumah sakit, jadi tak apa-apa."Kirana mengingat Melati. Sebuah kesempatan bagus meninggalkan dirinya seorang diri di rumah besar itu."Baiklah, jika ibu memaksa," imbuh Kirana sambil bersiap.Keduanya berjalan menuju halaman, dimana mobil warna putih sudah siap mengantar kepergian mereka. Sebelum benar-benar melaju, Ernawati menatap ke atas dimana kamar Melati terlihat terang benderang. Sebelumnya dia mengetuk pintunya pelan untuk pamit, namun wanita yang tengah hamil itu tak menjawab ucapannya. Dan Ernawati memaklumi kalau Melati belum terbiasa.******Suara langka
28Pandangan Edwin menggelap menatap tajam ke arah keduanya. Disaat lelaki itu hampir saja menerima Melati, andaikan wanita itu mau berubah perlahan-lahan. Namun apa yang dilihatnya kini seolah-olah menjelaskan siapa Melati dan lelaki di depannya itu sesungguhnya. Pasangan hina yang berbuat mesum tak pantas mendapatkan simpatinya. Dan hal yang lebih memalukannya lagi adalah perbuatan keduanya yang dilakukan di dalam kamarnya sendiri. Siapapun yang berada dalam posisinya, pasti tidak akan diam saja dan akan bertindak anarkis.Lelaki itu segera membopong Melati dalam pelukannya, kemudian melewati Edwin yang tangannya masih mengepal, yang seolah enggan menyaksikan keduanya berlalu. Edwin membuang mukanya dengan perasaan jijik luar biasa.Tiba-tiba lampu menyala. Yang langsung membuat tempat itu terang benderang.Sementara lelaki itu segera membopong Melati menuju ke mobilnya. Jovan yang baru saja kembali dari arah belakang, melihat seseorang dengan gerakan cepat melintas tidak jauh dar
29"Bangunlah, Mel, sudah terlalu lama kamu tertidur. Apa kamu nggak mau melihatku dan memarahi pengecut sepertiku? Bangun dan katakan apapun yang ada dalam hatimu." Pabian menunduk dengan mata memerah. Merasa tidak tega melihat keadaan wanita yang tengah berjuang melawan rasa sakit itu. Seandainya saja dia menunaikan janjinya pada Melati, tentu mereka akan berbahagia sekarang dan Melati tak perlu tinggal di rumah Edwin, yang sialnya itu juga rumah yang ditempati oleh Kirana, kekasihnya.Hubungan keduanya teramat baik, hingga Pabian menjanjikan pernikahan untuk menutupi aib yang Melati rasakan. Dia ingin menghibur wanita itu sebisa mungkin dan menjadi pelindungnya. Namun justru saat hari pernikahan tiba, dia membuat Melati kecewa."Tinggalkan dan jangan ganggu dia. Kembalilah ke kamarmu dan istirahat!" Edwin menarik baju lelaki itu agar menjauh. Segera melepaskan tautan tangan keduanya seolah merasa risih.Di depan Edwin, Pabian tak berani menantang. Lelaki itu menunduk tak berani m
30Melati terbangun pada akhirnya saat mentari hampir mencapai ujung barat. Senja yang temaram segera datang saat Edwin memutuskan untuk menutup jendela dan tirai, serta menyalakan lampu agar ruangan itu tidak gelap gulita.Melati terbaring lemah. Dia merasakan sekujur tubuhnya yang sakit apalagi di bagian bawahnya terasa sangat ngilu. Untunglah lelaki bejat itu tidak sempat melakukannya hingga mendatangkan malaikat penyelamat untuk menghindarinya dari perbuatan bej*t itu."Melati, kamu sudah sadar?" Edwin mendekat dan menatap wanita itu yang meringis. Dia tahu rasa nyeri pasti tengah menggelora di seluruh badan wanita itu. Sebagai lelaki, dia pun seakan ikut merasakan kesakitan yang dirasakan olehnya.Pelan-pelan Melati berusaha untuk bangun dan meraih minumnya, membiarkan Edwin beres-beres beberapa helai pakaian dan enggan untuk menjawab."Biarkan aku yang mengurusmu," kata Edwin lagi sambil mendekati sisi tempat tidur Melati, lalu meraih gelas dan sedotan, mengarahkannya pada mul
31"Pak Edwin, sebaiknya anda keluar dulu, karena kami akan memeriksa pasien. Silahkan." Suster wanita itu berkata dan menyuruhnya untuk segera meninggalkan ruangan di mana Melati tengah berbaring dengan sisa-sisa isak tangis. Hatinya merasa miris dan sedih melihat keadaan Melati saat ini, yang meskipun belum tahu apa yang terjadi sebenarnya, namun dia bisa merasakan bagaimana wanita itu terluka dalam setelah kejadian yang menimpanya.Edwin mondar-mandir dengan gelisah kemudian saat teringat sesuatu, dia segera menghubungi Jovan. Dalam panggilan ketiga, suaranya langsung tersambung."Maaf, aku baru saja selesai mandi. Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Jovan di seberang sana, saat mengetahui jika Edwin akan menghubunginya jika ada sesuatu yang penting."Apa kau sudah mengecek CCTV di rumah? Apa yang kau temukan?" Edwin bertanya dengan tidak sabar.Suara Jovan terdengar mendesah, sebelum akhirnya kembali bersuara."Rekaman CCTV mati saat kejadian itu, bahkan satpam pun tertidur di po
32Edwin langsung masuk ke kamar mandi di dalam ruangan tempat Melati dirawat, setelah lelaki itu menerima paper bag yang isinya beberapa pakaian untuknya, yang dipesan langsung oleh Jonathan. Lelaki yang masih single itu bahkan menolak ketika Edwin ingin mengganti biaya yang sudah dikeluarkan.Sementara Jonathan sendiri segera berlalu ke dalam kamar adiknya, dimana Pabian tengah termenung, menatap langit malam dari jendela yang sengaja dibuka. Rupanya, kamar Pabian dan Melati hanya berjarak satu blok saja.Pabian menoleh, dimana kakaknya berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, berjalan mendekat ke arahnya."Dari raut wajahmu, sepertinya kau sudah mendengar ceritanya." Pabian membuka suara. Jonathan mengangguk, membenarkan apa yang adiknya katakan."Aku bertemu dengan Edwin sebelum aku ke sini." Pabian mendengus kesal."Pasti lelaki itu menyalahkanku atas segala yang terjadi, bukan? Meskipun aku kecewa karena tak bisa bersama dengan Melati. Seharusnya Edwin menga
33Rasa sakit itu muncul kembali.Melati tidur dalam gelisah, tapi sebisa mungkin dia menahannya agar jangan sampai membuat Edwin terbangun, saat dengkuran halus lelaki itu terdengar ke telinganya, menandakan kelelahan yang mendera.Rasa sakit dan ngilu di sekujur tubuhnya kembali terasa. Kali ini disertai rasa mulas di bagian bawah perutnya. Melati menutup mulutnya dengan ujung selimut agar jangan sampai ada keluar suara-suara yang mungkin membuat Edwin terganggu.Hingga akhirnya perlahan dia mulai bisa bernafas lega saat rasa sakit itu hilang seiring waktu.Dini harinya, Edwin terbangun seperti biasanya. Lelaki itu melantunkan ayat suci dan membuat Melati terbangun di sepertiga malam.Dengan gerakan halus Melati bergerak, jangan sampai ketahuan dan membuat Edwin menoleh.Sudah cukup wanita itu menjadi bebannya. Apalagi selama beberapa hari menikah dengan Edwin, sudah dua kali masuk ke rumah sakit dan lelaki itu selalu seti
Bab 99Melati tertegun, entah apa yang ada dalam pikiran Edwin, namun ketika suaminya menyebut nama wanita tersebut, matanya melebar sempurna dengan tubuh seperti kaku. Melati yang mengerti raut wajah suaminya itu berubah pun, segera mengambil alih Giandra dan menyerahkannya kepada pengasuhnya."Siapa dia, Mas?" tanya Melati seakan tidak sabar ingin mengetahui siapa wanita yang di hadapannya itu. Dulu suaminya pernah berkata sakit hati saat ditinggalkan seseorang yang telah pergi, dan pikiriannya langsung mengarah ke sana."Michy, ke marilah, Nak. Ayo makan malam bersama dengan kami," ajak Candra. "Oh ya, kapan kamu kembali dari Korea?" Pria tua itu tidak mungkin melupakan siapa Michy bagi cucunya. Beberapa tahun yang lalu, Michy dan Edwin sempat berhubungan cukup lama. Michy juga adalah cinta pertama cucunya. Namun setelah tiga tahun menjalin hubungan, wanita itu memilih meninggalkan negaranya untuk tinggal di Korea sambil melanjutkan studi designnya di sana. Siapa yang menyang
Bab 98Entah berapa lamanya mereka saling memadu kasih, hingga keduanya terlelap karena kelelahan.Saat Melati terbangun dari tidurnya, dia kaget karena Giandra tidak ada di box bayi miliknya.Wanita yang panik itu pun segera menggulung rambutnya dan mengikatnya ke atas dengan asal, lalu segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan mengganti dengan pakaian yang baru.Buru-buru wanita itu keluar dari kamarnya untuk mencari putra semata wayangnya, dan saat turun ke ruang tamu, tempat itu remang-remang tanpa cahaya dan seluruh lampu nyaris dimatikan semuanya."Ya ampun dia mana Giandra berada?" ujarnya sambil menggigit ujung kukunya karena bingung. Melati pun menatap ke arah kamar Ernawati yang tertutup, kemudian disampingnya ada kamar Anita yang juga tertutup rapat. Dia sengaja didekatkan telinga ke salah satu kamar tersebut, namun hanya sunyi yang didapatnya."Melati, kenapa kamu menempelkan kupingmu di tengah malam seperti ini?" Jovan yang baru keluar dari dapur deng
Bab 97Seketika berita itu menjadi trending di beberapa acara berita di Belanda, dan sampai ke telinga Edwin melalui sebuah pemberitahuan melalui telepon."Kami hanya ingin mengabarkan kepada anda, tentang kejadian kecelakaan yang telah menewaskan saudara Teguh Yogaswara. Keadaan tubuhnya hampir tidak berbentuk karena kecelakaan hebat itu, juga karena ledakan yang membuat jasadnya tidak sempurna. Apakah kami harus menerbangkannya ke Indonesia, atau anda lebih memilih kami memakamkannya di negara ini, mengingat untuk melewati imigrasi sangat sulit dilakukan, dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar!" Suara di seberang sana terus bergema membuat Edwin bingung, hingga suatu keputusan diambil oleh demi kemaslahatan bersama."Kakekku dan kami semua sudah mendengar berita itu sebelumnya dari media massa. Untuk itu, kami semua sudah kesepaka jika jasad Teguh lebih baik dikebumikan saja di Belanda, dan saya meminta pertolongan anda semua untuk mewakilinya, mengingat kami juga tidak bisa per
Bab 96Duduk di tengah-tengah keluarga Candra Wijaya membuat hati Jovan menghangat, di mana dia bisa melihat senyum di wajah Ernawati dan Candra juga kehangatan kasih sayang antara Edwin dan Melati, yang disampingnya ada Kirana yang melirik sesekali ke arahnya dan menunduk seperti malu-malu.Setelahnya mereka menghabiskan waktu bersama dengan mengobrol di ruang tengah. Layar televisi tayang sejak tadi menyala sama sekali tidak membuat mereka tertarik yang ada justru obrolan dan candaan layaknya keluarga besar.Setelah merasa sedikit bosan jumpa naik ke lantai atas di mana kamarnya berada kemudian duduk di balkon sambil menikmati cahaya malam yang indah. Langit bertaburan bintang dan dia duduk di atas kursi rotan sambil memandang ke atas. Kirana masuk setelahnya dan duduk di sampingnya."Sejak kapan, Jo?" Wanita itu tanpa bertanya tanpa mengalihkan pandangan ke samping di mana jawaban langsung melirik bingung ke arahnya."Apanya yang sejak kapan?" Kirana memanyunkan bibirnya."Bod*h!"
Bab 95"Jadi, apakah menurut kakak, Jovan akan menerimaku, dengan keadaanku yang seperti ini?" Kirana mendesah berat. Dia melihat keadaan kakinya yang tak sempurna. Meskipun ragu, dia ingin mempertanyakan langsung kepada kakaknya, karena hanya pria itu yang mengerti keadaannya sekarang.Edwin mengangguk, lalu sebuah senyum terbit di bibirnya. Hatinya menghangat melihat senyuman di wajah Kirana."Karena hanya dia yang kakak lihat tulus mencintai kamu, Kirana. Makanya jangan ragu untuk menerima pria itu. Bukankah lebih baik dicintai, daripada mencintai, karena ujung-ujungnya hanya akan membuatmu sakit hati." Edwin mencoba memberi pengertian.Kirana cukup tertohok mendengar pernyataan dari kakaknya barusan."Kakak nggak pernah mendengar aku dan Bian bertengkar, kan?" tanyanya Karen Edwin seperti mengerti isi hatinya. Dia mencintai Bian dan ingin memilikinya. Naas, pria itu malah sebaliknya."Tentu saja tidak. Hanya saja kakak selalu melihat dia tidak pernah tulus mencintaimu. Bukankah
Bab 94"Melati mana?" Satu kata yang ditanyakan oleh Ernawati ketika sudah sadarkan diri adalah menantunya. Erwin sendiri tidak ada di sana karena harus mengurusi kasus Gunadi di kantor polisi sementara Melati pulang ke rumah atas suruhan Jovan.Wanita itu sudah pulang ke rumah tadi jawaban yang menyuruhnya sepertinya wanita itu tengah bingung atau sedih entahlah apapun tidak tahu Bu memangnya ada apa atau mungkin ada yang kalian tutupi dariku mata Kirana memicing menatap Ernawati yang segera menggeleng wanita itu bukannya menjawab Allah menerawang memandang langit-langit kamar.Bu aku bertanya pada ibu loh kenapa ibu nggak mau menjawabnya apakah perempuan itu membuat masalah lagi di keluarga kita dan apakah ini juga yang menyebabkan Ibu tidak sadarkan diri jika memang demikian biarkan aku yang menghajar wanita itu atau kalau perlu aku akan menyeretnya ke jalanan sesegera mungkin." Kirana berkata dengan perasaan menggebu nyatanya setelah beberapa waktu berlalu bahkan setelah Edwin dan
Bab 93"Jadi, Pak Gunadi mengakui segala tuduhan dan penyebab kecelakaan yang terjadi empat tahun yang lalu di Desa Sukmajaya itu?" tanya polisi itu untuk yang kedua kalinya."Iya, Pak. Saya mengakui semuanya. Dan saya merasa bersalah, serta saya bertanggung jawab atas segala kejadian waktu itu. Dan saya mengatakan hal ini dengan sesadar-sadarnya, tanpa ada yang ditutup-tutupi dan tanpa ada yang saya sembunyikan," ujarnya dengan kepala tertunduk. "Baiklah kalau begitu. Itu artinya menegaskan jika apa yang sudah saudara lakukan, anda sudah mengakui barusan, benar-benar murni dari dalam hati anda sendiri, tidak ada penekanan ataupun ancaman dari yang lainnya." Gunadi mengangguk lagi. Akhirnya dia melihat salahkah kalian sudah mengakui seluruh kejahatan di selama ini. Dan pasrah menjalani hukuman apapun yang akan ditimpakan kepada. Entah itu hukuman cambuk, hukuman tembak, ataupun hukuman mati yang akan dijalankannya. Tak mengapa, asal Gunadi merasa tenang menjalani sisa hidupnya.
Bab 91Kali ini Edwin duduk dengan pandangan menunduk, merasakan sesaknya dada dan air mata yang tak kunjung berhenti dari matanya. Meskipun sebagai seorang lelaki sejati, dia sudah berusaha untuk menghalau butiran bening itu berulang kali, namun fakta dan kenyataan yang baru saja didengarnya itu, membuat jiwanya terguncang. Bahkan segala pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Benci, marah, kecewa, semuanya bercampur jadi satu rasa.Sesuatu hal yang tidak bisa dibayangkan akhirnya terbuka begitu saja, setelah beberapa tahun menunggu. Dan kenyataan itu sekaligus mengguncang batinnya, di mana Edwin merasa perang sabil dengan keadaan fakta, juga tentang masa depan kehidupannya bersama dengan wanita, yang nyatanya mertuanya sendiri adalah seorang pembunuh dari ayahnya.Tak berbeda keadaannya dengan Edwin, Berulang kali Melati memejamkan matanya dengan menghela nafas panjang, hanya demi untuk meluapkan sebak yang ada dalam dadanya. Dia bagai terhimpit gunung, mendengarkan kenyataan yang dar
Bab 91Padahal Edwin baru saja tiba di ruangan Jovan beberapa saat yang lalu. Dan dia langsung menggendong Giandra karena gemas dan merindukan bayi kecil itu, setelah seharian ditinggalkan untuk bekerja di kantornya. Tapi, kehadiran Gunadi langsung membuatnya mengernyit heran, menatap ke arah pria itu yang langsung bersimpuh di kakinya dengan matanya yang memerah."Ada apa denganmu, Ayah?" tanyanya sambil memberikan Giandra kembali pada istrinya.Melati pun ikut bingung melihat kelakuan Gunadi saat ini. Sekilas menatap ke arah Jovan yang tampak santai dan menatap ke arah pria itu, yang bersimpuh di bawah dengan dada naik turun."Sebelum aku masuk penjara demi untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanku, aku ingin memohon ampun dan meminta maaf kepadamu, Edwin, bahkan untukmu juga Melati. Karena itu ayah meminta maaf karena selama ini telah memperlakukanmu dengan tidak adil. Terlebih tindakan ayah di masa lalu kepada Edwin dan keluarganya, yang membuat suamimu itu menderita. Ay