29"Bangunlah, Mel, sudah terlalu lama kamu tertidur. Apa kamu nggak mau melihatku dan memarahi pengecut sepertiku? Bangun dan katakan apapun yang ada dalam hatimu." Pabian menunduk dengan mata memerah. Merasa tidak tega melihat keadaan wanita yang tengah berjuang melawan rasa sakit itu. Seandainya saja dia menunaikan janjinya pada Melati, tentu mereka akan berbahagia sekarang dan Melati tak perlu tinggal di rumah Edwin, yang sialnya itu juga rumah yang ditempati oleh Kirana, kekasihnya.Hubungan keduanya teramat baik, hingga Pabian menjanjikan pernikahan untuk menutupi aib yang Melati rasakan. Dia ingin menghibur wanita itu sebisa mungkin dan menjadi pelindungnya. Namun justru saat hari pernikahan tiba, dia membuat Melati kecewa."Tinggalkan dan jangan ganggu dia. Kembalilah ke kamarmu dan istirahat!" Edwin menarik baju lelaki itu agar menjauh. Segera melepaskan tautan tangan keduanya seolah merasa risih.Di depan Edwin, Pabian tak berani menantang. Lelaki itu menunduk tak berani m
30Melati terbangun pada akhirnya saat mentari hampir mencapai ujung barat. Senja yang temaram segera datang saat Edwin memutuskan untuk menutup jendela dan tirai, serta menyalakan lampu agar ruangan itu tidak gelap gulita.Melati terbaring lemah. Dia merasakan sekujur tubuhnya yang sakit apalagi di bagian bawahnya terasa sangat ngilu. Untunglah lelaki bejat itu tidak sempat melakukannya hingga mendatangkan malaikat penyelamat untuk menghindarinya dari perbuatan bej*t itu."Melati, kamu sudah sadar?" Edwin mendekat dan menatap wanita itu yang meringis. Dia tahu rasa nyeri pasti tengah menggelora di seluruh badan wanita itu. Sebagai lelaki, dia pun seakan ikut merasakan kesakitan yang dirasakan olehnya.Pelan-pelan Melati berusaha untuk bangun dan meraih minumnya, membiarkan Edwin beres-beres beberapa helai pakaian dan enggan untuk menjawab."Biarkan aku yang mengurusmu," kata Edwin lagi sambil mendekati sisi tempat tidur Melati, lalu meraih gelas dan sedotan, mengarahkannya pada mul
31"Pak Edwin, sebaiknya anda keluar dulu, karena kami akan memeriksa pasien. Silahkan." Suster wanita itu berkata dan menyuruhnya untuk segera meninggalkan ruangan di mana Melati tengah berbaring dengan sisa-sisa isak tangis. Hatinya merasa miris dan sedih melihat keadaan Melati saat ini, yang meskipun belum tahu apa yang terjadi sebenarnya, namun dia bisa merasakan bagaimana wanita itu terluka dalam setelah kejadian yang menimpanya.Edwin mondar-mandir dengan gelisah kemudian saat teringat sesuatu, dia segera menghubungi Jovan. Dalam panggilan ketiga, suaranya langsung tersambung."Maaf, aku baru saja selesai mandi. Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Jovan di seberang sana, saat mengetahui jika Edwin akan menghubunginya jika ada sesuatu yang penting."Apa kau sudah mengecek CCTV di rumah? Apa yang kau temukan?" Edwin bertanya dengan tidak sabar.Suara Jovan terdengar mendesah, sebelum akhirnya kembali bersuara."Rekaman CCTV mati saat kejadian itu, bahkan satpam pun tertidur di po
32Edwin langsung masuk ke kamar mandi di dalam ruangan tempat Melati dirawat, setelah lelaki itu menerima paper bag yang isinya beberapa pakaian untuknya, yang dipesan langsung oleh Jonathan. Lelaki yang masih single itu bahkan menolak ketika Edwin ingin mengganti biaya yang sudah dikeluarkan.Sementara Jonathan sendiri segera berlalu ke dalam kamar adiknya, dimana Pabian tengah termenung, menatap langit malam dari jendela yang sengaja dibuka. Rupanya, kamar Pabian dan Melati hanya berjarak satu blok saja.Pabian menoleh, dimana kakaknya berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, berjalan mendekat ke arahnya."Dari raut wajahmu, sepertinya kau sudah mendengar ceritanya." Pabian membuka suara. Jonathan mengangguk, membenarkan apa yang adiknya katakan."Aku bertemu dengan Edwin sebelum aku ke sini." Pabian mendengus kesal."Pasti lelaki itu menyalahkanku atas segala yang terjadi, bukan? Meskipun aku kecewa karena tak bisa bersama dengan Melati. Seharusnya Edwin menga
33Rasa sakit itu muncul kembali.Melati tidur dalam gelisah, tapi sebisa mungkin dia menahannya agar jangan sampai membuat Edwin terbangun, saat dengkuran halus lelaki itu terdengar ke telinganya, menandakan kelelahan yang mendera.Rasa sakit dan ngilu di sekujur tubuhnya kembali terasa. Kali ini disertai rasa mulas di bagian bawah perutnya. Melati menutup mulutnya dengan ujung selimut agar jangan sampai ada keluar suara-suara yang mungkin membuat Edwin terganggu.Hingga akhirnya perlahan dia mulai bisa bernafas lega saat rasa sakit itu hilang seiring waktu.Dini harinya, Edwin terbangun seperti biasanya. Lelaki itu melantunkan ayat suci dan membuat Melati terbangun di sepertiga malam.Dengan gerakan halus Melati bergerak, jangan sampai ketahuan dan membuat Edwin menoleh.Sudah cukup wanita itu menjadi bebannya. Apalagi selama beberapa hari menikah dengan Edwin, sudah dua kali masuk ke rumah sakit dan lelaki itu selalu seti
34Ernawati mendesah panjang, menatap pada perempuan yang tidur menyamping dengan bahu naik turun. Dia tahu kalau wanita itu tidak sepenuhnya tertidur. Melati tengah menahan isak dalam tangisnya. Dan sebagai seorang ibu, dia tidak bisa berbuat apapun, bahkan untuk menenangkan, karena pasti wanita itu akan menolak. Seperti biasanya. Jadinya, Ernawati memilih pergi ke taman dan menyegarkan pikirannya sambil menunggu Wina pulang kuliah. Gadis itu yang akan menggantikannya menunggui Melati.******Pabian melangkah dengan raut penasaran memasuki ruangan VVIP tersebut, dimana Melati tengah berbaring. Dia tak melihat siapapun di sana.Pabian mendekat dan mulai duduk disamping Melati. Menyentuh tangannya hingga membuat wanita itu terbangun karena berpikir Edwin lah yang melakukannya. Saat membuka matanya pelan, Melati langsung terkejut."Bian, apa yang kau lakukan disini!" serunya tertahan. Dia tak ingin melihat lelaki itu saat ini.
35Seperti sebuah lampu yang tiba-tiba menyala di kepalanya, Jovan teringat sesuatu. Matanya bergerak-gerak seperti telah memikirkan hal yang tidak diduga sebelumnya.Dengan segera, Jovan masuk ke dalam ruangan itu dimana Melati tengah berbaring seorang diri, sementara Ernawati tidak kelihatan. Dia segera meraih file yang ada di atas meja kemudian segera pergi meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan kepergiannya menuju kantor, dia berpikir banyak hal, hingga sampai di kantornya yang membuat Edwin menatap heran padanya."Apa yang kau pikirkan, Jo, tidak biasanya kalau mengacuhkan pertanyaanku." Suara tegas Edwin membuat Jovan tersadar dan menatap padanya."Apa kau tidak berpikir untuk menyewa seseorang demi menjaga Melati di rumah sakit?" Jovan memberi saran,dia merasa hal itu diperlukan. Dia takut hal yang lebih besar akan terjadi pada wanita yang dinikahi paksa oleh sahabatnya tersebut."Apakah itu perlu?" Edwin balik bertany
36"Oh ya, adikmu sedang memasak di dapur. Sepertinya dia terlihat tidak semangat sejak kemarin. Coba kamu tanyakan padanya apa yang terjadi. Terus dia memasak makanan untuk siapa."Edwin tertegun sejenak. Teringat pada Pabian yang dirawat. Dan dia menduga Kirana sengaja melakukannya untuk lelaki itu. Mengingat Pabian, gigi Edwin bergemeretak karena kesal pada lelaki itu. Disatu sisi, dia geram karena Pabian masih berhubungan adiknya, sementara di sisi lainnya, Pabian rupanya masih menginginkan Melati setelah apa yang dilakukannya pada wanita itu. Seharusnya dirinya juga ikut membencinya, karena ulahnya yang tak datang dihari pernikahan, dirinya yang harus menanggungnya.******Cukup lama Edwin istirahat, hingga badannya terasa segar. Setelah mandi dan berganti pakaian dia berniat pergi ke rumah sakit untuk menemani Melati. "Apa kamu yakin ingin memberikannya untuk lelaki itu?" Edwin bertanya dengan pandangan lurus ke depan, menge