Suasana pagi hari itu seharusnya lebih menyenangkan karena seluruh anggota keluarga berada di rumah yang sama. Namun kenyataannya tidak. Kirana yang duduk di kursi makan menatap kehadiran dua orang yang berjalan beriringan menuju ke tempatnya. Fokus dan perhatiannya tertuju pada wanita di belakang kakaknya sendiri, yang tengah menunduk dengan perut membuncit. Bahkan kedua tangan Melati saling bertautan, pertanda wanita itu takut dengan tatapan gadis di depannya. Meskipun Ernawati dan Candra menyuruhnya untuk duduk dan menikmati sarapan paginya, nyatanya tatapan tajam Kirana membuat Melati tidak nyaman.Edwin yang melihat tatapan tidak baik dari adiknya, segera berdehem dan mencairkan suasana dengan mengangsurkan beberapa makanan untuk Kirana nikmati."Sepuluh hari di luar negeri pasti membuatmu rindu makanan khas Indonesia. Makanlah, Kiran. Kamu tahu, ini masakan ibu yang pasti sudah membuatnya khusus untuk menyambutmu." Edwin meletakkan sepotong ayam woku kesukaan adiknya, tapi Ki
26"Kenapa wajahmu mendadak murung, Ed?" Jovan menatap wajah sahabat sekaligus bosnya yang tak biasa. Lelaki itu bahkan memijat kepalanya yang terasa berat."Sepertinya karena semalam kurang tidur, atau entahlah," balas Edwin sekenanya. Tapi dadanya merasakan gelisah tak biasanya. Kendati demikian, pekerjaan harus tetap diutamakan dan dia harus mengikuti prosedur dan meninjau proyeknya di kota lain."Andaikan saja aku berkuasa, aku akan menyuruhmu untuk tinggal di rumah saja dan membaca koran. Tapi tidak bisa seperti itu, proyek di Surabaya membutuhkan kehadiranmu di sana untuk memantau dan melihat kegiatan mereka. Dan seperti yang telah kuselidiki sebelumnya, ada aliran dana yang terpakai tidak semestinya, dan masuk ke kantong beberapa orang dan membuat proyek kita sedikit terbengkalai. Kita hampir kehilangan beberapa digit, dan itu jumlahnya terus mengalir secara teratur, Ed." Jovan berkata panjang lebar, menjelaskan sekali lagi agar Edwin mengerti. Meskipun dia menduga kalau lelaki
27"Kenapa kita harus tetap pergi sih, Bu. Aku kan ingin diam aja di rumah. Lagian malas juga harus ketemu Tante Anita dan Om Teguh." Kirana memajukan bibirnya saat Ernawati bersikukuh mengajaknya pergi ke rumah om dan tantenya."Kirana, ibu tak tega menolak undangan mereka. Lagipula apa salahnya sesekali berkumpul mengingat ibu baru bertemu lagi dengan mereka setelah tiga tahun lamanya. Lagipula Wina dan kakekmu pergi ke rumah sakit, jadi tak apa-apa."Kirana mengingat Melati. Sebuah kesempatan bagus meninggalkan dirinya seorang diri di rumah besar itu."Baiklah, jika ibu memaksa," imbuh Kirana sambil bersiap.Keduanya berjalan menuju halaman, dimana mobil warna putih sudah siap mengantar kepergian mereka. Sebelum benar-benar melaju, Ernawati menatap ke atas dimana kamar Melati terlihat terang benderang. Sebelumnya dia mengetuk pintunya pelan untuk pamit, namun wanita yang tengah hamil itu tak menjawab ucapannya. Dan Ernawati memaklumi kalau Melati belum terbiasa.******Suara langka
28Pandangan Edwin menggelap menatap tajam ke arah keduanya. Disaat lelaki itu hampir saja menerima Melati, andaikan wanita itu mau berubah perlahan-lahan. Namun apa yang dilihatnya kini seolah-olah menjelaskan siapa Melati dan lelaki di depannya itu sesungguhnya. Pasangan hina yang berbuat mesum tak pantas mendapatkan simpatinya. Dan hal yang lebih memalukannya lagi adalah perbuatan keduanya yang dilakukan di dalam kamarnya sendiri. Siapapun yang berada dalam posisinya, pasti tidak akan diam saja dan akan bertindak anarkis.Lelaki itu segera membopong Melati dalam pelukannya, kemudian melewati Edwin yang tangannya masih mengepal, yang seolah enggan menyaksikan keduanya berlalu. Edwin membuang mukanya dengan perasaan jijik luar biasa.Tiba-tiba lampu menyala. Yang langsung membuat tempat itu terang benderang.Sementara lelaki itu segera membopong Melati menuju ke mobilnya. Jovan yang baru saja kembali dari arah belakang, melihat seseorang dengan gerakan cepat melintas tidak jauh dar
29"Bangunlah, Mel, sudah terlalu lama kamu tertidur. Apa kamu nggak mau melihatku dan memarahi pengecut sepertiku? Bangun dan katakan apapun yang ada dalam hatimu." Pabian menunduk dengan mata memerah. Merasa tidak tega melihat keadaan wanita yang tengah berjuang melawan rasa sakit itu. Seandainya saja dia menunaikan janjinya pada Melati, tentu mereka akan berbahagia sekarang dan Melati tak perlu tinggal di rumah Edwin, yang sialnya itu juga rumah yang ditempati oleh Kirana, kekasihnya.Hubungan keduanya teramat baik, hingga Pabian menjanjikan pernikahan untuk menutupi aib yang Melati rasakan. Dia ingin menghibur wanita itu sebisa mungkin dan menjadi pelindungnya. Namun justru saat hari pernikahan tiba, dia membuat Melati kecewa."Tinggalkan dan jangan ganggu dia. Kembalilah ke kamarmu dan istirahat!" Edwin menarik baju lelaki itu agar menjauh. Segera melepaskan tautan tangan keduanya seolah merasa risih.Di depan Edwin, Pabian tak berani menantang. Lelaki itu menunduk tak berani m
30Melati terbangun pada akhirnya saat mentari hampir mencapai ujung barat. Senja yang temaram segera datang saat Edwin memutuskan untuk menutup jendela dan tirai, serta menyalakan lampu agar ruangan itu tidak gelap gulita.Melati terbaring lemah. Dia merasakan sekujur tubuhnya yang sakit apalagi di bagian bawahnya terasa sangat ngilu. Untunglah lelaki bejat itu tidak sempat melakukannya hingga mendatangkan malaikat penyelamat untuk menghindarinya dari perbuatan bej*t itu."Melati, kamu sudah sadar?" Edwin mendekat dan menatap wanita itu yang meringis. Dia tahu rasa nyeri pasti tengah menggelora di seluruh badan wanita itu. Sebagai lelaki, dia pun seakan ikut merasakan kesakitan yang dirasakan olehnya.Pelan-pelan Melati berusaha untuk bangun dan meraih minumnya, membiarkan Edwin beres-beres beberapa helai pakaian dan enggan untuk menjawab."Biarkan aku yang mengurusmu," kata Edwin lagi sambil mendekati sisi tempat tidur Melati, lalu meraih gelas dan sedotan, mengarahkannya pada mul
31"Pak Edwin, sebaiknya anda keluar dulu, karena kami akan memeriksa pasien. Silahkan." Suster wanita itu berkata dan menyuruhnya untuk segera meninggalkan ruangan di mana Melati tengah berbaring dengan sisa-sisa isak tangis. Hatinya merasa miris dan sedih melihat keadaan Melati saat ini, yang meskipun belum tahu apa yang terjadi sebenarnya, namun dia bisa merasakan bagaimana wanita itu terluka dalam setelah kejadian yang menimpanya.Edwin mondar-mandir dengan gelisah kemudian saat teringat sesuatu, dia segera menghubungi Jovan. Dalam panggilan ketiga, suaranya langsung tersambung."Maaf, aku baru saja selesai mandi. Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Jovan di seberang sana, saat mengetahui jika Edwin akan menghubunginya jika ada sesuatu yang penting."Apa kau sudah mengecek CCTV di rumah? Apa yang kau temukan?" Edwin bertanya dengan tidak sabar.Suara Jovan terdengar mendesah, sebelum akhirnya kembali bersuara."Rekaman CCTV mati saat kejadian itu, bahkan satpam pun tertidur di po
32Edwin langsung masuk ke kamar mandi di dalam ruangan tempat Melati dirawat, setelah lelaki itu menerima paper bag yang isinya beberapa pakaian untuknya, yang dipesan langsung oleh Jonathan. Lelaki yang masih single itu bahkan menolak ketika Edwin ingin mengganti biaya yang sudah dikeluarkan.Sementara Jonathan sendiri segera berlalu ke dalam kamar adiknya, dimana Pabian tengah termenung, menatap langit malam dari jendela yang sengaja dibuka. Rupanya, kamar Pabian dan Melati hanya berjarak satu blok saja.Pabian menoleh, dimana kakaknya berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, berjalan mendekat ke arahnya."Dari raut wajahmu, sepertinya kau sudah mendengar ceritanya." Pabian membuka suara. Jonathan mengangguk, membenarkan apa yang adiknya katakan."Aku bertemu dengan Edwin sebelum aku ke sini." Pabian mendengus kesal."Pasti lelaki itu menyalahkanku atas segala yang terjadi, bukan? Meskipun aku kecewa karena tak bisa bersama dengan Melati. Seharusnya Edwin menga