8
"Wow …!" Mata Jovan membulat melihat pemandangan di depannya saat ini. Bagaimana dia tidak terkejut, ketika melihat seorang wanita berpenampilan seksi keluar dari kamar sahabatnya.Edwin mendengus kesal seraya menatap sahabatnya, kemudian menutupi mata lelaki itu dengan tangannya. Melati sendiri hanya mengangkat bahunya cuek, melanjutkan langkah membawa baki kosong itu menuju ke lantai bawah."Apa dia tidak pernah melihat seorang wanita," gumamnya pelan. Sementara Edwin langsung mendorong Jovan untuk masuk ke kamarnya, meskipun lelaki itu bersikeras ingin menunggu Melati dan berkenalan dengannya."Ed, biarkan aku berkenalan dengannya, sebentar saja, please …!" Jovan terus memohon, tapi Edwin tak membiarkannya begitu saja."Kau bisa melakukan hal itu kapanpun," desis Edwin karena amarahnya kembali naik setelah melihat Melati. Dia segera turun ke bawah tangga untuk menyusul Melati yang rupanya tengah berada di dapur.Edwin menutup pintu kulkas dengan sedikit kencang hingga Melati terlonjak kaget."Kau mengagetkanku!"Melati hendak membuka pintu kulkas kembali, namun Edwin menahannya, hingga tangan lelaki itu persis di depan wajah Melati."Ck. Tidak bisakah sekali saja kau tidak membuatku marah?" Edwin berkata dengan gigi bergemeretuk dan rahang mengeras."Apa yang kau maksud?" tanya Melati. Dia merasa tidak melakukan ulah apapun.Melati mengalah. Dia hendak terbalik pergi namun urung, ketika melihat Edwin bergeming di tempatnya dan berpikir, mungkin saja Edwin marah karena dia hendak mengambil sesuatu di dapur ini."Aku akan menggantinya jika kamu tidak suka aku memakan makananmu," katanya sambil membawa dua buah apel dan satu kotak susu, bersiap pergi dari tempat itu."Bukan itu yang kumaksud." Edwin menarik tangannya dengan sedikit kencang hingga Melati memekik kesakitan dan berbalik."Apa yang kau lakukan, brengs*k?" Edwin menatap penampilan Melati dari atas hingga ke bawah hingga wanita itu merasa kesal."Ada yang salah dengan penampilanmu," ucapnya dengan tatapan dingin."Kau pikir aku peduli, hah?" balas Melati sambil mendorong dadanya. Edwin balas memegang tangan Melati sedikit kencang."Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk memakai pakaian yang lebih pantas. Ingat Melati, bukan hanya aku lelaki di rumah ini, tapi ada orang lain. Termasuk para pekerja lelaki yang mungkin saja tergiur melihat penampilanmu seperti ini. Tidaklah kau merasa risih dengan keadaanmu yang serba terbuka seperti itu?" Edwin menekankan setiap kata-katanya, hingga tubuhnya dicondongkan ke arah Melati dan wanita itu kesulitan bergerak."Pikiran kalian saja yang kotor. Aku sendiri merasa penampilanku biasa saja," ujar Melati tak terima. Hatinya sedikit sakit mendengar ucapan Edwin barusan."Tak bisakah satu kali saja kau menurut ucapanku?" sentak Edwin lagi merasa belum puas."Aku tidak mau!" balas Melati lagi sambil mengangsurkan makanannya ke dada Edwin yang lantas ditangkap oleh lelaki itu. Di segera berbalik dan berlari ke arah tangga dengan hentakan kakinya dan masuk ke dalam kamarnya, lalu membaringkan dirinya di dalam selimut.Melati merasakan lebaran dalam dadanya yang kencang kala pandangannya bertemu dengan tatapan tajam dari Edwin. Yang entah mengapa dia merasa kesal, dan merasakan debaran yang menghujam ke dalam dadanya. Tiba-tiba saja perutnya sedikit kram dan dia merintih kesakitan. Tapi tangan itu urung mengusap perutnya."Argh ...! Dasar wanita sia*an!" Edwin meremas susu otak di tangannya, hingga isinya menyambur kemana-mana, kemudian melemparnya asal. Memikirkan kelakuan Melati, lama-lama otaknya bisa gila karena terus didera rasa amarah yang tidak berkesudahan.Lelaki itu berjalan dengan cepat menyusul Melati yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamarnya dan mendapati wanita itu tengah berbaring di balik selimut."Jangan kau pikir aku akan diam saja melihat tingkahmu di rumah ini," ungkap Edwin sambil menarik satu bantal dan segera berbaring di samping Melati.Wanita itu mendecih sekaligus merasa kesal, lalu membuka selimut dan menatap ke sampingnya."Lalu, apa maumu? Mengusirku? Katakan dengan jelas," tantangnya dengan dada naik turun."Kau!" "Lagipula bukankah seharusnya kau tidak tidur satu ranjang denganku? Rasanya terlalu aneh berbagi tempat tidur, sementara amarahmu saja meledak-ledak!"Edwin balik menatapnya, hingga keduanya saling bertatap pandangan tajam. Memancarkan aura kebencian masing-masing."Apa kau pikir, aku akan mengalah dengan tidur di sofa tiap malam dan membiarkanmu tidur nyenyak di atas ranjangku. Begitu? Itu tidak akan pernah terjadi. Lagipula aku membutuhkan istirahat yang cukup agar bisa beraktivitas dengan baik esok hari." Edwin beralasan.Dia tidak mau mengalah dan membiarkan orang lain menikmati ranjang empuknya. Sementara dirinya harus kesakitan karena tidur di sofa yang tak nyaman."Lalu kenapa kemarin malam kamu menghindariku dan memilih tidur di sofa?""Apa harus aku jabarkan alasannya padamu?" tanya Edwin lagi, merasa kesal dengan Melati yang terus-terusan mengajaknya berdebat."Tidak perlu," ujar Melati membuat emosi Edwin semakin meledak-ledak."Lama-lama aku bisa gila jika terus-terusan berurusan denganmu," kata lelaki itu sambil berpaling dan membelakangi Melati, kemudian segera memejamkan matanya. Melati mendengus kesal kemudian melakukan hal yang sama, yang keduanya sama-sama tidur saling membelakangi.Tengah malam Edwin terbangun, karena merasakan tenggorokannya yang terasa kering. Disaat yang sama, samar-samar dia mendengar suara tangisan. Lelaki itu membuka matanya perlahan kemudian menajamkan pendengarannya dan menoleh ke samping di mana Melati berbaring. Namun suara itu seakan lenyap begitu saja.'Pasti karena kelelahan hingga aku memikirkan hal yang tidak-tidak,' batinnya bermonolog.*****Pagi-pagi sekali Edwin sudah bangun dan mengawali harinya dengan menunaikan kewajibanNya pada sang khalik. Dia menatap Melati yang masih bergeming di balik selimutnya.Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya pelan, kemudian beranjak dan memakai pakaian olahraga, lalu pergi ke ruangan dimana dia biasa membentuk otot-otot dalam tubuhnya. Cukup lama Edwin melakukan pemanasan hingga akhirnya Jovan yang baru saja bangun menghampirinya dengan wajah khas bangun tidur."Selamat pagi pengantin baru," ujar Jovan iseng. Edwin diam saja enggan menanggapi perkataan lelaki tengil itu."Kau baru bangun?""Ya, tentu saja. Semalam aku tak bisa tidur karena mendengar suara-suara aneh dari kamar sebelah. Ya, kau tahu, mirip suara desahan begitu." Jovan berkata sambil berdehem. Edwin yang bingung langsung menghentikan aktivitasnya sejenak."Bukankah sebelah kamarmu itu–""Yes, tepat di samping kamarmu," balas Jovan cepat hingga dia tergelak saat mata Edwin membulat sempurna."Hei, lalu apa maksudmu sebenarnya?" tanya Edwin tak terima. Lelaki itu hampir menoyor kepala Jovan namun lelaki itu terus menghindar dan terbahak."Kenapa kau marah, Ed. Itu hal yang wajar bagi pasangan baru menikah." Jovan tertawa lepas dan mendapat tatapan tajam sahabatnya."Otakmu sudah rusak," sela Edwin kesal. Dia tak habis pikir pada Jovan yang selalu saja mengajaknya bercanda dan selalu berhasil membuatnya kesal karena mulutnya yang asal bicara. Namun demikian, hubungan keduanya tetap langgeng, meskipun Jovan pikir kalau Edwin terlalu menganggap semuanya serius."Ed, mau kemana kau?!""Sudahlah, aku malas melanjutkan ini semua." Edwin berbalik pergi meninggalkan Jovan yang raut wajahnya berubah heran. Bahkan lelaki itu sempat menerima handuk basah yang dilemparkan tepat di wajahnya."Kau benar-benar tidak bisa diajak bercanda, Ed!"Jovan menggelengkan kepalanya pelan ketika melirik Edwin yang masuk ke dalam kamarnya, sekaligus mengerjapkan matanya berkali-kali saat berpapasan dengan wanita yang ditemuinya semalam."Bukankah kau …."Melati yang melihat perubahan di wajah Jovan pun hanya bisa berdecak sambil menatap kesal kepada pria yang saat ini tengah mengenakan pakaian santai tersebut sambil memperhatikan perutnya yang buncit."Apa yang mau kau ucapkan? Kenapa tidak kau katakan langsung," katanya tanpa basa-basi, kesal pada Jovan yang menatapnya dengan kicep."Oh, anu … maksudku, kau pasti Melati, istri barunya Edwin." Laki-laki itu mengusap tengkuknya berkali-kali karena bingung dengan ucapannya sendiri didepan wanita itu yang tengah ternyata hamil tersebut. Sejujurnya itu diluar ekspektasinya sendiri. Dan dia tak menyangka istri baru sahabatnya ternyata berbadan dua. Celaka Edwin!"Memangnya kenapa kalau aku istri barunya? Apakah itu masalah buatmu?" Melati bertanya sambil mengangkat dagunya tinggi. Tak bo
10Wina membuka pintu kamar pelan, setelah beberapa kali mengetuk, namun tidak ada jawaban dari dalam. Gadis itu memberanikan diri untuk masuk ke sana dan mengantarkan sarapan untuk Melati."Bu Melati, anda tidak apa-apa?" Wina berjengit, langsung meletakkan sarapan di samping tempat tidur, kemudian bergegas menuju Melati yang terduduk di bawah sofa dengan kedua tangan menekan lantai. Wanita itu tampak meringis seperti kesakitan dan itu membuat Wina sedikit terkejut."Siapa yang menyuruhmu masuk?" desis Melati tanpa menghiraukan tangan wanita itu yang ingin membantunya berdiri."Ma-maaf, aku hanya-""Cepat keluar sekarang juga!" usir Melati hingga membuat Wina terlonjak. Baru kali ini gadis itu mendapat bentakan dari seseorang yang baru saja dikenalnya."Tapi, bukankah anda kesakitan, biarkan aku membantu, kali ini saja," ujar Wina karena merasa tak tega. Walau bagaimanapun penyakit ibu hamil berbeda dengan orang biasa. Dia tahu, kare
11Jovan mendengus kesal dengan tangan mengepal sempurna. Mereka baru saja sampai di kantornya beberapa saat lalu. Tadi saat mobil yang dikendarai bersama dengan Edwin hampir memasuki halaman rumah, tapi, lelaki itu urung turun dan menyuruh supir untuk balik ke kantornya, dan tentu saja itu membuat mereka kesal, meski tentu saja hanya bisa memendamnya dalam hati. Padahal jarak dari rumah ke kantor lumayan cukup jauh. Belum lagi harus melewati jalur satu arah yang tentunya memakan waktu lebih lama karena kepadatan arus lalu lintas."Dasar bos sia*an, berani sekali di mempermainkanku." Berkali-kali lelaki itu menghembuskan nafasnya kasar karena tindakan Edwin. Hingga Jovan ingin sekali memukul kepala lelaki dingin itu sekencang-kencangnya, agar dia tidak berbuat semena-mena dan hanya membuang waktu dengan bolak-balik di jalanan tanpa alasan yang jelas. Mereka baru sampai di kantor saat waktu hampir menunjukkan pukul sembilan lebih. Padahal tadi mereka
12"Halo, Bu, bagaimana keadaan wanita itu?" Edwin bertanya tanpa basa-basi, bahkan hampir lupa mengucapkan salam.Sementara Ernawati tersenyum sedikit, dia segera menjauh dan duduk di sofa ruangan tengah."Dia punya nama yang indah, lho, Melati.""Ya, sayangnya tak seindah kelakuannya," sahut Edwin malas. Tiap ingat wanita itu, maka rasa kesal akan langsung hadir di kepalanya."Kesehatannya sedikit terganggu. Menurut dokter dia tidak pernah memeriksakan kandungannya ke bidan ataupun dokter kandungan. Makanya dia sering mengalami kram dan sakit yang hebat dibagian perut bawah. Dan sepertinya Melati menyembunyikan semua itu dari setiap orang, makanya dokter merujuknya untuk segera pergi ke rumah sakit. Hanya saja saat ini dia tengah istirahat, setelah tadi dokter memberikan suntikan kecil." Ernawati memberi penjelasan yang membuat Edwin tak tahan ingin kembali bertanya. Kening lelaki itu makin berkerut."Apakah sep
13"Tenanglah, Mbak, wanita itu pasti akan baik-baik saja." Anita berusaha untuk menenangkan Ernawati yang gemetar. "Ta-tapi, Melati …!" Wanita itu panik melihat keadaan Melati yang menyedihkan. Sudah bukan rahasia lagi, jika Ernawati mudah sekali syok saat ada kejadian tak terduga yang dialaminya.Semua itu terjadi setelah dia menyaksikan sendiri, bagaimana keluarganya mengalami kecelakaan sewaktu hendak berlibur ke desa suaminya, hingga menyebabkan suaminya kehilangan nyawanya dan anak kedua anaknya mengalami kecelakaan hebat. Sejak saat itu, wanita itu seakan-akan trauma jika ada kejadian yang tak terduga.Anita terus menatap kepergian mobil yang perlahan menjauh, kemudian menghilang di belokan. Benar apa yang digosipkan oleh asisten rumah tangganya tadi pagi, bahwa istri keponakannya ternyata memang tengah hamil besar. Bahkan ketika Edwin membopongnya ke dalam mobil, tampak jelas perut wanita itu yang membesar, meskipun Anita ragu jika Edwin lah ayah dari jabang bayi tersebut. M
14"Anda sudah siap mendengarnya?" Lelaki dengan setelan formal duduk di depan Edwin, saat tatapan lelaki itu tampak serius. Edwin mengangguk cepat."Namanya Melati Anastasia, usia dua puluh lima tahun. Wanita itu lulus kuliah dua tahun lalu dan sempat bekerja di salah satu perusahaan di kota ini, hingga akhirnya suatu hari dia diminta resign oleh ayahnya dan kembali ke desanya entah karena alasan apa.Menurut sumber terpercaya, keuangan keluarga Melati memburuk dan ayahnya hampir bangkrut karena suatu hal yang saat ini masih kami selidiki. Entah karena alasan itu atau bukan, kami belum mengetahuinya, hanya saja menurut keterangan beberapa warga, suatu malam Melati dibawa paksa ke dalam mobil oleh orang-orang suruhan ayahnya dan dibawa pergi ke suatu tempat. Saat kembali dua hari kemudian, wanita itu dibawa ke rumah sakit dengan luka-luka di sekujur tubuhnya."Edwin dan Jovan saling berpandangan sambil menghela nafas berat."Anda ingin mendengar cerita selanjutnya?" Lelaki berkumis ti
15Melati terbangun saat sinar matahari menerpa wajahnya yang putih bersih. Mata wanita itu mengerjap berkali-kali sebelum akhirnya mengumpulkan kesadarannya."Bu Melati sudah bangun?" Seorang gadis berbaju pink mendekat. Melati memasang wajah kusut di depan Wina."Dimana aku?" Melati mengedarkan pandangannya ke sekeliling, yang didominasi oleh warna putih dengan aroma khas obat-obatan."Rumah sakit?" Wina mengangguk pelan. "Siapa yang membawaku ke tempat ini?" Kembali Melati bertanya heran. Dia memijat kepalanya yang terasa berat. Matanya juga bahkan terasa sembab."Tentu saja Pak Edwin. Bu Erna dan aku mana kuat menggendong Bu Melati, Tuan besar juga apalagi. Sedangkan satpam pasti tak akan berani." Wina menjelaskan dengan detail dan cerocosannya yang khas. Melati mengangkat tangannya agar gadis ceria itu berhenti bicara karena hanya membuat kepalanya semakin pusing."Cukup, aku sudah tahu." Melati mengusap wajahnya.
16"Baiklah, jika ibu baik-baik saja, sebagai gantinya, ibu harus pulang bareng Jovan saja nanti." Ernawati mengangguk lagi, paham akan kekhawatiran anaknya. Memang semenjak kecelakaan yang menewaskan suaminya, wanita itu sedikit trauma untuk naik kendaraan apalagi bepergian jauh, makanya saat Edwin menjemputnya dari desa, Ernawati tak mau duduk jauh dari anaknya sendiri.Masih ada sisa kotak makan yang belum tersentuh di tote bag. Wanita itu meraihnya dan mengajak Edwin duduk di sofa."Makanlah, kamu pasti lapar habis kerja seharian." Edwin tersenyum simpul, meski sebenarnya tidak terlalu lapar, mengingat makan malam masih lama, lagipula tadi dia menikmati banyak makanan saat meeting di hotel."Ed, kamu capek nggak saat ini?" Edwin menoleh saat mulutnya hampir saja terbuka dan memasukkan sepotong ayam ke mulutnya. Meski tak terlalu lapar, tapi masakan ibunya selalu membuatnya berselera makan."Nggak kok, Bu, aku tidak terlalu sibuk hari
Bab 99Melati tertegun, entah apa yang ada dalam pikiran Edwin, namun ketika suaminya menyebut nama wanita tersebut, matanya melebar sempurna dengan tubuh seperti kaku. Melati yang mengerti raut wajah suaminya itu berubah pun, segera mengambil alih Giandra dan menyerahkannya kepada pengasuhnya."Siapa dia, Mas?" tanya Melati seakan tidak sabar ingin mengetahui siapa wanita yang di hadapannya itu. Dulu suaminya pernah berkata sakit hati saat ditinggalkan seseorang yang telah pergi, dan pikiriannya langsung mengarah ke sana."Michy, ke marilah, Nak. Ayo makan malam bersama dengan kami," ajak Candra. "Oh ya, kapan kamu kembali dari Korea?" Pria tua itu tidak mungkin melupakan siapa Michy bagi cucunya. Beberapa tahun yang lalu, Michy dan Edwin sempat berhubungan cukup lama. Michy juga adalah cinta pertama cucunya. Namun setelah tiga tahun menjalin hubungan, wanita itu memilih meninggalkan negaranya untuk tinggal di Korea sambil melanjutkan studi designnya di sana. Siapa yang menyang
Bab 98Entah berapa lamanya mereka saling memadu kasih, hingga keduanya terlelap karena kelelahan.Saat Melati terbangun dari tidurnya, dia kaget karena Giandra tidak ada di box bayi miliknya.Wanita yang panik itu pun segera menggulung rambutnya dan mengikatnya ke atas dengan asal, lalu segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan mengganti dengan pakaian yang baru.Buru-buru wanita itu keluar dari kamarnya untuk mencari putra semata wayangnya, dan saat turun ke ruang tamu, tempat itu remang-remang tanpa cahaya dan seluruh lampu nyaris dimatikan semuanya."Ya ampun dia mana Giandra berada?" ujarnya sambil menggigit ujung kukunya karena bingung. Melati pun menatap ke arah kamar Ernawati yang tertutup, kemudian disampingnya ada kamar Anita yang juga tertutup rapat. Dia sengaja didekatkan telinga ke salah satu kamar tersebut, namun hanya sunyi yang didapatnya."Melati, kenapa kamu menempelkan kupingmu di tengah malam seperti ini?" Jovan yang baru keluar dari dapur deng
Bab 97Seketika berita itu menjadi trending di beberapa acara berita di Belanda, dan sampai ke telinga Edwin melalui sebuah pemberitahuan melalui telepon."Kami hanya ingin mengabarkan kepada anda, tentang kejadian kecelakaan yang telah menewaskan saudara Teguh Yogaswara. Keadaan tubuhnya hampir tidak berbentuk karena kecelakaan hebat itu, juga karena ledakan yang membuat jasadnya tidak sempurna. Apakah kami harus menerbangkannya ke Indonesia, atau anda lebih memilih kami memakamkannya di negara ini, mengingat untuk melewati imigrasi sangat sulit dilakukan, dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar!" Suara di seberang sana terus bergema membuat Edwin bingung, hingga suatu keputusan diambil oleh demi kemaslahatan bersama."Kakekku dan kami semua sudah mendengar berita itu sebelumnya dari media massa. Untuk itu, kami semua sudah kesepaka jika jasad Teguh lebih baik dikebumikan saja di Belanda, dan saya meminta pertolongan anda semua untuk mewakilinya, mengingat kami juga tidak bisa per
Bab 96Duduk di tengah-tengah keluarga Candra Wijaya membuat hati Jovan menghangat, di mana dia bisa melihat senyum di wajah Ernawati dan Candra juga kehangatan kasih sayang antara Edwin dan Melati, yang disampingnya ada Kirana yang melirik sesekali ke arahnya dan menunduk seperti malu-malu.Setelahnya mereka menghabiskan waktu bersama dengan mengobrol di ruang tengah. Layar televisi tayang sejak tadi menyala sama sekali tidak membuat mereka tertarik yang ada justru obrolan dan candaan layaknya keluarga besar.Setelah merasa sedikit bosan jumpa naik ke lantai atas di mana kamarnya berada kemudian duduk di balkon sambil menikmati cahaya malam yang indah. Langit bertaburan bintang dan dia duduk di atas kursi rotan sambil memandang ke atas. Kirana masuk setelahnya dan duduk di sampingnya."Sejak kapan, Jo?" Wanita itu tanpa bertanya tanpa mengalihkan pandangan ke samping di mana jawaban langsung melirik bingung ke arahnya."Apanya yang sejak kapan?" Kirana memanyunkan bibirnya."Bod*h!"
Bab 95"Jadi, apakah menurut kakak, Jovan akan menerimaku, dengan keadaanku yang seperti ini?" Kirana mendesah berat. Dia melihat keadaan kakinya yang tak sempurna. Meskipun ragu, dia ingin mempertanyakan langsung kepada kakaknya, karena hanya pria itu yang mengerti keadaannya sekarang.Edwin mengangguk, lalu sebuah senyum terbit di bibirnya. Hatinya menghangat melihat senyuman di wajah Kirana."Karena hanya dia yang kakak lihat tulus mencintai kamu, Kirana. Makanya jangan ragu untuk menerima pria itu. Bukankah lebih baik dicintai, daripada mencintai, karena ujung-ujungnya hanya akan membuatmu sakit hati." Edwin mencoba memberi pengertian.Kirana cukup tertohok mendengar pernyataan dari kakaknya barusan."Kakak nggak pernah mendengar aku dan Bian bertengkar, kan?" tanyanya Karen Edwin seperti mengerti isi hatinya. Dia mencintai Bian dan ingin memilikinya. Naas, pria itu malah sebaliknya."Tentu saja tidak. Hanya saja kakak selalu melihat dia tidak pernah tulus mencintaimu. Bukankah
Bab 94"Melati mana?" Satu kata yang ditanyakan oleh Ernawati ketika sudah sadarkan diri adalah menantunya. Erwin sendiri tidak ada di sana karena harus mengurusi kasus Gunadi di kantor polisi sementara Melati pulang ke rumah atas suruhan Jovan.Wanita itu sudah pulang ke rumah tadi jawaban yang menyuruhnya sepertinya wanita itu tengah bingung atau sedih entahlah apapun tidak tahu Bu memangnya ada apa atau mungkin ada yang kalian tutupi dariku mata Kirana memicing menatap Ernawati yang segera menggeleng wanita itu bukannya menjawab Allah menerawang memandang langit-langit kamar.Bu aku bertanya pada ibu loh kenapa ibu nggak mau menjawabnya apakah perempuan itu membuat masalah lagi di keluarga kita dan apakah ini juga yang menyebabkan Ibu tidak sadarkan diri jika memang demikian biarkan aku yang menghajar wanita itu atau kalau perlu aku akan menyeretnya ke jalanan sesegera mungkin." Kirana berkata dengan perasaan menggebu nyatanya setelah beberapa waktu berlalu bahkan setelah Edwin dan
Bab 93"Jadi, Pak Gunadi mengakui segala tuduhan dan penyebab kecelakaan yang terjadi empat tahun yang lalu di Desa Sukmajaya itu?" tanya polisi itu untuk yang kedua kalinya."Iya, Pak. Saya mengakui semuanya. Dan saya merasa bersalah, serta saya bertanggung jawab atas segala kejadian waktu itu. Dan saya mengatakan hal ini dengan sesadar-sadarnya, tanpa ada yang ditutup-tutupi dan tanpa ada yang saya sembunyikan," ujarnya dengan kepala tertunduk. "Baiklah kalau begitu. Itu artinya menegaskan jika apa yang sudah saudara lakukan, anda sudah mengakui barusan, benar-benar murni dari dalam hati anda sendiri, tidak ada penekanan ataupun ancaman dari yang lainnya." Gunadi mengangguk lagi. Akhirnya dia melihat salahkah kalian sudah mengakui seluruh kejahatan di selama ini. Dan pasrah menjalani hukuman apapun yang akan ditimpakan kepada. Entah itu hukuman cambuk, hukuman tembak, ataupun hukuman mati yang akan dijalankannya. Tak mengapa, asal Gunadi merasa tenang menjalani sisa hidupnya.
Bab 91Kali ini Edwin duduk dengan pandangan menunduk, merasakan sesaknya dada dan air mata yang tak kunjung berhenti dari matanya. Meskipun sebagai seorang lelaki sejati, dia sudah berusaha untuk menghalau butiran bening itu berulang kali, namun fakta dan kenyataan yang baru saja didengarnya itu, membuat jiwanya terguncang. Bahkan segala pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Benci, marah, kecewa, semuanya bercampur jadi satu rasa.Sesuatu hal yang tidak bisa dibayangkan akhirnya terbuka begitu saja, setelah beberapa tahun menunggu. Dan kenyataan itu sekaligus mengguncang batinnya, di mana Edwin merasa perang sabil dengan keadaan fakta, juga tentang masa depan kehidupannya bersama dengan wanita, yang nyatanya mertuanya sendiri adalah seorang pembunuh dari ayahnya.Tak berbeda keadaannya dengan Edwin, Berulang kali Melati memejamkan matanya dengan menghela nafas panjang, hanya demi untuk meluapkan sebak yang ada dalam dadanya. Dia bagai terhimpit gunung, mendengarkan kenyataan yang dar
Bab 91Padahal Edwin baru saja tiba di ruangan Jovan beberapa saat yang lalu. Dan dia langsung menggendong Giandra karena gemas dan merindukan bayi kecil itu, setelah seharian ditinggalkan untuk bekerja di kantornya. Tapi, kehadiran Gunadi langsung membuatnya mengernyit heran, menatap ke arah pria itu yang langsung bersimpuh di kakinya dengan matanya yang memerah."Ada apa denganmu, Ayah?" tanyanya sambil memberikan Giandra kembali pada istrinya.Melati pun ikut bingung melihat kelakuan Gunadi saat ini. Sekilas menatap ke arah Jovan yang tampak santai dan menatap ke arah pria itu, yang bersimpuh di bawah dengan dada naik turun."Sebelum aku masuk penjara demi untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanku, aku ingin memohon ampun dan meminta maaf kepadamu, Edwin, bahkan untukmu juga Melati. Karena itu ayah meminta maaf karena selama ini telah memperlakukanmu dengan tidak adil. Terlebih tindakan ayah di masa lalu kepada Edwin dan keluarganya, yang membuat suamimu itu menderita. Ay