6
Melati baru saja melangkah ke dapur dan berhenti di pintu menuju ke sana, ketika dia mendengar sayup-sayup sebuah obrolan yang sedikit mengusik telinganya."Aku tak menyangka kalau Pak Edwin akan menikah secepat itu, dengan wanita yang ternyata sudah hamil besar," ungkapnya penuh kekecewaan. Dia tengah mencincang wortel sambil meluapkan kekesalannya."Mungkin itu takdir yang harus dihadapinya," jawab Ernawati sambil menghadap ke arah kompor yang menyala. Wanita itu tengah memasak sesuatu untuk hidangan makan malam."Tapi tetap saja aku tidak rela melihat Pak Edwin harus bersama dengan wanita itu. Karena selain tidak punya sopan santun, wanita itu sangat tidak pantas berdampingan dengan Pak Edwin," prosesnya yang membuat Ernawati langsung menatap penuh dan tersenyum sekilas."Sudahlah, lupakan itu, dan biarkan itu jadi urusan Edwin. Tugasmu di sini adalah untuk menjaga papa, agar dia tetap sehat, termasuk juga memperhatikan para pelayan di rumah ini agar mereka bisa bekerja dengan baik.""Kalau untuk urusan yang satu itu, aku pasti melakukannya dengan sangat baik."Gadis itu mengangguk lagi, lalu tersenyum. Dia merasa senang karena Ernawati selalu baik padanya dan tidak pernah membeda-bedakan dirinya meski hanya seorang asisten di rumah itu.Hubungan mereka sudah lama terjalin baik, sejak gadis itu tinggal di rumah Candra Wijaya sejak sepuluh tahun lalu. Saat itu gadis yang bernama Wina itu kehilangan orang tuanya dan dia tidak memiliki sana keluarga, makanya Candra Wijaya membawanya ke rumah itu dan menjadikannya asisten di sana, tanpa membeda-bedakannya dengan anggota keluarganya yang lain."Masakan ini biar kamu urus sendiri ya, ibu mau istirahat dulu." Wina mengangguk. Ernawati segera meletakkan apron dan sedikit terkejut ketika melihat Melati hampir saja berlalu dari tempat itu."Melati?"Wanita hamil itu langsung berbalik dan menunjukkan sikapnya yang angkuh, seperti biasanya."Ya." Dia menjawab dengan singkat."Kamu mendengar semuanya?" Ernawati bertanya ragu. Walau bagaimanapun pembicaraan barusan pasti membuat Melati tak nyaman."Tenang saja, aku sadar dengan posisiku saat ini. Lagi pula gadis itu benar, kan?""Bukan begitu, Mel." Ernawati sendiri merasa bersalah telah menanggapi perkataan gadis itu. Seharusnya dia lebih berhati-hati dalam bicara."Itu memang benar. Mungkin anakmu juga pantas mendapatkan wanita yang lebih baik. Tapi, jangan harap aku akan berterima kasih kepada kalian karena tak membuatku malu di hari pernikahanku. Dan tanda tenang saja, aku pasti akan segera pergi dari tempat ini." Melati menghela nafas kasar. Kata-kata Wina terngiang di telinganya."Dan ya, aku mungkin tak pantas bersanding dengan putramu. Kami memang tidak cocok dan pernikahan konyol ini terlihat semakin buruk," lanjutnya lagi sambil berlalu, tak ingin berlama-lama bicara dengan Ernawati.Ernawati sendiri memijat kepalanya yang terasa berat. Dirinya hampir masuk ke dalam kamar saat Candra menghampirinya."Apa yang wanita itu katakan padamu, Nak?"Ernawati menoleh dan tersenyum."Tidak ada. Hanya obrolan kecil," kilahnya tak ingin memperpanjang masalah."Bilang pada Wina untuk menyiapkan makanan untuknya dan bawa ke kamarnya.""Eh, kenapa?" Ernawati merasa bingung atas permintaan Candra yang tiba-tiba.Sementara lelaki itu hanya tersenyum kecil."Apa kamu sudah lupa ketika kamu hamil dulu kamu suka sekali makan, meskipun itu bisa menaikkan berat badanmu hingga berkali-kali lipat. Dan papa lihat sepertinya wanita itu belum makan sejak dia datang ke rumah ini." Ernawati menepuk keningnya pelan. Dia hampir lupa menawari wanita itu untuk makan saking asiknya bicara dengan ayahnya, dan juga para asisten di tempat itu yang sudah lama dia tinggalkan."Benar juga, ya. Kenapa aku bisa sampai lupa. Baiklah aku akan segera kakak dapur dan menghidangkan beberapa makanan agar Melati bisa menikmatinya."*****Mercy hitam itu melaju keluar halaman dan menuju jalan raya yang tampak tidak terlalu padat di siang hari itu.Edwin duduk sambil membuka tab dan mengerjakan beberapa pekerjaan di sana yang sudah dua hari itu dia tinggalkan.Di sampingnya, Jovan duduk setia sambil memperhatikannya. Lelaki itu tersenyum simpul menatap Edwin yang ketika sudah mengerjakan sesuatu, dia akan lupa segalanya.Jovan berdehem sebelum akhirnya membuka suara."Kudengar kamu menikah kemarin. Selamat ya, sampai kabar sebesar ini pun kamu tidak mengatakannya padaku," ujar lelaki itu yang mampu membuat Edwin mengalihkan pandangan padanya dengan serius."Kau cari mati atau cari gara-gara?!" katanya dengan raut wajah kesal. Setiap mengingat pernikahan yang konyol itu, entah kenapa hatinya selalu mendadak kesal. Jovan terkekeh."Hei, kenapa marah? Bukankah Pak Tua itu selalu menyuruhmu untuk menikah dan tiba-tiba saja doanya dikabulkan Tuhan. Bukankah itu suatu hal yang kebetulan.""Jika kau tidak tahu apa-apa maka diamlah," kata Edwin lagi. Enggan berdebat pada lelaki yang selalu mengejeknya tersebut."Baiklah aku sudah tahu semuanya, hanya saja aku tidak menyangka bahwa lelaki sepertimu bahkan tidak kuat melawan empat orang dewasa yang menyeretmu ke pelaminan. Atau jangan-jangan … kamu memang sengaja agar bisa langsung menikah.""Hei aku tidak sehina itu hingga aku harus cepat-cepat menikah apalagi dengan wanita itu yang tengah ha-" Ucapan Edwin terhenti. Hampir saja dia kelepasan bicara dan mengatakan kepada asisten kepercayaannya itu tentang kondisi Melati saat ini."Hai, kenapa tidak kamu teruskan ucapanmu. Apakah ada yang kamu sembunyikan?" tanya Jovan penasaran, melihat wajah Edwin yang kembali memalingkan wajahnya pada layar datar di depannya."Sudahlah aku malas membicarakan dia, sebaiknya kamu lihat sendiri keadaannya," ujar Edwin lagi."Ah, aku semakin penasaran," kata Jovan lagi sambil memijat dagunya. Dia ingin melihat wanita seperti apa yang dipaksa menikah dengan bosnya tersebut.Bahkan hingga keduanya sampai di kantor tidak ada pembicaraan lagi diantara mereka. Edwin fokus pada pekerjaannya, sementara Jovan pun memeriksa jadwal dan beberapa pekerjaan lainnya sehingga tak terasa waktu hampir menjelang malam. Edwin dan Jovan pun pulang bersama-sama."Seharusnya kau tidak ikut pulang ke rumahku," kata Edwin dengan sebal menetap ke sampingnya, dimana Jovan tersenyum dibalik kemudinya. Lelaki itu sengaja mengendarai kendaraannya tanpa bantuan sopir karena penasaran ingin melihat istri bos sekaligus sahabatnya."Ayolah, sesekali menginap tidak apa-apa. Lagi pula siapa tahu aku bisa mengganggu malam Kedua kalian," ujarnya sambil terbahak, yang mendapat toyoran langsung dari tangan Edwin dengan cukup kencang hingga lelaki itu meringis kesakitan."Hai dasar kau ini. Perbuatanmu itu bisa membuat kita celaka tahu," sembur Jovan lagi, merasa tak terima.Sementara Edwin hanya mendengus kasar. Dia sudah mengira saat pulang ke rumah nanti, yang ada pastilah hanya pertengkaran bersama dengan Melati.Dan mengingat bagaimana watak wanita itu membuatnya selalu tersulut emosi."Hmm … aku datang tepat waktu rupanya," ujar Jovan saat aroma harum masakan tercium dari arah ruang makan. Pria lajang itu langsung berjalan ke arah sana dan menyapa Ernawati dan Candra, lalu pada Wina yang tengah menyajikan makanan. Sementara Edwin langsung berjalan menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian. Keningnya berkerut saat berpapasan dengan pelayan yang tampak membawa baki, masih berisi penuh makanan."Apa ini?" tanyanya tidak mengerti. Setahunya orang-orang tengah berkumpul di ruang makan, tapi wanita itu malah membawa baki dari lantai atas."Eum anu, Pak, Bu Melati tidak mau memakan makanannya, jadi saya ganti makanannya dengan yang baru, tapi sepertinya beliau tidak mau membuka pintu," jawab pelayan sopan."Begitukah?" Pelayan itu mengangguk, setelahnya langsung berlalu pergi.Dia hendak membuka pintu saat makanan yang baru dan masih hangat, ada di meja dekat pintu kamarnya.'Apa dia tinggal di kamarku?' gumamnya pelan, sambil menarik gagang pintu dan membukanya sedikit
8"Wow …!" Mata Jovan membulat melihat pemandangan di depannya saat ini. Bagaimana dia tidak terkejut, ketika melihat seorang wanita berpenampilan seksi keluar dari kamar sahabatnya.Edwin mendengus kesal seraya menatap sahabatnya, kemudian menutupi mata lelaki itu dengan tangannya. Melati sendiri hanya mengangkat bahunya cuek, melanjutkan langkah membawa baki kosong itu menuju ke lantai bawah."Apa dia tidak pernah melihat seorang wanita," gumamnya pelan. Sementara Edwin langsung mendorong Jovan untuk masuk ke kamarnya, meskipun lelaki itu bersikeras ingin menunggu Melati dan berkenalan dengannya."Ed, biarkan aku berkenalan dengannya, sebentar saja, please …!" Jovan terus memohon, tapi Edwin tak membiarkannya begitu saja."Kau bisa melakukan hal itu kapanpun," desis Edwin karena amarahnya kembali naik setelah melihat Melati. Dia segera turun ke bawah tangga untuk menyusul Melati yang rupanya tengah berada di dapur.Edwin menutu
Jovan menggelengkan kepalanya pelan ketika melirik Edwin yang masuk ke dalam kamarnya, sekaligus mengerjapkan matanya berkali-kali saat berpapasan dengan wanita yang ditemuinya semalam."Bukankah kau …."Melati yang melihat perubahan di wajah Jovan pun hanya bisa berdecak sambil menatap kesal kepada pria yang saat ini tengah mengenakan pakaian santai tersebut sambil memperhatikan perutnya yang buncit."Apa yang mau kau ucapkan? Kenapa tidak kau katakan langsung," katanya tanpa basa-basi, kesal pada Jovan yang menatapnya dengan kicep."Oh, anu … maksudku, kau pasti Melati, istri barunya Edwin." Laki-laki itu mengusap tengkuknya berkali-kali karena bingung dengan ucapannya sendiri didepan wanita itu yang tengah ternyata hamil tersebut. Sejujurnya itu diluar ekspektasinya sendiri. Dan dia tak menyangka istri baru sahabatnya ternyata berbadan dua. Celaka Edwin!"Memangnya kenapa kalau aku istri barunya? Apakah itu masalah buatmu?" Melati bertanya sambil mengangkat dagunya tinggi. Tak bo
10Wina membuka pintu kamar pelan, setelah beberapa kali mengetuk, namun tidak ada jawaban dari dalam. Gadis itu memberanikan diri untuk masuk ke sana dan mengantarkan sarapan untuk Melati."Bu Melati, anda tidak apa-apa?" Wina berjengit, langsung meletakkan sarapan di samping tempat tidur, kemudian bergegas menuju Melati yang terduduk di bawah sofa dengan kedua tangan menekan lantai. Wanita itu tampak meringis seperti kesakitan dan itu membuat Wina sedikit terkejut."Siapa yang menyuruhmu masuk?" desis Melati tanpa menghiraukan tangan wanita itu yang ingin membantunya berdiri."Ma-maaf, aku hanya-""Cepat keluar sekarang juga!" usir Melati hingga membuat Wina terlonjak. Baru kali ini gadis itu mendapat bentakan dari seseorang yang baru saja dikenalnya."Tapi, bukankah anda kesakitan, biarkan aku membantu, kali ini saja," ujar Wina karena merasa tak tega. Walau bagaimanapun penyakit ibu hamil berbeda dengan orang biasa. Dia tahu, kare
11Jovan mendengus kesal dengan tangan mengepal sempurna. Mereka baru saja sampai di kantornya beberapa saat lalu. Tadi saat mobil yang dikendarai bersama dengan Edwin hampir memasuki halaman rumah, tapi, lelaki itu urung turun dan menyuruh supir untuk balik ke kantornya, dan tentu saja itu membuat mereka kesal, meski tentu saja hanya bisa memendamnya dalam hati. Padahal jarak dari rumah ke kantor lumayan cukup jauh. Belum lagi harus melewati jalur satu arah yang tentunya memakan waktu lebih lama karena kepadatan arus lalu lintas."Dasar bos sia*an, berani sekali di mempermainkanku." Berkali-kali lelaki itu menghembuskan nafasnya kasar karena tindakan Edwin. Hingga Jovan ingin sekali memukul kepala lelaki dingin itu sekencang-kencangnya, agar dia tidak berbuat semena-mena dan hanya membuang waktu dengan bolak-balik di jalanan tanpa alasan yang jelas. Mereka baru sampai di kantor saat waktu hampir menunjukkan pukul sembilan lebih. Padahal tadi mereka
12"Halo, Bu, bagaimana keadaan wanita itu?" Edwin bertanya tanpa basa-basi, bahkan hampir lupa mengucapkan salam.Sementara Ernawati tersenyum sedikit, dia segera menjauh dan duduk di sofa ruangan tengah."Dia punya nama yang indah, lho, Melati.""Ya, sayangnya tak seindah kelakuannya," sahut Edwin malas. Tiap ingat wanita itu, maka rasa kesal akan langsung hadir di kepalanya."Kesehatannya sedikit terganggu. Menurut dokter dia tidak pernah memeriksakan kandungannya ke bidan ataupun dokter kandungan. Makanya dia sering mengalami kram dan sakit yang hebat dibagian perut bawah. Dan sepertinya Melati menyembunyikan semua itu dari setiap orang, makanya dokter merujuknya untuk segera pergi ke rumah sakit. Hanya saja saat ini dia tengah istirahat, setelah tadi dokter memberikan suntikan kecil." Ernawati memberi penjelasan yang membuat Edwin tak tahan ingin kembali bertanya. Kening lelaki itu makin berkerut."Apakah sep
13"Tenanglah, Mbak, wanita itu pasti akan baik-baik saja." Anita berusaha untuk menenangkan Ernawati yang gemetar. "Ta-tapi, Melati …!" Wanita itu panik melihat keadaan Melati yang menyedihkan. Sudah bukan rahasia lagi, jika Ernawati mudah sekali syok saat ada kejadian tak terduga yang dialaminya.Semua itu terjadi setelah dia menyaksikan sendiri, bagaimana keluarganya mengalami kecelakaan sewaktu hendak berlibur ke desa suaminya, hingga menyebabkan suaminya kehilangan nyawanya dan anak kedua anaknya mengalami kecelakaan hebat. Sejak saat itu, wanita itu seakan-akan trauma jika ada kejadian yang tak terduga.Anita terus menatap kepergian mobil yang perlahan menjauh, kemudian menghilang di belokan. Benar apa yang digosipkan oleh asisten rumah tangganya tadi pagi, bahwa istri keponakannya ternyata memang tengah hamil besar. Bahkan ketika Edwin membopongnya ke dalam mobil, tampak jelas perut wanita itu yang membesar, meskipun Anita ragu jika Edwin lah ayah dari jabang bayi tersebut. M
14"Anda sudah siap mendengarnya?" Lelaki dengan setelan formal duduk di depan Edwin, saat tatapan lelaki itu tampak serius. Edwin mengangguk cepat."Namanya Melati Anastasia, usia dua puluh lima tahun. Wanita itu lulus kuliah dua tahun lalu dan sempat bekerja di salah satu perusahaan di kota ini, hingga akhirnya suatu hari dia diminta resign oleh ayahnya dan kembali ke desanya entah karena alasan apa.Menurut sumber terpercaya, keuangan keluarga Melati memburuk dan ayahnya hampir bangkrut karena suatu hal yang saat ini masih kami selidiki. Entah karena alasan itu atau bukan, kami belum mengetahuinya, hanya saja menurut keterangan beberapa warga, suatu malam Melati dibawa paksa ke dalam mobil oleh orang-orang suruhan ayahnya dan dibawa pergi ke suatu tempat. Saat kembali dua hari kemudian, wanita itu dibawa ke rumah sakit dengan luka-luka di sekujur tubuhnya."Edwin dan Jovan saling berpandangan sambil menghela nafas berat."Anda ingin mendengar cerita selanjutnya?" Lelaki berkumis ti