5
Melati menatap ke arah Ernawati dengan muka masam saat wanita itu menatapnya dengan wajah sulit diartikan. Sebagai orang yang tinggal satu desa dengannya, tentunya Ernawati sedikit banyaknya mengenal siapa Melati dan keluarganya meskipun rumah mereka tidak terlalu dekat.Hanya saja ketika Ernawati ingin mengatakan sesuatu hal kepada Edwin, lelaki itu langsung mengalihkan pembicaraan."Nggak ada yang penting dengan wanita itu. Jangan dibahas lagi," tukasnya sambil membuka pintu mobil, dan menyuruh sopir yang sejak tadi mengemudi, pindah ke belakang untuk duduk bersama dengan Melati. Sementara dirinya duduk di depan stir, sejajar dengan sang ibu yang duduk di depan.Bahkan sepanjang perjalanan, Melati tak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya menatap ke luar jendela.Sementara di sampingnya, sopir pun seperti salah tingkah, karena beberapa kali mendapat pelototan dari Melati. Seolah wanita itu tidak sudi duduk berdampingan dengan lelaki dari kalangan bawah.Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah halaman rumah mewah yang beberapa saat lalu gerbangnya terbuka secara otomatis, dan menampilkan bangunan yang sangat megah di depannya.Bangunan dua lantai bergaya Eropa dengan warna putih dominan siap menyambut kedatangan mereka.Melati turun dari mobilnya ketika sang sopir membukakan pintu untuknya, dan dia sedikit terkejut melihat rumah yang bahkan besarnya dua kali lipat dari rumah yang ditinggalinya di desa. Meskipun rumahnya masih tergolong salah satu rumah yang paling megah, namun jika dibandingkan dengan rumah ini, seolah kekayaan ayahnya tidak berarti apa-apa."Ayo, masuk Melati, kamu pasti lelah karena perjalanan jauh," ajak Ernawati yang langsung mendapat teguran dari anaknya sendiri. Melati yang masih berdiri hanya melihat sekilas, dan enggan menjawab ucapan wanita itu."Kenapa repot-repot memperhatikan dia, seharusnya ibu memperhatikan kesehatan ibu sendiri. Bukankah ibu juga pasti sangat lelah, mengingat sudah lama ibu tidak berkendara jauh."Ernawati tersenyum, sambil mengusap lengan anaknya."Iya, tapi Melati kan sedang-""Sudahlah, ayo kita ke dalam," potong Edwin sambil menggandeng tangan ibunya, membiarkan Melati yang berdiri dengan muka kecut.Bahkan lelaki yang bergelar suaminya itu, tidak mau mengajaknya masuk ke dalam walau sekedar basa-basi."Silakan masuk ke dalam, Non," kata sopir yang siap menurunkan koper miliknya, namun Melati mendelik dan menatapnya tajam."Diam!" bentak Melati yang mampu membuat nyali lelaki itu ciut seketika.Melati berjalan cepat demi menyusul Edwin dan ibunya. Dia tak mau sampai ketinggalan di belakang dan mengingat rumah besar itu, pasti dia akan nyasar.Hingga di pintu utama, dia menyaksikan pemandangan dimana Edwin tengah memberi salam kepada lelaki tua yang duduk di kursi roda bersama dengan seorang gadis yang berdiri di belakangnya, lalu menyapanya dengan ramah. Entah kenapa pemandangan itu membuat Melati tidak suka dan semakin menampakkan kekesalan di wajahnya."Jadi, wanita itu yang namanya Melati?" Lelaki berkaos biru dengan rambut sudah memutih itu menatap ke arah Melati dan mengernyitkan keningnya, ketika melihat parut Melati yang membesar. Meski dia sudah mendengar bagaimana cucunya Erwin dipaksa menikah dengan wanita itu, namun tidak mengetahui jika wanita itu ternyata tengah berbadan dua.Melati yang sadar dirinya tengah jadi sorotan, langsung membuang nafas kesal dan mendekat."Kenapa memangnya jika aku Melati? Apa kamu mau mengusirku saat ini juga?" Melati bersedekap, membuat orang-orang di sana langsung terkejut karena ulahnya yang tidak sopan.Melati baru pertama kali bertemu dengan pemilik rumah itu, yaitu Candra Wijaya, namun sikapnya tidak mencerminkan sopan santun dan adab, dan itu membuat Edwin geram."Jaga sopan santunmu, Melati, atau kalau tidak, apa yang barusan kau katakan akan segera menjadi kenyataan. Ketahuilah setelah kau jauh dari keluargamu maka kamu tidak bisa berbuat seenaknya seperti itu. Setidaknya berlakulah seperti wanita baik-baik dan terhormat yang mempunyai adab!" tegas Edwin dingin membuat wajah Melati merah padam dan matanya mendelik pada Edwin.Ernawati sendiri, langsung memegang tangan anaknya agar lebih bersabar."Antarkan dia ke kamarnya," ujar Candra segera menyela, yang dibalas anggukkan oleh asistennya.Sebenarnya lelaki itu tidak masalah Edwin menikah dengan siapapun, asal dengan wanita baik-baik. Lagi pula cucunya sudah pantas untuk memperoleh seorang istri dan keturunan, bahkan beberapa kali dia memaksa agar cucunya itu segera mencari wanita untuk mendampingi hidupnya. Namun siapa sangka selain karena pernikahannya yang terpaksa, wanita yang hadir di rumahnya itu ternyata tidak mempunyai attitude yang lebih baik."Dasar satu keluarga tidak benar semua. Cepat tunjukkan dimana letak kamarku?" kata Melati lagi sambil berkacak pinggang. Dia memindai tempat itu tanpa memperdulikan Ernawati dan suaminya yang hanya menggelengkan kepalanya. Lalu gadis yang bicara bersama Edwin beberapa saat lalu, tersenyum dan mendekat kepadanya."Ke kamar mana saya harus membawanya, Pak Edwin?" tanyanya dengan raut wajah kebingungan.Jika dia langsung membawa ke kamar Edwin, tentunya dia takut kalau lelaki itu akan marah, mengingat Edwin adalah pecinta kebersihan dan kamarnya tidak bisa sembarangan dimasuki oleh orang lain."Terserah, kemanapun dia mau," balas Edwin sambil mengangkat panggilan di ponselnya yang beberapa saat lalu bergetar.Menampilkan asistennya-Jovan, di sana."Aku akan menunjukkan kamar Anda nyonya," katanya dengan bahasa yang lembut dan sopan. Sementara Edwin langsung pamit kepada ibunya untuk pergi karena ada urusan pekerjaan.Melati berjalan masuk ke sebuah ruangan saat asisten di rumah itu membukakan sebuah pintu kamar yang di dalamnya cukup megah. Dia memindai tiap sudut ruangan yang tampak memukau dengan nuansa putih biru yang elegan, dia menduga jika itu adalah kamar Edwin."Ini kamarku?" asisten rumah tangga itu mengangguk."Benar, nyonya.""Baguslah, pastikan kamarnya bersih dan rapi," sahut Melati lagi sambil mendudukkan dirinya di sofa. "Oh ya, jangan panggil aku seperti 'nyonya', panggil panggil saja aku Melati. Rasanya aku sudah tua ketika kamu memanggil demikian." Gadis dengan rambut diikat rapi itu tersenyum canggung."Oh, iya, tentu saja … Melati." Ia memundurkan langkahnya dan segera berbalik lalu menutup pintu kembali. Membiarkan Melati untuk segera beristirahat."Aku banyak urusan hari ini, jadi aku pergi dulu, Bu. Jangan lupa istirahat. Aku mungkin akan pulang malam," tutur Edwin sambil mencium tangan ibunya, juga pamit pada kakeknya."Baiklah, Nak. Hati-hati." Edwin mengangguk lagi sebelum akhirnya pergi."Anakmu selalu saja sibuk. Itulah mengapa aku membutuhkanmu di rumah ini," ujar Candra sambil menatap kepergian cucunya. Sementara Ernawati hanya tersenyum."Tapi aku lebih senang di desa. Suasananya sepi dan lebih menyenangkan.""Ini juga rumahmu, dan ayahmu yang tua ini membutuhkanmu.""Baiklah, Pak Tua," ujarnya bercanda. Erna mengusap bahu ayahnya, lalu membantu membawanya ke dalam kamar.Sementara Melati berdiri di ujung tangga, memperhatikan interaksi keduanya yang tak pernah didapatkannya di rumahnya. Bahkan Melati bisa melihat perbedaan jelas dimata ibunya, yang berbanding terbalik dengan sikap pada dirinya yang seolah-olah menetapnya jijik.6Melati baru saja melangkah ke dapur dan berhenti di pintu menuju ke sana, ketika dia mendengar sayup-sayup sebuah obrolan yang sedikit mengusik telinganya."Aku tak menyangka kalau Pak Edwin akan menikah secepat itu, dengan wanita yang ternyata sudah hamil besar," ungkapnya penuh kekecewaan. Dia tengah mencincang wortel sambil meluapkan kekesalannya."Mungkin itu takdir yang harus dihadapinya," jawab Ernawati sambil menghadap ke arah kompor yang menyala. Wanita itu tengah memasak sesuatu untuk hidangan makan malam."Tapi tetap saja aku tidak rela melihat Pak Edwin harus bersama dengan wanita itu. Karena selain tidak punya sopan santun, wanita itu sangat tidak pantas berdampingan dengan Pak Edwin," prosesnya yang membuat Ernawati langsung menatap penuh dan tersenyum sekilas."Sudahlah, lupakan itu, dan biarkan itu jadi urusan Edwin. Tugasmu di sini adalah untuk menjaga papa, agar dia tetap sehat, termasuk juga memperhatikan para pelayan di rumah ini agar mereka bisa bekerja dengan ba
"Hmm … aku datang tepat waktu rupanya," ujar Jovan saat aroma harum masakan tercium dari arah ruang makan. Pria lajang itu langsung berjalan ke arah sana dan menyapa Ernawati dan Candra, lalu pada Wina yang tengah menyajikan makanan. Sementara Edwin langsung berjalan menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian. Keningnya berkerut saat berpapasan dengan pelayan yang tampak membawa baki, masih berisi penuh makanan."Apa ini?" tanyanya tidak mengerti. Setahunya orang-orang tengah berkumpul di ruang makan, tapi wanita itu malah membawa baki dari lantai atas."Eum anu, Pak, Bu Melati tidak mau memakan makanannya, jadi saya ganti makanannya dengan yang baru, tapi sepertinya beliau tidak mau membuka pintu," jawab pelayan sopan."Begitukah?" Pelayan itu mengangguk, setelahnya langsung berlalu pergi.Dia hendak membuka pintu saat makanan yang baru dan masih hangat, ada di meja dekat pintu kamarnya.'Apa dia tinggal di kamarku?' gumamnya pelan, sambil menarik gagang pintu dan membukanya sedikit
8"Wow …!" Mata Jovan membulat melihat pemandangan di depannya saat ini. Bagaimana dia tidak terkejut, ketika melihat seorang wanita berpenampilan seksi keluar dari kamar sahabatnya.Edwin mendengus kesal seraya menatap sahabatnya, kemudian menutupi mata lelaki itu dengan tangannya. Melati sendiri hanya mengangkat bahunya cuek, melanjutkan langkah membawa baki kosong itu menuju ke lantai bawah."Apa dia tidak pernah melihat seorang wanita," gumamnya pelan. Sementara Edwin langsung mendorong Jovan untuk masuk ke kamarnya, meskipun lelaki itu bersikeras ingin menunggu Melati dan berkenalan dengannya."Ed, biarkan aku berkenalan dengannya, sebentar saja, please …!" Jovan terus memohon, tapi Edwin tak membiarkannya begitu saja."Kau bisa melakukan hal itu kapanpun," desis Edwin karena amarahnya kembali naik setelah melihat Melati. Dia segera turun ke bawah tangga untuk menyusul Melati yang rupanya tengah berada di dapur.Edwin menutu
Jovan menggelengkan kepalanya pelan ketika melirik Edwin yang masuk ke dalam kamarnya, sekaligus mengerjapkan matanya berkali-kali saat berpapasan dengan wanita yang ditemuinya semalam."Bukankah kau …."Melati yang melihat perubahan di wajah Jovan pun hanya bisa berdecak sambil menatap kesal kepada pria yang saat ini tengah mengenakan pakaian santai tersebut sambil memperhatikan perutnya yang buncit."Apa yang mau kau ucapkan? Kenapa tidak kau katakan langsung," katanya tanpa basa-basi, kesal pada Jovan yang menatapnya dengan kicep."Oh, anu … maksudku, kau pasti Melati, istri barunya Edwin." Laki-laki itu mengusap tengkuknya berkali-kali karena bingung dengan ucapannya sendiri didepan wanita itu yang tengah ternyata hamil tersebut. Sejujurnya itu diluar ekspektasinya sendiri. Dan dia tak menyangka istri baru sahabatnya ternyata berbadan dua. Celaka Edwin!"Memangnya kenapa kalau aku istri barunya? Apakah itu masalah buatmu?" Melati bertanya sambil mengangkat dagunya tinggi. Tak bo
10Wina membuka pintu kamar pelan, setelah beberapa kali mengetuk, namun tidak ada jawaban dari dalam. Gadis itu memberanikan diri untuk masuk ke sana dan mengantarkan sarapan untuk Melati."Bu Melati, anda tidak apa-apa?" Wina berjengit, langsung meletakkan sarapan di samping tempat tidur, kemudian bergegas menuju Melati yang terduduk di bawah sofa dengan kedua tangan menekan lantai. Wanita itu tampak meringis seperti kesakitan dan itu membuat Wina sedikit terkejut."Siapa yang menyuruhmu masuk?" desis Melati tanpa menghiraukan tangan wanita itu yang ingin membantunya berdiri."Ma-maaf, aku hanya-""Cepat keluar sekarang juga!" usir Melati hingga membuat Wina terlonjak. Baru kali ini gadis itu mendapat bentakan dari seseorang yang baru saja dikenalnya."Tapi, bukankah anda kesakitan, biarkan aku membantu, kali ini saja," ujar Wina karena merasa tak tega. Walau bagaimanapun penyakit ibu hamil berbeda dengan orang biasa. Dia tahu, kare
11Jovan mendengus kesal dengan tangan mengepal sempurna. Mereka baru saja sampai di kantornya beberapa saat lalu. Tadi saat mobil yang dikendarai bersama dengan Edwin hampir memasuki halaman rumah, tapi, lelaki itu urung turun dan menyuruh supir untuk balik ke kantornya, dan tentu saja itu membuat mereka kesal, meski tentu saja hanya bisa memendamnya dalam hati. Padahal jarak dari rumah ke kantor lumayan cukup jauh. Belum lagi harus melewati jalur satu arah yang tentunya memakan waktu lebih lama karena kepadatan arus lalu lintas."Dasar bos sia*an, berani sekali di mempermainkanku." Berkali-kali lelaki itu menghembuskan nafasnya kasar karena tindakan Edwin. Hingga Jovan ingin sekali memukul kepala lelaki dingin itu sekencang-kencangnya, agar dia tidak berbuat semena-mena dan hanya membuang waktu dengan bolak-balik di jalanan tanpa alasan yang jelas. Mereka baru sampai di kantor saat waktu hampir menunjukkan pukul sembilan lebih. Padahal tadi mereka
12"Halo, Bu, bagaimana keadaan wanita itu?" Edwin bertanya tanpa basa-basi, bahkan hampir lupa mengucapkan salam.Sementara Ernawati tersenyum sedikit, dia segera menjauh dan duduk di sofa ruangan tengah."Dia punya nama yang indah, lho, Melati.""Ya, sayangnya tak seindah kelakuannya," sahut Edwin malas. Tiap ingat wanita itu, maka rasa kesal akan langsung hadir di kepalanya."Kesehatannya sedikit terganggu. Menurut dokter dia tidak pernah memeriksakan kandungannya ke bidan ataupun dokter kandungan. Makanya dia sering mengalami kram dan sakit yang hebat dibagian perut bawah. Dan sepertinya Melati menyembunyikan semua itu dari setiap orang, makanya dokter merujuknya untuk segera pergi ke rumah sakit. Hanya saja saat ini dia tengah istirahat, setelah tadi dokter memberikan suntikan kecil." Ernawati memberi penjelasan yang membuat Edwin tak tahan ingin kembali bertanya. Kening lelaki itu makin berkerut."Apakah sep
13"Tenanglah, Mbak, wanita itu pasti akan baik-baik saja." Anita berusaha untuk menenangkan Ernawati yang gemetar. "Ta-tapi, Melati …!" Wanita itu panik melihat keadaan Melati yang menyedihkan. Sudah bukan rahasia lagi, jika Ernawati mudah sekali syok saat ada kejadian tak terduga yang dialaminya.Semua itu terjadi setelah dia menyaksikan sendiri, bagaimana keluarganya mengalami kecelakaan sewaktu hendak berlibur ke desa suaminya, hingga menyebabkan suaminya kehilangan nyawanya dan anak kedua anaknya mengalami kecelakaan hebat. Sejak saat itu, wanita itu seakan-akan trauma jika ada kejadian yang tak terduga.Anita terus menatap kepergian mobil yang perlahan menjauh, kemudian menghilang di belokan. Benar apa yang digosipkan oleh asisten rumah tangganya tadi pagi, bahwa istri keponakannya ternyata memang tengah hamil besar. Bahkan ketika Edwin membopongnya ke dalam mobil, tampak jelas perut wanita itu yang membesar, meskipun Anita ragu jika Edwin lah ayah dari jabang bayi tersebut. M