Bab 2
Edwin menghela nafas panjang karena memang tadi siang dia tak berdaya. Pantas saja tenaganya kalah jauh jika dibandingkan dengan empat orang itu, hingga untuk mengelak pun tak bisa.Suasana di dalam kamar terasa canggung dan sedikit awkward bagi Edwin, tapi Melati terlihat begitu santai.Melati sendiri asyik memainkan ponsel miliknya. Lalu Edwin pun melakukan hal yang sama. Mengambil benda miliknya dan memberi kabar pada keluarganya di kota tentang keadaanya.Dua anak manusia berbeda jenis kelamin yang baru saja resmi menjadi sepasang suami-istri itu tidak memiliki niatan sedikitpun untuk memulai pembicaraan.Edwin pun tidak terlalu menganggap pusing hal itu.Dia lebih nyaman meski hanya ada keheningan seperti ini, karena dirinya adalah tipe orang yang tidak terlalu suka keramaian.Sementara itu, Melati yang merasa sedikit kegerahan pun bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar di kepala ranjang setelah sekilas memperhatikan Edwin yang seperti orang sibuk.Melati menyingkap baju tidurnya, baju tidur berbentuk piyama berwarna merah marun kesukaannya.Wanita itu juga mencepol asal rambutnya hingga leher jenjangnya yang bersih terekspos sempurna. Di sampingnya, Edwin yang melihat kelakuan Melati hanya menghembuskan nafasnya, merasa terjebak di tempat yang tak seharusnya.Pernikahan, ijab kabul, lalu berada dalam satu ruangan bersama wanita asing yang kurang punya sopan santun, itu terlalu aneh baginya.Dan dia malas berurusan dengan wanita itu.Melati mengambil kipas kecil lalu mengarahkannya ke mukanya. Saat itu Edwin menyadari sesuatu. Sesuatu yang terlihat sedikit aneh baginya dan sesuatu itu berasal dari Melati.Ditatapnya wanita itu dengan raut wajah heran dan seksama, terutama pada perutnya yang terlihat membesar.Melati menoleh padanya, dan mendelik."Kenapa heran begitu?" tanyanya ketus, saat Edwin menatapnya tidak percaya. Dia benar-benar kaget melihat apa yang terjadi.Edwin mundur sampai ujung ranjang."Ka-kamu hamil?" ujar Edwin tanpa bisa melanjutkan kata-katanya lagi. Laki-laki yang baru saja berstatus sebagai suaminya itu begitu syok melihat kebenarannya."Kenapa memangnya, kamu baru pertama kali melihat wanita hamil, hm?""Jadi benar kamu sedang hamil? Oh ya Tuhan, kenapa aku terjebak dalam pernikahan yang tidak sah ini." Edwin mengusap wajahnya kasar, saat Melati menatap sinis dan tajam ke arahnya."Sudahlah, lupakan hal itu. Kami sudah tahu sekarang, jadi aku tak perlu lagi menjelaskannya padamu. Tapi, tetap saja aku harus berterima kasih, bukan?""Kau benar-benar sudah gila. Bagaimana bisa kamu sesantai ini, hm. Apa kamu tak merasa kalau kalian telah menjebakku? Jawab!?" Melati melihat raut wajah terkejut begitu menatap mata suaminya yang tajam. Namun, dia tidak peduli pada Edwin sama sekali."Sudahlah, nggak usah lebay begitu. Kamu bisa pergi jika kamu mau. Lagipula acara pernikahannya sudah selesai dan aku tak memerlukanmu lagi di sini.""Ap-apa?!" Ucapan Melati berhasil dalam membuat suami barunya itu syok berat dan membulatkan matanya yang memerah. Bahkan rahang lelaki itu sampai mengeras."Kenapa kamu lihat aku seperti itu? Kaget dengan apa yang aku katakan? Atau mungkin kamu terlalu terkejut? Harusnya kamu tahu kalau aku sedang hamil besar dan kamu tidak perlu heran karena ini adalah hal yang sudah biasa. Jadi tidak perlu kaget seperti itu," ujar Melati panjang lebar. Wanita muda pemilik rambut panjang kemerahan itu terbahak melihat ekspresi yang suaminya berikan."Kau benar-benar wanita yang tidak tahu malu." Melati menatap santai seolah tidak merasa bersalah sama sekali, bahkan tanpa ragu memperlihatkan bentuk tubuhnya, dan berputar di depan Edwin yang rampak mengepalkan tangan dengan wajah mengeras."Cukup! Dasar kau wanita murahan!" Edwin mengemas kembali pakaiannya dan memasukkannya ke dalam tas miliknya, tak lupa meraih ponsel yang tergeletak di ujung ranjang. Sementara Melati hanya diam memperhatikan tingkah laku lelaki itu yang sudah bisa dia tebak kalau Edwin akan segera pergi. Tapi, dia tidak gentar, karena yakin ayahnya tak akan diam saja.Sungguh dia tidak merasa menyesal sekali mengatakan semua itu, lagipula mereka tak saling mengenal. Hanya saja, Melati patut berterima kasih pada ayahnya karena tak membuatnya malu di hari pernikahannya, dan jelas orang-orang tahu kalau dia sudah menikah, andai ada yang membicarakan seputar kehamilannya.Edwin melangkah menuju ke arah pintu, dan berbalik sekilas menatap Melati yang bersedekap menatapnya dengan dagu terangkat."Pergilah, tunggu apalagi," ujarnya pongah tanpa merasa bersalah.Edwin menghembuskan nafasnya kasar. Dia benar-benar tak habis pikir dengan wanita angkuh plus tak tahu diri. Ditambah ayahnya juga yang sama perangainya. Benar-benar satu turunan. Sama-sama angkuh dan tak tahu malu.Edwin membuka pintu kamar dengan cepat, namun langkahnya terhenti karena terkejut, saat dua orang lelaki yang juga menyeretnya ke pelaminan tadi, tengah berdiri di sana dengan tangan memegang senjata tajam."Apa kalian sengaja menghadangku agar tidak pergi. Ck, benar-benar picik." Edwin berdecak sebal saat kedua orang itu mendekat."Kalian pikir aku takut. Majulah, sekarang tenagaku sudah pulih dan melawan cecunguk seperti kalian sangat kecil bagiku." Edwin menyingsingkan lengan baju dan bersiap menghajar, tapi urung saat keduanya malah menatapnya penuh tawa."Kamu mungkin tangguh, tapi bagaimana jika ibumu yang lemah itu yang merasakan pukulan senjata kami." Dikeluarkannya ponsel dari saku lelaki itu dan mengarahkannya pada Edwin yang wajahnya langsung berubah pias."Kalian?!" Edwin menatap nyalang dimana dua orang lainnya tengah mengawasi ibunya, persis di depan rumah wanita itu."Masuklah kembali, dan nikmati saja malam panjangmu!" Mereka berdua tertawa seolah mengejeknya.Blug!!'Sialan!!'Edwin yang makin kesal menutup pintunya kencang, bahkan melati yang menonton di belakangnya, menarik sudut bibirnya ke samping.'Kena, kau!' gumam Melati puas.Edwin meremas rambutnya kasar, merasa menjadi laki-laki paling bodoh saat ini karena tak berdaya dan merasa dipermainkan oleh keluarga wanita itu, wanita yang berdiri angkuh, yang bahkan tidak merasa bersalah sedikitpun.Dalam hati, Edwin menarik semua ucapannya. Ucapan yang sudah dirinya katakan tadi. Tentang dirinya yang akan mulai mencoba menerima Melati dan juga menerima pernikahan ini. Namun, pada kenyataannya pernikahan ini hanya dilakukan oleh keluarga Melati untuk menutupi aib keluarga mereka sendiri tanpa peduli padanya walau dengan jalan dan cara apapun.Keluarga Melati benar-benar licik dan tidak berperasaan. Edwin menyugar rambutnya ke arah belakang dengan kasar. Dia benar-benar frustasi dan kesal.Laki-laki muda yang rambutnya sudah acak-acakan itu pun berjalan gontai ke arah sofa yang ada di kamar itu.Dan memutuskan membaringkan dirinya di sofa dan memejamkan matanya. Saat ini bukan hanya raganya yang lelah, tapi pikirannya juga.Suara langkah Melati terdengar mendekat di telinganya, Edwin sigap membuka matanya kembali dan menatapnya tajam."Mau apa lagi, kau?! Jangan kau pikir kalau aku harus melakukan hal itu juga padamu. Kau mengerti maksudku?!" Edwin menatap tajam pada perut wanita itu, yang dia perkirakan sudah hamil lebih dari lima bulan.Ck. Melati berdecak, lalu melempar bantal ke arahnya."Jika tak mau tidur satu ranjang denganku, setidaknya kamu memakai bantal untuk alas tidurmu. Lagipula siapa yang mau berhubungan denganmu. Jangan mimpi!"Edwin kembali berbaring tanpa memperdulikan wanita itu yang saat berdiri semakin kelihatan bentuk tubuhnya yang seperti huruf 'D' besar itu. Bodohnya, Edwin tak menyadari hal itu saat mereka dipertemukan di depan penghulu."Dengar Melati, atau siapapun kamu. Aku merasa belum siap untuk itu dan aku pun bingung harus mengambil keputusan seperti apa. Tapi, akan kupastikan kedepannya kau dan keluarga sialanmu itu tak akan bisa memperalatku lagi."Suara Edwin terdengar serius, tapi Melati masih bertahan dengan wajah angkuhnya. Sementara Edwin merasa seperti memakan buah simalakama. Semua keputusan akan membuatnya merasa dirugikan.Di satu sisi, dirinya tidak bisa menceraikan Melati begitu saja karena wanita itu sedang hamil meski dia tak tahu entah anak siapa. Dan lagi, keduanya baru saja menikah, bahkan belum satu hari. Di sisi lain, dirinya juga tidak bisa bertahan dalam hubungan seperti ini. Ini sudah pasti merugikan dirinya. Apalagi saat melihat sikap Melati padanya. Wanita itu begitu angkuh, acuh, dan tak tahu malu. Bahkan seperti tidak merasa bersalah sama sekali.'Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?' bisiknya Edwin dalam hati. Dia benar-benar kalut, kesal, marah dan juga benci bercampur satu. Tapi disaat seperti ini dia tak berdaya.Tadi siang dia mencoba menerima dan pasrah. Mencoba menerima pernikahan terpaksa yang dilakukan. Namun, ternyata dibalik itu semua ada hal yang keluarga wanita itu tutup-tutupi. Benar-benar keterlaluan dan tidak memiliki perasaan.Entah berapa jam lamanya Edwin terjaga tanpa bisa memejamkan matanya. Padahal jiwa dan raganya terasa sangat lelah. Dia menghembuskan nafas panjang sambil melafalkan doa-doa. Edwin menoleh, menatap ke arah ranjang dimana Melati sudah terlelap dengan tenangnya. Tanpa merasa bersalah padanya karena secara langsung telah menjebaknya.Edwin berbalik, lalu mencoba memejamkan matanya. Dia butuh istirahat sekarang, karena besok dia akan memikirkan masalah itu dan mencari solusinya. Yang terpenting sekarang adalah tidur. Mengistirahatkan pikiran dan raganya yang lelah. Hingga beberapa saat kemudian, Edwin benar-benar terlelap dan mengarungi pulau mimpi.Pagi-pagi sekali Edwin sudah bangun dari tidurnya, tepatnya saat mendengar suara adzan subuh berkumandang dari mesjid terdekat. Dia segera membersihkan dirinya di kamar mandi yang terdapat di dalam kamar itu, lalu keluar setelahnya dan mencari sajadah, yang tidak dia temukan meskipun sudah melihat ke berbagai arah. Bahkan melirik ke tempat tidur yang ada Melati di sana, dan masih terlelap. Edwin ingin segera pergi dari tempat itu, yang terasa sangat memuakkan baginya. Tempat yang membuatnya seakan menjadi seorang tawanan karena tak bisa melakukan apa-apa, demi keselamatan sang ibu yang menjadi taruhannya.Edwin membuka pintu kamar untuk memastikan. Entah kenapa dia yakin kalau penjaga di rumah itu sudah pergi. Bukankah tak mungkin mereka akan berdiam diri di sana semalam. Konyol. Meskipun ternyata dugaannya salah. Kedua lelaki yang semalam mengancamnya itu masih tampak segar berdiri sambil memainkan ponsel, saat Edwin menatapnya dengan tatapan geram."Hari masih terlalu pagi untukm
4Erwin kembali duduk di sofa sambil memikirkan banyak hal. Dia yakin mertua lelakinya itu tak sepenuhnya menerima dirinya, buktinya sampai berani mengancam segala.Edwin berpikir, mungkin saja lelaki itu sengaja menahannya karena ada sesuatu hal yang dia takutkan, hanya saja saat ini Edwin tidak tahu hal apa itu. Dan dia pastikan akan mencari tahu jawabannya nanti. Jika pun dirinya memaksa pergi dan melawan mereka, tentu saja itu akan beresiko besar. Lalu dia bisa apa jika sang ibu menjadi taruhannya. Edwin juga terlanjur berada di rumah itu meskipun ternyata dia menemukan banyak kejutan dan hal-hal yang janggal dari keluarga itu."Bersiaplah karena kita akan segera pergi dari sini." Edwin bersuara pada akhirnya. Merasa tidak punya pilihan lain. Dia berdiri sambil membuka pintu kaca yang mengarah pada balkon, membiarkan Melati yang langsung menoleh, dan menatapnya dengan ekspresi kebingungan."Kau berubah pikiran," tebak Melati. Edwin mengacuhkannya begitu saja, membiarkan wanita i
5Melati menatap ke arah Ernawati dengan muka masam saat wanita itu menatapnya dengan wajah sulit diartikan. Sebagai orang yang tinggal satu desa dengannya, tentunya Ernawati sedikit banyaknya mengenal siapa Melati dan keluarganya meskipun rumah mereka tidak terlalu dekat.Hanya saja ketika Ernawati ingin mengatakan sesuatu hal kepada Edwin, lelaki itu langsung mengalihkan pembicaraan."Nggak ada yang penting dengan wanita itu. Jangan dibahas lagi," tukasnya sambil membuka pintu mobil, dan menyuruh sopir yang sejak tadi mengemudi, pindah ke belakang untuk duduk bersama dengan Melati. Sementara dirinya duduk di depan stir, sejajar dengan sang ibu yang duduk di depan.Bahkan sepanjang perjalanan, Melati tak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya menatap ke luar jendela. Sementara di sampingnya, sopir pun seperti salah tingkah, karena beberapa kali mendapat pelototan dari Melati. Seolah wanita itu tidak sudi duduk berdampingan dengan lelaki dari kalangan bawah.Hingga akhirnya mereka
6Melati baru saja melangkah ke dapur dan berhenti di pintu menuju ke sana, ketika dia mendengar sayup-sayup sebuah obrolan yang sedikit mengusik telinganya."Aku tak menyangka kalau Pak Edwin akan menikah secepat itu, dengan wanita yang ternyata sudah hamil besar," ungkapnya penuh kekecewaan. Dia tengah mencincang wortel sambil meluapkan kekesalannya."Mungkin itu takdir yang harus dihadapinya," jawab Ernawati sambil menghadap ke arah kompor yang menyala. Wanita itu tengah memasak sesuatu untuk hidangan makan malam."Tapi tetap saja aku tidak rela melihat Pak Edwin harus bersama dengan wanita itu. Karena selain tidak punya sopan santun, wanita itu sangat tidak pantas berdampingan dengan Pak Edwin," prosesnya yang membuat Ernawati langsung menatap penuh dan tersenyum sekilas."Sudahlah, lupakan itu, dan biarkan itu jadi urusan Edwin. Tugasmu di sini adalah untuk menjaga papa, agar dia tetap sehat, termasuk juga memperhatikan para pelayan di rumah ini agar mereka bisa bekerja dengan ba
"Hmm … aku datang tepat waktu rupanya," ujar Jovan saat aroma harum masakan tercium dari arah ruang makan. Pria lajang itu langsung berjalan ke arah sana dan menyapa Ernawati dan Candra, lalu pada Wina yang tengah menyajikan makanan. Sementara Edwin langsung berjalan menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian. Keningnya berkerut saat berpapasan dengan pelayan yang tampak membawa baki, masih berisi penuh makanan."Apa ini?" tanyanya tidak mengerti. Setahunya orang-orang tengah berkumpul di ruang makan, tapi wanita itu malah membawa baki dari lantai atas."Eum anu, Pak, Bu Melati tidak mau memakan makanannya, jadi saya ganti makanannya dengan yang baru, tapi sepertinya beliau tidak mau membuka pintu," jawab pelayan sopan."Begitukah?" Pelayan itu mengangguk, setelahnya langsung berlalu pergi.Dia hendak membuka pintu saat makanan yang baru dan masih hangat, ada di meja dekat pintu kamarnya.'Apa dia tinggal di kamarku?' gumamnya pelan, sambil menarik gagang pintu dan membukanya sedikit
8"Wow …!" Mata Jovan membulat melihat pemandangan di depannya saat ini. Bagaimana dia tidak terkejut, ketika melihat seorang wanita berpenampilan seksi keluar dari kamar sahabatnya.Edwin mendengus kesal seraya menatap sahabatnya, kemudian menutupi mata lelaki itu dengan tangannya. Melati sendiri hanya mengangkat bahunya cuek, melanjutkan langkah membawa baki kosong itu menuju ke lantai bawah."Apa dia tidak pernah melihat seorang wanita," gumamnya pelan. Sementara Edwin langsung mendorong Jovan untuk masuk ke kamarnya, meskipun lelaki itu bersikeras ingin menunggu Melati dan berkenalan dengannya."Ed, biarkan aku berkenalan dengannya, sebentar saja, please …!" Jovan terus memohon, tapi Edwin tak membiarkannya begitu saja."Kau bisa melakukan hal itu kapanpun," desis Edwin karena amarahnya kembali naik setelah melihat Melati. Dia segera turun ke bawah tangga untuk menyusul Melati yang rupanya tengah berada di dapur.Edwin menutu
Jovan menggelengkan kepalanya pelan ketika melirik Edwin yang masuk ke dalam kamarnya, sekaligus mengerjapkan matanya berkali-kali saat berpapasan dengan wanita yang ditemuinya semalam."Bukankah kau …."Melati yang melihat perubahan di wajah Jovan pun hanya bisa berdecak sambil menatap kesal kepada pria yang saat ini tengah mengenakan pakaian santai tersebut sambil memperhatikan perutnya yang buncit."Apa yang mau kau ucapkan? Kenapa tidak kau katakan langsung," katanya tanpa basa-basi, kesal pada Jovan yang menatapnya dengan kicep."Oh, anu … maksudku, kau pasti Melati, istri barunya Edwin." Laki-laki itu mengusap tengkuknya berkali-kali karena bingung dengan ucapannya sendiri didepan wanita itu yang tengah ternyata hamil tersebut. Sejujurnya itu diluar ekspektasinya sendiri. Dan dia tak menyangka istri baru sahabatnya ternyata berbadan dua. Celaka Edwin!"Memangnya kenapa kalau aku istri barunya? Apakah itu masalah buatmu?" Melati bertanya sambil mengangkat dagunya tinggi. Tak bo
10Wina membuka pintu kamar pelan, setelah beberapa kali mengetuk, namun tidak ada jawaban dari dalam. Gadis itu memberanikan diri untuk masuk ke sana dan mengantarkan sarapan untuk Melati."Bu Melati, anda tidak apa-apa?" Wina berjengit, langsung meletakkan sarapan di samping tempat tidur, kemudian bergegas menuju Melati yang terduduk di bawah sofa dengan kedua tangan menekan lantai. Wanita itu tampak meringis seperti kesakitan dan itu membuat Wina sedikit terkejut."Siapa yang menyuruhmu masuk?" desis Melati tanpa menghiraukan tangan wanita itu yang ingin membantunya berdiri."Ma-maaf, aku hanya-""Cepat keluar sekarang juga!" usir Melati hingga membuat Wina terlonjak. Baru kali ini gadis itu mendapat bentakan dari seseorang yang baru saja dikenalnya."Tapi, bukankah anda kesakitan, biarkan aku membantu, kali ini saja," ujar Wina karena merasa tak tega. Walau bagaimanapun penyakit ibu hamil berbeda dengan orang biasa. Dia tahu, kare