Bab 1
Edwin hanya bisa diam dan menurut saat empat laki-laki itu menyeretnya. Edwin merasa tubuhnya lemas tak bertenaga pun dia merasa jika tubuhya seolah melayang. Kakinya serasa tidak berpijak pada tanah."Tolong berhenti," ujar Edwin lirih, tetapi tak dihiraukan oleh empat orang lelaki itu."Diam dan jangan banyak bicara!" bentak salah seorang dari mereka.Edwin yang mendengarnya terdiam. Ya, untuk saat ini dirinya lebih baik diam daripada tubuhnya dihajar habis-habisan oleh mereka. Dalam hati, Edwin berdecak. Tak tahukah mereka jika saat ini dirinya sangat lelah? Dia baru saja pulang dari perjalanan jauh, malah dibawa entah ke mana.Edwin mengerutkan keningnya bingung, kala empat pria tadi membawanya menuju sebuah rumah yang dibagian depannya tampak mewah sekaligus ramai, seperti tengah ada sebuah pesta.Edwin ditarik paksa hingga sampai di atas pelaminan. Di sana, seorang gadis duduk dengan wajah ditekuk. Dia masih tak mengerti dengan apa yang terjadi hingga saat tak sengaja mata keduanya bersitatap. Lama, mereka saling memandang, hingga Melati lebih dulu memutus pandangan dan beralih menatap ke arah lain. Sepersekian detik pula, wajah Melati berubah menjadi judes. Edwin yang mengenal gadis itu beberapa tahun lalu, hanya bisa menatap tak mengerti seperti orang bod*h."Apa lihat-lihat!" katanya dengan wajah kesal sambil berpaling muka. Edwin yang pada dasarnya seorang yang tak banyak hanya menghela nafas berat."Kalau nggak mau berada di sini, cepat pergi sebelum kamu dipaksa nikah." Edwin yang mendengarnya pun melengos. Beberapa saat hanya dihiasi keheningan, hingga pada akhirnya suara penghulu terdengar. Berseru karena akad nikah akan segera dilaksanakan.Edwin kembali diarahkan untuk duduk di kursi sebelah tempat yang gadis itu duduki. Di depannya sudah ada seorang laki-laki paruh baya yang Edwin tahu jika dia adalah ayah dari gadis yang berada di sampingnya."Baik, akad nikah akan segera dilaksanakan. Bagiamana pengantin sudah siap?" tanya bapak penghulu sembari menatap Edwin.Edwin yang ditatap pun hanya bisa mengangguk, menolak pun udah tidak bisa. Apalagi ketika di belakang sana, ibunya tengah berdiri dengan perasaan sedih. Ibu mana yang akan tenang melihat anaknya menikah secara paksa.Apalagi Edwin datang ke desa itu untuk menjemput sang ibu agar kembali ke kota bersamanya, setelah wanita cinta pertamanya menghabiskan waktu tiga tahun di desa demi mengenang suaminya yang kini telah tiada.Tiga tahun yang lalu, Ernawati bersama dengan anak dan suaminya berniat untuk liburan di desa suaminya yang sudah sejak lama ditinggalkan olehnya. Naas saat dalam perjalanan, mobil mereka mengalami kecelakaan cukup parah hingga membuat suaminya-Amar meninggal dunia di tempat kejadian.Sejak saat itu, Erna tak mau kembali ke kota dan memilih menenangkan dirinya di desa suaminya.Sejenak, Edwin mengembuskan napasnya. Gugup menyapanya saat tangannya digenggam oleh laki-laki paruh baya yang berada di depannya. Setelahnya, ijab kabul dilaksanakan. Edwin sendiri cukup lancar saat mengucap kalimat kabul dengan satu tarikan napas.Seketika seruan kata 'sah' menggema memenuhi ruangan. Kini Edwin dan Melati sudah sah menjadi sepasang suami-istri. Penghulu berdoa, dan diaminkan oleh seluruh tamu yang ada. Seusai itu, penghulu meminta keduanya untuk menandatangani surat-surat penting lainnya, setelah itu Melati diminta untuk mencium punggung tangan suaminya.Melati menarik tangan Edwin dengan ogah-ogahan. Dalam hati, Melati menggerutu, kesal. Berbeda dengan Melati, Edwin merasakan ada sesuatu yang asing yang saat ini tengah dia rasakan. Sesuatu seolah sengatan listrik yang membuatnya tak karuan dan anehnya itu terjadi saat Melati, wanita yang telah menjadi istrinya itu mencium tangannya."Apa yang kupikirkan tentang gadis ini? Tidak! Tidak mungkin secepat ini!" ucap Edwin dalam hati. Batinnya menolak tapi pikirannya menerima dan menyimpulkan jika dia memang sentuhan Melati membuat debaran dadanya berdegup kencang.Usai mencium tangan suaminya, Melati terkejut saat suaminya itu memberikan kecupan di keningnya. Melati melotot tak terima. Dia menggeram dalam hati ingin meluapkan amarahnya saat itu juga, tapi di tempat seperti ini yang mana sudah bisa dipastikan jika banyak tamu yang datang. Bisa-bisa dirinya mempermalukan dirinya sendiri dan juga keluarganya, terlebih ayahnya.Edwin dan Melati digiring menuju pelaminan. Pelaminan yang dihias dengan begitu cantiknya, membuat sinar kebahagiaan begitu jelas terpancar. Meski sebenarnya, keduanya adalah sepasang anak adam yang tidak saling mengenal dan pastinya tidak saling mencintai. Mungkin, jika orang lain yang melihatnya, mereka adalah sepasang suami-istri yang begitu serasi. Edwin dengan wajah tampannya, serta Melati dengan wajah ayunya. Begitu serasi.Para tamu berbaris dan berbondong-bondong untuk bersalaman dengan kedua pengantin baru itu. Tak lupa mereka juga memberikan ucapan selamat serta doa untuk keduanya. Mereka tersenyum manis dan membalas dengan ucapan terima kasih dengan terpaksa saat mendengar ucapan serta doa dari para tamu.Pukul sebelas malam, rangkaian acara di pernikahan Edwin dan Melati sudah selesai. Keduanya langsung masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan mengistirahatkan tubuh, karena rangkaian acara yang begitu banyak membuat keduanya kelelahan. Apalagi Edwin yang baru saja pulang dari berpergian jauh. Edwin masih berada di dalam kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah tadi sempat menunggu orang yang dirinya mintai tolong untuk mengambil tas yang berisi keperluannya. Sementara itu, Melati duduk di meja riasnya. Membersihkan sisa-sisa make up yang menghiasi wajahnya. Melepas semua aksesoris yang terpasang di kepalanya. Tubuhnya sudah begitu lelah dan ingin segera beristirahat. Namun, tidak mungkin jika dia pergi tidur tanpa melepas aksesoris dan mengganti pakaiannya.Tak lama, Edwin keluar dari kamar mandi dengan raut wajah segar. Rambutnya yang masih basah, dikeringkan dengan handuk kecil yang berada di tangannya."Kamu nggak mandi?" tanya Edwin. Dia mulai membuka percakapan, karena tidak ingin merasakan suasana canggung yang semakin mencekam.'Bukan urusanmu, dasar pria aneh,' gerutu Melati dalam hati.Edwin menatap Melati yang masih saja diam dan sepertinya tidak berniat untuk menjawab pertanyaan yang dirinya ajukan.Tanpa kata, melati masuk ke kamar mandi. Dia sudah lelah dan berniat untuk segera tidur setelah membersihkan tubuhnya yang lengket.Dua puluh menit kemudian, Melati keluar dari kamar mandi dan sudah berganti pakaian dengan piyama panjang berwarna maroon yang tampak longgar. Setelahnya dia segera naik ke tempat tidur yang mana di sana sudah ada Edwin yang tengah memainkan ponselnya. Melati pun segera mengisi tempat, tepat di samping Edwin. Lelaki yang sudah menjadi suaminya.Edwin berdeham sebelum memulai percakapan, sedangkan Melati yang mendengarnya hanya mengernyit heran."Ada apa?" tanya Melati.Edwin tak bicara, hanya saja baru kali ini dia satu ranjang dengan seorang wanita dan itu membuatnya tidak nyaman."Hei, siapa namamu? Kenapa kamu mau menikah denganku? Apa sebenarnya alasanmu?" tanya Melati tiba-tiba menatap wajah lelaki di sampingnya yang tampak tampan melebihi saat siang tadi mereka bertemu pertama kalinya.Edwin yang mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Melati terkejut. Namun dengan segera menyembunyikan kebingungannya. Edwin menatap wajah Melati yang ada di sampingnya, lalu berujar, "Lalu, aku harus bagaimana? Melawan dan berakhir dihajar oleh orang suruhan ayahmu itu? Kurasa kamu tahu akan hal itu tanpa harus kuceritakan lagi."Edwin kembali merasa kesal saat mengingat hal itu. Di mana dirinya dipaksa oleh orang-orang suruhan Gunadi-ayah Melati. Mereka bahkan tak segan-segan menghajarnya jika dirinya memberontak. Rasa-rasanya, Edwin ingin balas memukul empat pria yang menyeretnya. Dia yang baru saja pulang dari berpergian tentu tidak akan mempunyai tenaga yang sama besar jika dibanding mereka.Sementara itu, Melati yang mendengar jawaban Edwin tertawa. Tanpa Edwin menjelaskannya pun Melati tahu apa yang terjadi. Ayahnya adalah orang yang keras dan galak, tak heran jika Edwin tak akan mampu melawan anak buah ayahnya yang terkenal karena jago beladiri.Bab 2Edwin menghela nafas panjang karena memang tadi siang dia tak berdaya. Pantas saja tenaganya kalah jauh jika dibandingkan dengan empat orang itu, hingga untuk mengelak pun tak bisa. Suasana di dalam kamar terasa canggung dan sedikit awkward bagi Edwin, tapi Melati terlihat begitu santai.Melati sendiri asyik memainkan ponsel miliknya. Lalu Edwin pun melakukan hal yang sama. Mengambil benda miliknya dan memberi kabar pada keluarganya di kota tentang keadaanya.Dua anak manusia berbeda jenis kelamin yang baru saja resmi menjadi sepasang suami-istri itu tidak memiliki niatan sedikitpun untuk memulai pembicaraan. Edwin pun tidak terlalu menganggap pusing hal itu. Dia lebih nyaman meski hanya ada keheningan seperti ini, karena dirinya adalah tipe orang yang tidak terlalu suka keramaian. Sementara itu, Melati yang merasa sedikit kegerahan pun bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar di kepala ranjang setelah sekilas memperhatikan Edwin yang seperti orang sibuk.Melati menyingka
Pagi-pagi sekali Edwin sudah bangun dari tidurnya, tepatnya saat mendengar suara adzan subuh berkumandang dari mesjid terdekat. Dia segera membersihkan dirinya di kamar mandi yang terdapat di dalam kamar itu, lalu keluar setelahnya dan mencari sajadah, yang tidak dia temukan meskipun sudah melihat ke berbagai arah. Bahkan melirik ke tempat tidur yang ada Melati di sana, dan masih terlelap. Edwin ingin segera pergi dari tempat itu, yang terasa sangat memuakkan baginya. Tempat yang membuatnya seakan menjadi seorang tawanan karena tak bisa melakukan apa-apa, demi keselamatan sang ibu yang menjadi taruhannya.Edwin membuka pintu kamar untuk memastikan. Entah kenapa dia yakin kalau penjaga di rumah itu sudah pergi. Bukankah tak mungkin mereka akan berdiam diri di sana semalam. Konyol. Meskipun ternyata dugaannya salah. Kedua lelaki yang semalam mengancamnya itu masih tampak segar berdiri sambil memainkan ponsel, saat Edwin menatapnya dengan tatapan geram."Hari masih terlalu pagi untukm
4Erwin kembali duduk di sofa sambil memikirkan banyak hal. Dia yakin mertua lelakinya itu tak sepenuhnya menerima dirinya, buktinya sampai berani mengancam segala.Edwin berpikir, mungkin saja lelaki itu sengaja menahannya karena ada sesuatu hal yang dia takutkan, hanya saja saat ini Edwin tidak tahu hal apa itu. Dan dia pastikan akan mencari tahu jawabannya nanti. Jika pun dirinya memaksa pergi dan melawan mereka, tentu saja itu akan beresiko besar. Lalu dia bisa apa jika sang ibu menjadi taruhannya. Edwin juga terlanjur berada di rumah itu meskipun ternyata dia menemukan banyak kejutan dan hal-hal yang janggal dari keluarga itu."Bersiaplah karena kita akan segera pergi dari sini." Edwin bersuara pada akhirnya. Merasa tidak punya pilihan lain. Dia berdiri sambil membuka pintu kaca yang mengarah pada balkon, membiarkan Melati yang langsung menoleh, dan menatapnya dengan ekspresi kebingungan."Kau berubah pikiran," tebak Melati. Edwin mengacuhkannya begitu saja, membiarkan wanita i
5Melati menatap ke arah Ernawati dengan muka masam saat wanita itu menatapnya dengan wajah sulit diartikan. Sebagai orang yang tinggal satu desa dengannya, tentunya Ernawati sedikit banyaknya mengenal siapa Melati dan keluarganya meskipun rumah mereka tidak terlalu dekat.Hanya saja ketika Ernawati ingin mengatakan sesuatu hal kepada Edwin, lelaki itu langsung mengalihkan pembicaraan."Nggak ada yang penting dengan wanita itu. Jangan dibahas lagi," tukasnya sambil membuka pintu mobil, dan menyuruh sopir yang sejak tadi mengemudi, pindah ke belakang untuk duduk bersama dengan Melati. Sementara dirinya duduk di depan stir, sejajar dengan sang ibu yang duduk di depan.Bahkan sepanjang perjalanan, Melati tak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya menatap ke luar jendela. Sementara di sampingnya, sopir pun seperti salah tingkah, karena beberapa kali mendapat pelototan dari Melati. Seolah wanita itu tidak sudi duduk berdampingan dengan lelaki dari kalangan bawah.Hingga akhirnya mereka
6Melati baru saja melangkah ke dapur dan berhenti di pintu menuju ke sana, ketika dia mendengar sayup-sayup sebuah obrolan yang sedikit mengusik telinganya."Aku tak menyangka kalau Pak Edwin akan menikah secepat itu, dengan wanita yang ternyata sudah hamil besar," ungkapnya penuh kekecewaan. Dia tengah mencincang wortel sambil meluapkan kekesalannya."Mungkin itu takdir yang harus dihadapinya," jawab Ernawati sambil menghadap ke arah kompor yang menyala. Wanita itu tengah memasak sesuatu untuk hidangan makan malam."Tapi tetap saja aku tidak rela melihat Pak Edwin harus bersama dengan wanita itu. Karena selain tidak punya sopan santun, wanita itu sangat tidak pantas berdampingan dengan Pak Edwin," prosesnya yang membuat Ernawati langsung menatap penuh dan tersenyum sekilas."Sudahlah, lupakan itu, dan biarkan itu jadi urusan Edwin. Tugasmu di sini adalah untuk menjaga papa, agar dia tetap sehat, termasuk juga memperhatikan para pelayan di rumah ini agar mereka bisa bekerja dengan ba
"Hmm … aku datang tepat waktu rupanya," ujar Jovan saat aroma harum masakan tercium dari arah ruang makan. Pria lajang itu langsung berjalan ke arah sana dan menyapa Ernawati dan Candra, lalu pada Wina yang tengah menyajikan makanan. Sementara Edwin langsung berjalan menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian. Keningnya berkerut saat berpapasan dengan pelayan yang tampak membawa baki, masih berisi penuh makanan."Apa ini?" tanyanya tidak mengerti. Setahunya orang-orang tengah berkumpul di ruang makan, tapi wanita itu malah membawa baki dari lantai atas."Eum anu, Pak, Bu Melati tidak mau memakan makanannya, jadi saya ganti makanannya dengan yang baru, tapi sepertinya beliau tidak mau membuka pintu," jawab pelayan sopan."Begitukah?" Pelayan itu mengangguk, setelahnya langsung berlalu pergi.Dia hendak membuka pintu saat makanan yang baru dan masih hangat, ada di meja dekat pintu kamarnya.'Apa dia tinggal di kamarku?' gumamnya pelan, sambil menarik gagang pintu dan membukanya sedikit
8"Wow …!" Mata Jovan membulat melihat pemandangan di depannya saat ini. Bagaimana dia tidak terkejut, ketika melihat seorang wanita berpenampilan seksi keluar dari kamar sahabatnya.Edwin mendengus kesal seraya menatap sahabatnya, kemudian menutupi mata lelaki itu dengan tangannya. Melati sendiri hanya mengangkat bahunya cuek, melanjutkan langkah membawa baki kosong itu menuju ke lantai bawah."Apa dia tidak pernah melihat seorang wanita," gumamnya pelan. Sementara Edwin langsung mendorong Jovan untuk masuk ke kamarnya, meskipun lelaki itu bersikeras ingin menunggu Melati dan berkenalan dengannya."Ed, biarkan aku berkenalan dengannya, sebentar saja, please …!" Jovan terus memohon, tapi Edwin tak membiarkannya begitu saja."Kau bisa melakukan hal itu kapanpun," desis Edwin karena amarahnya kembali naik setelah melihat Melati. Dia segera turun ke bawah tangga untuk menyusul Melati yang rupanya tengah berada di dapur.Edwin menutu
Jovan menggelengkan kepalanya pelan ketika melirik Edwin yang masuk ke dalam kamarnya, sekaligus mengerjapkan matanya berkali-kali saat berpapasan dengan wanita yang ditemuinya semalam."Bukankah kau …."Melati yang melihat perubahan di wajah Jovan pun hanya bisa berdecak sambil menatap kesal kepada pria yang saat ini tengah mengenakan pakaian santai tersebut sambil memperhatikan perutnya yang buncit."Apa yang mau kau ucapkan? Kenapa tidak kau katakan langsung," katanya tanpa basa-basi, kesal pada Jovan yang menatapnya dengan kicep."Oh, anu … maksudku, kau pasti Melati, istri barunya Edwin." Laki-laki itu mengusap tengkuknya berkali-kali karena bingung dengan ucapannya sendiri didepan wanita itu yang tengah ternyata hamil tersebut. Sejujurnya itu diluar ekspektasinya sendiri. Dan dia tak menyangka istri baru sahabatnya ternyata berbadan dua. Celaka Edwin!"Memangnya kenapa kalau aku istri barunya? Apakah itu masalah buatmu?" Melati bertanya sambil mengangkat dagunya tinggi. Tak bo