Suara menggelegar dari Cyra mampu membuat kedua orang yang sedang bercumbu terkejut. Mereka berdua menoleh secara bersamaan.
"C-Cyra..." Raut wajah Kaivan nampak pucat. Kedua pupil matanya bergetar, tetapi ia sama sekali tidak mau melepaskan gadis yang ada di pelukannya. "Kalian! Bisa-bisanya melakukan ini padaku?" ucap Cyra dengan suara bergetar. Dadanya sakit, ia merasa tubuhnya lemas, seolah semua tulangnya hilang dalam sekejap. Pemandangan di depan mata yang ia kira akan menjadi kejutan terindah justru membuat seluruh perasaannya hancur tak berbentuk lagi. "Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?" Pertanyaan konyol dari Kaivan semakin membuat Cyra meradang. Jelas sekali tidak ada penyesalan di wajah pria itu. Usianya yang sudah menginjak 28 tahun tidak membuatnya memiliki pemikiran yang dewasa. "Apakah itu penting, Kai? Di saat seperti ini, kamu bahkan tidak memperdulikan perasaanku!" sahut Cyra, tak dapat membendung amarahnya. Kedua mata gadis itu memerah, berusaha mati-matian menahan air mata yang ingin mendobrak keluar dari kelopak matanya yang indah. Kaivan melepas gadis di pelukannya dan melangkah ke arah Cyra. Namun, sorot matanya begitu bengis, seolah ia menyimpan dendam kesumat pada gadis itu. "Lantas, apa kamu peduli dengan perasaanku, Ra?" tanya balik Kaivan. "Maksudmu?" Kaivan menyisir rambutnya ke belakang dan tertawa sinis mendengar pertanyaan kekasihnya. "Jangan pura-pura bodoh, Ra. Aku tahu kamu akan menikah minggu depan. Kamu yang lebih dulu mengkhianati perasaanku!" Kaivan melihat tubuh Cyra dari atas hingga bawah. Pakaian kantor yang dikenakan gadis itu sangat pas, tetapi tidak ketat. Kaivan tak bisa munafik, tubuh Cyra memang menggoda, namun gadis itu sangat teguh menjaga keperawanannya. "Kamu pasti senang sudah merayu laki-laki lain dengan tubuhmu ini, kan?" ejek Kaivan, meski dia tahu hal itu mustahil terjadi, tetapi ia enggan disalahkan dalam situasi ini. Tanpa diduga, Cyra melayangkan tamparan ke wajah Kaivan, meninggalkan cap lima jari di pipi kanannya. "Jaga bicaramu, Kai! Jangan main korban seperti bocah, dasar bajingan!" hardik Cyra. Ia memiringkan kepalanya, menatap gadis di belakang Kaivan yang tampak syok melihat kejadian tersebut. Cyra mendorong tubuh Kaivan ke samping dan menghampiri gadis itu. Kedua tangan Cyra mengepal erat, hingga buku-bukunya memutih. Urat di lehernya menonjol, menandakan bahwa ia benar-benar marah. "Jadi ini alasanmu menolak dijodohkan, Ner? Kamu menginginkan milikku?" tanya Cyra, berusaha tetap tenang. "A-aku... bukan itu maksudku, Kak. Aku mencintai Kaivan, begitu juga Kaivan yang menyukaiku. Aku hanya ingin mendapatkan apa yang membuatku bahagia." "Ha...ha...sial! Aku tidak menyangka kamu akan setega ini, Ner. Apa selama ini aku kurang mengalah? Sampai kamu merebut semua yang aku miliki?" Luka yang Cyra rasakan tersirat jelas dalam ucapannya, tetapi Nera sama sekali tak peduli dengan kondisi kakaknya. Bukan kata maaf yang keluar dari mulut Nera, melainkan ia malah menyalahkan Cyra. Ia memaki kakaknya dan mengatakan bahwa Kaivan tidak pantas bersanding dengan wanita sepertinya yang gila kerja. Cyra terdiam, mendengarkan semua ocehan dari adiknya yang mengolok-olok dirinya dan fisiknya. Bukan karena ia tidak marah, tetapi ia tak tahu lagi harus berekspresi seperti apa dalam situasi ini. Di belakang Cyra, Kaivan tampak sangat menikmati suasana tegang antara kakak beradik itu. Dia tidak berniat untuk melerai mereka. "Kakak tahu, Kakak terlalu lurus. Bahkan Kakak tidak bisa membuat Kaivan puas!" ejek Nera. Degh. Seketika, perasaan Cyra yang sudah remuk menjadi semakin hancur. Ia tidak bisa membayangkan bahwa adik dan kekasihnya sudah sejauh itu dalam menjalin hubungan. Cyra menoleh ke belakang, dan di sana Kaivan berdiri sambil tersenyum remeh. "Kenapa kamu begitu terkejut, Ra? Kamu ingin menyalahkan aku?" Kaivan mengikis jarak di antara dirinya dan Cyra. Pria itu meraih dagu Cyra, mendekatkan wajahnya hingga jarak di antara mereka sangat tipis, bahkan bibir Kaivan hampir menyentuh bibir gadis itu. "Sejak awal kamu yang menolak ajakanku, jadi jangan salahkan aku karena berpaling. Toh ucapan adikmu memang benar, kamu terlalu lurus—" Plak. Wajah Kaivan menoleh ke samping, sudut bibirnya robek dan pipinya berdenyut nyeri. Belum selesai keterkejutannya, tiba-tiba Cyra meraih kerah baju Kaivan dengan kasar, menatap marah pria tersebut. "Brengsek! Aku menjaga kehormatan adikku dengan baik, tapi kenapa kamu melakukan hal gila ini, Kai? Di mana otakmu, hah!" bentak Cyra. "Kak, cukup! Aku yang mau, jangan salahkan Kaivan." Nera menyentak, melepas paksa cekalan di kerah baju Kaivan. Nera membenarkan baju pria itu. "Kai, kamu tidak apa-apa?" Kaivan mengangguk, masih syok mendapat serangan seperti itu dari Cyra. Gadis yang tidak pernah menunjukkan emosinya selama mereka menjalin kasih selama dua tahun ini. "Apa Mama dan Papa tahu kamu begini, Ner?" Kali ini, Cyra berusaha meredam amarahnya. Meski ia kecewa dan hatinya sangat sakit, ia tidak ingin membuat suasana semakin runyam. Sayangnya, semua usahanya berakhir sia-sia ketika Nera menjawab pertanyaan tersebut. "Ya, mereka sudah tahu dan sudah menyetujui hubungan kami. Aku dan Kaivan akan menikah bulan depan setelah pernikahan Kakak." Jeder. Bagaikan terkena sambaran petir, tubuh Cyra terhuyung ke samping. Untunglah ada tembok yang bisa ia jadikan pegangan. "Pfftt, ternyata di sini aku yang bodoh." Cyra mendongak, tak kuasa menahan rasa sakit di dalam hatinya. "Kalian berdua sama-sama bajingan, dan kamu, Kai." Cyra menunjuk wajah Kaivan. "Kamu laki-laki terbrengsek yang pernah aku kenal. Mulai detik ini, kita putus! Jangan pernah mengganggu hidupku lagi," tekan Cyra. Ia membenarkan letak tasnya, lalu kembali bicara kepada Nera. "Aku kecewa denganmu, Ner. Adik yang aku sayangi ternyata menusukkan pisau dari belakang padaku. Nyatanya, semua yang aku lakukan untuk keluarga kita hanya sia-sia." Setelah mengucapkan itu, Cyra keluar dari apartemen Kaivan. Begitu tiba di mobil, tangis gadis itu pecah; ia tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini. "Kenapa Tuhan tidak adil padaku?" gumam Cyra di sela-sela tangisnya.Waktu semakin larut, namun Cyra masih enggan pulang. Ia duduk termenung di taman komplek yang tidak terlalu jauh dari kediamannya, semilir angin malam menerbangkan helaian rambut gadis itu. Kondisi taman yang sepi, tidak membuat Cyra merasa takut. Ia justru merasa kosong di bagian hatinya, rasa kecewa dan pengkhianatan yang muncul secara serempak mampu membuat jiwanya terguncang cukup hebat. "Miris." Monolog Cyra. Ia menertawakan nasibnya, Cyra tidak memiliki tempat untuk bercerita. Semua luka yang ia terima, ia emban sendiri. Seolah mengerti akan kesedihan gadis itu, tiba-tiba hujan turun begitu deras mengguyur taman serta tubuh Cyra. Gadis itu meneteskan air mata bersama hujan yang mengenai wajahnya, ia tidak tahu di bagian mana rasa sakit itu berada. Tapi saat ini ia benar-benar hancur, Cyra tidak mengira takdir akan membawanya ke dalam posisi seperti saat ini. "Aaarrghh... Sakit tuhan!" Teriak Cyra mendongak menatap langit malam. Ia menjerit sembari memukuli dadanya, mi
Sinar matahari mulai menyusup ke dalam kamar seorang gadis, yang masih berada di bawah selimut tebal. Namun wajah gadis itu terlihat pucat, keringat dingin terus keluar dari kening dan tubuhnya menggigil. Sesaat kemudian, ia terlonjak kaget saat pintu terbuka secara kasar. Cyra menoleh, ia melihat Margaret sudah berada di depan pintu. "Bangun, Ra! Kamu tidak ke kantor?" tanya Margaret dingin. "Aku udah izin hari ini tidak masuk, Mah. Aku tidak enak badan." Sahut Cyra lemah. Margaret mendekat, ia melihat wajah putri sulungnya yang di selimuti keringat. Melihat itu, hati mungilnya tergerak ia meraih tisu di samping ranjang lalu menyeka keringat di kening Cyra. Sontak tubuh gadis itu langsung membeku, ia tak menyangka ibunya akan bertindak demikian. "Kamu tahu sendiri, kamu tidak bisa terkena air hujan! Kenapa kemarin kamu main hujan-hujanan, Ra?" Meski nada bicara Margaret masih judes, namun Cyra merasa senang sebab baru kali ini Margaret mau menyentuhnya. "Maaf, Mah. Aku selalu
"NERA!" teriak Margaret.Sontak Cyra tertegun, ia melihat Margaret merangkul pundak Nera begitu lembut. Pemandangan itu membuat Cyra iri, ia tidak pernah mendapat pelukan seperti itu sejak ia masih kecil."Sayang, kenapa bisa begini? siapa yang melakukannya?" tanya Margaret lembut.Namun Nera tak menjawab, ia justru menangis sampai tergugu. Jelas saja Margaret semakin kebingungan, ia menoleh ke arah Cyra yang masih menatap sendu pada ibu dan adiknya."Pasti kamu yang melakukan ini pada Nera, kan?" tuduh Margaret sembari menunjuk wajah Cyra."Bukan, Mah. Tadi Nera melakukannya sendiri." Sanggah Cyra, mencoba menjelaskan kejadian tadi.Melihat pembelaan dari Cyra, Margaret lantas kembali menanyakan pada Nera. Akan tetapi, kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu sangat di luar dugaan. "Kak, aku hanya khawatir padamu tapi kenapa kamu justru melemparkan bubur ini padaku?" elak Nera.Cyra termangu di tempat tidur, kondisinya yang masih lemah semakin bertambah buruk selepas Nera memberik
Beberapa saat telah berlalu, kini Cyra serta suaminya sudah berada di dalam kamar. Selepas ijab kabul, mereka tidak mengadakan resepsi. Semua sudah di atur sedemikian rupa oleh kedua orang tua Cyra, mereka enggan mengeluarkan uang lebih banyak untuk biaya pernikahan putri sulungnya.Cyra sedang sibuk melepas satu persatu kancing di kebaya miliknya, hingga kesibukan gadis itu terhenti saat ia mendengar suara panggilan dari Nevalion."Cyra." Suara berat mendayu di telinga gadis itu.Cyra menoleh, "Ada apa, Mas?""Kamu tahu, kan ini hanya pernikahan atas dasar balas budi?" cetus Nevalion."Ya, aku tahu. Memangnya kenapa?"Cyra bertanya seperti itu karena ia memang tak paham maksud Nevalion, pemuda itu tidak secara langsung mengutarakan keinginannya."Kamu jangan mengharapkan apa pun dariku, apa lagi menginginkan cinta di dalam pernikahan kita. Hal itu tidak mungkin terjadi," Nevalion menghela nafas berat, ia kembali melanjutkan perkataannya."Satu lagi, jangan mengasihani ku yang saat in
Malam telah berganti pagi, dan jam sudah menunjukan pukul 08.00 pagi. Akan tetapi kediaman Anton sudah ramai, di sana sedang ada tamu yang sangat mereka banggakan. Anton duduk di sofa ruang keluarga, bersama anak dan istrinya. Di sana juga ada Kaivan, mantan kekasih Cyra yang sedang meminta izin pada kedua orang tua Nera untuk mengajaknya jalan-jalan, karena kebetulan hari ini adalah minggu. "Om, Tante. Saya mau mengajak Nera pergi, apa boleh?" tanya Kaivan dengan sopan. "Tentu saja, Nak. Lagi pula Nera juga tidak ada kegiatan di rumah benarkan, Ner?" sahut Margaret menoleh ke arah Nera. Gadis itu mengangguk, mereka berempat berbincang-bincang ringan tanpa mengingat jika di rumah itu ada putri sulung dan juga menantunya. Sementara itu di dalam kamar, Cyra sedang memasukan pakaian miliknya ke dalam koper. Ia membawa semua pakaian di dalam lemari, dan juga barang yang tertata rapi di nakas. Tidak ada satu pun benda yang tertinggal di dalam kamar tersebut. Nevalion merasa aneh meli
Jalan raya masih sepi, hanya ada beberapa kendaran berlalu lalang. Suasana di dalam mobil yang Cyra kendarai tampak sunyi, Nevalion menoleh ke arah kaca. Sejak ia menaiki mobil, ia seakan enggan bertatapan dengan istrinya. Sedangkan Cyra, ia larut dalam pikirannya sendiri. Masih seperti mimpi bahwa ia di khianati oleh adik kandungnya sendiri, tidak pernah terlintas sekalipun di benak Cyra bahwa Nera mengincar semua yang ia miliki. Pernikahan di atas kertas yang harus ia tanggung, semakin menambah beban berat di relung hati gadis itu. Kekecewaan pada kedua orang tuanya, belum bisa ia sembuhkan tapi kini ia harus menerima takdir lain tanpa bisa mengeluh. Tanpa terasa perjalanan menuju rumah Nevalion akhirnya sampai, Cyra memarkirkan mobilnya di halaman rumah sederhana tanpa tingkat. "Apa kamu tidak memiliki pembantu, Mas?" ujar Cyra, sebab ia tidak melihat ada orang lain di rumah tersebut. "Ada, hanya saja sedang libur. Aku memperkerjakan dua orang satu tukang kebun dan satu lagi
"Mas, tunggu sebentar! aku tidak bohong." Cecar Cyra. Ia membuntuti Nevalion hingga ke ruang keluarga, akan tetapi pemuda itu memilih acuh seakan ia tidak pernah mendengar perkataan tersebut. Cyra tidak menyerah, ia nekat membalikkan kursi roda Nevalion hingga mereka berdua saling berhadapan. Cyra menarik nafas panjang, lalu berjongkok di depan suaminya. Kedua tangan gadis itu berada di sisi pegangan kursi roda, hal tersebut ia lakukan agar Nevalion tidak menghindarinya lagi. "Mas, aku tahu kamu tidak menyukai pernikahan ini sama sepertiku. Tapi aku sama sekali tidak ada niat menyakiti kamu, aku benar-benar tidak tahu kalau kamu memiliki alergi," Cyra menundukkan kepalanya, kedua pundak gadis itu merosot. "Aku minta maaf, lain kali aku akan bertanya dulu padamu." Melihat raut menyesal di wajah istrinya, Nevalion mengangguk. Ia menyingkirkan kedua tangan Cyra dari kursi roda, tanpa sepatah kata ia bergegas kembali ke dalam kamar. Cyra menatap punggung Nevalion hingga pemuda itu
Mobil Cyra mulai memasuki area parkir milik perusahaan Daxton Group, gadis itu keluar dari mobil setelah memastikan mobilnya terparkir dengan aman. Ia membenarkan tas selempang di pundak kiri, dan berlari memasuki lobi. Ia takut ketinggalan penyambutan pemimpin yang baru, di tengah langkahnya ia mendengar suara seseorang memanggil namanya dari belakang. "Cyra!" Sontak Cyra langsung menoleh, ia melihat Jena sedang berlari ke arahnya sambil membawa segelas kopi. "Kamu baru sampai?" ujar gadis itu, seraya melihat penampilan Cyra. "Ya, kamu sendiri dari mana?" Jena tersenyum malu-malu, "Aku habis ketemu berondong, cakep banget gila mataku langsung sumringah habis ketemu mereka di kantin." Mendengar itu, Cyra menepuk lengan Jena sebal. Hampir setiap hari Jena menggoda para karyawan baru, terlebih yang masih muda dan terlihat polos. "Sampai kapan kamu mau mempermainkan mereka, Jen. Bisa-bisa kamu kualat loh." Ucap Cyra sedikit menakut-nakuti. Namun Jena tak perduli, ia mengangkat k