Sinar matahari mulai menyusup ke dalam kamar seorang gadis, yang masih berada di bawah selimut tebal. Namun wajah gadis itu terlihat pucat, keringat dingin terus keluar dari kening dan tubuhnya menggigil.
Sesaat kemudian, ia terlonjak kaget saat pintu terbuka secara kasar. Cyra menoleh, ia melihat Margaret sudah berada di depan pintu. "Bangun, Ra! Kamu tidak ke kantor?" tanya Margaret dingin. "Aku udah izin hari ini tidak masuk, Mah. Aku tidak enak badan." Sahut Cyra lemah. Margaret mendekat, ia melihat wajah putri sulungnya yang di selimuti keringat. Melihat itu, hati mungilnya tergerak ia meraih tisu di samping ranjang lalu menyeka keringat di kening Cyra. Sontak tubuh gadis itu langsung membeku, ia tak menyangka ibunya akan bertindak demikian. "Kamu tahu sendiri, kamu tidak bisa terkena air hujan! Kenapa kemarin kamu main hujan-hujanan, Ra?" Meski nada bicara Margaret masih judes, namun Cyra merasa senang sebab baru kali ini Margaret mau menyentuhnya. "Maaf, Mah. Aku selalu merepotkan kalian." Sesal Cyra. "Sudahlah, nanti Mamah panggil dokter ke sini. Jangan lupa makan, nanti bibi bawa bubur buat kamu." "Makasih, Mah." Sahut Cyra di selingi senyum tipis. Setidaknya hari ini ia tidak mendapat cacian dari Margaret, Cyra menarik selimut hingga menutupi leher dan kembali memejamkan kedua matanya. Melihat itu, Margaret segera pergi menuju dapur dan meminta pembantunya menyiapkan bubur untuk Cyra. Sementara itu, Nera baru saja tiba di rumahnya. Ia terkejut melihat suasana rumah yang sepi, hingga ia melihat Margaret sedang duduk di sofa sembari membaca majalah di tangannya. Nera menghampiri Margaret, dan menanyakan keberadaan semua orang di rumah itu. "Mah, kemana semua orang? kenapa rumah sangat sepi?" Tanya Nera, ia duduk di samping Margaret. "Papah sudah berangkat ke kantor, dan kakakmu ada di kamar. Dia demam." Sahut Margaret menjelaskan. Seketika kedua alis Nera menyatu, ia heran sebab kemarin kakaknya masih terlihat sehat dan baik-baik saja. "Sejak kapan kakak sakit?" "Tadi pagi, semalam dia kehujanan." Margaret meletakan majalah di meja, lalu menatap lekat ke arah Nera. "Kamu sendiri dari mana, kenapa baru pulang sekarang?" Nera menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia berusaha mengalihkan pembicaraan tersebut. Nera belum siap mengatakan kejadian semalam pada sang mamah. "Aku habis dari rumah teman, kemarin aku udah izin sama Mamah kok. Terus tadi mampir ke apartemen Kaivan dulu, jadi lama." Jawab Nera panjang lebar. Margaret mengangguk singkat, mereka berdua mengobrol selama beberapa menit hingga kedatangan seorang dokter membuat ibu dan anak itu mengehentikan obrolan mereka. Margaret pamit pada putri keduanya untuk mengantar dokter ke kamar Cyra, melihat mamahnya sedikit berubah membuat Nera cemas. Ia takut jika kasih sayang Margaret akan terbagi dengan kakaknya. "Ini tidak bisa di biarkan, kakak tidak boleh mendapat kasih sayang dari mamah dan papah!" gumam Nera, ia menggigit kuku-kuku di jarinya. Kebiasaan itu terjadi setiap kali ia merasa cemas serta kalut, dan kini ia merasa posisi putri kesayangan bagi keluarga tersebut sedang terombang ambing. Meski Nera menjadi anak kesayangan, tapi ia sangat tidak suka jika Cyra hidup nyaman. Perasaan iri selalu menyelimuti batin gadis itu, ia menginginkan semua yang selalu membuat Cyra tersenyum, termasuk Kaivan yang berhasil ia rebut. Ia melangkah menuju tangga, Nera mulai menaiki anak tangga satu persatu menuju pintu bercat putih yang terdapat gantungan pintu berisi inisal sang pemilik kamar tersebut. Perlahan Nera membuka pintu, ia melihat ke arah ranjang berukuran sedang. Di sana ada Cyra dengan wajah pucat, dan bibir kering. "Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya Margaret. "Nona Cyra hanya demam biasa, saya sudah memberikan obat penurun panas sebentar lagi pasti dia akan membaik." Jawab sang dokter sopan. Margaret mengangguk, ia menunduk kembali menatap Cyra. Gadis itu masih terlelap, dan raut wajahnya masih saja pucat. Pandangan Margaret tertuju pada mangkok bubur di nakas, bubur itu masih utuh seperti belum di sentuh sama sekali. Lamunan wanita paruh baya tersebut buyar, ketika mendengar dokter berpamitan. Margaret mengantar dokter itu keluar, ia membiarkan Cyra bersama Nera di sana. "Kak, apa kamu tidur?" Namun tidak ada jawaban dari Cyra, hal itu menandakan bahwa Cyra benar-benar sedang terlelap. Sesaat Nera menoleh ke arah pintu, ia memastikan bahwa Margaret belum datang kembali. Nera mengguncang lengan Cyra cukup keras, hingga gadis itu terbangun dari tidur lelapnya. Ia menoleh ke samping kanan, seketika ia merubah raut wajahnya menjadi dingin. "Ada apa kamu kesini, Ner?" nada bicara Cyra, sangat datar dan acuh. Tidak ada lagi sapaan hangat seperti biasanya. "Aku cemas karena Kakak tiba-tiba sakit, apa kejadian kemarin sangat membuatmu terluka?" Ia bertanya sembari tersenyum mengejek, seakan ia senang melihat keterpurukan Cyra saat ini. Namun Cyra tak menjawab, ia diam dan membuang wajah ke samping kiri. Ia tak ingin melihat wajah Nera, yang sedang menyepelekan perasaannya. Melihat Cyra tak menanggapi ucapannya, Nera menjadi kesal ia meraih mangkok bubur di samping tempat tidur dan kembali melontarkan pertanyaan pada kakaknya. "Kak, aku tidak suka jika Kakak mendapat perhatian kecil dari mamah. Apa Kakak tahu, aku sangat benci dengan sikap Kakak yang terlalu naif." Pancing Nera. Cyra kembali menoleh, ia menaikan satu alisnya ke atas. "Naif? bukannya kamu yang seperti itu, Ner." "Kamu bersikap lembut di depan, tapi bajingan di belakang!" imbuh Cyra. Ia memperhatikan perubahan pada wajah Nera, kedua tangan adiknya nampak gemetar menahan amarah. Hingga sesaat kemudian, Nera menumpahkan mangkok bubur pada dirinya sendiri. Sontak Cyra langsung syok, bersamaan dengan itu muncul Margaret dari arah pintu yang berteriak lantang memanggil nama adiknya. "NERA!" Margaret berlari menghampiri Nera, ia menutup mulutnya saat menyadari bubur di mangkok tadi sudah berpindah tempat pada tubuh putrinya."NERA!" teriak Margaret.Sontak Cyra tertegun, ia melihat Margaret merangkul pundak Nera begitu lembut. Pemandangan itu membuat Cyra iri, ia tidak pernah mendapat pelukan seperti itu sejak ia masih kecil."Sayang, kenapa bisa begini? siapa yang melakukannya?" tanya Margaret lembut.Namun Nera tak menjawab, ia justru menangis sampai tergugu. Jelas saja Margaret semakin kebingungan, ia menoleh ke arah Cyra yang masih menatap sendu pada ibu dan adiknya."Pasti kamu yang melakukan ini pada Nera, kan?" tuduh Margaret sembari menunjuk wajah Cyra."Bukan, Mah. Tadi Nera melakukannya sendiri." Sanggah Cyra, mencoba menjelaskan kejadian tadi.Melihat pembelaan dari Cyra, Margaret lantas kembali menanyakan pada Nera. Akan tetapi, kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu sangat di luar dugaan. "Kak, aku hanya khawatir padamu tapi kenapa kamu justru melemparkan bubur ini padaku?" elak Nera.Cyra termangu di tempat tidur, kondisinya yang masih lemah semakin bertambah buruk selepas Nera memberik
Beberapa saat telah berlalu, kini Cyra serta suaminya sudah berada di dalam kamar. Selepas ijab kabul, mereka tidak mengadakan resepsi. Semua sudah di atur sedemikian rupa oleh kedua orang tua Cyra, mereka enggan mengeluarkan uang lebih banyak untuk biaya pernikahan putri sulungnya.Cyra sedang sibuk melepas satu persatu kancing di kebaya miliknya, hingga kesibukan gadis itu terhenti saat ia mendengar suara panggilan dari Nevalion."Cyra." Suara berat mendayu di telinga gadis itu.Cyra menoleh, "Ada apa, Mas?""Kamu tahu, kan ini hanya pernikahan atas dasar balas budi?" cetus Nevalion."Ya, aku tahu. Memangnya kenapa?"Cyra bertanya seperti itu karena ia memang tak paham maksud Nevalion, pemuda itu tidak secara langsung mengutarakan keinginannya."Kamu jangan mengharapkan apa pun dariku, apa lagi menginginkan cinta di dalam pernikahan kita. Hal itu tidak mungkin terjadi," Nevalion menghela nafas berat, ia kembali melanjutkan perkataannya."Satu lagi, jangan mengasihani ku yang saat in
Malam telah berganti pagi, dan jam sudah menunjukan pukul 08.00 pagi. Akan tetapi kediaman Anton sudah ramai, di sana sedang ada tamu yang sangat mereka banggakan. Anton duduk di sofa ruang keluarga, bersama anak dan istrinya. Di sana juga ada Kaivan, mantan kekasih Cyra yang sedang meminta izin pada kedua orang tua Nera untuk mengajaknya jalan-jalan, karena kebetulan hari ini adalah minggu. "Om, Tante. Saya mau mengajak Nera pergi, apa boleh?" tanya Kaivan dengan sopan. "Tentu saja, Nak. Lagi pula Nera juga tidak ada kegiatan di rumah benarkan, Ner?" sahut Margaret menoleh ke arah Nera. Gadis itu mengangguk, mereka berempat berbincang-bincang ringan tanpa mengingat jika di rumah itu ada putri sulung dan juga menantunya. Sementara itu di dalam kamar, Cyra sedang memasukan pakaian miliknya ke dalam koper. Ia membawa semua pakaian di dalam lemari, dan juga barang yang tertata rapi di nakas. Tidak ada satu pun benda yang tertinggal di dalam kamar tersebut. Nevalion merasa aneh meli
Jalan raya masih sepi, hanya ada beberapa kendaran berlalu lalang. Suasana di dalam mobil yang Cyra kendarai tampak sunyi, Nevalion menoleh ke arah kaca. Sejak ia menaiki mobil, ia seakan enggan bertatapan dengan istrinya. Sedangkan Cyra, ia larut dalam pikirannya sendiri. Masih seperti mimpi bahwa ia di khianati oleh adik kandungnya sendiri, tidak pernah terlintas sekalipun di benak Cyra bahwa Nera mengincar semua yang ia miliki. Pernikahan di atas kertas yang harus ia tanggung, semakin menambah beban berat di relung hati gadis itu. Kekecewaan pada kedua orang tuanya, belum bisa ia sembuhkan tapi kini ia harus menerima takdir lain tanpa bisa mengeluh. Tanpa terasa perjalanan menuju rumah Nevalion akhirnya sampai, Cyra memarkirkan mobilnya di halaman rumah sederhana tanpa tingkat. "Apa kamu tidak memiliki pembantu, Mas?" ujar Cyra, sebab ia tidak melihat ada orang lain di rumah tersebut. "Ada, hanya saja sedang libur. Aku memperkerjakan dua orang satu tukang kebun dan satu lagi
"Mas, tunggu sebentar! aku tidak bohong." Cecar Cyra. Ia membuntuti Nevalion hingga ke ruang keluarga, akan tetapi pemuda itu memilih acuh seakan ia tidak pernah mendengar perkataan tersebut. Cyra tidak menyerah, ia nekat membalikkan kursi roda Nevalion hingga mereka berdua saling berhadapan. Cyra menarik nafas panjang, lalu berjongkok di depan suaminya. Kedua tangan gadis itu berada di sisi pegangan kursi roda, hal tersebut ia lakukan agar Nevalion tidak menghindarinya lagi. "Mas, aku tahu kamu tidak menyukai pernikahan ini sama sepertiku. Tapi aku sama sekali tidak ada niat menyakiti kamu, aku benar-benar tidak tahu kalau kamu memiliki alergi," Cyra menundukkan kepalanya, kedua pundak gadis itu merosot. "Aku minta maaf, lain kali aku akan bertanya dulu padamu." Melihat raut menyesal di wajah istrinya, Nevalion mengangguk. Ia menyingkirkan kedua tangan Cyra dari kursi roda, tanpa sepatah kata ia bergegas kembali ke dalam kamar. Cyra menatap punggung Nevalion hingga pemuda itu
Mobil Cyra mulai memasuki area parkir milik perusahaan Daxton Group, gadis itu keluar dari mobil setelah memastikan mobilnya terparkir dengan aman. Ia membenarkan tas selempang di pundak kiri, dan berlari memasuki lobi. Ia takut ketinggalan penyambutan pemimpin yang baru, di tengah langkahnya ia mendengar suara seseorang memanggil namanya dari belakang. "Cyra!" Sontak Cyra langsung menoleh, ia melihat Jena sedang berlari ke arahnya sambil membawa segelas kopi. "Kamu baru sampai?" ujar gadis itu, seraya melihat penampilan Cyra. "Ya, kamu sendiri dari mana?" Jena tersenyum malu-malu, "Aku habis ketemu berondong, cakep banget gila mataku langsung sumringah habis ketemu mereka di kantin." Mendengar itu, Cyra menepuk lengan Jena sebal. Hampir setiap hari Jena menggoda para karyawan baru, terlebih yang masih muda dan terlihat polos. "Sampai kapan kamu mau mempermainkan mereka, Jen. Bisa-bisa kamu kualat loh." Ucap Cyra sedikit menakut-nakuti. Namun Jena tak perduli, ia mengangkat k
Suasana ruang pertemuan mulai sepi, tapi Cyra merasakan kebisingan menghantam seluruh raganya. Kedua mata gadis itu tertuju pada satu sosok pria yang berdiri di samping ketua divisi pengembangan, Cyra tidak tahu mengapa pria itu bisa berada di perusahaan ini."Ra, hei kamu baik-baik saja?" tanya Jena mulai cemas.Cyra menoleh, ia lalu mengangguk ragu. "Aku baik-baik saja, Jen.""Bohong, wajahmu mengatakan hal sebaliknya.""Entahlah, aku tidak menyangka kalau Kaivan ada di perusahaan yang sama denganku." Sahut Cyra tersenyum kecut.Jena mengelus punggung sahabatnya lembut, "Aku juga sama, aku dengar dia baru masuk setelah di pindahkan dari kantor cabang.""Kenapa kamu tidak memberitahu aku?" heran Cyra.Jena menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Maaf, aku takut kamu tidak suka jika aku berbicara tentang bajingan itu."Cyra tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat ini, kenyataan bahwa Kaivan berada di sana saja sudah membuat ia tidak bisa berpikir jernih. Meski ia sudah bertekad
Cyra menunggu dengan perasaan cemas, ia takut melakukan kesalahan tanpa sadar dan membuat lelaki di depannya marah. Ia meremas kedua tangan yang sudah berkeringat, Cyra tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia di pecat? sebab hanya perusahaan ini yang berani mengeluarkan gaji besar untuknya, selama ia bergelut di dunia pekerjaan.'Semoga bukan pemecatan mendadak yang akan dia katakan.' Batin Cyra penuh harap.Reizan memperhatikan mimik wajah Cyra, keringat muncul di kening gadis itu hingga membuat Reizan bertanya-tanya sendiri apakah di ruangan itu kurang dingin? padahal ia sudah mengatur suhu ruangan tersebut dengan baik.Tidak ingin menembak hal tidak berguna, Reizan kembali melanjutkan ucapannya."Kamu... terpilih menjadi sekertaris saya! Mulai besok tolong siapkan semua jadwal yang akan saya lakukan, jangan lupa atur semuanya sesuai urutan."Seketika Cyra terdiam, jauh di dalam benak gadis itu ia tidak mempercayai pendengarannya barusan. Cyra memberanikan diri bertanya kembali, i
Nevalion terkejut mendengar pertanyaan Cyra, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Kami… kami dulu satu sekolah," jawabnya, suaranya terdengar stabil meski hatinya bergetar. "Katty pergi ke luar negeri setelah lulus. Kami kehilangan kontak sejak saat itu." Cyra mengangguk, tampak menerima penjelasan itu. "Oh, jadi kamu sudah lama tidak bertemu? mungkinkah, teman yang Nona Katty maksud itu kamu?" Namun, tanpa Cyra sadari, kata-katanya justru semakin menambah ketegangan di antara Nevalion dan Katty. Katty menyandarkan punggungnya ke kursi, menyeringai kecil. "Ya, itu benar, Nona." "Tapi aku tidak hanya datang untuk mengenang masa lalu. Aku ingin tahu apa yang terjadi denganmu, Nevalion. Sebab aku dengar, dia sudah menikah. Aku minta maaf jika kedatanganku, mengganggu kalian." Nevalion merasakan beban di dadanya semakin berat. Ia tahu bahwa setiap kata yang diucapkan Katty bisa mengungkap kebohongannya. "Aku baik-baik saja," jawabnya cepat, berusaha menutup topik yang terlalu dalam.
Suasana yang dingin akibat hujan turun, membuat kediaman Cyra terasa lembab. Sinar dari lampu, tak mampu menerangi perasaan Nevalion saat ini. Kemunculan Katty yang mendadak, berhasil membuat jantungnya seperti jatuh ke dalam perut. "Anda siapa, Nona?" tanya Cyra heran, ia mengamati pakaian Katty yang basah. "Maaf, mengganggu malam-malam, Nona. Tapi, saya tidak punya tempat berteduh. Saya sedang mencari alamat rumah teman saya, hanya saja ia tak mau memberitahu saya dimana rumahnya." Sahut Katty, ia mencuri pandang ke arah Nevalion yang sedang duduk di kursi meja makan. Cyra mengangguk, meski rasa curiga menggelayuti pikirannya. "Ah, jadi begitu, kalau anda mau silakan masuk. Anda bisa menghangatkan diri di sini sebelum pulang," ujarnya sambil membuka pintu lebar-lebar, memberi jalan bagi Katty. Katty melangkah masuk, tatapannya tertuju pada foto-foto keluarga Cyra. Setiap foto menggambarkan kebahagiaan yang seolah tak pernah pudar, namun di sudut hati Katty, ada rasa getir meliha
Raizan mengulurkan payungnya, melindungi Cyra dari tetesan hujan yang semakin deras. “Kamu kenapa ada di sini, Ra? hujan-hujanan lagi." Cyra terdiam sejenak, melihat ke dalam mata Raizan yang penuh perhatian. Ia merasa ada kehangatan dalam tatapan itu, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan dari keluarganya. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Semuanya terasa begitu berat, Pak.” Ucapnya, suaranya terdengar bergetar. “Bicaralah padaku,” Raizan menarik lengan Cyra lembut agar lebih dekat dengannya. “Kadang, berbagi beban dapat meringankan rasa sakit. Apa yang sebenarnya terjadi?” Cyra menghela napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku merasa terasingkan. Keluargaku tidak mempercayai aku, mereka semua menganggap ku sebagai masalah. Seolah aku tidak ada artinya bagi mereka.” Raizan mengangguk, mendengarkan dengan seksama. “Keluarga terkadang bisa sangat sulit di pahami. Tapi ingat, itu tidak menentukan siapa dirimu. Kamu memiliki nilai yang jauh lebih besar dari
Hujan turun deras di luar, suara tetesan air menghentak atap rumah. Di dalam ruang tamu yang remang-remang, Cyra berdiri tegar, meski hatinya bergetar. Di hadapannya, kedua orang tuanya duduk dengan wajah dingin, sementara Nera, adik kandungnya masih menatapnya sengit. “Cyra,” suara mamahnya terdengar seperti pisau yang baru keluar dari tempatnya. “Kamu tahu, hubungan Nera dan Kaivan selalu berada di bawah bayang-bayangmu! Kami tidak percaya bahwa kamu lah yang mempengaruhi Kaivan untuk berselingkuh.” Cyra menggelengkan kepala, menahan air mata. Rasa sesak di dadanya kian menjadi, ia datang ke rumah semata-mata untuk memenuhi permintaan Nera. Tapi, nyatanya kedatangannya hanya di jadikan samsak kemarahan mereka bertiga yang menyandang gelar keluarga. “Tapi itu yang kalian percayai, kan? kalian lebih memilih mengambil kesimpulan sendiri, dari pada mempercayai aku. Ini semua salah paham yang menyakitkan, Mah." Ayahnya, yang biasanya memiliki belas kasih meski sedikit kini terlihat
Cyra melangkah masuk ke rumah orangtuanya, merasakan hangatnya udara di dalam yang kontras dengan dinginnya sikap yang menyambutnya. Belum sepenuhnya ia menutup pintu, ketika ia mendengar suara mamahnya menyengat telinga.“Cyra! apa yang kamu lakukan di sini?” Mamahnya berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya tampak tegang. Cyra mengerutkan dahi, kebingungan melingkupi pikirannya. “Aku di minta ke sini sama Nera, katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan denganku.”“Mana mungkin Nera mengundangmu, kamu pasti hanya ingin merusak hidup adikmu, kan?” Papahnya menyela, suaranya penuh kemarahan. “Kami tahu kamu mempengaruhi Kaivan! kamu membuatnya terus berselingkuh!”Jantung Cyra berdegup kencang. Tuduhan itu menghantamnya seperti petir di siang bolong. “Apa? tidak, itu tidak benar! aku tidak pernah—”“Bohong!” Mamahnya memotong dengan suara tinggi. “Adikmu sudah cukup menderita karena semua ini. Dan kamu masih saja berpura-pura tidak tahu apa-apa?”Air mata mulai menggenang di pe
Nevalion duduk di meja kerjanya, di kelilingi oleh tumpukan buku dan catatan. Cahaya matahari sore yang lembut masuk melalui jendela, menciptakan suasana nyaman yang membuatnya bisa berkonsentrasi pada proyeknya. Tiba-tiba, bunyi notifikasi dari ponselnya memecah kesunyian. Dengan penasaran, ia melihat layar dan mendapati pesan dari mantan pacarnya, Katty. "Hai, Neva! apa kamu ada waktu? aku ingin bicara denganmu. Mungkin kita bisa bertemu di taman dekat rumahmu?" Perasaan campur aduk muncul dalam dirinya. Di satu sisi, ia merasa ragu untuk menjawab pesan itu. Terlebih saat ini ia sudah menikah, meski bukan karena cinta. Di sisi lain, kenangan masa lalu yang pahit juga kembali menghantui pikirannya. Sebelum sempat mengambil keputusan, suara pintu terbuka menggema di ruang kerjanya. Cyra, baru saja, melangkah masuk dengan senyum lebar dan membawa sekotak kue yang baru di belinya. "Mas Neva, aku bawa kue! kita harus merayakan keberhasilan operasimu." Serunya dengan antusias. Neva
Setelah seminggu mengambil cuti untuk merawat suaminya yang baru saja operasi, Cyra kembali ke kantor dengan semangat baru. Ia berusaha untuk fokus dan menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai sekretaris Raizan, seorang direktur yang dikenal cerdas dan ambisius. Namun, saat Cyra melangkah masuk ke ruang kerjanya, ia merasakan tatapan Raizan berbeda dengan yang biasa ia lihat kemarin. Bosnya itu menatapnya dengan penuh perhatian.Raizan, yang biasanya serius dan fokus pada pekerjaannya, mulai memperhatikan Cyra lebih dari sebelumnya. Ia memperhatikan setiap detail kecil, mulai dari senyumnya yang cerah saat menjawab telepon, cara ia menata berkas-berkas di mejanya, dan bagaimana ia selalu siap membantu rekan-rekannya. Raizan merasa terpesona oleh dedikasi dan profesionalisme Cyra, meski selama seminggu ini ia libur namun Cyra tak terlihat kikuk atau pun ragu ketika kembali bekerja.Raizan berusaha untuk tetap profesional, ada momen-momen kecil di mana kedekatan mereka mulai terasa. Misalny
Nera berdiri di pinggir taman, cahaya senja menciptakan bayangan panjang di tanah. Suasana tenang itu seolah menunggu sesuatu yang akan terjadi. Ia tengah menunggu kedatangan suaminya di sana, sampai sesaat kemudian Kaivan muncul langkahnya terlihat ragu, seolah berpikir dua kali sebelum mendekatinya. "Nera," Kaivan menyapa, akan tetapi nada suaranya tidak seceria biasanya. Nera menatapnya, mata mereka saling bertemu dan dalam sekejap seluruh dunia di sekitar mereka seakan sirna hanya menyisakan mereka berdua bersama hembusan angin. Nera merasakan hatinya masih terasa berat seperti ada sesuatu yang harus dia keluarkan agar bisa merasa lega. "Kaivan, kita perlu bicara." Kaivan mengangguk, wajahnya tampak keheranan. Tidak biasanya Nera memintanya bertemu di luar, kecuali saat mereka masih pacaran dulu. "Tentang apa?" ia bertanya dengan nada acuh. "Orang tuaku... mereka sudah tahu," Nera memulai, suaranya terdengar bergetar. "Mereka tahu tentang kamu dan... tentang perselingk
Cyra sudah lima hari menginap di hotel yang ia dan suaminya tempati, niatnya meraka akan pulang besok siang menuju jakarta. Hubungan mereka pun kian dekat, Nevalion membiarkan Cyra mendekatinya secara alami. Benih-benih perasaan mulai tumbuh di antara mereka setelah membina rumah tangga selama hampir dua bulan. Bisa di katakan, Cyra menutup luka dari pengkhianatan adiknya dengan keberadaan Nevalion di sisinya. Pernikahan yang awalnya, hanya formalitas kini menjadi impian Cyra untuk memiliki keluarga sepenuhnya dengan Nevalion. Di dalam kamar hotel yang remang-remang, suara riuh dari luar terasa samar-samar. Seolah dunia di luar sejenak berhenti, Cyra duduk di tepi tempat tidur, memandang keluar jendela. Cahaya bulan menyinari wajahnya, menyoroti senyum lembut yang tak bisa ia sembunyikan. Di seberang, Nevalion sedang berdiri dengan santai. Ia duduk di kursi roda sambil mengamati rak buku yang terisi penuh, namun pikirannya lebih tertuju pada Cyra. “Mas, apa kamu merasa suasana di