Share

Chapter 5

Sinar matahari mulai menyusup ke dalam kamar seorang gadis, yang masih berada di bawah selimut tebal. Namun wajah gadis itu terlihat pucat, keringat dingin terus keluar dari kening dan tubuhnya menggigil.

Sesaat kemudian, ia terlonjak kaget saat pintu terbuka secara kasar. Cyra menoleh, ia melihat Margaret sudah berada di depan pintu.

"Bangun, Ra! Kamu tidak ke kantor?" tanya Margaret dingin.

"Aku udah izin hari ini tidak masuk, Mah. Aku tidak enak badan." Sahut Cyra lemah.

Margaret mendekat, ia melihat wajah putri sulungnya yang di selimuti keringat. Melihat itu, hati mungilnya tergerak ia meraih tisu di samping ranjang lalu menyeka keringat di kening Cyra. Sontak tubuh gadis itu langsung membeku, ia tak menyangka ibunya akan bertindak demikian.

"Kamu tahu sendiri, kamu tidak bisa terkena air hujan! Kenapa kemarin kamu main hujan-hujanan, Ra?"

Meski nada bicara Margaret masih judes, namun Cyra merasa senang sebab baru kali ini Margaret mau menyentuhnya.

"Maaf, Mah. Aku selalu merepotkan kalian." Sesal Cyra.

"Sudahlah, nanti Mamah panggil dokter ke sini. Jangan lupa makan, nanti bibi bawa bubur buat kamu."

"Makasih, Mah." Sahut Cyra di selingi senyum tipis.

Setidaknya hari ini ia tidak mendapat cacian dari Margaret, Cyra menarik selimut hingga menutupi leher dan kembali memejamkan kedua matanya.

Melihat itu, Margaret segera pergi menuju dapur dan meminta pembantunya menyiapkan bubur untuk Cyra.

Sementara itu, Nera baru saja tiba di rumahnya. Ia terkejut melihat suasana rumah yang sepi, hingga ia melihat Margaret sedang duduk di sofa sembari membaca majalah di tangannya. Nera menghampiri Margaret, dan menanyakan keberadaan semua orang di rumah itu.

"Mah, kemana semua orang? kenapa rumah sangat sepi?" Tanya Nera, ia duduk di samping Margaret.

"Papah sudah berangkat ke kantor, dan kakakmu ada di kamar. Dia demam." Sahut Margaret menjelaskan.

Seketika kedua alis Nera menyatu, ia heran sebab kemarin kakaknya masih terlihat sehat dan baik-baik saja.

"Sejak kapan kakak sakit?"

"Tadi pagi, semalam dia kehujanan." Margaret meletakan majalah di meja, lalu menatap lekat ke arah Nera.

"Kamu sendiri dari mana, kenapa baru pulang sekarang?"

Nera menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia berusaha mengalihkan pembicaraan tersebut. Nera belum siap mengatakan kejadian semalam pada sang mamah.

"Aku habis dari rumah teman, kemarin aku udah izin sama Mamah kok. Terus tadi mampir ke apartemen Kaivan dulu, jadi lama." Jawab Nera panjang lebar.

Margaret mengangguk singkat, mereka berdua mengobrol selama beberapa menit hingga kedatangan seorang dokter membuat ibu dan anak itu mengehentikan obrolan mereka.

Margaret pamit pada putri keduanya untuk mengantar dokter ke kamar Cyra, melihat mamahnya sedikit berubah membuat Nera cemas. Ia takut jika kasih sayang Margaret akan terbagi dengan kakaknya.

"Ini tidak bisa di biarkan, kakak tidak boleh mendapat kasih sayang dari mamah dan papah!" gumam Nera, ia menggigit kuku-kuku di jarinya.

Kebiasaan itu terjadi setiap kali ia merasa cemas serta kalut, dan kini ia merasa posisi putri kesayangan bagi keluarga tersebut sedang terombang ambing. Meski Nera menjadi anak kesayangan, tapi ia sangat tidak suka jika Cyra hidup nyaman.

Perasaan iri selalu menyelimuti batin gadis itu, ia menginginkan semua yang selalu membuat Cyra tersenyum, termasuk Kaivan yang berhasil ia rebut.

Ia melangkah menuju tangga, Nera mulai menaiki anak tangga satu persatu menuju pintu bercat putih yang terdapat gantungan pintu berisi inisal sang pemilik kamar tersebut.

Perlahan Nera membuka pintu, ia melihat ke arah ranjang berukuran sedang. Di sana ada Cyra dengan wajah pucat, dan bibir kering.

"Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya Margaret.

"Nona Cyra hanya demam biasa, saya sudah memberikan obat penurun panas sebentar lagi pasti dia akan membaik." Jawab sang dokter sopan.

Margaret mengangguk, ia menunduk kembali menatap Cyra. Gadis itu masih terlelap, dan raut wajahnya masih saja pucat. Pandangan Margaret tertuju pada mangkok bubur di nakas, bubur itu masih utuh seperti belum di sentuh sama sekali.

Lamunan wanita paruh baya tersebut buyar, ketika mendengar dokter berpamitan. Margaret mengantar dokter itu keluar, ia membiarkan Cyra bersama Nera di sana.

"Kak, apa kamu tidur?"

Namun tidak ada jawaban dari Cyra, hal itu menandakan bahwa Cyra benar-benar sedang terlelap. Sesaat Nera menoleh ke arah pintu, ia memastikan bahwa Margaret belum datang kembali.

Nera mengguncang lengan Cyra cukup keras, hingga gadis itu terbangun dari tidur lelapnya. Ia menoleh ke samping kanan, seketika ia merubah raut wajahnya menjadi dingin.

"Ada apa kamu kesini, Ner?" nada bicara Cyra, sangat datar dan acuh. Tidak ada lagi sapaan hangat seperti biasanya.

"Aku cemas karena Kakak tiba-tiba sakit, apa kejadian kemarin sangat membuatmu terluka?"

Ia bertanya sembari tersenyum mengejek, seakan ia senang melihat keterpurukan Cyra saat ini. Namun Cyra tak menjawab, ia diam dan membuang wajah ke samping kiri. Ia tak ingin melihat wajah Nera, yang sedang menyepelekan perasaannya.

Melihat Cyra tak menanggapi ucapannya, Nera menjadi kesal ia meraih mangkok bubur di samping tempat tidur dan kembali melontarkan pertanyaan pada kakaknya.

"Kak, aku tidak suka jika Kakak mendapat perhatian kecil dari mamah. Apa Kakak tahu, aku sangat benci dengan sikap Kakak yang terlalu naif." Pancing Nera.

Cyra kembali menoleh, ia menaikan satu alisnya ke atas. "Naif? bukannya kamu yang seperti itu, Ner."

"Kamu bersikap lembut di depan, tapi bajingan di belakang!" imbuh Cyra.

Ia memperhatikan perubahan pada wajah Nera, kedua tangan adiknya nampak gemetar menahan amarah. Hingga sesaat kemudian, Nera menumpahkan mangkok bubur pada dirinya sendiri. Sontak Cyra langsung syok, bersamaan dengan itu muncul Margaret dari arah pintu yang berteriak lantang memanggil nama adiknya.

"NERA!" Margaret berlari menghampiri Nera, ia menutup mulutnya saat menyadari bubur di mangkok tadi sudah berpindah tempat pada tubuh putrinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status