Raizan mengulurkan payungnya, melindungi Cyra dari tetesan hujan yang semakin deras. “Kamu kenapa ada di sini, Ra? hujan-hujanan lagi." Cyra terdiam sejenak, melihat ke dalam mata Raizan yang penuh perhatian. Ia merasa ada kehangatan dalam tatapan itu, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan dari keluarganya. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Semuanya terasa begitu berat, Pak.” Ucapnya, suaranya terdengar bergetar. “Bicaralah padaku,” Raizan menarik lengan Cyra lembut agar lebih dekat dengannya. “Kadang, berbagi beban dapat meringankan rasa sakit. Apa yang sebenarnya terjadi?” Cyra menghela napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku merasa terasingkan. Keluargaku tidak mempercayai aku, mereka semua menganggap ku sebagai masalah. Seolah aku tidak ada artinya bagi mereka.” Raizan mengangguk, mendengarkan dengan seksama. “Keluarga terkadang bisa sangat sulit di pahami. Tapi ingat, itu tidak menentukan siapa dirimu. Kamu memiliki nilai yang jauh lebih besar dari
Suasana yang dingin akibat hujan turun, membuat kediaman Cyra terasa lembab. Sinar dari lampu, tak mampu menerangi perasaan Nevalion saat ini. Kemunculan Katty yang mendadak, berhasil membuat jantungnya seperti jatuh ke dalam perut. "Anda siapa, Nona?" tanya Cyra heran, ia mengamati pakaian Katty yang basah. "Maaf, mengganggu malam-malam, Nona. Tapi, saya tidak punya tempat berteduh. Saya sedang mencari alamat rumah teman saya, hanya saja ia tak mau memberitahu saya dimana rumahnya." Sahut Katty, ia mencuri pandang ke arah Nevalion yang sedang duduk di kursi meja makan. Cyra mengangguk, meski rasa curiga menggelayuti pikirannya. "Ah, jadi begitu, kalau anda mau silakan masuk. Anda bisa menghangatkan diri di sini sebelum pulang," ujarnya sambil membuka pintu lebar-lebar, memberi jalan bagi Katty. Katty melangkah masuk, tatapannya tertuju pada foto-foto keluarga Cyra. Setiap foto menggambarkan kebahagiaan yang seolah tak pernah pudar, namun di sudut hati Katty, ada rasa getir meliha
Nevalion terkejut mendengar pertanyaan Cyra, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Kami… kami dulu satu sekolah," jawabnya, suaranya terdengar stabil meski hatinya bergetar. "Katty pergi ke luar negeri setelah lulus. Kami kehilangan kontak sejak saat itu." Cyra mengangguk, tampak menerima penjelasan itu. "Oh, jadi kamu sudah lama tidak bertemu? mungkinkah, teman yang Nona Katty maksud itu kamu?" Namun, tanpa Cyra sadari, kata-katanya justru semakin menambah ketegangan di antara Nevalion dan Katty. Katty menyandarkan punggungnya ke kursi, menyeringai kecil. "Ya, itu benar, Nona." "Tapi aku tidak hanya datang untuk mengenang masa lalu. Aku ingin tahu apa yang terjadi denganmu, Nevalion. Sebab aku dengar, dia sudah menikah. Aku minta maaf jika kedatanganku, mengganggu kalian." Nevalion merasakan beban di dadanya semakin berat. Ia tahu bahwa setiap kata yang diucapkan Katty bisa mengungkap kebohongannya. "Aku baik-baik saja," jawabnya cepat, berusaha menutup topik yang terlalu dalam.
Di dalam rumah yang mewah, terdapat satu keluarga yang sedang berkumpul di ruang makan. Namun, secara tiba-tiba suara bariton sang pemimpin keluarga berucap pada putri sulungnya. "Satu minggu lagi, kamu harus menikah, Cyra!" Seketika suasana meja makan menjadi tegang. Anton, sebagai kepala keluarga, mengucapkan sesuatu yang tidak pernah terlintas di benak gadis bernama Cyra Alexa. "A-apa menikah?" sahut Cyra, masih syok. "Ya, kami sudah menyiapkan segala keperluanmu. Minggu depan, kamu hanya perlu hadir di sana sebagai mempelai wanita!" "Tunggu, Pah. Bukannya yang menikah itu Nera?" Cyra merasa bingung. Setahunya, yang akan menikah adalah adiknya, bukan dirinya. Kini, sang Papah meminta ia menikah, bahkan tanpa berdiskusi lebih dulu. "Nera menolak. Papah tidak bisa membatalkan rencana pernikahan ini. Kamu satu-satunya harapan keluarga kita, Ra," jawab Anton dengan tegas. "Tapi, Pah—" "Cyra, diam! kamu mau jadi anak pembangkang, hah?" bentak sang Mamah, Margaret. "Tau tuh, K
Kopi yang ada di mulut Jena menyembur ke meja. Ia menyeka bibirnya menggunakan punggung tangan dan menatap lekat wajah sahabatnya, yang masih syok karena terkena cipratan kopi dari bibir Jena. "Jorok banget kamu, Jen," sindir Cyra sambil menggeleng pelan. "Biarin. Tapi kamu beneran mau dijodohkan?" tanya Jena. Cyra mengangguk singkat. "Ya, aku serius. Ngomong-ngomong, lap dulu itu kopi, nanti banyak semut mangkal di situ." Ia menunjuk meja yang ketumpahan kopi dengan dagunya. Jena mengangguk, meraih tisu, dan mulai mengelap meja. Setelah selesai, mereka melanjutkan obrolan. "Kamu mau?" tanya Jena penasaran. "Aku tidak punya hak menolak keputusan papah, Jen," jawab Cyra. "Lah, kenapa? Kamu anaknya, dan perjodohan itu harus mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, Ra. Sekarang bukan jamannya Siti Nurbaya yang main jodoh-jodohan terus nikah gitu aja!" protes Jena tak setuju. Cyra terdiam. Ia sendiri tahu dan ingin menolak, namun ia yakin semua usahanya akan berakhir sia-sia. S
Suara menggelegar dari Cyra mampu membuat kedua orang yang sedang bercumbu terkejut. Mereka berdua menoleh secara bersamaan. "C-Cyra..." Raut wajah Kaivan nampak pucat. Kedua pupil matanya bergetar, tetapi ia sama sekali tidak mau melepaskan gadis yang ada di pelukannya. "Kalian! Bisa-bisanya melakukan ini padaku?" ucap Cyra dengan suara bergetar. Dadanya sakit, ia merasa tubuhnya lemas, seolah semua tulangnya hilang dalam sekejap. Pemandangan di depan mata yang ia kira akan menjadi kejutan terindah justru membuat seluruh perasaannya hancur tak berbentuk lagi. "Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?" Pertanyaan konyol dari Kaivan semakin membuat Cyra meradang. Jelas sekali tidak ada penyesalan di wajah pria itu. Usianya yang sudah menginjak 28 tahun tidak membuatnya memiliki pemikiran yang dewasa. "Apakah itu penting, Kai? Di saat seperti ini, kamu bahkan tidak memperdulikan perasaanku!" sahut Cyra, tak dapat membendung amarahnya. Kedua mata gadis itu memerah, berusaha mati-matian
Waktu semakin larut, namun Cyra masih enggan pulang. Ia duduk termenung di taman komplek yang tidak terlalu jauh dari kediamannya, semilir angin malam menerbangkan helaian rambut gadis itu. Kondisi taman yang sepi, tidak membuat Cyra merasa takut. Ia justru merasa kosong di bagian hatinya, rasa kecewa dan pengkhianatan yang muncul secara serempak mampu membuat jiwanya terguncang cukup hebat. "Miris." Monolog Cyra. Ia menertawakan nasibnya, Cyra tidak memiliki tempat untuk bercerita. Semua luka yang ia terima, ia emban sendiri. Seolah mengerti akan kesedihan gadis itu, tiba-tiba hujan turun begitu deras mengguyur taman serta tubuh Cyra. Gadis itu meneteskan air mata bersama hujan yang mengenai wajahnya, ia tidak tahu di bagian mana rasa sakit itu berada. Tapi saat ini ia benar-benar hancur, Cyra tidak mengira takdir akan membawanya ke dalam posisi seperti saat ini. "Aaarrghh... Sakit tuhan!" Teriak Cyra mendongak menatap langit malam. Ia menjerit sembari memukuli dadanya, mi
Sinar matahari mulai menyusup ke dalam kamar seorang gadis, yang masih berada di bawah selimut tebal. Namun wajah gadis itu terlihat pucat, keringat dingin terus keluar dari kening dan tubuhnya menggigil. Sesaat kemudian, ia terlonjak kaget saat pintu terbuka secara kasar. Cyra menoleh, ia melihat Margaret sudah berada di depan pintu. "Bangun, Ra! Kamu tidak ke kantor?" tanya Margaret dingin. "Aku udah izin hari ini tidak masuk, Mah. Aku tidak enak badan." Sahut Cyra lemah. Margaret mendekat, ia melihat wajah putri sulungnya yang di selimuti keringat. Melihat itu, hati mungilnya tergerak ia meraih tisu di samping ranjang lalu menyeka keringat di kening Cyra. Sontak tubuh gadis itu langsung membeku, ia tak menyangka ibunya akan bertindak demikian. "Kamu tahu sendiri, kamu tidak bisa terkena air hujan! Kenapa kemarin kamu main hujan-hujanan, Ra?" Meski nada bicara Margaret masih judes, namun Cyra merasa senang sebab baru kali ini Margaret mau menyentuhnya. "Maaf, Mah. Aku selalu