Nevalion duduk di meja kerjanya, di kelilingi oleh tumpukan buku dan catatan. Cahaya matahari sore yang lembut masuk melalui jendela, menciptakan suasana nyaman yang membuatnya bisa berkonsentrasi pada proyeknya. Tiba-tiba, bunyi notifikasi dari ponselnya memecah kesunyian. Dengan penasaran, ia melihat layar dan mendapati pesan dari mantan pacarnya, Katty. "Hai, Neva! apa kamu ada waktu? aku ingin bicara denganmu. Mungkin kita bisa bertemu di taman dekat rumahmu?" Perasaan campur aduk muncul dalam dirinya. Di satu sisi, ia merasa ragu untuk menjawab pesan itu. Terlebih saat ini ia sudah menikah, meski bukan karena cinta. Di sisi lain, kenangan masa lalu yang pahit juga kembali menghantui pikirannya. Sebelum sempat mengambil keputusan, suara pintu terbuka menggema di ruang kerjanya. Cyra, baru saja, melangkah masuk dengan senyum lebar dan membawa sekotak kue yang baru di belinya. "Mas Neva, aku bawa kue! kita harus merayakan keberhasilan operasimu." Serunya dengan antusias. Neva
Cyra melangkah masuk ke rumah orangtuanya, merasakan hangatnya udara di dalam yang kontras dengan dinginnya sikap yang menyambutnya. Belum sepenuhnya ia menutup pintu, ketika ia mendengar suara mamahnya menyengat telinga.“Cyra! apa yang kamu lakukan di sini?” Mamahnya berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya tampak tegang. Cyra mengerutkan dahi, kebingungan melingkupi pikirannya. “Aku di minta ke sini sama Nera, katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan denganku.”“Mana mungkin Nera mengundangmu, kamu pasti hanya ingin merusak hidup adikmu, kan?” Papahnya menyela, suaranya penuh kemarahan. “Kami tahu kamu mempengaruhi Kaivan! kamu membuatnya terus berselingkuh!”Jantung Cyra berdegup kencang. Tuduhan itu menghantamnya seperti petir di siang bolong. “Apa? tidak, itu tidak benar! aku tidak pernah—”“Bohong!” Mamahnya memotong dengan suara tinggi. “Adikmu sudah cukup menderita karena semua ini. Dan kamu masih saja berpura-pura tidak tahu apa-apa?”Air mata mulai menggenang di pe
Hujan turun deras di luar, suara tetesan air menghentak atap rumah. Di dalam ruang tamu yang remang-remang, Cyra berdiri tegar, meski hatinya bergetar. Di hadapannya, kedua orang tuanya duduk dengan wajah dingin, sementara Nera, adik kandungnya masih menatapnya sengit. “Cyra,” suara mamahnya terdengar seperti pisau yang baru keluar dari tempatnya. “Kamu tahu, hubungan Nera dan Kaivan selalu berada di bawah bayang-bayangmu! Kami tidak percaya bahwa kamu lah yang mempengaruhi Kaivan untuk berselingkuh.” Cyra menggelengkan kepala, menahan air mata. Rasa sesak di dadanya kian menjadi, ia datang ke rumah semata-mata untuk memenuhi permintaan Nera. Tapi, nyatanya kedatangannya hanya di jadikan samsak kemarahan mereka bertiga yang menyandang gelar keluarga. “Tapi itu yang kalian percayai, kan? kalian lebih memilih mengambil kesimpulan sendiri, dari pada mempercayai aku. Ini semua salah paham yang menyakitkan, Mah." Ayahnya, yang biasanya memiliki belas kasih meski sedikit kini terlihat
Raizan mengulurkan payungnya, melindungi Cyra dari tetesan hujan yang semakin deras. “Kamu kenapa ada di sini, Ra? hujan-hujanan lagi." Cyra terdiam sejenak, melihat ke dalam mata Raizan yang penuh perhatian. Ia merasa ada kehangatan dalam tatapan itu, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan dari keluarganya. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Semuanya terasa begitu berat, Pak.” Ucapnya, suaranya terdengar bergetar. “Bicaralah padaku,” Raizan menarik lengan Cyra lembut agar lebih dekat dengannya. “Kadang, berbagi beban dapat meringankan rasa sakit. Apa yang sebenarnya terjadi?” Cyra menghela napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku merasa terasingkan. Keluargaku tidak mempercayai aku, mereka semua menganggap ku sebagai masalah. Seolah aku tidak ada artinya bagi mereka.” Raizan mengangguk, mendengarkan dengan seksama. “Keluarga terkadang bisa sangat sulit di pahami. Tapi ingat, itu tidak menentukan siapa dirimu. Kamu memiliki nilai yang jauh lebih besar dari
Suasana yang dingin akibat hujan turun, membuat kediaman Cyra terasa lembab. Sinar dari lampu, tak mampu menerangi perasaan Nevalion saat ini. Kemunculan Katty yang mendadak, berhasil membuat jantungnya seperti jatuh ke dalam perut. "Anda siapa, Nona?" tanya Cyra heran, ia mengamati pakaian Katty yang basah. "Maaf, mengganggu malam-malam, Nona. Tapi, saya tidak punya tempat berteduh. Saya sedang mencari alamat rumah teman saya, hanya saja ia tak mau memberitahu saya dimana rumahnya." Sahut Katty, ia mencuri pandang ke arah Nevalion yang sedang duduk di kursi meja makan. Cyra mengangguk, meski rasa curiga menggelayuti pikirannya. "Ah, jadi begitu, kalau anda mau silakan masuk. Anda bisa menghangatkan diri di sini sebelum pulang," ujarnya sambil membuka pintu lebar-lebar, memberi jalan bagi Katty. Katty melangkah masuk, tatapannya tertuju pada foto-foto keluarga Cyra. Setiap foto menggambarkan kebahagiaan yang seolah tak pernah pudar, namun di sudut hati Katty, ada rasa getir meliha
Nevalion terkejut mendengar pertanyaan Cyra, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Kami… kami dulu satu sekolah," jawabnya, suaranya terdengar stabil meski hatinya bergetar. "Katty pergi ke luar negeri setelah lulus. Kami kehilangan kontak sejak saat itu." Cyra mengangguk, tampak menerima penjelasan itu. "Oh, jadi kamu sudah lama tidak bertemu? mungkinkah, teman yang Nona Katty maksud itu kamu?" Namun, tanpa Cyra sadari, kata-katanya justru semakin menambah ketegangan di antara Nevalion dan Katty. Katty menyandarkan punggungnya ke kursi, menyeringai kecil. "Ya, itu benar, Nona." "Tapi aku tidak hanya datang untuk mengenang masa lalu. Aku ingin tahu apa yang terjadi denganmu, Nevalion. Sebab aku dengar, dia sudah menikah. Aku minta maaf jika kedatanganku, mengganggu kalian." Nevalion merasakan beban di dadanya semakin berat. Ia tahu bahwa setiap kata yang diucapkan Katty bisa mengungkap kebohongannya. "Aku baik-baik saja," jawabnya cepat, berusaha menutup topik yang terlalu dalam.
Di dalam rumah yang mewah, terdapat satu keluarga yang sedang berkumpul di ruang makan. Namun, secara tiba-tiba suara bariton sang pemimpin keluarga berucap pada putri sulungnya. "Satu minggu lagi, kamu harus menikah, Cyra!" Seketika suasana meja makan menjadi tegang. Anton, sebagai kepala keluarga, mengucapkan sesuatu yang tidak pernah terlintas di benak gadis bernama Cyra Alexa. "A-apa menikah?" sahut Cyra, masih syok. "Ya, kami sudah menyiapkan segala keperluanmu. Minggu depan, kamu hanya perlu hadir di sana sebagai mempelai wanita!" "Tunggu, Pah. Bukannya yang menikah itu Nera?" Cyra merasa bingung. Setahunya, yang akan menikah adalah adiknya, bukan dirinya. Kini, sang Papah meminta ia menikah, bahkan tanpa berdiskusi lebih dulu. "Nera menolak. Papah tidak bisa membatalkan rencana pernikahan ini. Kamu satu-satunya harapan keluarga kita, Ra," jawab Anton dengan tegas. "Tapi, Pah—" "Cyra, diam! kamu mau jadi anak pembangkang, hah?" bentak sang Mamah, Margaret. "Tau tuh, K
Kopi yang ada di mulut Jena menyembur ke meja. Ia menyeka bibirnya menggunakan punggung tangan dan menatap lekat wajah sahabatnya, yang masih syok karena terkena cipratan kopi dari bibir Jena. "Jorok banget kamu, Jen," sindir Cyra sambil menggeleng pelan. "Biarin. Tapi kamu beneran mau dijodohkan?" tanya Jena. Cyra mengangguk singkat. "Ya, aku serius. Ngomong-ngomong, lap dulu itu kopi, nanti banyak semut mangkal di situ." Ia menunjuk meja yang ketumpahan kopi dengan dagunya. Jena mengangguk, meraih tisu, dan mulai mengelap meja. Setelah selesai, mereka melanjutkan obrolan. "Kamu mau?" tanya Jena penasaran. "Aku tidak punya hak menolak keputusan papah, Jen," jawab Cyra. "Lah, kenapa? Kamu anaknya, dan perjodohan itu harus mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, Ra. Sekarang bukan jamannya Siti Nurbaya yang main jodoh-jodohan terus nikah gitu aja!" protes Jena tak setuju. Cyra terdiam. Ia sendiri tahu dan ingin menolak, namun ia yakin semua usahanya akan berakhir sia-sia. S