Share

Chapter 2

Kopi yang ada di mulut Jena menyembur ke meja. Ia menyeka bibirnya menggunakan punggung tangan dan menatap lekat wajah sahabatnya, yang masih syok karena terkena cipratan kopi dari bibir Jena.

"Jorok banget kamu, Jen," sindir Cyra sambil menggeleng pelan.

"Biarin. Tapi kamu beneran mau dijodohkan?" tanya Jena.

Cyra mengangguk singkat. "Ya, aku serius. Ngomong-ngomong, lap dulu itu kopi, nanti banyak semut mangkal di situ." Ia menunjuk meja yang ketumpahan kopi dengan dagunya.

Jena mengangguk, meraih tisu, dan mulai mengelap meja. Setelah selesai, mereka melanjutkan obrolan.

"Kamu mau?" tanya Jena penasaran.

"Aku tidak punya hak menolak keputusan papah, Jen," jawab Cyra.

"Lah, kenapa? Kamu anaknya, dan perjodohan itu harus mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, Ra. Sekarang bukan jamannya Siti Nurbaya yang main jodoh-jodohan terus nikah gitu aja!" protes Jena tak setuju.

Cyra terdiam. Ia sendiri tahu dan ingin menolak, namun ia yakin semua usahanya akan berakhir sia-sia. Sikap keras kepala ayah dan ibunya membuat Cyra benar-benar tertekan.

Melihat wajah sahabatnya yang murung, Jena tiba-tiba meraih tangan Cyra, menggenggamnya dengan lembut, seakan memberikan kekuatan pada gadis itu.

"Ra, sampai kapan kamu mau seperti ini terus? Kebahagiaanmu juga penting!" imbuh Jena dengan rasa iba.

***

Waktu berlalu dengan cepat, tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Para karyawan mulai berbenah barang-barang mereka, berbeda dengan Cyra yang masih sibuk bersama komputernya.

"Ra, kamu mau lembur lagi?" tanya Jena, yang sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

Cyra menoleh dan mengangguk singkat, lalu kembali fokus pada komputer di depannya. Jari-jemari gadis itu menari-nari di atas keyboard dengan santai. Cyra terpaksa harus lembur sebab laporan itu harus diserahkan besok pagi.

Akhirnya, jam pulang kantor tiba. Jena berdiri dari kursinya, menyodorkan segelas kopi yang tadi ia pesan dan belum sempat diminum setelah kembali dari kantin.

"Ini buat kamu aja, Ra. Semangat ya, aku balik dulu!" pamit Jena.

"Hati-hati, Jen," sahut Cyra.

Ia melihat sahabatnya mulai menjauh dari pandangan. Suasana kantor seketika berubah hening. Cyra kembali pada pekerjaannya agar lebih cepat selesai. Menit demi menit berganti jam, tanpa terasa tiga jam sudah berlalu, dan akhirnya Cyra bisa menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.

"Ugh, pegel banget tanganku," gumam gadis itu.

Ia menyimpan file tersebut, mematikan komputer, dan bersiap pulang. Cyra meraih kopi yang sudah dingin lalu menenggaknya hingga habis. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan melihat pesan dari ayahnya yang meminta ia pulang secepat mungkin.

"Haa... sampai kapan aku begini?"

Cyra menghela nafas berat, menyampirkan tas selempang di pundak kiri, lalu melangkah menuju pintu keluar. Sepanjang langkahnya, kedua kakinya terasa sangat berat. Beban yang ia pikul hampir membuatnya gila. Pernah beberapa kali Cyra mengeluh, namun mau ia mengeluh setiap detik pun, sama sekali tidak ada yang berubah.

Sebelum pulang, Cyra menyempatkan mampir ke rumah makan langganannya. Ia memesan soto dan nasi, guna mengganjal rasa lapar yang sedari tadi mengganggu perutnya.

Cyra menikmati sotonya sambil menatap jalanan di depan warung. Banyak mobil berlalu lalang, hingga tatapannya terkunci pada sosok pria di seberang jalan.

"Kaivan?" gumam gadis itu.

Ia mengucek kedua bola matanya dengan punggung tangan, ingin memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Namun siapa sangka, sosok itu memang benar Kaivan, kekasihnya.

Merasa ada yang janggal, Cyra segera menyelesaikan makanannya. Setelah membayar, ia langsung berlari keluar warung. Cyra berniat menyeberang, tetapi urung ketika melihat Kaivan masuk ke dalam mobilnya. Tak ingin ketinggalan, Cyra pun masuk ke dalam mobil dan bergegas mengikuti sang kekasih.

Di dalam mobil, Cyra berusaha menghubungi Kaivan, tetapi setiap kali panggilan tersambung, Kaivan selalu mematikan panggilan tersebut.

"Kenapa dia tidak mau mengangkat teleponku?" pikirnya frustrasi.

Cyra kembali mencoba, namun hasilnya tetap sama. Tak ingin kekesalannya berakhir sia-sia, ia lebih memilih fokus mengikuti mobil kekasihnya.

Sesaat kemudian, mereka tiba di gedung apartemen milik Kaivan. Cyra menunggu Kaivan keluar dari mobil, seketika tubuhnya membeku saat melihat Kaivan turun dengan membawa sebuket bunga mawar merah berukuran sedang.

'Mungkinkah dia ingin memberiku kejutan?' batin Cyra, merasakan debar jantungnya.

Ia memperhatikan raut wajah kekasihnya yang nampak berseri-seri, membayangkan betapa terkejutnya Kaivan ketika melihat kedatangannya nanti.

Setelah melihat Kaivan memasuki lift, Cyra segera menyusulnya. Senyum hangat tak kunjung redup dari bibir gadis itu, bahkan ia melupakan sejenak masalah yang sedang menimpanya.

"Aku harus pura-pura terkejut nanti," ucapnya tersipu malu.

Namun, saat ia membuka pintu apartemen itu, justru ia yang mendapat kejutan dari Kaivan.

"KAIVAN!" bentak Cyra, suaranya menggema di dalam ruangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status