Mobil Cyra mulai memasuki area parkir milik perusahaan Daxton Group, gadis itu keluar dari mobil setelah memastikan mobilnya terparkir dengan aman. Ia membenarkan tas selempang di pundak kiri, dan berlari memasuki lobi. Ia takut ketinggalan penyambutan pemimpin yang baru, di tengah langkahnya ia mendengar suara seseorang memanggil namanya dari belakang. "Cyra!" Sontak Cyra langsung menoleh, ia melihat Jena sedang berlari ke arahnya sambil membawa segelas kopi. "Kamu baru sampai?" ujar gadis itu, seraya melihat penampilan Cyra. "Ya, kamu sendiri dari mana?" Jena tersenyum malu-malu, "Aku habis ketemu berondong, cakep banget gila mataku langsung sumringah habis ketemu mereka di kantin." Mendengar itu, Cyra menepuk lengan Jena sebal. Hampir setiap hari Jena menggoda para karyawan baru, terlebih yang masih muda dan terlihat polos. "Sampai kapan kamu mau mempermainkan mereka, Jen. Bisa-bisa kamu kualat loh." Ucap Cyra sedikit menakut-nakuti. Namun Jena tak perduli, ia mengangkat k
Suasana ruang pertemuan mulai sepi, tapi Cyra merasakan kebisingan menghantam seluruh raganya. Kedua mata gadis itu tertuju pada satu sosok pria yang berdiri di samping ketua divisi pengembangan, Cyra tidak tahu mengapa pria itu bisa berada di perusahaan ini."Ra, hei kamu baik-baik saja?" tanya Jena mulai cemas.Cyra menoleh, ia lalu mengangguk ragu. "Aku baik-baik saja, Jen.""Bohong, wajahmu mengatakan hal sebaliknya.""Entahlah, aku tidak menyangka kalau Kaivan ada di perusahaan yang sama denganku." Sahut Cyra tersenyum kecut.Jena mengelus punggung sahabatnya lembut, "Aku juga sama, aku dengar dia baru masuk setelah di pindahkan dari kantor cabang.""Kenapa kamu tidak memberitahu aku?" heran Cyra.Jena menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Maaf, aku takut kamu tidak suka jika aku berbicara tentang bajingan itu."Cyra tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat ini, kenyataan bahwa Kaivan berada di sana saja sudah membuat ia tidak bisa berpikir jernih. Meski ia sudah bertekad
Cyra menunggu dengan perasaan cemas, ia takut melakukan kesalahan tanpa sadar dan membuat lelaki di depannya marah. Ia meremas kedua tangan yang sudah berkeringat, Cyra tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia di pecat? sebab hanya perusahaan ini yang berani mengeluarkan gaji besar untuknya, selama ia bergelut di dunia pekerjaan.'Semoga bukan pemecatan mendadak yang akan dia katakan.' Batin Cyra penuh harap.Reizan memperhatikan mimik wajah Cyra, keringat muncul di kening gadis itu hingga membuat Reizan bertanya-tanya sendiri apakah di ruangan itu kurang dingin? padahal ia sudah mengatur suhu ruangan tersebut dengan baik.Tidak ingin menembak hal tidak berguna, Reizan kembali melanjutkan ucapannya."Kamu... terpilih menjadi sekertaris saya! Mulai besok tolong siapkan semua jadwal yang akan saya lakukan, jangan lupa atur semuanya sesuai urutan."Seketika Cyra terdiam, jauh di dalam benak gadis itu ia tidak mempercayai pendengarannya barusan. Cyra memberanikan diri bertanya kembali, i
Kediaman Nevalion nampak sunyi, hanya terdengar bunyi keyboard dari dalam kamar. Nevalion begitu serius mengerjakan tugasnya, ia tidak bisa menunda pekerjaannya setelah kemarin menunda karena melakukan akad nikah. Lama waktu berlalu, Nevalion mulai merasa lapar. Ia menghentikan sejenak pekerjaannya, Nevalion meraih ponsel dari ranjang dan membuka aplikasi yang biasa ia pakai untuk memesan makanan. Ia memesan satu kotak Sandwich dan segelas kopi, setelah selesai ia kembali melanjutkan pekerjaannya sambil menunggu pesanannya datang. "Aku perlu mengirim file ini sekarang." Gumam Nevalion. Ia mulai mengirim file tersebut pada atasannya, meski kondisi saat ini tidak memungkinkan Nevalion untuk bepergian sendiri tapi ia masih mendapat kepercayaan dari perusahaan, hingga ia tidak perlu khawatir tentang uang. Suara bel berbunyi, Nevalion menutup laptop dan segera keluar dari kamar. Untungnya jarak kamar dan pintu utama tidak terlalu jauh, jadi ia tidak merasa kesulitan. Nevalion membuka
Mobil mewah yang di kendarai oleh Nera, mulai memasuki kawasan apartemen milik kekasihnya. Nera begitu antusias ingin memberi tahu pada Kaivan, kalau persiapan pernikahan mereka sudah setengah jalan. Selama ini Nera sendiri yang mengurus semua keperluan pernikahan mereka, Kaivan hanya mendengar setiap detailnya dari Nera itu pun setelah semua deal dan dalam proses pengerjaan.Sesampainya di basemen, Nera memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Akan tetapi ia belum melihat mobil Kaivan ada di sana, Nera mengambil ponsel lalu menghubungi nomor kekasihnya.Akan tetapi nomor itu tidak aktif, Nera kembali mencoba hingga panggilan kelima nomor Kaivan tak kunjung bisa di hubungi.Ia berdecak sebal, "Kaivan kemana sih, kok tumben nomornya tidak aktif terus?"Baru saja ia hendak mengirim pesan, ia melihat mobil Kaivan memasuki area basemen. Nera bergegas keluar dari mobil, dan berlari kecil menuju mobil Kaivan."Kaivan!" pekik Nera begitu Kaivan keluar dari mobil."Kenapa?"Wajah Kaivan nampak b
Malam semakin larut, hawa dingin kian menusuk akan tetapi Cyra masih enggan meninggalkan teras rumahnya. Ia duduk di kursi sambil melamun dan menopang dagu. Entah ia sedang memikirkan hal apa, tapi raut wajahnya nampak sendu. Hingga suara di ponselnya membuat lamunan Cyra buyar, ia membuka pesan yang baru saja ia terima. "Haa... Kenapa mereka selalu menggangguku? apa hidup mereka terlalu sepi." Gerutu gadis itu. Pesan tersebut berasal dari Anton, tidak ada hujan atau pun angin tiba-tiba ayahnya meminta uang padanya. "Tadi mamah, sekarang papah. Apa mereka tidak merasa bersalah karena baru saja membuang ku dari rumah?" Cyra membalas pesan Anton dengan singkat, ia tidak ingin bersedih atau pun meratapi kelakuan kedua orang tuanya seperti dulu. Cyra merasakan lelah yang tidak berujung setiap kali berkomunikasi dengan orang tuanya, tidak ada tempat untuknya berkeluh ia di paksa memahami tanpa ada yang mau memahami bagaimana kondisinya saat ini dan apa yang ia rasakan. "Sebaiknya aku
Pagi harinya, seperti biasa Cyra sedang menyiapkan sarapan untuk ia dan juga sang suami. Gadis itu bangun lebih awal dari biasanya, kali ini Cyra hanya menyiapkan Sandwich dan segelas kopi untuk Nevalion.Namun saat ia membuang bekas sayuran yang tidak terpakai ke tempat sampah, Cyra menemukan masakan yang ia buat kemarin sudah berada di tempat sampah itu."Jadi kamu benar-benar membuangnya, Mas?" Cyra terkekeh miris.Meski itu hanya sebuah masakan sederhana, tapi ia membuatnya dengan susah payah di sela-sela waktu mepet untuk berangkat bekerja.Cyra mengikat plastik sampah itu, lalu melangkah menuju pintu belakang dan membuangnya ke tempat sampah di luar rumah agar nanti bisa di bawa oleh mobil pengangkut sampah.Ia kembali masuk ke dalam rumah, dan melihat Nevalion sudah berada di meja makan sambil menyesap kopi buatan Cyra seraya melihat ponsel."Mas, kemarin masakan aku kamu makan atau tidak?" tanya Cyra, ia ingin mendengar sendiri jawaban suaminya itu.Nevalion menoleh, "Aku buan
Setibanya Cyra di kantor, ia bergegas menuju ruangan Raizan. Keringat sebutir biji jagung, terlihat jelas di kening gadis itu. Ia sudah telat setengah jam dari waktu yang di janjikan oleh Raizan, Cyra jelas panik ia takut di tendang dari perusahaan itu tanpa pesangon. Dalam posisi terengah-engah, Cyra mengetuk pintu ruangan Raizan. Tak berselang lama terdengar suara pria itu yang menyuruhnya masuk. Cyra memegang kenop pintu, lalu mendorongnya ke dalam. Sesaat ia mematung di tempat begitu netranya melihat tatapan dingin dari Raizan, Cyra menelan salivanya kasar ia mulai melangkah sedikit demi sedikit menuju meja Raizan. "Selamat pagi, Pak. Maaf saya telat." Sapa Cyra gugup. "Pagi, kamu sudah mendapat jadwal yang di kirim oleh Beni semalam?" Cyra mengangguk, "Sudah, Pak. Saya juga sudah merapikan ulang jadwal itu sesuai kemauan anda." Tanpa menatap wajah Cyra, Raizan mengangguk ia menutup map yang tadi sudah ia baca. "Apa jadwal pertama saya?" "Mengunjungi perusahaan LM Group,
Nevalion terkejut mendengar pertanyaan Cyra, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Kami… kami dulu satu sekolah," jawabnya, suaranya terdengar stabil meski hatinya bergetar. "Katty pergi ke luar negeri setelah lulus. Kami kehilangan kontak sejak saat itu." Cyra mengangguk, tampak menerima penjelasan itu. "Oh, jadi kamu sudah lama tidak bertemu? mungkinkah, teman yang Nona Katty maksud itu kamu?" Namun, tanpa Cyra sadari, kata-katanya justru semakin menambah ketegangan di antara Nevalion dan Katty. Katty menyandarkan punggungnya ke kursi, menyeringai kecil. "Ya, itu benar, Nona." "Tapi aku tidak hanya datang untuk mengenang masa lalu. Aku ingin tahu apa yang terjadi denganmu, Nevalion. Sebab aku dengar, dia sudah menikah. Aku minta maaf jika kedatanganku, mengganggu kalian." Nevalion merasakan beban di dadanya semakin berat. Ia tahu bahwa setiap kata yang diucapkan Katty bisa mengungkap kebohongannya. "Aku baik-baik saja," jawabnya cepat, berusaha menutup topik yang terlalu dalam.
Suasana yang dingin akibat hujan turun, membuat kediaman Cyra terasa lembab. Sinar dari lampu, tak mampu menerangi perasaan Nevalion saat ini. Kemunculan Katty yang mendadak, berhasil membuat jantungnya seperti jatuh ke dalam perut. "Anda siapa, Nona?" tanya Cyra heran, ia mengamati pakaian Katty yang basah. "Maaf, mengganggu malam-malam, Nona. Tapi, saya tidak punya tempat berteduh. Saya sedang mencari alamat rumah teman saya, hanya saja ia tak mau memberitahu saya dimana rumahnya." Sahut Katty, ia mencuri pandang ke arah Nevalion yang sedang duduk di kursi meja makan. Cyra mengangguk, meski rasa curiga menggelayuti pikirannya. "Ah, jadi begitu, kalau anda mau silakan masuk. Anda bisa menghangatkan diri di sini sebelum pulang," ujarnya sambil membuka pintu lebar-lebar, memberi jalan bagi Katty. Katty melangkah masuk, tatapannya tertuju pada foto-foto keluarga Cyra. Setiap foto menggambarkan kebahagiaan yang seolah tak pernah pudar, namun di sudut hati Katty, ada rasa getir meliha
Raizan mengulurkan payungnya, melindungi Cyra dari tetesan hujan yang semakin deras. “Kamu kenapa ada di sini, Ra? hujan-hujanan lagi." Cyra terdiam sejenak, melihat ke dalam mata Raizan yang penuh perhatian. Ia merasa ada kehangatan dalam tatapan itu, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan dari keluarganya. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Semuanya terasa begitu berat, Pak.” Ucapnya, suaranya terdengar bergetar. “Bicaralah padaku,” Raizan menarik lengan Cyra lembut agar lebih dekat dengannya. “Kadang, berbagi beban dapat meringankan rasa sakit. Apa yang sebenarnya terjadi?” Cyra menghela napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku merasa terasingkan. Keluargaku tidak mempercayai aku, mereka semua menganggap ku sebagai masalah. Seolah aku tidak ada artinya bagi mereka.” Raizan mengangguk, mendengarkan dengan seksama. “Keluarga terkadang bisa sangat sulit di pahami. Tapi ingat, itu tidak menentukan siapa dirimu. Kamu memiliki nilai yang jauh lebih besar dari
Hujan turun deras di luar, suara tetesan air menghentak atap rumah. Di dalam ruang tamu yang remang-remang, Cyra berdiri tegar, meski hatinya bergetar. Di hadapannya, kedua orang tuanya duduk dengan wajah dingin, sementara Nera, adik kandungnya masih menatapnya sengit. “Cyra,” suara mamahnya terdengar seperti pisau yang baru keluar dari tempatnya. “Kamu tahu, hubungan Nera dan Kaivan selalu berada di bawah bayang-bayangmu! Kami tidak percaya bahwa kamu lah yang mempengaruhi Kaivan untuk berselingkuh.” Cyra menggelengkan kepala, menahan air mata. Rasa sesak di dadanya kian menjadi, ia datang ke rumah semata-mata untuk memenuhi permintaan Nera. Tapi, nyatanya kedatangannya hanya di jadikan samsak kemarahan mereka bertiga yang menyandang gelar keluarga. “Tapi itu yang kalian percayai, kan? kalian lebih memilih mengambil kesimpulan sendiri, dari pada mempercayai aku. Ini semua salah paham yang menyakitkan, Mah." Ayahnya, yang biasanya memiliki belas kasih meski sedikit kini terlihat
Cyra melangkah masuk ke rumah orangtuanya, merasakan hangatnya udara di dalam yang kontras dengan dinginnya sikap yang menyambutnya. Belum sepenuhnya ia menutup pintu, ketika ia mendengar suara mamahnya menyengat telinga.“Cyra! apa yang kamu lakukan di sini?” Mamahnya berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya tampak tegang. Cyra mengerutkan dahi, kebingungan melingkupi pikirannya. “Aku di minta ke sini sama Nera, katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan denganku.”“Mana mungkin Nera mengundangmu, kamu pasti hanya ingin merusak hidup adikmu, kan?” Papahnya menyela, suaranya penuh kemarahan. “Kami tahu kamu mempengaruhi Kaivan! kamu membuatnya terus berselingkuh!”Jantung Cyra berdegup kencang. Tuduhan itu menghantamnya seperti petir di siang bolong. “Apa? tidak, itu tidak benar! aku tidak pernah—”“Bohong!” Mamahnya memotong dengan suara tinggi. “Adikmu sudah cukup menderita karena semua ini. Dan kamu masih saja berpura-pura tidak tahu apa-apa?”Air mata mulai menggenang di pe
Nevalion duduk di meja kerjanya, di kelilingi oleh tumpukan buku dan catatan. Cahaya matahari sore yang lembut masuk melalui jendela, menciptakan suasana nyaman yang membuatnya bisa berkonsentrasi pada proyeknya. Tiba-tiba, bunyi notifikasi dari ponselnya memecah kesunyian. Dengan penasaran, ia melihat layar dan mendapati pesan dari mantan pacarnya, Katty. "Hai, Neva! apa kamu ada waktu? aku ingin bicara denganmu. Mungkin kita bisa bertemu di taman dekat rumahmu?" Perasaan campur aduk muncul dalam dirinya. Di satu sisi, ia merasa ragu untuk menjawab pesan itu. Terlebih saat ini ia sudah menikah, meski bukan karena cinta. Di sisi lain, kenangan masa lalu yang pahit juga kembali menghantui pikirannya. Sebelum sempat mengambil keputusan, suara pintu terbuka menggema di ruang kerjanya. Cyra, baru saja, melangkah masuk dengan senyum lebar dan membawa sekotak kue yang baru di belinya. "Mas Neva, aku bawa kue! kita harus merayakan keberhasilan operasimu." Serunya dengan antusias. Neva
Setelah seminggu mengambil cuti untuk merawat suaminya yang baru saja operasi, Cyra kembali ke kantor dengan semangat baru. Ia berusaha untuk fokus dan menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai sekretaris Raizan, seorang direktur yang dikenal cerdas dan ambisius. Namun, saat Cyra melangkah masuk ke ruang kerjanya, ia merasakan tatapan Raizan berbeda dengan yang biasa ia lihat kemarin. Bosnya itu menatapnya dengan penuh perhatian.Raizan, yang biasanya serius dan fokus pada pekerjaannya, mulai memperhatikan Cyra lebih dari sebelumnya. Ia memperhatikan setiap detail kecil, mulai dari senyumnya yang cerah saat menjawab telepon, cara ia menata berkas-berkas di mejanya, dan bagaimana ia selalu siap membantu rekan-rekannya. Raizan merasa terpesona oleh dedikasi dan profesionalisme Cyra, meski selama seminggu ini ia libur namun Cyra tak terlihat kikuk atau pun ragu ketika kembali bekerja.Raizan berusaha untuk tetap profesional, ada momen-momen kecil di mana kedekatan mereka mulai terasa. Misalny
Nera berdiri di pinggir taman, cahaya senja menciptakan bayangan panjang di tanah. Suasana tenang itu seolah menunggu sesuatu yang akan terjadi. Ia tengah menunggu kedatangan suaminya di sana, sampai sesaat kemudian Kaivan muncul langkahnya terlihat ragu, seolah berpikir dua kali sebelum mendekatinya. "Nera," Kaivan menyapa, akan tetapi nada suaranya tidak seceria biasanya. Nera menatapnya, mata mereka saling bertemu dan dalam sekejap seluruh dunia di sekitar mereka seakan sirna hanya menyisakan mereka berdua bersama hembusan angin. Nera merasakan hatinya masih terasa berat seperti ada sesuatu yang harus dia keluarkan agar bisa merasa lega. "Kaivan, kita perlu bicara." Kaivan mengangguk, wajahnya tampak keheranan. Tidak biasanya Nera memintanya bertemu di luar, kecuali saat mereka masih pacaran dulu. "Tentang apa?" ia bertanya dengan nada acuh. "Orang tuaku... mereka sudah tahu," Nera memulai, suaranya terdengar bergetar. "Mereka tahu tentang kamu dan... tentang perselingk
Cyra sudah lima hari menginap di hotel yang ia dan suaminya tempati, niatnya meraka akan pulang besok siang menuju jakarta. Hubungan mereka pun kian dekat, Nevalion membiarkan Cyra mendekatinya secara alami. Benih-benih perasaan mulai tumbuh di antara mereka setelah membina rumah tangga selama hampir dua bulan. Bisa di katakan, Cyra menutup luka dari pengkhianatan adiknya dengan keberadaan Nevalion di sisinya. Pernikahan yang awalnya, hanya formalitas kini menjadi impian Cyra untuk memiliki keluarga sepenuhnya dengan Nevalion. Di dalam kamar hotel yang remang-remang, suara riuh dari luar terasa samar-samar. Seolah dunia di luar sejenak berhenti, Cyra duduk di tepi tempat tidur, memandang keluar jendela. Cahaya bulan menyinari wajahnya, menyoroti senyum lembut yang tak bisa ia sembunyikan. Di seberang, Nevalion sedang berdiri dengan santai. Ia duduk di kursi roda sambil mengamati rak buku yang terisi penuh, namun pikirannya lebih tertuju pada Cyra. “Mas, apa kamu merasa suasana di