Setibanya Cyra di kantor, ia bergegas menuju ruangan Raizan. Keringat sebutir biji jagung, terlihat jelas di kening gadis itu. Ia sudah telat setengah jam dari waktu yang di janjikan oleh Raizan, Cyra jelas panik ia takut di tendang dari perusahaan itu tanpa pesangon. Dalam posisi terengah-engah, Cyra mengetuk pintu ruangan Raizan. Tak berselang lama terdengar suara pria itu yang menyuruhnya masuk. Cyra memegang kenop pintu, lalu mendorongnya ke dalam. Sesaat ia mematung di tempat begitu netranya melihat tatapan dingin dari Raizan, Cyra menelan salivanya kasar ia mulai melangkah sedikit demi sedikit menuju meja Raizan. "Selamat pagi, Pak. Maaf saya telat." Sapa Cyra gugup. "Pagi, kamu sudah mendapat jadwal yang di kirim oleh Beni semalam?" Cyra mengangguk, "Sudah, Pak. Saya juga sudah merapikan ulang jadwal itu sesuai kemauan anda." Tanpa menatap wajah Cyra, Raizan mengangguk ia menutup map yang tadi sudah ia baca. "Apa jadwal pertama saya?" "Mengunjungi perusahaan LM Group,
Suasana mendadak hening setelah Dori memberi saran pada Anton, melihat keadaan tidak enak Raizan berusaha mencairkan suasana dengan cara ia menunda usulan dari Dori. "Ah, tentang itu biar nanti Pak Anton sendiri yang membicarakannya dengan saya. Itu pun kalau beliau menginginkan." Cetus Raizan seramah mungkin. Ia tidak ingin membuat suasana semakin buruk, setelah perbincangan mereka usai. Raizan meminta Cyra keluar lebih dulu, sebab ada hal pribadi yang mau ia bicarakan dengan kliennya itu. Cyra patuh, ia melenggang menuju pintu keluar. Ia berniat pergi ke lift namun secara tiba-tiba Anton menarik pergelangan tangannya, dan membawanya menuju tangga darurat. "Cyra, sejak kapan kamu menjadi sekertaris pak Raizan?" cecar Anton. "Baru hari ini, Papah kenapa mau menjual saham perusahaan nenek?" "Papah butuh uang, adikmu juga perlu uang banyak! Kalo kamu tidak mau saham itu di jual, kamu harus memberikan Papah uang!" Tegas Anton. Cyra mengernyitkan kedua alisnya, ia melepas paksa cek
Waktu silih berganti, tanpa terasa satu bulan telah berlalu sejak acara pernikahan Cyra dan Nevalion. Hari ini merupakan hari keberangkatan Nevalion untuk menjalani operasi, ia sedang mengemas pakaian yang nanti akan ia pakai selama berada di luar negeri. Di tengah kesibukannya, pintu kamar terbuka menampilkan sosok Cyra yang membawa nampan berisi kopi serta kue kering. "Mas, mau aku bantu beres-beresnya?" tawar Cyra. Nevalion menggeleng, "Aku bisa sendiri." Sudah menjadi kebiasaan bagi Cyra menerima penolakan seperti itu, selama sebulan ini tidak pernah sekali pun Nevalion mau menerima bantuan darinya. Pemuda itu selalu berkata bahwa ia bisa melakukan apa pun sendiri, bahkan makanan yang dulu sering Cyra siapkan hingga kini belum pernah di sentuh oleh Nevalion. Cyra meletakan nampan itu di nakas, ia melangkah menuju meja rias dan mengambil sisir. Cyra melakukan persiapan untuk pergi ke kantornya, hari ini ia akan pergi ke luar kota sebab ada meeting di sana dan akan menginap sat
Perjalanan yang Cyra tempuh memakan waktu lima jam lamanya, kini ia sudah berada di dalam hotel tempatnya akan menginap. Cyra bergegas mandi, ia mengganti pakaiannya menjadi pakaian santai. Hanya mengenakan kaos oblong berwarna putih, dan celana pendek selutut berwarna biru dongker.Cyra berjalan menuju ranjang, dan membuka laptop. Ia mulai memeriksa kembali jadwal Raizan, dan memastikan semua tidak ada yang terlewat untuk acara besok."Akhirnya aku bisa istirahat." Gumamnya terdengar lelah.Ia meletakan laptop di nakas, lalu mengambil ponsel. Ia membuka beberapa pesan, termasuk pesan dari Jena. Di saat ia membalas pesan Jena, ia teringat sesuatu. "Loh, kalau nanti Mas Neva operasi siapa yang menemaninya di sana?" Ia benar-benar lupa kalau orang yang operasi tidak mungkin langsung bisa berjalan, bersamaan dengan itu sebuah pesan dari kedua orang tuanya muncul.Mereka memberi kabar kalau lusa adalah hari pernikahan Nera, Margaret bahkan sudah mengirim lokasi acara lusa mendatang."Ya
Nera berjalan gontai menuju mobilnya, ia memilih pergi dari sana meninggalkan teman-temannya yang baru saja tiba. Isak tangis terdengar, selama Nera berjalan menuju mobil. Perasaannya begitu hancur melihat sang kekasih dengan bangga berselingkuh di depan matanya, ia tak habis pikir bagaimana bisa Kaivan tega melukai perasaannya.Nera membuka mobil, dan masuk ke dalam. Ia membanting pintu mobilnya, ia menundukkan kepala ada stir mobil. Kacau, semua rencana bersama Kaivan hancur dalam sekejap mata. Hanya tinggal satu hari lagi ia menikah, tapi kini ia harus menerima fakta bhawa ia gagal dalam pernikahannya."Aku harus bagaimana sekarang?"Kebingungan mendera kepalanya, Nera tidak tahu bagaimana cara menjelaskan pada kedua orang tuanya mengenai hubungannya dengan Kaivan."Apa aku minta tolong pada kakak saja?"Terlintas ide untuk menghubungi Cyra, namun ia urungkan ketika mengingat kejadian dulu."Tidak, kakak pasti senang kalau tahu aku juga di selingkuhi."Nera menggigit bibir dalamn
Waktu telah banyak berlalu, akhirnya kini hari pernikahan Nera serta Kaivan berlangsung. Banyak rekan kerja Anton dan teman-teman Margaret yang hadir di sana, tak hanya itu beberapa sahabat Nera juga muncul. Di ujung kursi, yang berada cukup jauh dari pandangan semua orang. Terlihat Cyra sedang menatap sendu pada sosok adik dan mantan kekasihnya, jika di pikir secara rasional semua terdengar lucu. Keluarganya sangat acuh pada Cyra, dan lebih mengutamakan Nera. Namun, seakan belum cukup ia juga harus memberikan kekasihnya pada sang adik. 'Kupikir, akan ada yang mencari ku sekarang. Nyatanya mereka tidak membutuhkan kehadiranku di sini,' Meski Cyra mendapat undangan secara resmi, tapi ia tetap di acuhnya. Mereka secara terang-terangan tidak menganggap kehadirannya di sana. Hingga suara tepuk tangan para tamu yang hadir membuat lamunan Cyra hilang, ia ikut bertepuk tangan setelah akad nikah selesai. Acara sakral itu terasa sangat berbeda jauh dengan pernikahannya, Nera di dampingi k
Butuh waktu tiga jam lamanya untuk Cyra menyelesaikan pekerjaannya, ia menutup semua map yang di berikan oleh Raizan lalu menumpuknya di atas meja. Cyra menoleh ke arah ranjang, di sana terlihat Raizan masih sibuk dengan ponselnya."Pak, saya sudah selesai."Raizan menoleh, ia mengangguk lalu meletakan ponselnya di atas ranjang."Terima kasih, Ra. Sebelum pergi, lebih baik kamu makan siang di sini dulu.""Tidak perlu, Pak. Saya masih kenyang." Namun, baru saja ia menolak suara keras yang keluar dari perut Cyra membuat Raizan terkekeh. Cyra merasa sangat malu, karena perutnya tidak bisa di kondisikan di depan bosnya sendiri.'Kenapa bunyi sekarang sih?' batin Cyra kesal.Melihat wajah Cyra yang memerah, Raizan mengalihkan pembicaraan dengan mengajaknya turun menuju ruang makan. Kebetulan jam makan siang sudah lewat, dan Raizan sendiri sengaja belum makan karena tidak enak meninggalkan Cyra sendiri.Selang beberapa saat, mereka berdua tiba di ruang makan. Di sana sudah tersedia berbaga
Pernikahan Nera yang sangat megah akhirnya usai, kini ia dan Kaivan sudah berada di dalam kamar pengantin yang bertabur bunga mawar di atas ranjang. Nera menunggu kedatangan Kaivan di dalam kamar, akan tetapi dalam waktu satu jam Kaivan tak kunjung datang. Ia mencari ponselnya lalu menghubungi Kaivan, tapi pria itu sama sekali tidak menjawab panggilan darinya. Perasaan cemas mulai merayap ke dalam hatinya, meski saat ini ia ada di hotel namun keluarganya masih ada di sana. Nera takut jika Kaivan bertindak gegabah, dan mempermalukannya di hari pertama pernikahan mereka. "Tidak mungkin Kaivan meninggalkan aku, kan?" Perasaannya semakin kalut, hingga akhirnya Nera memilih keluar dari kamarnya dan mencari keberadaan sang suami. "Kai, kamu dimana sih?" Nera berlari menuju lift, namun langkahnya terhenti begitu melihat seseorang yang tak lain adalah suaminya, sedang bercumbu bersama wanita lain di dalam lift. "Kaivan!" sentak Nera penuh amarah. Ia menarik paksa Kaivan keluar dari da
Nevalion terkejut mendengar pertanyaan Cyra, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Kami… kami dulu satu sekolah," jawabnya, suaranya terdengar stabil meski hatinya bergetar. "Katty pergi ke luar negeri setelah lulus. Kami kehilangan kontak sejak saat itu." Cyra mengangguk, tampak menerima penjelasan itu. "Oh, jadi kamu sudah lama tidak bertemu? mungkinkah, teman yang Nona Katty maksud itu kamu?" Namun, tanpa Cyra sadari, kata-katanya justru semakin menambah ketegangan di antara Nevalion dan Katty. Katty menyandarkan punggungnya ke kursi, menyeringai kecil. "Ya, itu benar, Nona." "Tapi aku tidak hanya datang untuk mengenang masa lalu. Aku ingin tahu apa yang terjadi denganmu, Nevalion. Sebab aku dengar, dia sudah menikah. Aku minta maaf jika kedatanganku, mengganggu kalian." Nevalion merasakan beban di dadanya semakin berat. Ia tahu bahwa setiap kata yang diucapkan Katty bisa mengungkap kebohongannya. "Aku baik-baik saja," jawabnya cepat, berusaha menutup topik yang terlalu dalam.
Suasana yang dingin akibat hujan turun, membuat kediaman Cyra terasa lembab. Sinar dari lampu, tak mampu menerangi perasaan Nevalion saat ini. Kemunculan Katty yang mendadak, berhasil membuat jantungnya seperti jatuh ke dalam perut. "Anda siapa, Nona?" tanya Cyra heran, ia mengamati pakaian Katty yang basah. "Maaf, mengganggu malam-malam, Nona. Tapi, saya tidak punya tempat berteduh. Saya sedang mencari alamat rumah teman saya, hanya saja ia tak mau memberitahu saya dimana rumahnya." Sahut Katty, ia mencuri pandang ke arah Nevalion yang sedang duduk di kursi meja makan. Cyra mengangguk, meski rasa curiga menggelayuti pikirannya. "Ah, jadi begitu, kalau anda mau silakan masuk. Anda bisa menghangatkan diri di sini sebelum pulang," ujarnya sambil membuka pintu lebar-lebar, memberi jalan bagi Katty. Katty melangkah masuk, tatapannya tertuju pada foto-foto keluarga Cyra. Setiap foto menggambarkan kebahagiaan yang seolah tak pernah pudar, namun di sudut hati Katty, ada rasa getir meliha
Raizan mengulurkan payungnya, melindungi Cyra dari tetesan hujan yang semakin deras. “Kamu kenapa ada di sini, Ra? hujan-hujanan lagi." Cyra terdiam sejenak, melihat ke dalam mata Raizan yang penuh perhatian. Ia merasa ada kehangatan dalam tatapan itu, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan dari keluarganya. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Semuanya terasa begitu berat, Pak.” Ucapnya, suaranya terdengar bergetar. “Bicaralah padaku,” Raizan menarik lengan Cyra lembut agar lebih dekat dengannya. “Kadang, berbagi beban dapat meringankan rasa sakit. Apa yang sebenarnya terjadi?” Cyra menghela napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku merasa terasingkan. Keluargaku tidak mempercayai aku, mereka semua menganggap ku sebagai masalah. Seolah aku tidak ada artinya bagi mereka.” Raizan mengangguk, mendengarkan dengan seksama. “Keluarga terkadang bisa sangat sulit di pahami. Tapi ingat, itu tidak menentukan siapa dirimu. Kamu memiliki nilai yang jauh lebih besar dari
Hujan turun deras di luar, suara tetesan air menghentak atap rumah. Di dalam ruang tamu yang remang-remang, Cyra berdiri tegar, meski hatinya bergetar. Di hadapannya, kedua orang tuanya duduk dengan wajah dingin, sementara Nera, adik kandungnya masih menatapnya sengit. “Cyra,” suara mamahnya terdengar seperti pisau yang baru keluar dari tempatnya. “Kamu tahu, hubungan Nera dan Kaivan selalu berada di bawah bayang-bayangmu! Kami tidak percaya bahwa kamu lah yang mempengaruhi Kaivan untuk berselingkuh.” Cyra menggelengkan kepala, menahan air mata. Rasa sesak di dadanya kian menjadi, ia datang ke rumah semata-mata untuk memenuhi permintaan Nera. Tapi, nyatanya kedatangannya hanya di jadikan samsak kemarahan mereka bertiga yang menyandang gelar keluarga. “Tapi itu yang kalian percayai, kan? kalian lebih memilih mengambil kesimpulan sendiri, dari pada mempercayai aku. Ini semua salah paham yang menyakitkan, Mah." Ayahnya, yang biasanya memiliki belas kasih meski sedikit kini terlihat
Cyra melangkah masuk ke rumah orangtuanya, merasakan hangatnya udara di dalam yang kontras dengan dinginnya sikap yang menyambutnya. Belum sepenuhnya ia menutup pintu, ketika ia mendengar suara mamahnya menyengat telinga.“Cyra! apa yang kamu lakukan di sini?” Mamahnya berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya tampak tegang. Cyra mengerutkan dahi, kebingungan melingkupi pikirannya. “Aku di minta ke sini sama Nera, katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan denganku.”“Mana mungkin Nera mengundangmu, kamu pasti hanya ingin merusak hidup adikmu, kan?” Papahnya menyela, suaranya penuh kemarahan. “Kami tahu kamu mempengaruhi Kaivan! kamu membuatnya terus berselingkuh!”Jantung Cyra berdegup kencang. Tuduhan itu menghantamnya seperti petir di siang bolong. “Apa? tidak, itu tidak benar! aku tidak pernah—”“Bohong!” Mamahnya memotong dengan suara tinggi. “Adikmu sudah cukup menderita karena semua ini. Dan kamu masih saja berpura-pura tidak tahu apa-apa?”Air mata mulai menggenang di pe
Nevalion duduk di meja kerjanya, di kelilingi oleh tumpukan buku dan catatan. Cahaya matahari sore yang lembut masuk melalui jendela, menciptakan suasana nyaman yang membuatnya bisa berkonsentrasi pada proyeknya. Tiba-tiba, bunyi notifikasi dari ponselnya memecah kesunyian. Dengan penasaran, ia melihat layar dan mendapati pesan dari mantan pacarnya, Katty. "Hai, Neva! apa kamu ada waktu? aku ingin bicara denganmu. Mungkin kita bisa bertemu di taman dekat rumahmu?" Perasaan campur aduk muncul dalam dirinya. Di satu sisi, ia merasa ragu untuk menjawab pesan itu. Terlebih saat ini ia sudah menikah, meski bukan karena cinta. Di sisi lain, kenangan masa lalu yang pahit juga kembali menghantui pikirannya. Sebelum sempat mengambil keputusan, suara pintu terbuka menggema di ruang kerjanya. Cyra, baru saja, melangkah masuk dengan senyum lebar dan membawa sekotak kue yang baru di belinya. "Mas Neva, aku bawa kue! kita harus merayakan keberhasilan operasimu." Serunya dengan antusias. Neva
Setelah seminggu mengambil cuti untuk merawat suaminya yang baru saja operasi, Cyra kembali ke kantor dengan semangat baru. Ia berusaha untuk fokus dan menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai sekretaris Raizan, seorang direktur yang dikenal cerdas dan ambisius. Namun, saat Cyra melangkah masuk ke ruang kerjanya, ia merasakan tatapan Raizan berbeda dengan yang biasa ia lihat kemarin. Bosnya itu menatapnya dengan penuh perhatian.Raizan, yang biasanya serius dan fokus pada pekerjaannya, mulai memperhatikan Cyra lebih dari sebelumnya. Ia memperhatikan setiap detail kecil, mulai dari senyumnya yang cerah saat menjawab telepon, cara ia menata berkas-berkas di mejanya, dan bagaimana ia selalu siap membantu rekan-rekannya. Raizan merasa terpesona oleh dedikasi dan profesionalisme Cyra, meski selama seminggu ini ia libur namun Cyra tak terlihat kikuk atau pun ragu ketika kembali bekerja.Raizan berusaha untuk tetap profesional, ada momen-momen kecil di mana kedekatan mereka mulai terasa. Misalny
Nera berdiri di pinggir taman, cahaya senja menciptakan bayangan panjang di tanah. Suasana tenang itu seolah menunggu sesuatu yang akan terjadi. Ia tengah menunggu kedatangan suaminya di sana, sampai sesaat kemudian Kaivan muncul langkahnya terlihat ragu, seolah berpikir dua kali sebelum mendekatinya. "Nera," Kaivan menyapa, akan tetapi nada suaranya tidak seceria biasanya. Nera menatapnya, mata mereka saling bertemu dan dalam sekejap seluruh dunia di sekitar mereka seakan sirna hanya menyisakan mereka berdua bersama hembusan angin. Nera merasakan hatinya masih terasa berat seperti ada sesuatu yang harus dia keluarkan agar bisa merasa lega. "Kaivan, kita perlu bicara." Kaivan mengangguk, wajahnya tampak keheranan. Tidak biasanya Nera memintanya bertemu di luar, kecuali saat mereka masih pacaran dulu. "Tentang apa?" ia bertanya dengan nada acuh. "Orang tuaku... mereka sudah tahu," Nera memulai, suaranya terdengar bergetar. "Mereka tahu tentang kamu dan... tentang perselingk
Cyra sudah lima hari menginap di hotel yang ia dan suaminya tempati, niatnya meraka akan pulang besok siang menuju jakarta. Hubungan mereka pun kian dekat, Nevalion membiarkan Cyra mendekatinya secara alami. Benih-benih perasaan mulai tumbuh di antara mereka setelah membina rumah tangga selama hampir dua bulan. Bisa di katakan, Cyra menutup luka dari pengkhianatan adiknya dengan keberadaan Nevalion di sisinya. Pernikahan yang awalnya, hanya formalitas kini menjadi impian Cyra untuk memiliki keluarga sepenuhnya dengan Nevalion. Di dalam kamar hotel yang remang-remang, suara riuh dari luar terasa samar-samar. Seolah dunia di luar sejenak berhenti, Cyra duduk di tepi tempat tidur, memandang keluar jendela. Cahaya bulan menyinari wajahnya, menyoroti senyum lembut yang tak bisa ia sembunyikan. Di seberang, Nevalion sedang berdiri dengan santai. Ia duduk di kursi roda sambil mengamati rak buku yang terisi penuh, namun pikirannya lebih tertuju pada Cyra. “Mas, apa kamu merasa suasana di