"NERA!" teriak Margaret.
Sontak Cyra tertegun, ia melihat Margaret merangkul pundak Nera begitu lembut. Pemandangan itu membuat Cyra iri, ia tidak pernah mendapat pelukan seperti itu sejak ia masih kecil. "Sayang, kenapa bisa begini? siapa yang melakukannya?" tanya Margaret lembut. Namun Nera tak menjawab, ia justru menangis sampai tergugu. Jelas saja Margaret semakin kebingungan, ia menoleh ke arah Cyra yang masih menatap sendu pada ibu dan adiknya. "Pasti kamu yang melakukan ini pada Nera, kan?" tuduh Margaret sembari menunjuk wajah Cyra. "Bukan, Mah. Tadi Nera melakukannya sendiri." Sanggah Cyra, mencoba menjelaskan kejadian tadi. Melihat pembelaan dari Cyra, Margaret lantas kembali menanyakan pada Nera. Akan tetapi, kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu sangat di luar dugaan. "Kak, aku hanya khawatir padamu tapi kenapa kamu justru melemparkan bubur ini padaku?" elak Nera. Cyra termangu di tempat tidur, kondisinya yang masih lemah semakin bertambah buruk selepas Nera memberikan jawaban bohong pada Margaret. "Cyra! Jadi begini kelakuan kamu di belakang Mamah? kamu sering membully adikmu, kan?" tuduh Margaret penuh kecurigaan. "Tidak, Mah. Aku tidak mungkin melakukan hal it-" "Cukup, Mamah tidak mau mendengar alasan apa pun darimu. Mamah menyesal tadi sempat memberikan simpati padamu!" Margaret membuang muka ke samping lalu mengajak Nera pergi dari sana, diam-diam Nera menarik sudut bibirnya ke atas setelah berhasil membuat hubungan Cyra dan Margaret kembali merenggang. Di atas ranjangnya, kedua netra Cyra mulai mengembun. Bulir kristal turun secara perlahan di kedua pipinya, dalam kondisi sakit seperti ini pun tidak ada sedikit rasa iba yang mereka berikan untuknya. "Padahal tadi aku sudah berharap, ternyata semua kembali seperti sebelumnya." Gumam gadis itu terkekeh miris. *** Waktu berlalu dengan cepat, kini tibalah hari dimana Cyra harus melepas masa lajang demi memenuhi keinginan kedua orang tuanya. Meski ia akan menikah, namun ia sama sekali belum tahu seperti apa sosok calon suaminya. Ia hanya tahu bahwa calon suaminya merupakan anak dari supir pribadi ayahnya, yang sudah meninggal setelah mengorbankan nyawa demi menolong ayahnya. Suara detak jam terdengar begitu keras di dalam ruang rias pengantin, bukan kebahagian yang terpampang di wajah gadis itu tapi sebuah luka dalam yang tidak tahu obatnya ada di mana. Jauh di dalam lubuk hatinya, Cyra ingin kabur. Tapi di satu sisi ia tak tega membuat kecewa pada calon suaminya, yang sudah sebatang kara setelah kedua orang tuanya meninggal. Lamunan gadis itu buyar oleh kedatangan sang ayah, Cyra melihat dari cermin bahwa ayahnya sudah berpakaian rapi dan formal. "Ra, nanti jangan membuat Papah malu. Apa pun kondisi suami, kamu tidak boleh membatalkan pernikahan ini, paham?" ujar Anton memperingati. Cyra mengangguk singkat, ia sudah memakai kebaya lengkap berwarna putih yang selaras dengan kulitnya. Riasan di wajah tidak terlalu tebal, sangat pas dengan wajahnya yang memang sudah cantik. "Pah, bolehkah aku bertanya untuk yang terakhir kalinya?" cetus Cyra tanpa menoleh ke arah Anton. "Katakan." Sahut Anton dingin. Cyra menarik nafas pelan, lalu mengeluarkannya dari hidung. Ia melakukan hal tersebut berulang kali, hingga ia benar-benar merasa siap untuk bertanya. "Pah... kenapa aku di bedakan dengan Nera? apa aku anak yang tidak kalian harapkan selama ini?" Degh. Sontak kedua pupil mata pria paruh baya itu melotot, ia tak menyangka Cyra bisa melontarkan pertanyaan seperti itu di tengah situasi saat ini. "Apa yang kamu bicarakan, Ra. Tidak ada yang membedakan kamu dan adikmu. Jangan kebanyakan baca novel tidak jelas, itu bisa mempengaruhi pikiranmu menjadi buruk." Sahut Anton sarkas. Di depan cermin, Cyra tersenyum kecut ia sudah menduga ayahnya akan mengelak. Bukan sekali dua kali ia merasa di bedakan, bahkan tak jarang Cyra bertanya pada diri sendiri apakah ia memang anak kandung, atau hanya anak pungut. Namun jawaban dari ayahnya cukup membuat Cyra sadar, bahwa ia tidak boleh berharap dan harus mengubur impiannya mendapat kasih sayang dari Anton dan Margaret. 'Aku harus tegar, aku tidak boleh kalah dari takdir sialan ini!' batin Cyra bertekad. Sesaat kemudian, acara pernikahan hendak di mulai. Cyra berdiri dari kursi rias, di bantu oleh beberapa orang yang tadi meriasnya. Tidak ada ayah atau pun ibu yang mendampingi gadis itu menuju aula ijab kabul. Ketika ia mulai melangkah memasuki aula, banyak pasang mata yang terpukau atas kecantikan gadis pemilik mata biru tersebut. Begitu juga dengan seorang pemuda yang tengah menanti kedatangan mempelai wanitanya, ia sampai tak berkedip saat pandangan mereka saling bertabrakan. Sedangkan Cyra sempat tertegun melihat calon suaminya duduk di kursi roda, tidak ada yang memberitahunya jika calon suami yang akan menikah dengannya adalah pemuda lumpuh. 'Alasan inikah yang membuat papah bicara seperti tadi?' batin Cyra. Ia mencoba mempertahankan ekspresinya yang tenang, ia takut jika pemuda itu tersinggung jika ia menunjukan raut syok di wajahnya. Cyra sampai di depan pemuda itu, ia tersenyum tipis lalu duduk di kursi yang sudah di siapkan. Setelahnya acara ijab kabul akhirnya di mulai, para tamu undangan hanya sebatas keluarga besar dan beberapa rekan kerja ayahnya. Tidak ada satu pun teman Cyra yang hadir di acara pernikahan tersebut, Cyra benar-benar merasa sendiri di tengah banyaknya orang yang hadir di sana. Selang beberapa menit ijab kabul selesai, Cyra meraih pergelangan tangan suaminya yang bernama Nevalion Azegara. Pemuda berusia 28 tahun itu, nampak acuh tak acuh saat Cyra mencium punggung tangannya. "Selamat, akhirnya kalian menjadi pasangan suami istri yang sah." Ucap penghulu. "Terima kasih, Pak." Sahut Cyra tersenyum simpul. Ucapan selamat atas pernikahan mereka, datang secara beruntun dari para tamu undangan, begitu juga dari Nera. Namun gadis itu sempat membisikan sesuatu yang menyulut emosi Cyra. "Kak, selamat kamu pasti senang mendapat laki-laki lumpuh. Untungnya bukan aku yang menikah dengannya, jika saja papah tidak memberitahuku lebih dulu aku bisa saja terjebak di dalam pernikahan sialan itu." Bisik Nera. Cyra menahan mati-matian amarahnya, kedua tangan gadis itu mengepal erat. Namun Cyra berhasil menunjukan sisi elegant pada adiknya, ia ikut berbisik saat menjawab ucapan Nera. "Kamu benar, aku pasti sangat beruntung karena bisa berada di posisi ini. Mungkin saja suatu saat nanti kamu yang menyesal, karena menyerahkan pernikahan ini padaku." Sahut Cyra, tersenyum sangat ramah sampai membuat Nera melengos dan pergi menjauh.Beberapa saat telah berlalu, kini Cyra serta suaminya sudah berada di dalam kamar. Selepas ijab kabul, mereka tidak mengadakan resepsi. Semua sudah di atur sedemikian rupa oleh kedua orang tua Cyra, mereka enggan mengeluarkan uang lebih banyak untuk biaya pernikahan putri sulungnya.Cyra sedang sibuk melepas satu persatu kancing di kebaya miliknya, hingga kesibukan gadis itu terhenti saat ia mendengar suara panggilan dari Nevalion."Cyra." Suara berat mendayu di telinga gadis itu.Cyra menoleh, "Ada apa, Mas?""Kamu tahu, kan ini hanya pernikahan atas dasar balas budi?" cetus Nevalion."Ya, aku tahu. Memangnya kenapa?"Cyra bertanya seperti itu karena ia memang tak paham maksud Nevalion, pemuda itu tidak secara langsung mengutarakan keinginannya."Kamu jangan mengharapkan apa pun dariku, apa lagi menginginkan cinta di dalam pernikahan kita. Hal itu tidak mungkin terjadi," Nevalion menghela nafas berat, ia kembali melanjutkan perkataannya."Satu lagi, jangan mengasihani ku yang saat in
Malam telah berganti pagi, dan jam sudah menunjukan pukul 08.00 pagi. Akan tetapi kediaman Anton sudah ramai, di sana sedang ada tamu yang sangat mereka banggakan. Anton duduk di sofa ruang keluarga, bersama anak dan istrinya. Di sana juga ada Kaivan, mantan kekasih Cyra yang sedang meminta izin pada kedua orang tua Nera untuk mengajaknya jalan-jalan, karena kebetulan hari ini adalah minggu. "Om, Tante. Saya mau mengajak Nera pergi, apa boleh?" tanya Kaivan dengan sopan. "Tentu saja, Nak. Lagi pula Nera juga tidak ada kegiatan di rumah benarkan, Ner?" sahut Margaret menoleh ke arah Nera. Gadis itu mengangguk, mereka berempat berbincang-bincang ringan tanpa mengingat jika di rumah itu ada putri sulung dan juga menantunya. Sementara itu di dalam kamar, Cyra sedang memasukan pakaian miliknya ke dalam koper. Ia membawa semua pakaian di dalam lemari, dan juga barang yang tertata rapi di nakas. Tidak ada satu pun benda yang tertinggal di dalam kamar tersebut. Nevalion merasa aneh meli
Jalan raya masih sepi, hanya ada beberapa kendaran berlalu lalang. Suasana di dalam mobil yang Cyra kendarai tampak sunyi, Nevalion menoleh ke arah kaca. Sejak ia menaiki mobil, ia seakan enggan bertatapan dengan istrinya. Sedangkan Cyra, ia larut dalam pikirannya sendiri. Masih seperti mimpi bahwa ia di khianati oleh adik kandungnya sendiri, tidak pernah terlintas sekalipun di benak Cyra bahwa Nera mengincar semua yang ia miliki. Pernikahan di atas kertas yang harus ia tanggung, semakin menambah beban berat di relung hati gadis itu. Kekecewaan pada kedua orang tuanya, belum bisa ia sembuhkan tapi kini ia harus menerima takdir lain tanpa bisa mengeluh. Tanpa terasa perjalanan menuju rumah Nevalion akhirnya sampai, Cyra memarkirkan mobilnya di halaman rumah sederhana tanpa tingkat. "Apa kamu tidak memiliki pembantu, Mas?" ujar Cyra, sebab ia tidak melihat ada orang lain di rumah tersebut. "Ada, hanya saja sedang libur. Aku memperkerjakan dua orang satu tukang kebun dan satu lagi
"Mas, tunggu sebentar! aku tidak bohong." Cecar Cyra. Ia membuntuti Nevalion hingga ke ruang keluarga, akan tetapi pemuda itu memilih acuh seakan ia tidak pernah mendengar perkataan tersebut. Cyra tidak menyerah, ia nekat membalikkan kursi roda Nevalion hingga mereka berdua saling berhadapan. Cyra menarik nafas panjang, lalu berjongkok di depan suaminya. Kedua tangan gadis itu berada di sisi pegangan kursi roda, hal tersebut ia lakukan agar Nevalion tidak menghindarinya lagi. "Mas, aku tahu kamu tidak menyukai pernikahan ini sama sepertiku. Tapi aku sama sekali tidak ada niat menyakiti kamu, aku benar-benar tidak tahu kalau kamu memiliki alergi," Cyra menundukkan kepalanya, kedua pundak gadis itu merosot. "Aku minta maaf, lain kali aku akan bertanya dulu padamu." Melihat raut menyesal di wajah istrinya, Nevalion mengangguk. Ia menyingkirkan kedua tangan Cyra dari kursi roda, tanpa sepatah kata ia bergegas kembali ke dalam kamar. Cyra menatap punggung Nevalion hingga pemuda itu
Mobil Cyra mulai memasuki area parkir milik perusahaan Daxton Group, gadis itu keluar dari mobil setelah memastikan mobilnya terparkir dengan aman. Ia membenarkan tas selempang di pundak kiri, dan berlari memasuki lobi. Ia takut ketinggalan penyambutan pemimpin yang baru, di tengah langkahnya ia mendengar suara seseorang memanggil namanya dari belakang. "Cyra!" Sontak Cyra langsung menoleh, ia melihat Jena sedang berlari ke arahnya sambil membawa segelas kopi. "Kamu baru sampai?" ujar gadis itu, seraya melihat penampilan Cyra. "Ya, kamu sendiri dari mana?" Jena tersenyum malu-malu, "Aku habis ketemu berondong, cakep banget gila mataku langsung sumringah habis ketemu mereka di kantin." Mendengar itu, Cyra menepuk lengan Jena sebal. Hampir setiap hari Jena menggoda para karyawan baru, terlebih yang masih muda dan terlihat polos. "Sampai kapan kamu mau mempermainkan mereka, Jen. Bisa-bisa kamu kualat loh." Ucap Cyra sedikit menakut-nakuti. Namun Jena tak perduli, ia mengangkat k
Suasana ruang pertemuan mulai sepi, tapi Cyra merasakan kebisingan menghantam seluruh raganya. Kedua mata gadis itu tertuju pada satu sosok pria yang berdiri di samping ketua divisi pengembangan, Cyra tidak tahu mengapa pria itu bisa berada di perusahaan ini."Ra, hei kamu baik-baik saja?" tanya Jena mulai cemas.Cyra menoleh, ia lalu mengangguk ragu. "Aku baik-baik saja, Jen.""Bohong, wajahmu mengatakan hal sebaliknya.""Entahlah, aku tidak menyangka kalau Kaivan ada di perusahaan yang sama denganku." Sahut Cyra tersenyum kecut.Jena mengelus punggung sahabatnya lembut, "Aku juga sama, aku dengar dia baru masuk setelah di pindahkan dari kantor cabang.""Kenapa kamu tidak memberitahu aku?" heran Cyra.Jena menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Maaf, aku takut kamu tidak suka jika aku berbicara tentang bajingan itu."Cyra tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat ini, kenyataan bahwa Kaivan berada di sana saja sudah membuat ia tidak bisa berpikir jernih. Meski ia sudah bertekad
Cyra menunggu dengan perasaan cemas, ia takut melakukan kesalahan tanpa sadar dan membuat lelaki di depannya marah. Ia meremas kedua tangan yang sudah berkeringat, Cyra tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia di pecat? sebab hanya perusahaan ini yang berani mengeluarkan gaji besar untuknya, selama ia bergelut di dunia pekerjaan.'Semoga bukan pemecatan mendadak yang akan dia katakan.' Batin Cyra penuh harap.Reizan memperhatikan mimik wajah Cyra, keringat muncul di kening gadis itu hingga membuat Reizan bertanya-tanya sendiri apakah di ruangan itu kurang dingin? padahal ia sudah mengatur suhu ruangan tersebut dengan baik.Tidak ingin menembak hal tidak berguna, Reizan kembali melanjutkan ucapannya."Kamu... terpilih menjadi sekertaris saya! Mulai besok tolong siapkan semua jadwal yang akan saya lakukan, jangan lupa atur semuanya sesuai urutan."Seketika Cyra terdiam, jauh di dalam benak gadis itu ia tidak mempercayai pendengarannya barusan. Cyra memberanikan diri bertanya kembali, i
Kediaman Nevalion nampak sunyi, hanya terdengar bunyi keyboard dari dalam kamar. Nevalion begitu serius mengerjakan tugasnya, ia tidak bisa menunda pekerjaannya setelah kemarin menunda karena melakukan akad nikah. Lama waktu berlalu, Nevalion mulai merasa lapar. Ia menghentikan sejenak pekerjaannya, Nevalion meraih ponsel dari ranjang dan membuka aplikasi yang biasa ia pakai untuk memesan makanan. Ia memesan satu kotak Sandwich dan segelas kopi, setelah selesai ia kembali melanjutkan pekerjaannya sambil menunggu pesanannya datang. "Aku perlu mengirim file ini sekarang." Gumam Nevalion. Ia mulai mengirim file tersebut pada atasannya, meski kondisi saat ini tidak memungkinkan Nevalion untuk bepergian sendiri tapi ia masih mendapat kepercayaan dari perusahaan, hingga ia tidak perlu khawatir tentang uang. Suara bel berbunyi, Nevalion menutup laptop dan segera keluar dari kamar. Untungnya jarak kamar dan pintu utama tidak terlalu jauh, jadi ia tidak merasa kesulitan. Nevalion membuka