Share

Chapter 6

"NERA!" teriak Margaret.

Sontak Cyra tertegun, ia melihat Margaret merangkul pundak Nera begitu lembut. Pemandangan itu membuat Cyra iri, ia tidak pernah mendapat pelukan seperti itu sejak ia masih kecil.

"Sayang, kenapa bisa begini? siapa yang melakukannya?" tanya Margaret lembut.

Namun Nera tak menjawab, ia justru menangis sampai tergugu. Jelas saja Margaret semakin kebingungan, ia menoleh ke arah Cyra yang masih menatap sendu pada ibu dan adiknya.

"Pasti kamu yang melakukan ini pada Nera, kan?" tuduh Margaret sembari menunjuk wajah Cyra.

"Bukan, Mah. Tadi Nera melakukannya sendiri." Sanggah Cyra, mencoba menjelaskan kejadian tadi.

Melihat pembelaan dari Cyra, Margaret lantas kembali menanyakan pada Nera. Akan tetapi, kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu sangat di luar dugaan.

"Kak, aku hanya khawatir padamu tapi kenapa kamu justru melemparkan bubur ini padaku?" elak Nera.

Cyra termangu di tempat tidur, kondisinya yang masih lemah semakin bertambah buruk selepas Nera memberikan jawaban bohong pada Margaret.

"Cyra! Jadi begini kelakuan kamu di belakang Mamah? kamu sering membully adikmu, kan?" tuduh Margaret penuh kecurigaan.

"Tidak, Mah. Aku tidak mungkin melakukan hal it-"

"Cukup, Mamah tidak mau mendengar alasan apa pun darimu. Mamah menyesal tadi sempat memberikan simpati padamu!"

Margaret membuang muka ke samping lalu mengajak Nera pergi dari sana, diam-diam Nera menarik sudut bibirnya ke atas setelah berhasil membuat hubungan Cyra dan Margaret kembali merenggang.

Di atas ranjangnya, kedua netra Cyra mulai mengembun. Bulir kristal turun secara perlahan di kedua pipinya, dalam kondisi sakit seperti ini pun tidak ada sedikit rasa iba yang mereka berikan untuknya.

"Padahal tadi aku sudah berharap, ternyata semua kembali seperti sebelumnya." Gumam gadis itu terkekeh miris.

***

Waktu berlalu dengan cepat, kini tibalah hari dimana Cyra harus melepas masa lajang demi memenuhi keinginan kedua orang tuanya. Meski ia akan menikah, namun ia sama sekali belum tahu seperti apa sosok calon suaminya.

Ia hanya tahu bahwa calon suaminya merupakan anak dari supir pribadi ayahnya, yang sudah meninggal setelah mengorbankan nyawa demi menolong ayahnya.

Suara detak jam terdengar begitu keras di dalam ruang rias pengantin, bukan kebahagian yang terpampang di wajah gadis itu tapi sebuah luka dalam yang tidak tahu obatnya ada di mana.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Cyra ingin kabur. Tapi di satu sisi ia tak tega membuat kecewa pada calon suaminya, yang sudah sebatang kara setelah kedua orang tuanya meninggal. Lamunan gadis itu buyar oleh kedatangan sang ayah, Cyra melihat dari cermin bahwa ayahnya sudah berpakaian rapi dan formal.

"Ra, nanti jangan membuat Papah malu. Apa pun kondisi suami, kamu tidak boleh membatalkan pernikahan ini, paham?" ujar Anton memperingati.

Cyra mengangguk singkat, ia sudah memakai kebaya lengkap berwarna putih yang selaras dengan kulitnya. Riasan di wajah tidak terlalu tebal, sangat pas dengan wajahnya yang memang sudah cantik.

"Pah, bolehkah aku bertanya untuk yang terakhir kalinya?" cetus Cyra tanpa menoleh ke arah Anton.

"Katakan." Sahut Anton dingin.

Cyra menarik nafas pelan, lalu mengeluarkannya dari hidung. Ia melakukan hal tersebut berulang kali, hingga ia benar-benar merasa siap untuk bertanya.

"Pah... kenapa aku di bedakan dengan Nera? apa aku anak yang tidak kalian harapkan selama ini?"

Degh.

Sontak kedua pupil mata pria paruh baya itu melotot, ia tak menyangka Cyra bisa melontarkan pertanyaan seperti itu di tengah situasi saat ini.

"Apa yang kamu bicarakan, Ra. Tidak ada yang membedakan kamu dan adikmu. Jangan kebanyakan baca novel tidak jelas, itu bisa mempengaruhi pikiranmu menjadi buruk." Sahut Anton sarkas.

Di depan cermin, Cyra tersenyum kecut ia sudah menduga ayahnya akan mengelak. Bukan sekali dua kali ia merasa di bedakan, bahkan tak jarang Cyra bertanya pada diri sendiri apakah ia memang anak kandung, atau hanya anak pungut.

Namun jawaban dari ayahnya cukup membuat Cyra sadar, bahwa ia tidak boleh berharap dan harus mengubur impiannya mendapat kasih sayang dari Anton dan Margaret.

'Aku harus tegar, aku tidak boleh kalah dari takdir sialan ini!' batin Cyra bertekad.

Sesaat kemudian, acara pernikahan hendak di mulai. Cyra berdiri dari kursi rias, di bantu oleh beberapa orang yang tadi meriasnya. Tidak ada ayah atau pun ibu yang mendampingi gadis itu menuju aula ijab kabul.

Ketika ia mulai melangkah memasuki aula, banyak pasang mata yang terpukau atas kecantikan gadis pemilik mata biru tersebut. Begitu juga dengan seorang pemuda yang tengah menanti kedatangan mempelai wanitanya, ia sampai tak berkedip saat pandangan mereka saling bertabrakan.

Sedangkan Cyra sempat tertegun melihat calon suaminya duduk di kursi roda, tidak ada yang memberitahunya jika calon suami yang akan menikah dengannya adalah pemuda lumpuh.

'Alasan inikah yang membuat papah bicara seperti tadi?' batin Cyra.

Ia mencoba mempertahankan ekspresinya yang tenang, ia takut jika pemuda itu tersinggung jika ia menunjukan raut syok di wajahnya.

Cyra sampai di depan pemuda itu, ia tersenyum tipis lalu duduk di kursi yang sudah di siapkan. Setelahnya acara ijab kabul akhirnya di mulai, para tamu undangan hanya sebatas keluarga besar dan beberapa rekan kerja ayahnya. Tidak ada satu pun teman Cyra yang hadir di acara pernikahan tersebut, Cyra benar-benar merasa sendiri di tengah banyaknya orang yang hadir di sana.

Selang beberapa menit ijab kabul selesai, Cyra meraih pergelangan tangan suaminya yang bernama Nevalion Azegara. Pemuda berusia 28 tahun itu, nampak acuh tak acuh saat Cyra mencium punggung tangannya.

"Selamat, akhirnya kalian menjadi pasangan suami istri yang sah." Ucap penghulu.

"Terima kasih, Pak." Sahut Cyra tersenyum simpul.

Ucapan selamat atas pernikahan mereka, datang secara beruntun dari para tamu undangan, begitu juga dari Nera. Namun gadis itu sempat membisikan sesuatu yang menyulut emosi Cyra.

"Kak, selamat kamu pasti senang mendapat laki-laki lumpuh. Untungnya bukan aku yang menikah dengannya, jika saja papah tidak memberitahuku lebih dulu aku bisa saja terjebak di dalam pernikahan sialan itu." Bisik Nera.

Cyra menahan mati-matian amarahnya, kedua tangan gadis itu mengepal erat. Namun Cyra berhasil menunjukan sisi elegant pada adiknya, ia ikut berbisik saat menjawab ucapan Nera.

"Kamu benar, aku pasti sangat beruntung karena bisa berada di posisi ini. Mungkin saja suatu saat nanti kamu yang menyesal, karena menyerahkan pernikahan ini padaku." Sahut Cyra, tersenyum sangat ramah sampai membuat Nera melengos dan pergi menjauh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status