Malam telah berganti pagi, dan jam sudah menunjukan pukul 08.00 pagi. Akan tetapi kediaman Anton sudah ramai, di sana sedang ada tamu yang sangat mereka banggakan.
Anton duduk di sofa ruang keluarga, bersama anak dan istrinya. Di sana juga ada Kaivan, mantan kekasih Cyra yang sedang meminta izin pada kedua orang tua Nera untuk mengajaknya jalan-jalan, karena kebetulan hari ini adalah minggu. "Om, Tante. Saya mau mengajak Nera pergi, apa boleh?" tanya Kaivan dengan sopan. "Tentu saja, Nak. Lagi pula Nera juga tidak ada kegiatan di rumah benarkan, Ner?" sahut Margaret menoleh ke arah Nera. Gadis itu mengangguk, mereka berempat berbincang-bincang ringan tanpa mengingat jika di rumah itu ada putri sulung dan juga menantunya. Sementara itu di dalam kamar, Cyra sedang memasukan pakaian miliknya ke dalam koper. Ia membawa semua pakaian di dalam lemari, dan juga barang yang tertata rapi di nakas. Tidak ada satu pun benda yang tertinggal di dalam kamar tersebut. Nevalion merasa aneh melihat Cyra membawa segala sesuatu yang ada di sana, kecuali pigura berisi foto keluarganya yang tidak Cyra sentuh sama sekali. "Kamu yakin mau membawa semuanya sekarang, Ra?" ujar Nevalion heran. "Ya, aku tidak tau akan ke sini lagi kapan. Aku hanya tidak mau bolak balik dari rumah ke sini, hanya untuk mengambil beberapa barang." Sahut Cyra santai. Ia menutup rapat alasan sebenarnya ia membawa semua benda miliknya, Cyra hanya takut jika ia meninggalkan barangnya di rumah itu maka kedua orang tuanya bisa membuang dan membakar barang itu kapan saja. Cyra menoleh ke arah suaminya, lalu melihat penampilan Nevalion yang belum juga mengganti bajunya. "Kamu tidak mengganti bajumu?" "Tidak usah, nanti saja di rumah. Kamu sudah selesai?" Pertanyaan itu di angguki oleh Cyra, dua koper besar dan satu koper berukuran sedang sudah siap di depan pintu. Cyra keluar pertama kali sambil mendorong koper-kopernya menuju lift, memang kediaman keluarga Cyra bisa di bilang cukup kaya. Rumah itu cukup besar bagi Cyra, hanya saja jarang ada yang menggunakan lift kecuali ayah dan ibunya. Cyra sendiri lebih nyaman menaiki tangga, ia berpikir hal itu bisa sekalian mengasah tenaga di bagian kakinya. Ting. Lift berbunyi menandakan mereka sudah sampai di lantai satu, ketika pintu terbuka mereka berdua di sambut tawa riang dari ruang keluarga. "Sepertinya sedang ada tamu di rumahmu?" ujar Nevalion menoleh ke arah istrinya. Cyra hanya mengangguk singkat, ia mengenali suara tawa itu. Suara yang dulu selalu ia rindukan, bahkan menjadi obat yang tidak ingin ia lepas hingga membuatnya tersiksa. Diam-diam Nevalion memperhatikan perubahan di wajah Cyra, kali ini ia bisa melihat dengan jelas bahwa gadis itu sedang menahan tangis. 'Apa yang terjadi di dalam keluarga ini? mengapa suasana di sini tampak sangat buruk.' Batin Nevalion. Saat mereka melangkah menjauh dari lift, suara Anton menggelegar memanggil anak dan menantunya. "Cyra, Nevalion. Kalian sudah ingin pergi?" Anton bertanya dari tempat duduknya. "Ya, selamat menikmati waktu kalian." Sahut Cyra dingin. Sontak Aton merasa aneh mendapat jawaban dingin seperti itu, ia memperhatikan Cyra yang memegang kursi roda milik Nevalion, sedangkan semua kopernya sudah di bawa oleh pelayan ke dalam mobilnya. "Buru-buru sekali kamu, Ra. Tidakkah kamu ingin sarapan dulu dengan orang tuamu?" cetus Kaivan tersenyum tipis dari ruang keluarga. Ruangan itu memang tidak ada tembok pembatasnya, hal itulah yang membuat mereka bisa melihat satu sama lain dari jarak yang tidak terlalu jauh. "Aku tidak memiliki waktu sebanyak itu, mungkin lain kali. Silakan kamu nikmati kebersamaan kalian." Cyra mencengkeram erat, kursi roda milik Nevalion. Gejolak amarah kembali meluap dari dalam hati gadis itu, kejadian seminggu yang lalu masih terasa basah di dalam perasaannya. Sedangkan Nevalion melirik sekilas ke samping, ia melihat tangan Cyra bergetar. Ia mendongak betapa terkejutnya pemuda itu, ketika melihat kedua netra gadis itu memerah. Baru saja ia berniat untuk menanyakan alasan Cyra bersikap begitu, tiba-tiba Kaivan sudah berdiri di depan meraka. "Kamu masih marah denganku, Ra?" tanya Kaivan tanpa merasa malu. "Pfftt, hanya orang bodoh yang menanyakan pertanyaan seperti itu, Kai." Kaivan menarik sudut bibirnya ke atas, ia melangkah ke samping Cyra lalu meraih rambut panjang gadis itu, tanpa menghiraukan Nevalion yang duduk di kursi roda ia menghirup aroma gadis itu dari rambut panjangnya. "Ah, benarkah? Padahal jika kamu mau, aku bisa menjadikanmu yang kedua, Ra." "Sayang sekali, aku lebih tidak sudi di jadikan yang kedua, Kai. Aku bersyukur, karena aku bisa mengetahui semua kelakuan bejat kamu secepat ini." Cyra menepis kasar tangan Kaivan dari rambutnya, ia mendorong kursi roda milik Nevalion menuju pintu keluar. Ia meninggalkan Kaivan dan keluarganya, tanpa berpamitan lebih dulu. Ia sudah bertekad untuk tidak berharap pada mereka lagi, Cyra tidak ingin terluka dengan harapan konyol yang selalu ia terapkan selama ini.Jalan raya masih sepi, hanya ada beberapa kendaran berlalu lalang. Suasana di dalam mobil yang Cyra kendarai tampak sunyi, Nevalion menoleh ke arah kaca. Sejak ia menaiki mobil, ia seakan enggan bertatapan dengan istrinya. Sedangkan Cyra, ia larut dalam pikirannya sendiri. Masih seperti mimpi bahwa ia di khianati oleh adik kandungnya sendiri, tidak pernah terlintas sekalipun di benak Cyra bahwa Nera mengincar semua yang ia miliki. Pernikahan di atas kertas yang harus ia tanggung, semakin menambah beban berat di relung hati gadis itu. Kekecewaan pada kedua orang tuanya, belum bisa ia sembuhkan tapi kini ia harus menerima takdir lain tanpa bisa mengeluh. Tanpa terasa perjalanan menuju rumah Nevalion akhirnya sampai, Cyra memarkirkan mobilnya di halaman rumah sederhana tanpa tingkat. "Apa kamu tidak memiliki pembantu, Mas?" ujar Cyra, sebab ia tidak melihat ada orang lain di rumah tersebut. "Ada, hanya saja sedang libur. Aku memperkerjakan dua orang satu tukang kebun dan satu lagi
"Mas, tunggu sebentar! aku tidak bohong." Cecar Cyra. Ia membuntuti Nevalion hingga ke ruang keluarga, akan tetapi pemuda itu memilih acuh seakan ia tidak pernah mendengar perkataan tersebut. Cyra tidak menyerah, ia nekat membalikkan kursi roda Nevalion hingga mereka berdua saling berhadapan. Cyra menarik nafas panjang, lalu berjongkok di depan suaminya. Kedua tangan gadis itu berada di sisi pegangan kursi roda, hal tersebut ia lakukan agar Nevalion tidak menghindarinya lagi. "Mas, aku tahu kamu tidak menyukai pernikahan ini sama sepertiku. Tapi aku sama sekali tidak ada niat menyakiti kamu, aku benar-benar tidak tahu kalau kamu memiliki alergi," Cyra menundukkan kepalanya, kedua pundak gadis itu merosot. "Aku minta maaf, lain kali aku akan bertanya dulu padamu." Melihat raut menyesal di wajah istrinya, Nevalion mengangguk. Ia menyingkirkan kedua tangan Cyra dari kursi roda, tanpa sepatah kata ia bergegas kembali ke dalam kamar. Cyra menatap punggung Nevalion hingga pemuda itu
Mobil Cyra mulai memasuki area parkir milik perusahaan Daxton Group, gadis itu keluar dari mobil setelah memastikan mobilnya terparkir dengan aman. Ia membenarkan tas selempang di pundak kiri, dan berlari memasuki lobi. Ia takut ketinggalan penyambutan pemimpin yang baru, di tengah langkahnya ia mendengar suara seseorang memanggil namanya dari belakang. "Cyra!" Sontak Cyra langsung menoleh, ia melihat Jena sedang berlari ke arahnya sambil membawa segelas kopi. "Kamu baru sampai?" ujar gadis itu, seraya melihat penampilan Cyra. "Ya, kamu sendiri dari mana?" Jena tersenyum malu-malu, "Aku habis ketemu berondong, cakep banget gila mataku langsung sumringah habis ketemu mereka di kantin." Mendengar itu, Cyra menepuk lengan Jena sebal. Hampir setiap hari Jena menggoda para karyawan baru, terlebih yang masih muda dan terlihat polos. "Sampai kapan kamu mau mempermainkan mereka, Jen. Bisa-bisa kamu kualat loh." Ucap Cyra sedikit menakut-nakuti. Namun Jena tak perduli, ia mengangkat k
Suasana ruang pertemuan mulai sepi, tapi Cyra merasakan kebisingan menghantam seluruh raganya. Kedua mata gadis itu tertuju pada satu sosok pria yang berdiri di samping ketua divisi pengembangan, Cyra tidak tahu mengapa pria itu bisa berada di perusahaan ini."Ra, hei kamu baik-baik saja?" tanya Jena mulai cemas.Cyra menoleh, ia lalu mengangguk ragu. "Aku baik-baik saja, Jen.""Bohong, wajahmu mengatakan hal sebaliknya.""Entahlah, aku tidak menyangka kalau Kaivan ada di perusahaan yang sama denganku." Sahut Cyra tersenyum kecut.Jena mengelus punggung sahabatnya lembut, "Aku juga sama, aku dengar dia baru masuk setelah di pindahkan dari kantor cabang.""Kenapa kamu tidak memberitahu aku?" heran Cyra.Jena menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Maaf, aku takut kamu tidak suka jika aku berbicara tentang bajingan itu."Cyra tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat ini, kenyataan bahwa Kaivan berada di sana saja sudah membuat ia tidak bisa berpikir jernih. Meski ia sudah bertekad
Cyra menunggu dengan perasaan cemas, ia takut melakukan kesalahan tanpa sadar dan membuat lelaki di depannya marah. Ia meremas kedua tangan yang sudah berkeringat, Cyra tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia di pecat? sebab hanya perusahaan ini yang berani mengeluarkan gaji besar untuknya, selama ia bergelut di dunia pekerjaan.'Semoga bukan pemecatan mendadak yang akan dia katakan.' Batin Cyra penuh harap.Reizan memperhatikan mimik wajah Cyra, keringat muncul di kening gadis itu hingga membuat Reizan bertanya-tanya sendiri apakah di ruangan itu kurang dingin? padahal ia sudah mengatur suhu ruangan tersebut dengan baik.Tidak ingin menembak hal tidak berguna, Reizan kembali melanjutkan ucapannya."Kamu... terpilih menjadi sekertaris saya! Mulai besok tolong siapkan semua jadwal yang akan saya lakukan, jangan lupa atur semuanya sesuai urutan."Seketika Cyra terdiam, jauh di dalam benak gadis itu ia tidak mempercayai pendengarannya barusan. Cyra memberanikan diri bertanya kembali, i
Kediaman Nevalion nampak sunyi, hanya terdengar bunyi keyboard dari dalam kamar. Nevalion begitu serius mengerjakan tugasnya, ia tidak bisa menunda pekerjaannya setelah kemarin menunda karena melakukan akad nikah. Lama waktu berlalu, Nevalion mulai merasa lapar. Ia menghentikan sejenak pekerjaannya, Nevalion meraih ponsel dari ranjang dan membuka aplikasi yang biasa ia pakai untuk memesan makanan. Ia memesan satu kotak Sandwich dan segelas kopi, setelah selesai ia kembali melanjutkan pekerjaannya sambil menunggu pesanannya datang. "Aku perlu mengirim file ini sekarang." Gumam Nevalion. Ia mulai mengirim file tersebut pada atasannya, meski kondisi saat ini tidak memungkinkan Nevalion untuk bepergian sendiri tapi ia masih mendapat kepercayaan dari perusahaan, hingga ia tidak perlu khawatir tentang uang. Suara bel berbunyi, Nevalion menutup laptop dan segera keluar dari kamar. Untungnya jarak kamar dan pintu utama tidak terlalu jauh, jadi ia tidak merasa kesulitan. Nevalion membuka
Mobil mewah yang di kendarai oleh Nera, mulai memasuki kawasan apartemen milik kekasihnya. Nera begitu antusias ingin memberi tahu pada Kaivan, kalau persiapan pernikahan mereka sudah setengah jalan. Selama ini Nera sendiri yang mengurus semua keperluan pernikahan mereka, Kaivan hanya mendengar setiap detailnya dari Nera itu pun setelah semua deal dan dalam proses pengerjaan.Sesampainya di basemen, Nera memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Akan tetapi ia belum melihat mobil Kaivan ada di sana, Nera mengambil ponsel lalu menghubungi nomor kekasihnya.Akan tetapi nomor itu tidak aktif, Nera kembali mencoba hingga panggilan kelima nomor Kaivan tak kunjung bisa di hubungi.Ia berdecak sebal, "Kaivan kemana sih, kok tumben nomornya tidak aktif terus?"Baru saja ia hendak mengirim pesan, ia melihat mobil Kaivan memasuki area basemen. Nera bergegas keluar dari mobil, dan berlari kecil menuju mobil Kaivan."Kaivan!" pekik Nera begitu Kaivan keluar dari mobil."Kenapa?"Wajah Kaivan nampak b
Malam semakin larut, hawa dingin kian menusuk akan tetapi Cyra masih enggan meninggalkan teras rumahnya. Ia duduk di kursi sambil melamun dan menopang dagu. Entah ia sedang memikirkan hal apa, tapi raut wajahnya nampak sendu. Hingga suara di ponselnya membuat lamunan Cyra buyar, ia membuka pesan yang baru saja ia terima. "Haa... Kenapa mereka selalu menggangguku? apa hidup mereka terlalu sepi." Gerutu gadis itu. Pesan tersebut berasal dari Anton, tidak ada hujan atau pun angin tiba-tiba ayahnya meminta uang padanya. "Tadi mamah, sekarang papah. Apa mereka tidak merasa bersalah karena baru saja membuang ku dari rumah?" Cyra membalas pesan Anton dengan singkat, ia tidak ingin bersedih atau pun meratapi kelakuan kedua orang tuanya seperti dulu. Cyra merasakan lelah yang tidak berujung setiap kali berkomunikasi dengan orang tuanya, tidak ada tempat untuknya berkeluh ia di paksa memahami tanpa ada yang mau memahami bagaimana kondisinya saat ini dan apa yang ia rasakan. "Sebaiknya aku