Share

Chapter 8

Malam telah berganti pagi, dan jam sudah menunjukan pukul 08.00 pagi. Akan tetapi kediaman Anton sudah ramai, di sana sedang ada tamu yang sangat mereka banggakan.

Anton duduk di sofa ruang keluarga, bersama anak dan istrinya. Di sana juga ada Kaivan, mantan kekasih Cyra yang sedang meminta izin pada kedua orang tua Nera untuk mengajaknya jalan-jalan, karena kebetulan hari ini adalah minggu.

"Om, Tante. Saya mau mengajak Nera pergi, apa boleh?" tanya Kaivan dengan sopan.

"Tentu saja, Nak. Lagi pula Nera juga tidak ada kegiatan di rumah benarkan, Ner?" sahut Margaret menoleh ke arah Nera.

Gadis itu mengangguk, mereka berempat berbincang-bincang ringan tanpa mengingat jika di rumah itu ada putri sulung dan juga menantunya.

Sementara itu di dalam kamar, Cyra sedang memasukan pakaian miliknya ke dalam koper. Ia membawa semua pakaian di dalam lemari, dan juga barang yang tertata rapi di nakas. Tidak ada satu pun benda yang tertinggal di dalam kamar tersebut.

Nevalion merasa aneh melihat Cyra membawa segala sesuatu yang ada di sana, kecuali pigura berisi foto keluarganya yang tidak Cyra sentuh sama sekali.

"Kamu yakin mau membawa semuanya sekarang, Ra?" ujar Nevalion heran.

"Ya, aku tidak tau akan ke sini lagi kapan. Aku hanya tidak mau bolak balik dari rumah ke sini, hanya untuk mengambil beberapa barang." Sahut Cyra santai.

Ia menutup rapat alasan sebenarnya ia membawa semua benda miliknya, Cyra hanya takut jika ia meninggalkan barangnya di rumah itu maka kedua orang tuanya bisa membuang dan membakar barang itu kapan saja.

Cyra menoleh ke arah suaminya, lalu melihat penampilan Nevalion yang belum juga mengganti bajunya.

"Kamu tidak mengganti bajumu?"

"Tidak usah, nanti saja di rumah. Kamu sudah selesai?"

Pertanyaan itu di angguki oleh Cyra, dua koper besar dan satu koper berukuran sedang sudah siap di depan pintu. Cyra keluar pertama kali sambil mendorong koper-kopernya menuju lift, memang kediaman keluarga Cyra bisa di bilang cukup kaya.

Rumah itu cukup besar bagi Cyra, hanya saja jarang ada yang menggunakan lift kecuali ayah dan ibunya. Cyra sendiri lebih nyaman menaiki tangga, ia berpikir hal itu bisa sekalian mengasah tenaga di bagian kakinya.

Ting.

Lift berbunyi menandakan mereka sudah sampai di lantai satu, ketika pintu terbuka mereka berdua di sambut tawa riang dari ruang keluarga.

"Sepertinya sedang ada tamu di rumahmu?" ujar Nevalion menoleh ke arah istrinya.

Cyra hanya mengangguk singkat, ia mengenali suara tawa itu. Suara yang dulu selalu ia rindukan, bahkan menjadi obat yang tidak ingin ia lepas hingga membuatnya tersiksa.

Diam-diam Nevalion memperhatikan perubahan di wajah Cyra, kali ini ia bisa melihat dengan jelas bahwa gadis itu sedang menahan tangis.

'Apa yang terjadi di dalam keluarga ini? mengapa suasana di sini tampak sangat buruk.' Batin Nevalion.

Saat mereka melangkah menjauh dari lift, suara Anton menggelegar memanggil anak dan menantunya.

"Cyra, Nevalion. Kalian sudah ingin pergi?" Anton bertanya dari tempat duduknya.

"Ya, selamat menikmati waktu kalian." Sahut Cyra dingin.

Sontak Aton merasa aneh mendapat jawaban dingin seperti itu, ia memperhatikan Cyra yang memegang kursi roda milik Nevalion, sedangkan semua kopernya sudah di bawa oleh pelayan ke dalam mobilnya.

"Buru-buru sekali kamu, Ra. Tidakkah kamu ingin sarapan dulu dengan orang tuamu?" cetus Kaivan tersenyum tipis dari ruang keluarga.

Ruangan itu memang tidak ada tembok pembatasnya, hal itulah yang membuat mereka bisa melihat satu sama lain dari jarak yang tidak terlalu jauh.

"Aku tidak memiliki waktu sebanyak itu, mungkin lain kali. Silakan kamu nikmati kebersamaan kalian." Cyra mencengkeram erat, kursi roda milik Nevalion.

Gejolak amarah kembali meluap dari dalam hati gadis itu, kejadian seminggu yang lalu masih terasa basah di dalam perasaannya.

Sedangkan Nevalion melirik sekilas ke samping, ia melihat tangan Cyra bergetar. Ia mendongak betapa terkejutnya pemuda itu, ketika melihat kedua netra gadis itu memerah. Baru saja ia berniat untuk menanyakan alasan Cyra bersikap begitu, tiba-tiba Kaivan sudah berdiri di depan meraka.

"Kamu masih marah denganku, Ra?" tanya Kaivan tanpa merasa malu.

"Pfftt, hanya orang bodoh yang menanyakan pertanyaan seperti itu, Kai."

Kaivan menarik sudut bibirnya ke atas, ia melangkah ke samping Cyra lalu meraih rambut panjang gadis itu, tanpa menghiraukan Nevalion yang duduk di kursi roda ia menghirup aroma gadis itu dari rambut panjangnya.

"Ah, benarkah? Padahal jika kamu mau, aku bisa menjadikanmu yang kedua, Ra."

"Sayang sekali, aku lebih tidak sudi di jadikan yang kedua, Kai. Aku bersyukur, karena aku bisa mengetahui semua kelakuan bejat kamu secepat ini."

Cyra menepis kasar tangan Kaivan dari rambutnya, ia mendorong kursi roda milik Nevalion menuju pintu keluar. Ia meninggalkan Kaivan dan keluarganya, tanpa berpamitan lebih dulu.

Ia sudah bertekad untuk tidak berharap pada mereka lagi, Cyra tidak ingin terluka dengan harapan konyol yang selalu ia terapkan selama ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status