Waktu semakin larut, namun Cyra masih enggan pulang. Ia duduk termenung di taman komplek yang tidak terlalu jauh dari kediamannya, semilir angin malam menerbangkan helaian rambut gadis itu.
Kondisi taman yang sepi, tidak membuat Cyra merasa takut. Ia justru merasa kosong di bagian hatinya, rasa kecewa dan pengkhianatan yang muncul secara serempak mampu membuat jiwanya terguncang cukup hebat. "Miris." Monolog Cyra. Ia menertawakan nasibnya, Cyra tidak memiliki tempat untuk bercerita. Semua luka yang ia terima, ia emban sendiri. Seolah mengerti akan kesedihan gadis itu, tiba-tiba hujan turun begitu deras mengguyur taman serta tubuh Cyra. Gadis itu meneteskan air mata bersama hujan yang mengenai wajahnya, ia tidak tahu di bagian mana rasa sakit itu berada. Tapi saat ini ia benar-benar hancur, Cyra tidak mengira takdir akan membawanya ke dalam posisi seperti saat ini. "Aaarrghh... Sakit tuhan!" Teriak Cyra mendongak menatap langit malam. Ia menjerit sembari memukuli dadanya, mimpi indah yang ia bangun selama ini runtuh hanya dalam hitungan detik. "Kenapa harus aku, kenapa selalu aku tuhan? apa aku terlalu serakah jika menginginkan sedikit kebahagiaan?" Tetesan air hujan semakin deras mengguyur tubuhnya yang rapuh, malam itu menjadi malam terburuk bagi gadis berusia 25 tahun tersebut. Tidak pernah terbayangkan olehnya, bahwa ia akan di khianati oleh anggota keluarganya sendiri dan juga orang yang ia cintai dengan begitu tulus. *** Sementara itu, di kediaman Cyra nampak Anton dan Margaret sedang menunggu kepulangan putri sulung mereka. Jam sudah menunjukan pukul satu dini hari, namun Cyra belum juga pulang terlebih hujan begitu deras malam ini. Hingga sesaat kemudian, terdengar bunyi pintu terbuka. Kedua paruh baya itu segera berdiri dari sofa, dan melangkah menuju pintu utama. Mereka berdua mematung begitu melihat penampilan Cyra yang basah kuyup, tubuh gadis itu nampak bergetar akibat kedinginan. Bibirnya pucat, dan kedua mata gadis itu bengkak. "Dari mana kamu jam segini baru pulang hah?" sentak Anton. Cyra mendongak, ia menatap sayu pada kedua orang tuanya berharap tersirat kekhawatiran di wajah kedua orang tuanya, namun harapan itu hanya angan-angan belaka bagi gadis tersebut. Raut wajah Anton dan Margaret berbanding terbalik dengan harapannya, Cyra tersenyum pilu. Berkali-kali ia berharap namun sampai akhir sekalipun, tidak ada ruang baginya untuk masuk ke dalam lingkup keluarganya. "Aku cape, Pah. Bisa kita bicarakan besok pagi saja?" sahut Cyra lemas. Ia benar-benar merasa sangat lelah, dan ingin segera tidur untuk melupakan sejenak kejadian hari ini. "Tidak bisa! Jawab sekarang, kamu dari mana, Ra?" bentak Anton. "Aku dari kantor, Pah. Jelas-jelas pakaianku masih sama." Jawab Cyra apa adanya. Margaret menatap sinis ke arah Cyra, "Kantor mana yang masih buka jam segini hah? kamu pasti habis keluyuran, kan?" Mendengar tuduhan itu, Cyra lantas menggeleng. Ia menarik nafas berat, kepalanya terasa pening dan suhu tubuhnya mulai naik. Cyra berniat mengakhiri perdebatan itu, tapi sang mamah sama sekali tidak membiarkannya pergi. "Mah, aku tidak pernah keluyuran. Tadi aku lembur, dan berujung pulang lebih lama." Sahut Cyra berusaha sabar. "Jangan bohong kamu, jika kamu lembur mengapa pakaian kamu basah begini?" "Mah, aku sangat lelah! Aku tidak ingin berdebat, bisakah aku pergi ke kamarku sekarang?" Izin Cyra, ia benar-benar sangat putus asa menghadapi Margaret. Namun bukan jawaban yang ia dapat, tapi tarikan di pergelangan tangannya dari Anton hingga membuat tubuh gadis itu terhuyung dan jatuh ke lantai. Cyra mendesis lirih, saat telapak tangannya menghantam lantai. Rasa pening di bagian kepalanya semakin menjadi, tapi kedua orang tua itu seakan menutup mata mengenai keadaan putri sulung mereka. "Jaga nada bicaramu, Ra! Jangan meninggikan suara di depan orang tuamu sendiri!" Bentak Anton tak suka. Sekuat tenaga Cyra kembali berdiri, meski ia sempat terhuyung kembali tapi baik Anton atau pun Margaret tetap mengacuhkannya. "Pah, aku hanya ingin ke kamar dan istirahat! Apa itu salah? aku tidak berniat melakukan perdebatan panjang dengan kalia-" Plakk. Seketika wajah Cyra menoleh ke samping, gadis itu terdiam membatu sembari menikmati rasa sakit di bagian pipinya, namun hal itu tidak sebanding dengan rasa sakit di hati yang ia rasakan. "Sejak kapan kamu berani menjawab seperti ini hah? pantaskah kamu pergi di saat orang tuamu sedang berbicara? Jawab Cyra!" Hardik Anton. Runtuh sudah pertahan gadis itu, air matanya kembali mengalir. Luka tak kasat mata yang ia rasakan tadi, semakin bertambah dalam. Cyra menatap lekat kedua bola mata sang papah, dengan air mata yang terus berjatuhan seperti hujan. "Pah, sampai kapan kalian mau menyalahkan aku? setiap kata dan tindakan yang aku lakukan selalu salah di mata kalian! tidakkah kalian merasa sedikit kasihan padaku?" Cyra menyeka air mata yang menetes di pipi dengan kasar. "Aku tidak pernah membangkang, aku selalu patuh pada perintah kalian! Tapi apa yang aku dapat? Bentakan, tamparan dan juga caci maki dari orang tuaku sendiri!" "Papah pikir aku kuat?" Cyra menunjuk dirinya sendiri, "Tidak, Pah. Aku terluka di sini." Cyra menunjuk bagian dadanya yang sejak tadi berdenyut nyeri, layaknya di sayat menggunakan pisau tumpul secara perlahan. "Di sini sakit, Pah. Mah. Rasa sakitnya sangat luar biasa, sampai aku tidak bisa menjabarkannya pada kalian." Degh. Margaret bisa melihat sorot mata putri sulungnya begitu terluka, ada perasaan asing yang menerobos masuk ke dalam relung hati wanita paruh baya itu, Ia ingin menghapus air mata Cyra, namun ia ragu seolah ada sesuatu yang menghalangi keinginannya. Cyra menunduk sebentar lalu kembali menatap kedua orang tuanya, "Aku tidak berharap banyak, Mah, Pah. Aku hanya ingin di perlakukan layaknya anak kalian, bukan seperti benda mati yang di ambil saat kalian butuh, lalu membuangnya di saat kalian tidak lagi memerlukannya."Sinar matahari mulai menyusup ke dalam kamar seorang gadis, yang masih berada di bawah selimut tebal. Namun wajah gadis itu terlihat pucat, keringat dingin terus keluar dari kening dan tubuhnya menggigil. Sesaat kemudian, ia terlonjak kaget saat pintu terbuka secara kasar. Cyra menoleh, ia melihat Margaret sudah berada di depan pintu. "Bangun, Ra! Kamu tidak ke kantor?" tanya Margaret dingin. "Aku udah izin hari ini tidak masuk, Mah. Aku tidak enak badan." Sahut Cyra lemah. Margaret mendekat, ia melihat wajah putri sulungnya yang di selimuti keringat. Melihat itu, hati mungilnya tergerak ia meraih tisu di samping ranjang lalu menyeka keringat di kening Cyra. Sontak tubuh gadis itu langsung membeku, ia tak menyangka ibunya akan bertindak demikian. "Kamu tahu sendiri, kamu tidak bisa terkena air hujan! Kenapa kemarin kamu main hujan-hujanan, Ra?" Meski nada bicara Margaret masih judes, namun Cyra merasa senang sebab baru kali ini Margaret mau menyentuhnya. "Maaf, Mah. Aku selalu
"NERA!" teriak Margaret.Sontak Cyra tertegun, ia melihat Margaret merangkul pundak Nera begitu lembut. Pemandangan itu membuat Cyra iri, ia tidak pernah mendapat pelukan seperti itu sejak ia masih kecil."Sayang, kenapa bisa begini? siapa yang melakukannya?" tanya Margaret lembut.Namun Nera tak menjawab, ia justru menangis sampai tergugu. Jelas saja Margaret semakin kebingungan, ia menoleh ke arah Cyra yang masih menatap sendu pada ibu dan adiknya."Pasti kamu yang melakukan ini pada Nera, kan?" tuduh Margaret sembari menunjuk wajah Cyra."Bukan, Mah. Tadi Nera melakukannya sendiri." Sanggah Cyra, mencoba menjelaskan kejadian tadi.Melihat pembelaan dari Cyra, Margaret lantas kembali menanyakan pada Nera. Akan tetapi, kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu sangat di luar dugaan. "Kak, aku hanya khawatir padamu tapi kenapa kamu justru melemparkan bubur ini padaku?" elak Nera.Cyra termangu di tempat tidur, kondisinya yang masih lemah semakin bertambah buruk selepas Nera memberik
Beberapa saat telah berlalu, kini Cyra serta suaminya sudah berada di dalam kamar. Selepas ijab kabul, mereka tidak mengadakan resepsi. Semua sudah di atur sedemikian rupa oleh kedua orang tua Cyra, mereka enggan mengeluarkan uang lebih banyak untuk biaya pernikahan putri sulungnya.Cyra sedang sibuk melepas satu persatu kancing di kebaya miliknya, hingga kesibukan gadis itu terhenti saat ia mendengar suara panggilan dari Nevalion."Cyra." Suara berat mendayu di telinga gadis itu.Cyra menoleh, "Ada apa, Mas?""Kamu tahu, kan ini hanya pernikahan atas dasar balas budi?" cetus Nevalion."Ya, aku tahu. Memangnya kenapa?"Cyra bertanya seperti itu karena ia memang tak paham maksud Nevalion, pemuda itu tidak secara langsung mengutarakan keinginannya."Kamu jangan mengharapkan apa pun dariku, apa lagi menginginkan cinta di dalam pernikahan kita. Hal itu tidak mungkin terjadi," Nevalion menghela nafas berat, ia kembali melanjutkan perkataannya."Satu lagi, jangan mengasihani ku yang saat in
Malam telah berganti pagi, dan jam sudah menunjukan pukul 08.00 pagi. Akan tetapi kediaman Anton sudah ramai, di sana sedang ada tamu yang sangat mereka banggakan. Anton duduk di sofa ruang keluarga, bersama anak dan istrinya. Di sana juga ada Kaivan, mantan kekasih Cyra yang sedang meminta izin pada kedua orang tua Nera untuk mengajaknya jalan-jalan, karena kebetulan hari ini adalah minggu. "Om, Tante. Saya mau mengajak Nera pergi, apa boleh?" tanya Kaivan dengan sopan. "Tentu saja, Nak. Lagi pula Nera juga tidak ada kegiatan di rumah benarkan, Ner?" sahut Margaret menoleh ke arah Nera. Gadis itu mengangguk, mereka berempat berbincang-bincang ringan tanpa mengingat jika di rumah itu ada putri sulung dan juga menantunya. Sementara itu di dalam kamar, Cyra sedang memasukan pakaian miliknya ke dalam koper. Ia membawa semua pakaian di dalam lemari, dan juga barang yang tertata rapi di nakas. Tidak ada satu pun benda yang tertinggal di dalam kamar tersebut. Nevalion merasa aneh meli
Jalan raya masih sepi, hanya ada beberapa kendaran berlalu lalang. Suasana di dalam mobil yang Cyra kendarai tampak sunyi, Nevalion menoleh ke arah kaca. Sejak ia menaiki mobil, ia seakan enggan bertatapan dengan istrinya. Sedangkan Cyra, ia larut dalam pikirannya sendiri. Masih seperti mimpi bahwa ia di khianati oleh adik kandungnya sendiri, tidak pernah terlintas sekalipun di benak Cyra bahwa Nera mengincar semua yang ia miliki. Pernikahan di atas kertas yang harus ia tanggung, semakin menambah beban berat di relung hati gadis itu. Kekecewaan pada kedua orang tuanya, belum bisa ia sembuhkan tapi kini ia harus menerima takdir lain tanpa bisa mengeluh. Tanpa terasa perjalanan menuju rumah Nevalion akhirnya sampai, Cyra memarkirkan mobilnya di halaman rumah sederhana tanpa tingkat. "Apa kamu tidak memiliki pembantu, Mas?" ujar Cyra, sebab ia tidak melihat ada orang lain di rumah tersebut. "Ada, hanya saja sedang libur. Aku memperkerjakan dua orang satu tukang kebun dan satu lagi
"Mas, tunggu sebentar! aku tidak bohong." Cecar Cyra. Ia membuntuti Nevalion hingga ke ruang keluarga, akan tetapi pemuda itu memilih acuh seakan ia tidak pernah mendengar perkataan tersebut. Cyra tidak menyerah, ia nekat membalikkan kursi roda Nevalion hingga mereka berdua saling berhadapan. Cyra menarik nafas panjang, lalu berjongkok di depan suaminya. Kedua tangan gadis itu berada di sisi pegangan kursi roda, hal tersebut ia lakukan agar Nevalion tidak menghindarinya lagi. "Mas, aku tahu kamu tidak menyukai pernikahan ini sama sepertiku. Tapi aku sama sekali tidak ada niat menyakiti kamu, aku benar-benar tidak tahu kalau kamu memiliki alergi," Cyra menundukkan kepalanya, kedua pundak gadis itu merosot. "Aku minta maaf, lain kali aku akan bertanya dulu padamu." Melihat raut menyesal di wajah istrinya, Nevalion mengangguk. Ia menyingkirkan kedua tangan Cyra dari kursi roda, tanpa sepatah kata ia bergegas kembali ke dalam kamar. Cyra menatap punggung Nevalion hingga pemuda itu
Mobil Cyra mulai memasuki area parkir milik perusahaan Daxton Group, gadis itu keluar dari mobil setelah memastikan mobilnya terparkir dengan aman. Ia membenarkan tas selempang di pundak kiri, dan berlari memasuki lobi. Ia takut ketinggalan penyambutan pemimpin yang baru, di tengah langkahnya ia mendengar suara seseorang memanggil namanya dari belakang. "Cyra!" Sontak Cyra langsung menoleh, ia melihat Jena sedang berlari ke arahnya sambil membawa segelas kopi. "Kamu baru sampai?" ujar gadis itu, seraya melihat penampilan Cyra. "Ya, kamu sendiri dari mana?" Jena tersenyum malu-malu, "Aku habis ketemu berondong, cakep banget gila mataku langsung sumringah habis ketemu mereka di kantin." Mendengar itu, Cyra menepuk lengan Jena sebal. Hampir setiap hari Jena menggoda para karyawan baru, terlebih yang masih muda dan terlihat polos. "Sampai kapan kamu mau mempermainkan mereka, Jen. Bisa-bisa kamu kualat loh." Ucap Cyra sedikit menakut-nakuti. Namun Jena tak perduli, ia mengangkat k
Suasana ruang pertemuan mulai sepi, tapi Cyra merasakan kebisingan menghantam seluruh raganya. Kedua mata gadis itu tertuju pada satu sosok pria yang berdiri di samping ketua divisi pengembangan, Cyra tidak tahu mengapa pria itu bisa berada di perusahaan ini."Ra, hei kamu baik-baik saja?" tanya Jena mulai cemas.Cyra menoleh, ia lalu mengangguk ragu. "Aku baik-baik saja, Jen.""Bohong, wajahmu mengatakan hal sebaliknya.""Entahlah, aku tidak menyangka kalau Kaivan ada di perusahaan yang sama denganku." Sahut Cyra tersenyum kecut.Jena mengelus punggung sahabatnya lembut, "Aku juga sama, aku dengar dia baru masuk setelah di pindahkan dari kantor cabang.""Kenapa kamu tidak memberitahu aku?" heran Cyra.Jena menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Maaf, aku takut kamu tidak suka jika aku berbicara tentang bajingan itu."Cyra tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat ini, kenyataan bahwa Kaivan berada di sana saja sudah membuat ia tidak bisa berpikir jernih. Meski ia sudah bertekad