Malam hari di immortal berjalan dengan tenang, di kamarnya Kanagara sedang menulis sesuatu. Ya, pangeran itu ternyata juga memiliki ketakutan, yang mana semua hal itu ia tuliskan dalam buku hariannya.
Tok!
Tok!
Tok!
Namun tak berselang lama, ketenangan itu dihampiri seseorang yang mengetuk pintu. Kanagara langsung menyembunyikan buku nya kedalam laci.
"Masuk" ujarnya ketike buku itu sudah aman ditempatnya.
Ternyata yang datang adalah ibunya. Dewi Chanda, perempuan itu terlihat berseri-seri ketika menyambangi kamar putranya.
"Ibu belum tidur?" tanya Kanagara.
"Kamu sendiri kenapa masih belum tidur?" timpal dewi Chanda bertanya.
"Aku hanya sedang berpikir tentang masa depan" ujar Kanagara.
"Kenapa harus dipikirkan, jelas masa depan mu adalah memimpin kerajaan dan dunia immortal" jawab sang dewi.
Kanagara tak bergeming. Sejujurnya dia ingin menyampaikan kegelisahan hati dan ketakutan menjadi raja, rasanya tidak mampu saja dengan keadaan dirinya yang seperti ini.
"Dan masa itu akan berlangsung sebentar lagi, bulan purnama depan, Kamu akan diangkat menjadi raja anak ku" ujar dewi Chanda.
"Jadi sekarang kamu harus tidur dan tidak boleh kelelahan, kurangi jadwal berlatih mu, dan semua aktivitas agar kamu baik-baik saja saat penobatan" imbuhnya mendorong Kanagara tidur.
"Ibu aku takut" celetuk Kanagara.
Pada akhirnya lelaki itu tak bisa menahan kegelisahan hatinya, dia ingin sang ibu tahu bahwa dirinya belum siap memimpin kerajaan.
"Apa maksud mu berbicara seperti itu?" tanya dewi Chanda dingin.
"Aku belum siap ibu" cicit Kanagara.
"Lantas mau siapa lagi yang memimpin kerajaan?" tanya dewi Chanda tak habis pikir.
"Jika anak ibu dewi Anggraini masih hidup-"
"Dia sudah mati! Kerajaan tidak mungkin dipimpin oleh roh!" tegas dewi Chanda memotong ucapan anaknya.
"Aku tahu ibu. Aku hanya mengatakan seandainya saja" cicit Kanagara.
"Sudahlah, secepatnya kamu tidur" ujar dewi Chanda beranjak pergi.
"Dan jangan pernah berpikir kekuasaan ini dipegang oleh orang lain" imbuhnya.
Huft!
Kanagara tidak bisa menolak perkataan ibu nya, dan apa tadi kata sang ibu? Mengurangi jadwal aktivitas? Bodoh sekali, justru orang-orang berlatih untuk menutupi kekurangannya.
"Saat-saat seperti ini, aku berharap ayah segera sadar" gumam Kanagara sembari menarik selimut tidurnya.
Di kamar lain, dewi Anggraini sedang membersihkan wajah suaminya. Raja Baswara. Wajahnya terlihat sendu bercampur tenang ketika tangannya mengusap dengan telaten.
"Aku merindukan mu sayang, cepatlah bangun" gumam dewi Anggraini.
"Aku juga ingin meminta maaf. Maaf karena tidak bisa menjaga anak kita" imbuhnya mulai berkaca-kaca.
Dewi Anggraini benar-benar terpukul atas meninggalnya pangeran Sabitah. Dewi Anggraini sempat berpikir tidak bisa memaafkan dirinya sendiri akibat kelalaian itu.
Flashback.
Dewi Anggraini sedang mengurus tanaman di belakang kerjaan. Wajahnya berseri-seri melihat kelopak bunga yang berwarna-warni.
Sret!
Tangannya memetik sebuah mawar hitam, entahlah rasanya bunga itu terlalu menarik perhatiannya.
"Ratu dewi Anggraini"
Namun ditengah kesenangan itu seorang prajurit tiba-tiba datang. Wajahnya menyiratkan ketakutan dan kesedihan.
"Prajurit? Ada apa?" tanya dewi Anggraini lembut.
"Dan dimana anak ku?" imbuhnya mencari sosok pangeran kecil tampan.
"Maafkan kami ratu," ujar prajurit itu.
"Maaf? Untuk apa?" tanya dewi Anggraini masih dengan senyumannya.
"Pangeran Sabitah, telah tiada" ujar prajurit itu tertunduk.
Dewi Anggraini terdiam sesaat, namun beberapa detik kemudian dia tertawa pelan.
"Jangan bercanda seperti itu prajurit" tegur dewi Anggraini lembut.
"Maafkan kami ratu, tapi itu semua benar. Pangeran Sabitah diserang penjahat dan kami tidak menemukan dimana jasadnya" ujar prajurit itu.
Mimik dewi Anggraini perlahan berubah. Dia cemas, dan hal itu semakin bertambah ketika prajurit lainnya terbang membawa sebuah pakaian berlumur darah.
"Maaf ratu kami hanya menemukan ini" ujar prajurit itu memberikan pakaian pangeran Sabitah.
Seketika tubuh dewi Anggraini lemas, tangannya bergetar menerima pakaian bersimbah darah itu.
"Anak ku!" pekik dewi Anggraini mengiyakan jika pakaian itu adalah milik anak nya.
"Kenapa?! Kenapa kalian tidak menjaganya?!" teriak dewi Anggraini histeris.
Para prajurit dan anggota kerajaan lainnya yang lewat mencoba menenangkan dia, namun dewi Anggraini lebih dulu tak sadarkan diri dan dibawa masuk kedalam istana.
Dewi Anggraini terisak mengingat kejadian itu. Yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dewi Anggraini bercita-cita melihat anaknya tumbuh dewasa, kuat, gagah, baik seperti suaminya, dan nanti memimpin kerajaan setelah sang ayah lengser.
Namun apa kenyataannya? Takdir tak mengijinkan itu semua terjadi. Bahkan kepada dewa sekalipun.
"Aku menyuruh mu untuk membersihkan raja, bukan menangis dan membuatnya terganggu!"
Dewi Anggraini lantas mengangkat kepalanya ketika suara dewi Chanda terdengar mengomel lagi.
Tepat di depan pintu, dewi itu melipat tangannya didepan dada dengan sorot mata marah.
Di tempat lain seorang Lucifer memainkan patahan ujung tombak ditangannya. Bersama beberapa teman dia terlihat gembira sekali.
"Raja masih belum sadarkan diri, dan keadaan immortal sedang tak stabil. Kesempatan kita untuk menyerangnya" ujarnya.
Untuk ukuran seorang iblis dia cukup tampan, sayap hitam dan rambut panjangnya membuat ia terlihat gagah.
"Tapi immortal masih memiliki seorang pangeran" timpal salah seorang dari temannya.
"Pangeran? Maksud mu Kanagara? Dia bukanlah pangeran yang harus ditakuti" ujar si Lucifer tampan tadi.
"Yang harus kita waspadai adalah pangeran yang satunya lagi" imbuhnya.
"Immortal hanya memiliki satu pangeran dan satu putri, tidak ada lagi?" ujar temannya bingung.
"Ada, pangeran Sabitah. Yang gagal kita bunuh saat itu"
Semua teman-temannya meremang teringat kejadian itu, ketika seorang anak kecil berusia dua tahun mengamuk dan membunuh teman-temannya yang lain.
"Lalu bagaimana jika dia tiba-tiba muncul Aiden?" tanya temannya.
Lucifer bernama Aiden itu berpikir sejenak dan tersenyum.
"Tidak ada tanda-tanda keberadaannya, selagi belum ada kita harus menyerang immortal secepatnya" ujar Aiden.
"Tapi tidak semudah itu, masih banyak pasukan kita yang belum siap bertarung"
"Kita siapkan dari sekarang, sebagai pangeran iblis. Hal seperti ini mudah saja" ujar Aiden sombong.
"Baiklah, aku hanya akan menunggu perintah mu"
"Kita mulai persiapan dari yang terkecil dulu. Aku ingin hari ini ada pertemuan dengan semua pasukan, sebelum bertemu dengan ayah aku harus meyakinkan mereka terlebih dahulu" ujar Aiden.
"Baik, aku akan meminta mereka berkumpul"
"Cepat, dan harus kamu pastikan semua hadir Zoro" ujar Aiden.
Lelaki bernama Zoro itu mengangguk patuh. Lantas dia pun pergi melaksanakan perintah itu.
Sepeninggal Zoro, Aiden tersenyum sendirian di kamarnya. Kaca cermin yang bening memantulkan tubuhnya dengan sempurna.
"Untuk ibu ku yang telah kalian bunuh, immortal akan hancur ditangan ku" desis Aiden tersenyum miring.
Prang!
Tiba-tiba kaca itu pecah ketika Aiden membalikkan tubuhnya.
"Aku bahkan tak perlu mengeluarkan kekuatan untuk menghancurkan kalian" gumamnya berlalu pergi.
Brak!
Suara pintu yang ditutup keras menutup bagian ini.
Esok pagi yang sejuk nan damai menyambut Evan, untuk hari ini dia dan sang ayah hendak pergi ke kota untuk menjual senjata yang sudah mereka buat sebelumnya.Kejadian kemarin pun tak luput di ceritakannya kepada sang ibu, alhasil kini tempat pengrajinan senjata keluarga mereka berpindah tempat ke dekat rumah.Meskipun bising tiap hari, ibu Evan memaklumi itu, mereka bersyukur untuk keadaannya karena semuanya adalah bagian dari tanggungjawab."Ibu kami pergi dulu" ujar Evan mencium pipi ibunya.Karena keluarga mereka hanya memiliki satu direwolf, Evan membiarkan sang ayah yang mengendarainya. Dirinya sendiri terbang biasa dengan sayap nya.Wush!Evan dan ayahnya pun pergi.Sebenarnya Evan malas jika harus menunjukkan sayapnya, dia tak terlalu suka orang-orang memperhatikan yang berujung berspekulasi.Pernah dulu waktu kecil dia disangka dewa percobaan kar
"Ada penjahat mengacau di kota""Benarkah? Biarkan saja, atau suruh anggota baru membereskannya""Benar, kita ini sudah senior. Lagipula tak ada korban jiwa pada peristiwa itu""Tapi kan ini bagian dari tugas kita""Pangeran dan ratu dewi Chanda tak akan mempermasalahkannya""Kalau kamu ingin membereskannya silahkan pergi sendiri,""Tidak! Tidak. Aku kan juga ingin menikmati santai"Damon hanya bisa menggerutu dalam hati melihat tingkah para prajurit, bagaimana bisa mereka diam tidak peduli ketika ada bahaya di kota."Bukan masalah ada korban jiwa atau tidak. Dan bukan soal Kanagara atau dewi Chanda yang marah. Menjaga kedamaian immortal adalah tugas kita semua. Tapi yang utama adalah kewajiban kalian melindunginya" ujar Damon melengos melewati para prajurit itu.Semuanya tampak terkejut, beberapa menunduk takut na
"Anggota kerajaan tidak boleh bersikap seperti ini" ujar Evan."Kamu pikir ini cukup?" tanya Damon meremehkan."Hm?"Wush!Evan terkejut melihat Damon melepaskan diri dari serangannya menggunakan kekuatan angin."Dan kamu pikir, hanya kamu yang bisa mengendalikan tanah?" tanya Damon."Salah besar, seorang rakyat tidak boleh memberontak apalagi menyerang anggota kerajaan. Atau itu bisa disebut pengancaman dan kekerasan" imbuhnya.Sret!Wush!Evan menghindar dengan mudah ketika Damon menyerang dengan serangan tanah, kekuatannya cukup besar juga.Tanah yang tadinya landai, berubah tekstur dan pecah-pecah. Meskipun itu tak seberapa, Evan yakin dirinya bisa melakukan hal lebih besar."Kita bicara baik-baik, dan bukannya seorang anggota kerajaan wajib melayani keluhan rakyat ya?" ujar Ev
Evan bergeming ketika ibu dan ayahnya menepuk pundaknya."Kamu harus pergi, ayah dan ibu tidak ingin kamu menjadi bagian prajurit perang" ujar Mikaila."Aku tidak ingin meninggalkan kalian" timpal Evan."Kami juga tak ingin berpisah dengan mu, tapi ini soal keadaan, sejauh apapun kita tinggal di Immortal, pada saat genting seperti ini mereka pasti akan menemukan kita" ujar Austin memberikan pengertiannya."Selama aku hidup, tak pernah jauh dengan kalian. Aku tak bisa pergi, tepatnya aku takut sendirian dan meninggalkan kalian" timpal Evan sengit."Kami mohon nak, pada akhirnya kamu juga pasti akan pergi" ujar Mikaila menatap penuh maksud isterinya."Aku tidak ingin pergi ayah. Pada akhirnya aku juga akan berperang" timpal Evan kesal."Tidak Evan, kamu harus pergi. Kamu pintar, tinggal sendirian tak masalah, kamu bisa belajar dengan cepat" ujar Austin.
Lucifer. Sang pangeran iblis yang sebentar lagi akan menjadikan raja, tertawa senang setelah rencananya berjalan dengan lancar.Dia tak salah, menjadikan Vaneheim sebagai sasaran pertama dalam melancarkan aksinya. Tempat yang di huni dewa dewi bodoh itu sudah sangat jarang dijaga.Dan terbukti, sekarang tempat itu sudah berubah menjadi sarang pasukan bangsanya. lalu siapa sasaran berikutnya?."Kehancuran immortal sudah di mulai.." gumam Lucifer menatap pantulan dirinya di air.Saat ini dia sedang berada di Vaneheim, salah seorang peramu bangsa iblis berhasil membuat sebuah obat untuk mempercepat pertumbuhan bangsa iblis dengan cepat."Setelah bangsa ku menjadi banyak, sisanya akan aku kirimkan ke kawasan penjahat. Mereka akan menjadi bagian baru bangsa iblis" ujar Lucifer tersenyum miring.Di tempat lain, Evan masih masih merajuk kepada orangtuanya. Namun tetap, karena h
Di bangsa iblis, ada sebuah pasukan terkenal, para petarung handal dan mempunyai kekuatan besar.Mereka memiliki peran yang besar, kehebatannya terkenal dikalangan semua bangsa iblis. Dan mereka jugalah yang nanti akan menjadi bom bagi immortal.Pasukan itu dipimpin oleh seorang iblis yang kuat, tangguh dan sangat ditakuti oleh kaum iblis. Zalan namanya, dia adalah anak dari jendral perang bangsa iblis, sekaligus teman pangeran Lucifer.Kehebatan Zalan di dukung pasukannya yang sama kuat, pertama Kanika, iblis perempuan yang sangat pendiam namun mematikan. Serangannya tak bisa terlihat musuh.Kedua adalah Awar, iblis berbadan tinggi dan besar. Gerakannya sangat agresif dan mempunyai serangan kutukan. Siapa saja yang terkena olehnya akan mati dalam beberapa jam.Kemudian Ladia, dia adalah iblis yang terkenal dengan lumpur dan kemampuan hisapnya. Tak ada yang bisa tahan ketika Ladia membuka luba
Ceklek!Evan membuka pintu kamarnya, Mikaila dan Austin langsung tersenyum dan berhambur memeluk dirinya.Sungguh, Evan jadi merasa bersalah. Dia sudah menyakiti perasaan orang yang jelas-jelas tulus sayang padanya.Mikaila dan Austin adalah sosok pengganti yang memberikannya kehangatan sebuah kasih sayang, yang dengan ikhlas menjaga, merawat dan membesarkannya sampai saat ini meski tahu mereka tak memiliki hubungan darah.Tapi Evan juga tak bisa mengatakan maaf saat ini, kenyatannya dia memilliki ego tinggi."Mari kita makan" ujar Austin menginterupsi.Mereka bertiga pun beranjak menuju meja makan dan mulai sarapan pagi dengan suasana lebih baik dari sebelumnya.Ting!Hanya suara dentingan alat makan yang terdengar, Mikaila dan Austin tidak pernah menghilangkan gurat senyum diwajahnya.Ditempat lain, saat udara ma
Drrt!Drrt!Drrt!Mikaila tiba-tiba menghentikan gerakan makannya, di ikuti sang isteri dan anaknya. Sesaat tadi dia mendengar suara, dibarengi dengan tanah yang mereka pijak terasa bergetar."Apa suara batu jatuh lagi?" tanya Evan.Mikaila dan Austin saling pandang, tak lama kemudian mereka mengangguk. Mungkin benar batu di gunung kembali jatuh. Dan pasti benda itu cukup besar sampai getarannya sampai ke rumah.Mereka bertiga pun kembali melanjutkan makannya, Evan kembali diam. Tapi justru perasaannya tiba-tiba tak karuan, entah karena apa. Padahal saat ini lelaki itu sedang bersama kedua orangtuanya.Kebingungan itu membantu Evan menyelesaikan makannya dengan cepat, lantas seperti biasa, lelaki itu menunggu di ruang tamu sampai kedua orangtuanya selesai.Tap!Tap!Tap!Sret!Evan mendudukkan bokongnya di kur
Achilles tak menyangka akan mengatakan kalimat seperti itu, dan mirisnya lelaki yang ditolongnya mengatakan pernyataan setuju.Memang sepintas tak merugikan, Achilles menyediakan tempat sedangkan orang yang ditolongnya menyediakan tenaga."Jadi siapa nama mu?" tanya lelaki itu.Achilles mendongak, nafasnya sedikit memburu karena menggendong seekor kijang yang ternyata lumayan berat."Achilles" jawabnya.Lelaki itu mengangguk, dia tidak terlihat kesusahan sama sekali. Padahal dia membawa banyak hewan buruan dan keranjang buah. Achilles sampai ternganga jika kalian tahu."Lalu nama mu siapa?" benar sekali, Achilles sampai lupa menanyakan hal serupa itu padanya."Aku.." ujar lelaki itu menggantung."Kenapa? Apa jangan-jangan kamu lupa ingatan saat terjatuh itu!" pekik Achilles."Haha, benar sekali tapi tidak juga" ujar lelaki itu
"Nggh.."Achilles tergugu ketika suara lenguhan menyapa telinganya.Matanya yang masih mengantuk dipaksakan terbuka dan melihat sekitar, ternyata lelaki yang diselamatkannya mulai sadarkan diri.Sontak Achilles langsung menghampirinya. Dengan pelan dan apatis dia menggoyangkan bahunya."Hey.. bangun.." ujar Achilles."Hm.. ahh" lelaki itu meringis memegangi kepalanya yang pusing."Dimana aku?" tanyanya."Kamu sudah sadar?" timpal Achilles bertanya."Aku ingin pingsan saja, dan tidak bangun lagi" ujar lelaki itu."Hah? Kalau begitu mati saja" timpal Achilles.Lelaki itu menggeleng, mati? Bukan, bukan itu kemauannya."Tidak. Aku hanya ingin tidur dengan waktu yang lama. Agar aku tak perlu mengetahui apa saja yang terjadi di dunia ini dan aku melupakan semua rasa sakit yang ada" ujar lelaki itu.
Seminggu berlalu.Tak terasa saja, hari sudah berganti minggu. Selama itu pula Evan terbang. Tanpa beristirahat sejenak pun. Kalian bayangkan, tanpa beristirahat sejenak pun!.Rasa sedih, kecewa, sakit dan perasaan-perasaan lainnya yang menumpuk di hati lelaki itu, membuatnya berlaku demikian.Tak kuasa dengan semu itu dan ingin melupakannya, namun Evan berlaku salah. Keinginannya itu justru menyakiti dirinya sendiri.Saat ini pun dia juga masih belum tahu dimana?. Setelah beberapa hari lalu di terbang diatas air atau padang pasir. Kini dibawah kakinya terdapat daratan. Ada tanah yang bisa dia pijak.Nging!Brak!Kepala Evan tiba-tiba berdengung. Pandangannya mengabur dan dewa itu kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya melayang jatuh kebawah, siap menghantam apa saja yang ada dibawahnya."Aku lelah.." gumam Evan memejamkan matanya.Ditempat lain
Brak!Evan yang sedang melamun langsung terkejut ketika beberapa barang, jatuh tepat disampingnya.Dan si pelaku tampak menahan tangisnya, siapa lagi jika bukan Mikaila. Melihat sang ayah dengan nafas memburu seperti itu, lantas Evan berdiri menyamakan tinggi badannya."Cepat pergi dari sini" ujar Mikaila tegas."Ayah mengusir ku?" tanya Evan tak kuasa.Namun Mikaila enggan menjawab, hanya tangannya yang menunjukan arah kemana lelaki itu harus pergi."Aku tidak mau pergi ayah, aku akan tetap disi-""Kamu ingin ayah mati hah?!" ujar Mikaila berteriak."Kalau kamu tetap disini ayah akan bunuh diri!" tegasnya.Evan menggelengkan kepalanya, air mata sudah berada diujung pelupuk mata indah lelaki itu.Sret!Tanpa diduga, Mikaia membawa sebuah pisau runcing yang ia sembunyikan dibalik bajunya. Dan dengan
Saat ini para penasehat, dewi Chanda, Aristaeus dan kepala jendral sedang berkumpul melaksanakan rapat setelah membagikan bantuan kepada rakyat tadi.Permasalahannya tak jauh soal penyerangan bangsa iblis dan perang yang memungkinkan akan terjadi."Kita tarik semua dewa dewi muda dan jadikan mereka bala tentara perang" ujar dewi Chanda."Itu berarti kita mengobarkan masa depan immortal, aku tidak akan setuju" timpal Aristaues."Aku tidak membutuhkan persetujuan mu" ujar dewi Chanda."Tanpa kuantitas, immortal bisa kalah. Atau kamu memang ingin kerajaan ini hancur hah?" imbuhnya."Saat ini tak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan, tapi selama itu juga bukan berarti kita hanya diam" ujar salah satu jendral."Kita harus memperkuat pertahanan dan menyiapkan pasukan sebanyak mungkin untuk kemungkinan terburuk" imbuhnya."Lantas jendral setuju
Kanagara sudah sadarkan diri, pangeran itu langsung mengeluhkan keadaan yang tengah mengelilinginya sekarang.Serangan, kerusakan, bangsa iblis, kemarahan rakyat, pelarian, prajurit, perang dan masalah-masalah lainnya. Membuat ia ingin tak sadarkan diri saja, sama seperti sang ayah yang saat ini sedang ditatapnya.Ya, untuk yang ke dua kalinya lelaki itu datang melihat raja di kamarnya. Tak ada yang berubah, orangtua itu terlihat damai nan asik dengan tidurnya."Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya tangan itu mengelus kepala ku" ujar Kanagara di samping sang ayah."Sejak lahir, kita tak pernah bermain. Jika ayah sadar jangan marah melihat sikap ku ini ya" imbuhnya tersenyum lucu.Berharap sekali saja, ada jawaban dari raja. Jujur Kanagara sangat lelah, dia ingin menyerah pada kehidupannya, yang menjadi kenyataan adalah, kehidupan rakyat biasa lebih enak daripada mengemban nama pangeran.
Karena rasa penasaran yang besar, Mikaila pergi ke kota untuk melihat keadaan disana, tanpa sepengetahuan Evan tentunya dan hanya mengantongi ijin dari sang isteri, Austin.Wush!Wush!Wush!Mikaila sengaja tak pergi menggunakan direwolf agar anaknya tak curiga, dan sepanjang perjalanan matanya tak henti dibuat terkejut.Beberapa wilayah seperti terdampak sebuah serangan. Ditambah beberapa orang terlihat pergi membawa banyak barang.Apa mereka akan pergi berniaga? Atau kemana? Mikaila ingin bertanya soal itu, tapi ekspresi orang-orang yang terlihat kacau dan marah membuatnya urung. Mungkin jika dia memaksa bertanya, bukan jawaban yang akan dia dapatkan.Wush!Wush!Wush!Hingga akhirnya Mikaila melihat sosok teman berdagangnya. Dia pun langsung turun dan menghampiri dia."Nura!" sapa Mikaila."Mikaila! Apa i
Immortal dalam keadaan sangat kacau, kerajaan tak mampu memberikan ketenangan bagi masyarakat sebagaimana mestinya.Beberapa melakukan demo ditengah kerusakan istana, mereka menuntut bantuan kepada raja. Banyak rumah dan ladang yang hancur, dan tak ada satupun penyuluhan atas semua itu.Rakyat merasa diabaikan. Namun apa yang bisa dilakukan? Pihak kerajaan juga tak bisa berbuat apa-apa, terlebih ratu yang sibuk menangisi anaknya.Dewi Chanda tak sama sekali memperdulikan masyarakat di luar, dia tak ingin meninggalkan anaknya, padahal tabib jelas mengatakan hanya menderita luka ringan."Dewi Chanda! Masyarakat terus mengamuk diluar" ujar Arietaeus kembali mengingatkan.Perempuan itu merasa terpanggil, lantas kepalanya menoleh menatap sosok penasehat kerajaannya sedang berdiri sembari bersidekap tangan depan dada."Berani sekali kamu memanggil ku seperti itu" desis dewi Ch
Evan dan kedua orangtuanya masih berdebat, akan tetapi hal itu terganggu dengan suara ledakan yang terdengar samar-samar dari rumahnya.Duar!Sontak Evan, Mikaila dan Austin berlari keluar rumah. Dapat mereka lihat ada asap mengepul dari arah kota."Ada apa itu ayah?" tanya Evan terkejut.Mikaila menggeleng, dia pun baru pertama kali melihat hal semacam ini terjadi. Evan sendiri dibuat semakin gelisah melihat kepulan asap itu."Ayah aku ingin pergi kesana" ujar Evan tiba-tiba."Jangan sayang itu berbahaya" timpal Austin khawatir.Ekspresi Evan lah yang membuat kedua orangtuanya ikut tak tenang, mereka jelas melihat gurat gelisah di wajah anaknya itu, meski tak tahu kenapa?."Perasaan ku tidak enak, entah karena apa. Aku tidak mengerti" gumam Evan.Mikaila dan Austin hanya bisa saling pandang, larut dengan pikirannya masing-mas