Ceklek!
Evan membuka pintu kamarnya, Mikaila dan Austin langsung tersenyum dan berhambur memeluk dirinya.
Sungguh, Evan jadi merasa bersalah. Dia sudah menyakiti perasaan orang yang jelas-jelas tulus sayang padanya.
Mikaila dan Austin adalah sosok pengganti yang memberikannya kehangatan sebuah kasih sayang, yang dengan ikhlas menjaga, merawat dan membesarkannya sampai saat ini meski tahu mereka tak memiliki hubungan darah.
Tapi Evan juga tak bisa mengatakan maaf saat ini, kenyatannya dia memilliki ego tinggi.
"Mari kita makan" ujar Austin menginterupsi.
Mereka bertiga pun beranjak menuju meja makan dan mulai sarapan pagi dengan suasana lebih baik dari sebelumnya.
Ting!
Hanya suara dentingan alat makan yang terdengar, Mikaila dan Austin tidak pernah menghilangkan gurat senyum diwajahnya.
Ditempat lain, saat udara masih segar. Dan orang-orang belum beraktivitas semua. Immortal masih dalam keadaan tenang. Tidak pernah terpikir akan terjadi penyerangan.
Brush!
Zalan dan pasukannya tiba ditempat yang berbeda, tak kalah tenang seperti di kota. Kondisi kerajaan masih sepi. Beberapa maid dan dewi masak saja berkeliaran menyiapkan makanan pagi.
Duar!
Duar!
Semua orang dibangunkan oleh alaram bom yang besar, para penjaga kerajaan langsung keluar dan melihat apa yang terjadi.
Sret!
Sret!
Sret!
Enam pasukan prajurit langsung berlarian ketika melihat halaman dan bagian samping kerajaan telah hancur, dan empat orang bersayap hitam terbang diatasnya.
"Bangsa iblis menyerang!"
"Bangsa iblis menyerang!"
"Bangsa iblis menyerang!"
"Bangsa iblis menyerang!"
"Bangsa iblis menyerang!"
Teriakan-teriakan itu langsung menggema di seluruh penjuru kerajaan.
Brak!
Kanagara yang masih terlelap di kamarnya sontak terjatuh dari kasur, telinganya tak salah dengar bukan?.
"Aish, sialan! Akan ku buat menyesal telah mengganggu tidur ku" keluh Kanagara sembari menarik seragam dan tongkat kekuatannya.
Zalan yang memimpin penyerangan kerajaan tersenyum lebar melihat dewa-dewa bodoh dibawahnya ketakutan.
"Sepertinya berita tentang raja itu benar adanya, mereka tak mempunyai nyali sekarang" ujar Clara.
"Huwaaa.. aku jadi malas bertarung" timpal Nikol.
Ketiganya menunggu perintah Zalan, sedangkan lelaki itu tampak tak bergeming dan terus memperhatikan pasukan kerajaan.
"Jika dalam hitungan lima mereka tak menyerang. Bunuh semuanya" ujar Zalan.
Sret!
Lelaki itu mengangkat satu tangannya ke atas. Memberi isyarat dengan lima jari. Hitungan mundur dimulai ketika ia menutup satu persatu jarinya.
Tiga!
Dua!
Satu!
Para pasukan kerajaan mengarahkan panahnya keatas.
Sret!
Sret!
Sret!
"Tapi menyerang pun kalian akan tetap mati" ujar Clara sembari mengarahkan tangannya ke puluhan anak panah.
Cling!
Dan menghilang. Semua senjata itu raib.
"Tiga.. dua.. satu" ujar Nikol menghitung mundur.
Sret!
Jleb!
Jleb!
Semua panah itu tiba-tiba muncul dan menembus pasukan kerajaan. Semua orang langsung mati hanya dalam tiga detik saja.
"Hey! Panggil yang lebih kuat!" teriak Nakol.
Suaranya menggema menakuti semua orang. Beberapa pasukan langsung berlari meminta bantuan. Mereka juga sedang memanggil jendral perang langsung.
Berbeda dengan Kanagara, saat penyerangan berlangsung. Damon sedang pergi ke pos penjagaan di Vaneheim, dia ingin melihat langsung keadaan disana.
Tadinya berjalan lancar, bahkan sesekali Damon membuat obat ramuan berdasarkan jurnal yang dia teliti selama ini. Namun berita kerajaan dan kota yang tiba-tiba diserang membuatnya tak tenang.
Damon mengendarai griffin yang dia bawa dengan kecepatan tinggi menuju kerajaan. Lelaki itu mengambil jalan memutar karena lupa tak membawa senjatanya.
Jangan sampai dia melewati kota dan bertemu penyerang, yang ada dia mati ditengah jalan.
Saat Damon berlomba dengan waktu, Kanagara keluar membawa senjatanya.
Kenyataannya pangeran itu harus siap melindungi kerajaan dan immortal saat ini juga. Dengan raut serius, setelah berbincang beberapa saat dengan sang ibu di ruang utama kerajaan. Kanagara keluar bersama rombongan jendral.
Wush!
Wush!
Wush!
Mereka terbang dengan gagahnya. Zalan sendiri langsung tersenyum ketika melihat beberapa sosok yang tampaknya sedikit tangguh, sudah keluar.
"Berikan salam kalian anak-anak" ujar Zalan kepada tiga temannya.
Sret!
Kanagara dan pasukan Zalan menjaga jarak sekitar dua meter, tatapan mereka beradu. Bangsa iblis dengan kesombongan dan dewa dengan keangkuhannya.
"Berani sekali bangsa iblis menyerang kerajaan ku" desis Kanagara.
"Sepertinya dia pemegang tahta saat ini" bisik Nikol.
"Dia juga tampan, apa mungkin pangeran immortal?" timpal Clara.
"Sombong sekali tak menggubris perkataan ku" ujar Kanagara lagi.
"Hanya orang bodoh yang akan menyahuti perkataan mu tadi, jelas-jelas kami berani. Mata mu tak berfungsi dengan baik" timpal Nikol.
"Bukan. Tapi dia tak memiliki otak" timpal Zalan dengan nafsu tertahan.
Pasukan dewa berdecih. Setelah mendapatkan hinaan terang-terangan itu mereka tak menahan diri. Semuanya langsung menyerang Zalan juga teman-temannya.
Duar!
Di kota sendiri, sudah langsung porak poranda. Bangunan-bangunan yang terbuat dari batu rubuh rata dengan tanah, udara yang sejuk sudah tak ada. Berganti dengan asap pekat yang mengepul dimana-mana.
Ladia, Kanika dan Awar tersenyum melihat maha karyanya. Mereka bertiga tertawa cekikikan diatas langit. Dibawah sana orang-orang berteriak dan berlarian tak tentu arah. Beberapa sudah terkapar, ada yang menangis dan mengaduh.
"Asik juga mengajak tikus bermain" ujar Awar.
"Kita harus sering datang kemari" timpal Kanika.
"Kita lanjutkan agar lebih seru" imbuh Ladia diangguki keduanya.
Ketiganya menurunkan serangan lagi.
Duar!
Duar!
Ledakan pun terjadi dan membuat orang-orang semakin kalang kabut.
Kembali ke kerajaan. Pasukan dewa terkejut semua serangan mereka tak berkesan apa-apa. Semua itu dikalahkan oleh satu perempuan, Clara tadi temannya memanggil.
"Serangan kalian tak ada yang benar" ujar Clara bosan.
"Oh ya. Terima ini" desis salah satu jendral.
Dia mengibaskan tangannya. Sesaat tak terjadi apa-apa. Clara juga terdiam.
Bugh!
Namun beberapa saat kemudian, perempuan itu tersungkur ketika sesuatu terasa menghantam kepalanya. Nikol sigap menangkapnya, mata Clara juling, jelas jika itu pusing sekali.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Nikol.
"Tua bangka itu mengagetkan aku" jawab Clara kembali sadar dengan cepat.
"Teleportasi mu tak berguna untuk serangan yang tak terlihat rupanya" gumam Kagara tersenyum senang.
Clara berdecih tak suka. Perempuan itu menghentikan serangannya dan digantikan dengan Nikol Nakol.
Melihat saudara kembar itu melangkah maju, Kanagara dan pasukan jendral lainnya memasang sikap siaga.
Wush!
Wush!
Wush!
Wush!
Nikol dan Nakol melesat cepat sekali. Mereka terlihat seperti berteleportasi tapi sebenarnya hanya berpindah tempat dengan kecepatan tinggi.
"Kami disini" ujar Nikol didepan wajah jendral.
Bugh!
Sesaat sebelum serangan itu kena, Nikol berpindah tempat.
"Bidik yang benar" seru Nakol.
Bugh!
Brak!
Iblis itu muncul tiba-tiba dan memukul salah seorang jendral. Dewa itupun terjatuh sampai ke bawah.
Zalan tersenyum menatap Kanagara, matanya seolah berkata. Melawan anak buah ku saja tak sanggup, jangan sampai aku turun tangan juga.
Dan Kanagara tak menyukainya. Dia yang memiliki kemapuan mengendalikan angin, langsung mengerahkan kekuatannya untuk menyerang Zalan.
Sret!
Sret!
Sret!
Zalan sedikit terkejut ketika angin disekitarnya berputar cepat, dan rasanya sedikit menyilet. Tangannya yang tak berbalut apa-apa tergores di sana-sini.
"Pengendali angin jarak dekat dan jauh ternyata" gumam Zalan.
"Tapi itu tak cukup" imbuhnya.
Wush!
Grep!
Dengan gerakan cepat, Zalan melesat dan mencekik leher Kanagara, pangeran immortal itu terbatuk ketika sedikit demi sedikit lehernya terasa panas.
"Jangan dulu mati" ujar Zalan.
Bugh!
Sekali gerakan dia memukul kanagara sampai lelaki itu menghantam permukaan tanah penuh bongkahan bangunan dibawah sana.
"Pangeran!" pekik semua jendral.
Para jendral mendesih ketika jungjunannya tampak tak sadarkan diri dibawah sana.
Drrt!Drrt!Drrt!Mikaila tiba-tiba menghentikan gerakan makannya, di ikuti sang isteri dan anaknya. Sesaat tadi dia mendengar suara, dibarengi dengan tanah yang mereka pijak terasa bergetar."Apa suara batu jatuh lagi?" tanya Evan.Mikaila dan Austin saling pandang, tak lama kemudian mereka mengangguk. Mungkin benar batu di gunung kembali jatuh. Dan pasti benda itu cukup besar sampai getarannya sampai ke rumah.Mereka bertiga pun kembali melanjutkan makannya, Evan kembali diam. Tapi justru perasaannya tiba-tiba tak karuan, entah karena apa. Padahal saat ini lelaki itu sedang bersama kedua orangtuanya.Kebingungan itu membantu Evan menyelesaikan makannya dengan cepat, lantas seperti biasa, lelaki itu menunggu di ruang tamu sampai kedua orangtuanya selesai.Tap!Tap!Tap!Sret!Evan mendudukkan bokongnya di kur
Evan dan kedua orangtuanya masih berdebat, akan tetapi hal itu terganggu dengan suara ledakan yang terdengar samar-samar dari rumahnya.Duar!Sontak Evan, Mikaila dan Austin berlari keluar rumah. Dapat mereka lihat ada asap mengepul dari arah kota."Ada apa itu ayah?" tanya Evan terkejut.Mikaila menggeleng, dia pun baru pertama kali melihat hal semacam ini terjadi. Evan sendiri dibuat semakin gelisah melihat kepulan asap itu."Ayah aku ingin pergi kesana" ujar Evan tiba-tiba."Jangan sayang itu berbahaya" timpal Austin khawatir.Ekspresi Evan lah yang membuat kedua orangtuanya ikut tak tenang, mereka jelas melihat gurat gelisah di wajah anaknya itu, meski tak tahu kenapa?."Perasaan ku tidak enak, entah karena apa. Aku tidak mengerti" gumam Evan.Mikaila dan Austin hanya bisa saling pandang, larut dengan pikirannya masing-mas
Immortal dalam keadaan sangat kacau, kerajaan tak mampu memberikan ketenangan bagi masyarakat sebagaimana mestinya.Beberapa melakukan demo ditengah kerusakan istana, mereka menuntut bantuan kepada raja. Banyak rumah dan ladang yang hancur, dan tak ada satupun penyuluhan atas semua itu.Rakyat merasa diabaikan. Namun apa yang bisa dilakukan? Pihak kerajaan juga tak bisa berbuat apa-apa, terlebih ratu yang sibuk menangisi anaknya.Dewi Chanda tak sama sekali memperdulikan masyarakat di luar, dia tak ingin meninggalkan anaknya, padahal tabib jelas mengatakan hanya menderita luka ringan."Dewi Chanda! Masyarakat terus mengamuk diluar" ujar Arietaeus kembali mengingatkan.Perempuan itu merasa terpanggil, lantas kepalanya menoleh menatap sosok penasehat kerajaannya sedang berdiri sembari bersidekap tangan depan dada."Berani sekali kamu memanggil ku seperti itu" desis dewi Ch
Karena rasa penasaran yang besar, Mikaila pergi ke kota untuk melihat keadaan disana, tanpa sepengetahuan Evan tentunya dan hanya mengantongi ijin dari sang isteri, Austin.Wush!Wush!Wush!Mikaila sengaja tak pergi menggunakan direwolf agar anaknya tak curiga, dan sepanjang perjalanan matanya tak henti dibuat terkejut.Beberapa wilayah seperti terdampak sebuah serangan. Ditambah beberapa orang terlihat pergi membawa banyak barang.Apa mereka akan pergi berniaga? Atau kemana? Mikaila ingin bertanya soal itu, tapi ekspresi orang-orang yang terlihat kacau dan marah membuatnya urung. Mungkin jika dia memaksa bertanya, bukan jawaban yang akan dia dapatkan.Wush!Wush!Wush!Hingga akhirnya Mikaila melihat sosok teman berdagangnya. Dia pun langsung turun dan menghampiri dia."Nura!" sapa Mikaila."Mikaila! Apa i
Kanagara sudah sadarkan diri, pangeran itu langsung mengeluhkan keadaan yang tengah mengelilinginya sekarang.Serangan, kerusakan, bangsa iblis, kemarahan rakyat, pelarian, prajurit, perang dan masalah-masalah lainnya. Membuat ia ingin tak sadarkan diri saja, sama seperti sang ayah yang saat ini sedang ditatapnya.Ya, untuk yang ke dua kalinya lelaki itu datang melihat raja di kamarnya. Tak ada yang berubah, orangtua itu terlihat damai nan asik dengan tidurnya."Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya tangan itu mengelus kepala ku" ujar Kanagara di samping sang ayah."Sejak lahir, kita tak pernah bermain. Jika ayah sadar jangan marah melihat sikap ku ini ya" imbuhnya tersenyum lucu.Berharap sekali saja, ada jawaban dari raja. Jujur Kanagara sangat lelah, dia ingin menyerah pada kehidupannya, yang menjadi kenyataan adalah, kehidupan rakyat biasa lebih enak daripada mengemban nama pangeran.
Saat ini para penasehat, dewi Chanda, Aristaeus dan kepala jendral sedang berkumpul melaksanakan rapat setelah membagikan bantuan kepada rakyat tadi.Permasalahannya tak jauh soal penyerangan bangsa iblis dan perang yang memungkinkan akan terjadi."Kita tarik semua dewa dewi muda dan jadikan mereka bala tentara perang" ujar dewi Chanda."Itu berarti kita mengobarkan masa depan immortal, aku tidak akan setuju" timpal Aristaues."Aku tidak membutuhkan persetujuan mu" ujar dewi Chanda."Tanpa kuantitas, immortal bisa kalah. Atau kamu memang ingin kerajaan ini hancur hah?" imbuhnya."Saat ini tak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan, tapi selama itu juga bukan berarti kita hanya diam" ujar salah satu jendral."Kita harus memperkuat pertahanan dan menyiapkan pasukan sebanyak mungkin untuk kemungkinan terburuk" imbuhnya."Lantas jendral setuju
Brak!Evan yang sedang melamun langsung terkejut ketika beberapa barang, jatuh tepat disampingnya.Dan si pelaku tampak menahan tangisnya, siapa lagi jika bukan Mikaila. Melihat sang ayah dengan nafas memburu seperti itu, lantas Evan berdiri menyamakan tinggi badannya."Cepat pergi dari sini" ujar Mikaila tegas."Ayah mengusir ku?" tanya Evan tak kuasa.Namun Mikaila enggan menjawab, hanya tangannya yang menunjukan arah kemana lelaki itu harus pergi."Aku tidak mau pergi ayah, aku akan tetap disi-""Kamu ingin ayah mati hah?!" ujar Mikaila berteriak."Kalau kamu tetap disini ayah akan bunuh diri!" tegasnya.Evan menggelengkan kepalanya, air mata sudah berada diujung pelupuk mata indah lelaki itu.Sret!Tanpa diduga, Mikaia membawa sebuah pisau runcing yang ia sembunyikan dibalik bajunya. Dan dengan
Seminggu berlalu.Tak terasa saja, hari sudah berganti minggu. Selama itu pula Evan terbang. Tanpa beristirahat sejenak pun. Kalian bayangkan, tanpa beristirahat sejenak pun!.Rasa sedih, kecewa, sakit dan perasaan-perasaan lainnya yang menumpuk di hati lelaki itu, membuatnya berlaku demikian.Tak kuasa dengan semu itu dan ingin melupakannya, namun Evan berlaku salah. Keinginannya itu justru menyakiti dirinya sendiri.Saat ini pun dia juga masih belum tahu dimana?. Setelah beberapa hari lalu di terbang diatas air atau padang pasir. Kini dibawah kakinya terdapat daratan. Ada tanah yang bisa dia pijak.Nging!Brak!Kepala Evan tiba-tiba berdengung. Pandangannya mengabur dan dewa itu kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya melayang jatuh kebawah, siap menghantam apa saja yang ada dibawahnya."Aku lelah.." gumam Evan memejamkan matanya.Ditempat lain
Achilles tak menyangka akan mengatakan kalimat seperti itu, dan mirisnya lelaki yang ditolongnya mengatakan pernyataan setuju.Memang sepintas tak merugikan, Achilles menyediakan tempat sedangkan orang yang ditolongnya menyediakan tenaga."Jadi siapa nama mu?" tanya lelaki itu.Achilles mendongak, nafasnya sedikit memburu karena menggendong seekor kijang yang ternyata lumayan berat."Achilles" jawabnya.Lelaki itu mengangguk, dia tidak terlihat kesusahan sama sekali. Padahal dia membawa banyak hewan buruan dan keranjang buah. Achilles sampai ternganga jika kalian tahu."Lalu nama mu siapa?" benar sekali, Achilles sampai lupa menanyakan hal serupa itu padanya."Aku.." ujar lelaki itu menggantung."Kenapa? Apa jangan-jangan kamu lupa ingatan saat terjatuh itu!" pekik Achilles."Haha, benar sekali tapi tidak juga" ujar lelaki itu
"Nggh.."Achilles tergugu ketika suara lenguhan menyapa telinganya.Matanya yang masih mengantuk dipaksakan terbuka dan melihat sekitar, ternyata lelaki yang diselamatkannya mulai sadarkan diri.Sontak Achilles langsung menghampirinya. Dengan pelan dan apatis dia menggoyangkan bahunya."Hey.. bangun.." ujar Achilles."Hm.. ahh" lelaki itu meringis memegangi kepalanya yang pusing."Dimana aku?" tanyanya."Kamu sudah sadar?" timpal Achilles bertanya."Aku ingin pingsan saja, dan tidak bangun lagi" ujar lelaki itu."Hah? Kalau begitu mati saja" timpal Achilles.Lelaki itu menggeleng, mati? Bukan, bukan itu kemauannya."Tidak. Aku hanya ingin tidur dengan waktu yang lama. Agar aku tak perlu mengetahui apa saja yang terjadi di dunia ini dan aku melupakan semua rasa sakit yang ada" ujar lelaki itu.
Seminggu berlalu.Tak terasa saja, hari sudah berganti minggu. Selama itu pula Evan terbang. Tanpa beristirahat sejenak pun. Kalian bayangkan, tanpa beristirahat sejenak pun!.Rasa sedih, kecewa, sakit dan perasaan-perasaan lainnya yang menumpuk di hati lelaki itu, membuatnya berlaku demikian.Tak kuasa dengan semu itu dan ingin melupakannya, namun Evan berlaku salah. Keinginannya itu justru menyakiti dirinya sendiri.Saat ini pun dia juga masih belum tahu dimana?. Setelah beberapa hari lalu di terbang diatas air atau padang pasir. Kini dibawah kakinya terdapat daratan. Ada tanah yang bisa dia pijak.Nging!Brak!Kepala Evan tiba-tiba berdengung. Pandangannya mengabur dan dewa itu kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya melayang jatuh kebawah, siap menghantam apa saja yang ada dibawahnya."Aku lelah.." gumam Evan memejamkan matanya.Ditempat lain
Brak!Evan yang sedang melamun langsung terkejut ketika beberapa barang, jatuh tepat disampingnya.Dan si pelaku tampak menahan tangisnya, siapa lagi jika bukan Mikaila. Melihat sang ayah dengan nafas memburu seperti itu, lantas Evan berdiri menyamakan tinggi badannya."Cepat pergi dari sini" ujar Mikaila tegas."Ayah mengusir ku?" tanya Evan tak kuasa.Namun Mikaila enggan menjawab, hanya tangannya yang menunjukan arah kemana lelaki itu harus pergi."Aku tidak mau pergi ayah, aku akan tetap disi-""Kamu ingin ayah mati hah?!" ujar Mikaila berteriak."Kalau kamu tetap disini ayah akan bunuh diri!" tegasnya.Evan menggelengkan kepalanya, air mata sudah berada diujung pelupuk mata indah lelaki itu.Sret!Tanpa diduga, Mikaia membawa sebuah pisau runcing yang ia sembunyikan dibalik bajunya. Dan dengan
Saat ini para penasehat, dewi Chanda, Aristaeus dan kepala jendral sedang berkumpul melaksanakan rapat setelah membagikan bantuan kepada rakyat tadi.Permasalahannya tak jauh soal penyerangan bangsa iblis dan perang yang memungkinkan akan terjadi."Kita tarik semua dewa dewi muda dan jadikan mereka bala tentara perang" ujar dewi Chanda."Itu berarti kita mengobarkan masa depan immortal, aku tidak akan setuju" timpal Aristaues."Aku tidak membutuhkan persetujuan mu" ujar dewi Chanda."Tanpa kuantitas, immortal bisa kalah. Atau kamu memang ingin kerajaan ini hancur hah?" imbuhnya."Saat ini tak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan, tapi selama itu juga bukan berarti kita hanya diam" ujar salah satu jendral."Kita harus memperkuat pertahanan dan menyiapkan pasukan sebanyak mungkin untuk kemungkinan terburuk" imbuhnya."Lantas jendral setuju
Kanagara sudah sadarkan diri, pangeran itu langsung mengeluhkan keadaan yang tengah mengelilinginya sekarang.Serangan, kerusakan, bangsa iblis, kemarahan rakyat, pelarian, prajurit, perang dan masalah-masalah lainnya. Membuat ia ingin tak sadarkan diri saja, sama seperti sang ayah yang saat ini sedang ditatapnya.Ya, untuk yang ke dua kalinya lelaki itu datang melihat raja di kamarnya. Tak ada yang berubah, orangtua itu terlihat damai nan asik dengan tidurnya."Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya tangan itu mengelus kepala ku" ujar Kanagara di samping sang ayah."Sejak lahir, kita tak pernah bermain. Jika ayah sadar jangan marah melihat sikap ku ini ya" imbuhnya tersenyum lucu.Berharap sekali saja, ada jawaban dari raja. Jujur Kanagara sangat lelah, dia ingin menyerah pada kehidupannya, yang menjadi kenyataan adalah, kehidupan rakyat biasa lebih enak daripada mengemban nama pangeran.
Karena rasa penasaran yang besar, Mikaila pergi ke kota untuk melihat keadaan disana, tanpa sepengetahuan Evan tentunya dan hanya mengantongi ijin dari sang isteri, Austin.Wush!Wush!Wush!Mikaila sengaja tak pergi menggunakan direwolf agar anaknya tak curiga, dan sepanjang perjalanan matanya tak henti dibuat terkejut.Beberapa wilayah seperti terdampak sebuah serangan. Ditambah beberapa orang terlihat pergi membawa banyak barang.Apa mereka akan pergi berniaga? Atau kemana? Mikaila ingin bertanya soal itu, tapi ekspresi orang-orang yang terlihat kacau dan marah membuatnya urung. Mungkin jika dia memaksa bertanya, bukan jawaban yang akan dia dapatkan.Wush!Wush!Wush!Hingga akhirnya Mikaila melihat sosok teman berdagangnya. Dia pun langsung turun dan menghampiri dia."Nura!" sapa Mikaila."Mikaila! Apa i
Immortal dalam keadaan sangat kacau, kerajaan tak mampu memberikan ketenangan bagi masyarakat sebagaimana mestinya.Beberapa melakukan demo ditengah kerusakan istana, mereka menuntut bantuan kepada raja. Banyak rumah dan ladang yang hancur, dan tak ada satupun penyuluhan atas semua itu.Rakyat merasa diabaikan. Namun apa yang bisa dilakukan? Pihak kerajaan juga tak bisa berbuat apa-apa, terlebih ratu yang sibuk menangisi anaknya.Dewi Chanda tak sama sekali memperdulikan masyarakat di luar, dia tak ingin meninggalkan anaknya, padahal tabib jelas mengatakan hanya menderita luka ringan."Dewi Chanda! Masyarakat terus mengamuk diluar" ujar Arietaeus kembali mengingatkan.Perempuan itu merasa terpanggil, lantas kepalanya menoleh menatap sosok penasehat kerajaannya sedang berdiri sembari bersidekap tangan depan dada."Berani sekali kamu memanggil ku seperti itu" desis dewi Ch
Evan dan kedua orangtuanya masih berdebat, akan tetapi hal itu terganggu dengan suara ledakan yang terdengar samar-samar dari rumahnya.Duar!Sontak Evan, Mikaila dan Austin berlari keluar rumah. Dapat mereka lihat ada asap mengepul dari arah kota."Ada apa itu ayah?" tanya Evan terkejut.Mikaila menggeleng, dia pun baru pertama kali melihat hal semacam ini terjadi. Evan sendiri dibuat semakin gelisah melihat kepulan asap itu."Ayah aku ingin pergi kesana" ujar Evan tiba-tiba."Jangan sayang itu berbahaya" timpal Austin khawatir.Ekspresi Evan lah yang membuat kedua orangtuanya ikut tak tenang, mereka jelas melihat gurat gelisah di wajah anaknya itu, meski tak tahu kenapa?."Perasaan ku tidak enak, entah karena apa. Aku tidak mengerti" gumam Evan.Mikaila dan Austin hanya bisa saling pandang, larut dengan pikirannya masing-mas