Drrt!
Drrt!
Drrt!
Mikaila tiba-tiba menghentikan gerakan makannya, di ikuti sang isteri dan anaknya. Sesaat tadi dia mendengar suara, dibarengi dengan tanah yang mereka pijak terasa bergetar.
"Apa suara batu jatuh lagi?" tanya Evan.
Mikaila dan Austin saling pandang, tak lama kemudian mereka mengangguk. Mungkin benar batu di gunung kembali jatuh. Dan pasti benda itu cukup besar sampai getarannya sampai ke rumah.
Mereka bertiga pun kembali melanjutkan makannya, Evan kembali diam. Tapi justru perasaannya tiba-tiba tak karuan, entah karena apa. Padahal saat ini lelaki itu sedang bersama kedua orangtuanya.
Kebingungan itu membantu Evan menyelesaikan makannya dengan cepat, lantas seperti biasa, lelaki itu menunggu di ruang tamu sampai kedua orangtuanya selesai.
Tap!
Tap!Tap!Sret!
Evan mendudukkan bokongnya di kursi, tapi perasaannya kembali tak enak. Bahkan sekarang rasanya lebih gelisah. Evan memegangi dadanya, terdengar jantungnya berdetak lebih kencang.
"Apa aku sakit" gumam Evan.
Lelaki bangkit dari duduknya dan berjalan mondar-mandir. Kebingungan sendiri, menerka kenapa gerangan dirinya seperti ini sekarang.
Tap!
Tap!Tap!Evan sampai tak menyadari kehadiran Mikaila dan Austin, lelaki itu masih berjalan mondar-mandir, membuat dua orangtua itu merasa bersalah karena menyangka Evan pasti gelisah akibat mereka.
"Evan, jangan khawatir seperti itu sayang" tegur Austin.
Evan merasa terpanggil, dan ternyata ketika ia menoleh kedua orangtuanya sudah ada. Lantas dia pun langsung duduk, diikuti Mikaila dan Austin.
"Mau langsung diceritakan?" tanya Austin.
"Tentu" jawab Evan singkat.
"Baiklah, ayah dan ibu harap kamu percaya dengan cerita ini. Karena kami benar-benar jujur, tidak menambah atau menguranginya" ujar Mikaila.
Evan hanya mengangguk sekilas. Jika dulu dia sangat percaya kepada kedua orangtuanya, tapi sekarang setelah mereka berbohong sekali, tak menutup kemungkinan mereka bisa berbohong lagi kan?.
"Jadi, dulu.." Mikaila mulai menceritakan kejadian itu. Dimana pertama kali Evan ditemukan.
Flashback
Mikaila baru selesai mencari kayu di hutan, hari itu dia berniat menyetok bahan bakar untuk melebur besi yang mana akan dibuat senjata.
Karena hutan baru selesai diguyur hujan, kayu yang dia temukan sebagian berlumpur dan basah. Mikaila pun berinisiatif untuk mencucinya terlebih dahulu di sungai, biar basah, esok hari jika panas dia bisa menjemurnya dekat rumah.
Mikaila pun menaiki widewolfnya menuju salah satu sumber air itu. Tak membutuhkan waktu lama, karena sungai berada dekat dengan bibir hutan.
Sret!
Mikaila turun dari tunggangannya dan membawa serta kayu-kayu kotor tadi, dengan telaten dan tenang dia mencucinya dipinggir sungai. Air yang tenang membuat suasana terasa damai.
Beberapa saat mencuci, tak ada hal aneh terjadi. Namun tiba-tiba Mikaila merasa air yang dia pakai berubah warna, jika harusnya coklat karena lumpur, ini sedikit berwarna gelap. Dan bau.
Mikaila melihat sekeliling, dan dirinya terkejut melihat air sungai dari hulu mengalir dengan campuran warna merah, tak ingin panik lebih dulu, lelaki itu mencium air sungai lebih dulu untuk memastikan. Namun sepertinya dia harus terkejut karena warna itu memang berasal dari darah.
Tidak melihat ada sesuatu, Mikaila pun berjalan kearah hulu sungai karena penasaran. Batu-batu yang lumayan besar menghalangi pemandangannya.
"Apa ada orang disini?" teriak Mikaila.
Tap!
Tap!Tap!Lekaki itu terus berjalan, sampai menaiki sebuah batu yang ukurannya lebih besar daripada yang lain.
Sret!
Mikaila melihat sekeliling, tapi tidak ada apa-apa. Namun saat matanya turun kebawah, lelaki itu langsung terjengkang terkejut.
Brak!
Di bawah sana ada seseorang, dan sepertinya terluka parah. Setelah mengintip sekali lagi, dan memastikan orang itu tak sadarkan diri, Mikaila turun dan menghampirinya.
Sret!
Betapa sedihnya dia melihat sosok anak kecil dengan luka di kepalanya, darah bersimbah mengotori tubuhnya yang tak berbalut pakaian sedikit pun.
Mikaila mencoba mengecek detak jantungnya, dan ternyata masih ada. Meski lemah. Kulit anak itu sangat pucat, sesaat setelah membersihkan luka dan noda darah, Mikaila membuka pakaiannya dan membelikannya di tubuh anak itu.
Ternyata setelah bersih, wajahnya sangat tampan dan damai, Mikaila sampai memeluknya erat. Air matanya juga turun begitu saja tanpa disadari.
Karena takut terjadi apa-apa, Mikaila langsung melesat kerumah. Ketika sampai di sana, Austin menyambutnya dengan khawatir, apalagi setelah melihat sosok anak kecil dipangkuan suaminya itu.
Hatinya juga terenyuh ketika pertama kali melihat sosok anak kecil itu, dia langsung merasakan naluri seorang ibu yang sampai saat ini belum dia rasakan.
Mereka berdua pun setuju untuk merawat anak itu sampai sembuh, cukup lama karena anak itu tak sadarkan diri seminggu lamanya.
Barulah di hari kedelapan dia terbangun, Evan dan Mikaila senang bukan main. Apalagi ketika netra biru indah itu menatap keduanya.
"S-Siapa kalian? Dimana aku?" suara anak itu terdengar lembut sekali. Evan dan Austin tak bisa menahan senyumnya.
"Kamu berada-"
"Siapa aku.." ucapan Mikaila terpotong ketika mendengar lirihan anak itu.
"Kamu tidak ingat siapa diri kamu nak? Di mana kamu tinggal?" tanya Mikaila lembut.
Anak kecil itu kebingungan, matanya terlihat gelisah dan dia hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Sepertinya dia lupa ingatan, Mikaila dan Austin jadi iba. Entah dorongan dari mana yang jelas keduanya langsung mengaku sebagai kedua orangtua anak itu.
"Kamu anak kami, ini ibu Austin dan dia ayah Mikaila" ujar Austin.
"Benarkan?"
"Ya sayang, kamu terluka setelah bermain" ujar Mikaila.
"Kalau begitu siapa nama ku?"
"Itu.. Evan, ya nama kamu Evander" jawab Mikaila diangguki Austin.
Anak lelaki yang diberi nama Evan itu tersenyum senang.
"Aku tidak bisa mengingat apa-apa, tapi jika kalian kedua orangtua ku. Aku senang" ujar Evan.
Mikaila dan Austin sontak memeluknya.
Dan sekarang anak kecil bernama Evan itu sudah besar. Dia masih belum mengingat masa lalunya.
"Jadi aku ini lupa ingatan?" tanya Evan.
Mikaila dan Austin mengangguk.
"Yasudah, kalau begitu aku tidak perlu mengingatnya" ujar Evan.
"Kalian menemukan aku dalam keadaan sekarat juga kan, mungkin orangtua kandung ku sudah menganggap aku mati" imbuhnya acuh.
"Bukan begitu nak, kamu harus tetap mengingat siapa orangtua kamu? Darimana asal kamu? Semua itu tak bisa kamu buang" ujar Mikaila lembut.
"Sebagai orangtua, kami tahu rasanya kehilangan seorang keluarga. Dan sebagai ibu, ibu tahu rasanya ditinggalkan, apalagi oleh anak tercinta" imbuh Austin.
"Ayah dan ibu tahu, ketika aku kecil aku percaya melihat kalian. Karena kalian penuh dengan aura baik," ujar Evan.
"Jadi, aku tak perlu lagi semua itu. Cukup kalian, orangtua ku, kita bertiga. Aku bahagia" imbuhnya.
"Tapi bagaimana jika kamu adalah sosok yang penting bagi immortal?" tanya Mikaila.
Evan terdiam, dia tak mengerti arah pembicaraan ayahnya.
"Lihat kami, kami hanya orang biasa. Tapi kamu, berbeda. Kekuatan kamu besar, sayap kamu juga indah. Bagaimana jika kamu adalah anggota kerajaan" ujar Mikaila.
"Bagaimana jika kamu adalah pangeran immortal yang hilang" imbuhnya.
Evan dan kedua orangtuanya masih berdebat, akan tetapi hal itu terganggu dengan suara ledakan yang terdengar samar-samar dari rumahnya.Duar!Sontak Evan, Mikaila dan Austin berlari keluar rumah. Dapat mereka lihat ada asap mengepul dari arah kota."Ada apa itu ayah?" tanya Evan terkejut.Mikaila menggeleng, dia pun baru pertama kali melihat hal semacam ini terjadi. Evan sendiri dibuat semakin gelisah melihat kepulan asap itu."Ayah aku ingin pergi kesana" ujar Evan tiba-tiba."Jangan sayang itu berbahaya" timpal Austin khawatir.Ekspresi Evan lah yang membuat kedua orangtuanya ikut tak tenang, mereka jelas melihat gurat gelisah di wajah anaknya itu, meski tak tahu kenapa?."Perasaan ku tidak enak, entah karena apa. Aku tidak mengerti" gumam Evan.Mikaila dan Austin hanya bisa saling pandang, larut dengan pikirannya masing-mas
Immortal dalam keadaan sangat kacau, kerajaan tak mampu memberikan ketenangan bagi masyarakat sebagaimana mestinya.Beberapa melakukan demo ditengah kerusakan istana, mereka menuntut bantuan kepada raja. Banyak rumah dan ladang yang hancur, dan tak ada satupun penyuluhan atas semua itu.Rakyat merasa diabaikan. Namun apa yang bisa dilakukan? Pihak kerajaan juga tak bisa berbuat apa-apa, terlebih ratu yang sibuk menangisi anaknya.Dewi Chanda tak sama sekali memperdulikan masyarakat di luar, dia tak ingin meninggalkan anaknya, padahal tabib jelas mengatakan hanya menderita luka ringan."Dewi Chanda! Masyarakat terus mengamuk diluar" ujar Arietaeus kembali mengingatkan.Perempuan itu merasa terpanggil, lantas kepalanya menoleh menatap sosok penasehat kerajaannya sedang berdiri sembari bersidekap tangan depan dada."Berani sekali kamu memanggil ku seperti itu" desis dewi Ch
Karena rasa penasaran yang besar, Mikaila pergi ke kota untuk melihat keadaan disana, tanpa sepengetahuan Evan tentunya dan hanya mengantongi ijin dari sang isteri, Austin.Wush!Wush!Wush!Mikaila sengaja tak pergi menggunakan direwolf agar anaknya tak curiga, dan sepanjang perjalanan matanya tak henti dibuat terkejut.Beberapa wilayah seperti terdampak sebuah serangan. Ditambah beberapa orang terlihat pergi membawa banyak barang.Apa mereka akan pergi berniaga? Atau kemana? Mikaila ingin bertanya soal itu, tapi ekspresi orang-orang yang terlihat kacau dan marah membuatnya urung. Mungkin jika dia memaksa bertanya, bukan jawaban yang akan dia dapatkan.Wush!Wush!Wush!Hingga akhirnya Mikaila melihat sosok teman berdagangnya. Dia pun langsung turun dan menghampiri dia."Nura!" sapa Mikaila."Mikaila! Apa i
Kanagara sudah sadarkan diri, pangeran itu langsung mengeluhkan keadaan yang tengah mengelilinginya sekarang.Serangan, kerusakan, bangsa iblis, kemarahan rakyat, pelarian, prajurit, perang dan masalah-masalah lainnya. Membuat ia ingin tak sadarkan diri saja, sama seperti sang ayah yang saat ini sedang ditatapnya.Ya, untuk yang ke dua kalinya lelaki itu datang melihat raja di kamarnya. Tak ada yang berubah, orangtua itu terlihat damai nan asik dengan tidurnya."Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya tangan itu mengelus kepala ku" ujar Kanagara di samping sang ayah."Sejak lahir, kita tak pernah bermain. Jika ayah sadar jangan marah melihat sikap ku ini ya" imbuhnya tersenyum lucu.Berharap sekali saja, ada jawaban dari raja. Jujur Kanagara sangat lelah, dia ingin menyerah pada kehidupannya, yang menjadi kenyataan adalah, kehidupan rakyat biasa lebih enak daripada mengemban nama pangeran.
Saat ini para penasehat, dewi Chanda, Aristaeus dan kepala jendral sedang berkumpul melaksanakan rapat setelah membagikan bantuan kepada rakyat tadi.Permasalahannya tak jauh soal penyerangan bangsa iblis dan perang yang memungkinkan akan terjadi."Kita tarik semua dewa dewi muda dan jadikan mereka bala tentara perang" ujar dewi Chanda."Itu berarti kita mengobarkan masa depan immortal, aku tidak akan setuju" timpal Aristaues."Aku tidak membutuhkan persetujuan mu" ujar dewi Chanda."Tanpa kuantitas, immortal bisa kalah. Atau kamu memang ingin kerajaan ini hancur hah?" imbuhnya."Saat ini tak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan, tapi selama itu juga bukan berarti kita hanya diam" ujar salah satu jendral."Kita harus memperkuat pertahanan dan menyiapkan pasukan sebanyak mungkin untuk kemungkinan terburuk" imbuhnya."Lantas jendral setuju
Brak!Evan yang sedang melamun langsung terkejut ketika beberapa barang, jatuh tepat disampingnya.Dan si pelaku tampak menahan tangisnya, siapa lagi jika bukan Mikaila. Melihat sang ayah dengan nafas memburu seperti itu, lantas Evan berdiri menyamakan tinggi badannya."Cepat pergi dari sini" ujar Mikaila tegas."Ayah mengusir ku?" tanya Evan tak kuasa.Namun Mikaila enggan menjawab, hanya tangannya yang menunjukan arah kemana lelaki itu harus pergi."Aku tidak mau pergi ayah, aku akan tetap disi-""Kamu ingin ayah mati hah?!" ujar Mikaila berteriak."Kalau kamu tetap disini ayah akan bunuh diri!" tegasnya.Evan menggelengkan kepalanya, air mata sudah berada diujung pelupuk mata indah lelaki itu.Sret!Tanpa diduga, Mikaia membawa sebuah pisau runcing yang ia sembunyikan dibalik bajunya. Dan dengan
Seminggu berlalu.Tak terasa saja, hari sudah berganti minggu. Selama itu pula Evan terbang. Tanpa beristirahat sejenak pun. Kalian bayangkan, tanpa beristirahat sejenak pun!.Rasa sedih, kecewa, sakit dan perasaan-perasaan lainnya yang menumpuk di hati lelaki itu, membuatnya berlaku demikian.Tak kuasa dengan semu itu dan ingin melupakannya, namun Evan berlaku salah. Keinginannya itu justru menyakiti dirinya sendiri.Saat ini pun dia juga masih belum tahu dimana?. Setelah beberapa hari lalu di terbang diatas air atau padang pasir. Kini dibawah kakinya terdapat daratan. Ada tanah yang bisa dia pijak.Nging!Brak!Kepala Evan tiba-tiba berdengung. Pandangannya mengabur dan dewa itu kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya melayang jatuh kebawah, siap menghantam apa saja yang ada dibawahnya."Aku lelah.." gumam Evan memejamkan matanya.Ditempat lain
"Nggh.."Achilles tergugu ketika suara lenguhan menyapa telinganya.Matanya yang masih mengantuk dipaksakan terbuka dan melihat sekitar, ternyata lelaki yang diselamatkannya mulai sadarkan diri.Sontak Achilles langsung menghampirinya. Dengan pelan dan apatis dia menggoyangkan bahunya."Hey.. bangun.." ujar Achilles."Hm.. ahh" lelaki itu meringis memegangi kepalanya yang pusing."Dimana aku?" tanyanya."Kamu sudah sadar?" timpal Achilles bertanya."Aku ingin pingsan saja, dan tidak bangun lagi" ujar lelaki itu."Hah? Kalau begitu mati saja" timpal Achilles.Lelaki itu menggeleng, mati? Bukan, bukan itu kemauannya."Tidak. Aku hanya ingin tidur dengan waktu yang lama. Agar aku tak perlu mengetahui apa saja yang terjadi di dunia ini dan aku melupakan semua rasa sakit yang ada" ujar lelaki itu.
Achilles tak menyangka akan mengatakan kalimat seperti itu, dan mirisnya lelaki yang ditolongnya mengatakan pernyataan setuju.Memang sepintas tak merugikan, Achilles menyediakan tempat sedangkan orang yang ditolongnya menyediakan tenaga."Jadi siapa nama mu?" tanya lelaki itu.Achilles mendongak, nafasnya sedikit memburu karena menggendong seekor kijang yang ternyata lumayan berat."Achilles" jawabnya.Lelaki itu mengangguk, dia tidak terlihat kesusahan sama sekali. Padahal dia membawa banyak hewan buruan dan keranjang buah. Achilles sampai ternganga jika kalian tahu."Lalu nama mu siapa?" benar sekali, Achilles sampai lupa menanyakan hal serupa itu padanya."Aku.." ujar lelaki itu menggantung."Kenapa? Apa jangan-jangan kamu lupa ingatan saat terjatuh itu!" pekik Achilles."Haha, benar sekali tapi tidak juga" ujar lelaki itu
"Nggh.."Achilles tergugu ketika suara lenguhan menyapa telinganya.Matanya yang masih mengantuk dipaksakan terbuka dan melihat sekitar, ternyata lelaki yang diselamatkannya mulai sadarkan diri.Sontak Achilles langsung menghampirinya. Dengan pelan dan apatis dia menggoyangkan bahunya."Hey.. bangun.." ujar Achilles."Hm.. ahh" lelaki itu meringis memegangi kepalanya yang pusing."Dimana aku?" tanyanya."Kamu sudah sadar?" timpal Achilles bertanya."Aku ingin pingsan saja, dan tidak bangun lagi" ujar lelaki itu."Hah? Kalau begitu mati saja" timpal Achilles.Lelaki itu menggeleng, mati? Bukan, bukan itu kemauannya."Tidak. Aku hanya ingin tidur dengan waktu yang lama. Agar aku tak perlu mengetahui apa saja yang terjadi di dunia ini dan aku melupakan semua rasa sakit yang ada" ujar lelaki itu.
Seminggu berlalu.Tak terasa saja, hari sudah berganti minggu. Selama itu pula Evan terbang. Tanpa beristirahat sejenak pun. Kalian bayangkan, tanpa beristirahat sejenak pun!.Rasa sedih, kecewa, sakit dan perasaan-perasaan lainnya yang menumpuk di hati lelaki itu, membuatnya berlaku demikian.Tak kuasa dengan semu itu dan ingin melupakannya, namun Evan berlaku salah. Keinginannya itu justru menyakiti dirinya sendiri.Saat ini pun dia juga masih belum tahu dimana?. Setelah beberapa hari lalu di terbang diatas air atau padang pasir. Kini dibawah kakinya terdapat daratan. Ada tanah yang bisa dia pijak.Nging!Brak!Kepala Evan tiba-tiba berdengung. Pandangannya mengabur dan dewa itu kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya melayang jatuh kebawah, siap menghantam apa saja yang ada dibawahnya."Aku lelah.." gumam Evan memejamkan matanya.Ditempat lain
Brak!Evan yang sedang melamun langsung terkejut ketika beberapa barang, jatuh tepat disampingnya.Dan si pelaku tampak menahan tangisnya, siapa lagi jika bukan Mikaila. Melihat sang ayah dengan nafas memburu seperti itu, lantas Evan berdiri menyamakan tinggi badannya."Cepat pergi dari sini" ujar Mikaila tegas."Ayah mengusir ku?" tanya Evan tak kuasa.Namun Mikaila enggan menjawab, hanya tangannya yang menunjukan arah kemana lelaki itu harus pergi."Aku tidak mau pergi ayah, aku akan tetap disi-""Kamu ingin ayah mati hah?!" ujar Mikaila berteriak."Kalau kamu tetap disini ayah akan bunuh diri!" tegasnya.Evan menggelengkan kepalanya, air mata sudah berada diujung pelupuk mata indah lelaki itu.Sret!Tanpa diduga, Mikaia membawa sebuah pisau runcing yang ia sembunyikan dibalik bajunya. Dan dengan
Saat ini para penasehat, dewi Chanda, Aristaeus dan kepala jendral sedang berkumpul melaksanakan rapat setelah membagikan bantuan kepada rakyat tadi.Permasalahannya tak jauh soal penyerangan bangsa iblis dan perang yang memungkinkan akan terjadi."Kita tarik semua dewa dewi muda dan jadikan mereka bala tentara perang" ujar dewi Chanda."Itu berarti kita mengobarkan masa depan immortal, aku tidak akan setuju" timpal Aristaues."Aku tidak membutuhkan persetujuan mu" ujar dewi Chanda."Tanpa kuantitas, immortal bisa kalah. Atau kamu memang ingin kerajaan ini hancur hah?" imbuhnya."Saat ini tak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan, tapi selama itu juga bukan berarti kita hanya diam" ujar salah satu jendral."Kita harus memperkuat pertahanan dan menyiapkan pasukan sebanyak mungkin untuk kemungkinan terburuk" imbuhnya."Lantas jendral setuju
Kanagara sudah sadarkan diri, pangeran itu langsung mengeluhkan keadaan yang tengah mengelilinginya sekarang.Serangan, kerusakan, bangsa iblis, kemarahan rakyat, pelarian, prajurit, perang dan masalah-masalah lainnya. Membuat ia ingin tak sadarkan diri saja, sama seperti sang ayah yang saat ini sedang ditatapnya.Ya, untuk yang ke dua kalinya lelaki itu datang melihat raja di kamarnya. Tak ada yang berubah, orangtua itu terlihat damai nan asik dengan tidurnya."Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya tangan itu mengelus kepala ku" ujar Kanagara di samping sang ayah."Sejak lahir, kita tak pernah bermain. Jika ayah sadar jangan marah melihat sikap ku ini ya" imbuhnya tersenyum lucu.Berharap sekali saja, ada jawaban dari raja. Jujur Kanagara sangat lelah, dia ingin menyerah pada kehidupannya, yang menjadi kenyataan adalah, kehidupan rakyat biasa lebih enak daripada mengemban nama pangeran.
Karena rasa penasaran yang besar, Mikaila pergi ke kota untuk melihat keadaan disana, tanpa sepengetahuan Evan tentunya dan hanya mengantongi ijin dari sang isteri, Austin.Wush!Wush!Wush!Mikaila sengaja tak pergi menggunakan direwolf agar anaknya tak curiga, dan sepanjang perjalanan matanya tak henti dibuat terkejut.Beberapa wilayah seperti terdampak sebuah serangan. Ditambah beberapa orang terlihat pergi membawa banyak barang.Apa mereka akan pergi berniaga? Atau kemana? Mikaila ingin bertanya soal itu, tapi ekspresi orang-orang yang terlihat kacau dan marah membuatnya urung. Mungkin jika dia memaksa bertanya, bukan jawaban yang akan dia dapatkan.Wush!Wush!Wush!Hingga akhirnya Mikaila melihat sosok teman berdagangnya. Dia pun langsung turun dan menghampiri dia."Nura!" sapa Mikaila."Mikaila! Apa i
Immortal dalam keadaan sangat kacau, kerajaan tak mampu memberikan ketenangan bagi masyarakat sebagaimana mestinya.Beberapa melakukan demo ditengah kerusakan istana, mereka menuntut bantuan kepada raja. Banyak rumah dan ladang yang hancur, dan tak ada satupun penyuluhan atas semua itu.Rakyat merasa diabaikan. Namun apa yang bisa dilakukan? Pihak kerajaan juga tak bisa berbuat apa-apa, terlebih ratu yang sibuk menangisi anaknya.Dewi Chanda tak sama sekali memperdulikan masyarakat di luar, dia tak ingin meninggalkan anaknya, padahal tabib jelas mengatakan hanya menderita luka ringan."Dewi Chanda! Masyarakat terus mengamuk diluar" ujar Arietaeus kembali mengingatkan.Perempuan itu merasa terpanggil, lantas kepalanya menoleh menatap sosok penasehat kerajaannya sedang berdiri sembari bersidekap tangan depan dada."Berani sekali kamu memanggil ku seperti itu" desis dewi Ch
Evan dan kedua orangtuanya masih berdebat, akan tetapi hal itu terganggu dengan suara ledakan yang terdengar samar-samar dari rumahnya.Duar!Sontak Evan, Mikaila dan Austin berlari keluar rumah. Dapat mereka lihat ada asap mengepul dari arah kota."Ada apa itu ayah?" tanya Evan terkejut.Mikaila menggeleng, dia pun baru pertama kali melihat hal semacam ini terjadi. Evan sendiri dibuat semakin gelisah melihat kepulan asap itu."Ayah aku ingin pergi kesana" ujar Evan tiba-tiba."Jangan sayang itu berbahaya" timpal Austin khawatir.Ekspresi Evan lah yang membuat kedua orangtuanya ikut tak tenang, mereka jelas melihat gurat gelisah di wajah anaknya itu, meski tak tahu kenapa?."Perasaan ku tidak enak, entah karena apa. Aku tidak mengerti" gumam Evan.Mikaila dan Austin hanya bisa saling pandang, larut dengan pikirannya masing-mas