Lucifer. Sang pangeran iblis yang sebentar lagi akan menjadikan raja, tertawa senang setelah rencananya berjalan dengan lancar.
Dia tak salah, menjadikan Vaneheim sebagai sasaran pertama dalam melancarkan aksinya. Tempat yang di huni dewa dewi bodoh itu sudah sangat jarang dijaga.
Dan terbukti, sekarang tempat itu sudah berubah menjadi sarang pasukan bangsanya. lalu siapa sasaran berikutnya?.
"Kehancuran immortal sudah di mulai.." gumam Lucifer menatap pantulan dirinya di air.
Saat ini dia sedang berada di Vaneheim, salah seorang peramu bangsa iblis berhasil membuat sebuah obat untuk mempercepat pertumbuhan bangsa iblis dengan cepat.
"Setelah bangsa ku menjadi banyak, sisanya akan aku kirimkan ke kawasan penjahat. Mereka akan menjadi bagian baru bangsa iblis" ujar Lucifer tersenyum miring.
Di tempat lain, Evan masih masih merajuk kepada orangtuanya. Namun tetap, karena hari menjelang malam, lelaki itu pulang ke rumah nya.
Sedari tadi dia sebenarnya tak kemana-mana, hanya diam di pinggir hutan, naik pohon dan merenung disana.
Saat pulang, Mikaila dan Austin menyambutnya dengan senyuman hangat seperti biasa. Untuk saat ini mereka memilih mengesampingkan masalahnya dan makan malam bersama.
"Kami tidak akan membahas soal itu lagi, sekarang kita makan saja seperti biasa ya sayang" ujar Austin mengusap pundak Evan.
"Janji?" timpal Evan.
Austin dan Mikaila hanya tersenyum, tak menjawab dengan pasti pertanyaan anaknya. Mereka berdua memilih duduk lebih dulu di meja makan, Evan hanya bisa mendesih dalam hati.
"Daripada membicarakan masalah perang, ada hal lain yang lebih penting ingin kami sampaikan kepada kamu" ujar Mikaila.
"Tentang?" tanya Evan.
"Diri mu" jawab Austin.
"Maksudnya apa?" tanya Evan tidak mengerti.
"Kita makan saja dulu," ujar Mikaila.
Mereka bertiga pun berhenti bicara dan memakan makanannya. Evan mengunyah masakan sang ibu dengan rasa penasaran, sebaliknya orangtua itu merasakan takut setelah jamuan selesai.
Hal itu tidak mereka sadari satu sama lain, karena semua orang terlarut sangat dalam dengan pikirannya.
Jika saja Mikaila dan Austin bisa melihat masa depan, jika tahu memungut Evan akan berakhir seperti ini, mereka akan memilih tak menolongnya waktu itu.
Lebih baik sakit sekali untuk selamanya, daripada harus bahagia dulu sebelum akhirnya terjatuh kedalam lubang yang dalam.
Suara dentingan pertama kali berhenti adalah milik Evan, lelaki itu menghabiskan makanannya dengan cepat.
"Aku sudah selesai. Aku akan menunggu ayah dan ibu berbicara malam ini" ujar Evan.
"Tunggulah diruang tamu" timpal Mikaila.
Evan mengangguk dan beranjak pergi, lelaki itu menunggu dengan manis kedua orangtuanya selesai makan.
Degh!
Degh!
Degh!
Tapi entahlah, apa ini hanya perasaan saja. Dada Evan berdebar lebih cepat, menerka kiranya apa yang akan disampaikan oleh sang ayah dan ibu.
Sret!
Atensinya teralihkan setelah orang yang dipikirkannya muncul. Mikaila dan Austin mengambil tempat dihadapan Evan, ekspresi keduanya terlihat sangat serius dan berhasil membuat lawan bicaranya bergetar tak karuan.
"Sebelumnya kami meminta maaf kepada mu" ujar Mikaila.
"Evan.." imbuhnya ragu.
"Minta maaf? Bicara itu aku juga meminta maaf, tidak seharusnya aku bersikap seperti tadi" ujar Evan.
Namun kedua orangtua itu menggeleng menanggapinya.
"Bukan soal itu Evan," ujar Mikaila.
"Semua ini tentang kebohongan besar yang kami lakukan pada mu, sejak lama" timpal Austin membuat Evan bingung.
"Maksud ibu apa? Aku tidak mengerti" ujar Evan.
"Sebelumnya bisa kamu berjanji tak akan membenci kami setelah mengetahuinya?" pinta Mikaila.
"H-Hah?" Evan semakin bingung, persoalan-persoalan seperti ini yang tak pernah dia mau tahu.
"Benci? Apa kebohongan kalian sangat besar pada ku?" tanya Evan diangguki keduanya.
"Kalau begitu aku memilih tak ingin mengetahuinya" ujar Evan.
"Tapi semua ini harus terungkap, kami tidak ingin hidup dalam penyesalan selamanya" timpal Austin.
"Kenapa sih ayah dan ibu bersikap lucu hari ini?" tanya Evan lelah.
"Aku tidak suka hal-hal seperti ini, kalian tahu kan. Cukup kita bertiga, selamanya, seperti biasa, walaupun sengsara aku akan bahagia" imbuhnya tegas.
"Tapi kami tidak Evan" ujar Mikaila.
"Kami tidak ingin hidup selamanya dengan rasa ketakutan, kami akan mengatakan kebohongan ini dan hanya meminta kamu untuk tidak membenci kami selamanya, semoga hal itu bisa membuat kita baik terus seperti biasanya" imbuhnya.
"Kalau begitu cepat katakan ayah, jangan berbasa-basi lagi" ujar Evan tegas.
Mikaila dan Austin langsung terdiam, mereka melemparkan tatapan masing-masing sebelumnya akhirnya menghembuskan nafas siap.
"S-Sebenarnya" ujar Mikaila gugup.
"Sebenarnya kamu b-bukan" ulangnya masih gugup.
Evan menunggu, dengan perasaan tak karuan.
"Sebenarnya kami bukan orangtua kandung kamu" ujar Mikaila dalam satu kali helaan nafas.
Evan terdiam, tunggu sebentar, telinganya tiba-tiba gatal. Butuh beberapa jeda bagi lelaki itu mengerti kalimat yang diucapkan ayahnya.
"Ini tidak lucu sama sekali, jangan bercanda ayah" ujar Evan.
"Tidak nak, kamu memang bukan anak kandung kami" timpal Mikaila.
"Ibu tidak pernah mengandung seorang anak, ibu tidak bisa melakukan itu, usia pernikahan kami sudah lama dan tepat saat kami mengharapkan seorang anak, kamu datang" ujar Austin menahan tangisnya.
Evan menggeleng tak percaya, kenapa dadanya tiba-tiba sakit. Padahal dia sudah menekankan dalam hati tak akan mempercayai hal ini.
"Aku tidak percaya" ujar Evan.
"Dan aku tidak akan mempercayainya!" imbuhnya tegas.
Sret!
Evan bangkit dari duduknya, Mikaila dan Austin melakukan hal yang sama. Mereka sedih dan takut melihat ekspresi Evan seperti sedang menyangkal semua ini. Anak itu berusaha menahan tangisnya.
"Kalian tetap ayah ibu ku, dan aku anak kalian. Semua itu tidak akan berubah!" tegas Evan.
"Jangan seperti ini Evan, bagaimana jika kedua orangtua mu merindukan kamu nak" ujar Austin mencoba menyentuh anak itu.
Sret!
Namun Evan menepisnya, tidak kasar tapi itu berhasil membuat Austin sakit.
"Rindu apa ibu? Orangtua ku adalah kalian" ujar Evan.
"Hentikan semua drama ini" imbuhnya memohon.
Namun Mikaila dan Austin justru tertunduk, hal yang membuat Evan kian kesal dan takut saja.
"Kenapa kalian jahat pada ku.." gumam Evan.
Sret!
Tap!
Tap!
Tap!
Lelaki itu pergi meninggalkan kedua orangtuanya.
Brak!
Evan mengunci diri di kamar, dia tak ingin diganggu oleh kedua orangtuanya. Evan tak ingin mempercayai kebenaran ini, dia tak peduli dengan kedua orangtuanya, karena sayang dirinya hanya untuk Mikaila dan Austin.
Evan menangis didalam kamar. Kenapa takdir mempermainkannya seperti ini?
Tok!
Tok!
Tok!
"Evan, buka pintunya, ibu ingin berbicara" suara Austin terdengar di balik pintu.
Evan menolak, saat ini dia tak ingin dekat dan terikat dengan siapapun.
"Pergi bu! Aku tidak ingin diganggu. Aku mohon pergi!" teriak Evan.
"Nak, jangan seperti ini. Kita bisa membicarakan semuanya baik-baik" saut Mikaila.
"Ayah aku mohon pengertiannya, pergilah!" tolak Evan.
"Kami selalu sayang pada mu" ujar Mikaila di iyakan Austin.
'Aku juga sayang kalian' jawab Evan dalam hati.
Di bangsa iblis, ada sebuah pasukan terkenal, para petarung handal dan mempunyai kekuatan besar.Mereka memiliki peran yang besar, kehebatannya terkenal dikalangan semua bangsa iblis. Dan mereka jugalah yang nanti akan menjadi bom bagi immortal.Pasukan itu dipimpin oleh seorang iblis yang kuat, tangguh dan sangat ditakuti oleh kaum iblis. Zalan namanya, dia adalah anak dari jendral perang bangsa iblis, sekaligus teman pangeran Lucifer.Kehebatan Zalan di dukung pasukannya yang sama kuat, pertama Kanika, iblis perempuan yang sangat pendiam namun mematikan. Serangannya tak bisa terlihat musuh.Kedua adalah Awar, iblis berbadan tinggi dan besar. Gerakannya sangat agresif dan mempunyai serangan kutukan. Siapa saja yang terkena olehnya akan mati dalam beberapa jam.Kemudian Ladia, dia adalah iblis yang terkenal dengan lumpur dan kemampuan hisapnya. Tak ada yang bisa tahan ketika Ladia membuka luba
Ceklek!Evan membuka pintu kamarnya, Mikaila dan Austin langsung tersenyum dan berhambur memeluk dirinya.Sungguh, Evan jadi merasa bersalah. Dia sudah menyakiti perasaan orang yang jelas-jelas tulus sayang padanya.Mikaila dan Austin adalah sosok pengganti yang memberikannya kehangatan sebuah kasih sayang, yang dengan ikhlas menjaga, merawat dan membesarkannya sampai saat ini meski tahu mereka tak memiliki hubungan darah.Tapi Evan juga tak bisa mengatakan maaf saat ini, kenyatannya dia memilliki ego tinggi."Mari kita makan" ujar Austin menginterupsi.Mereka bertiga pun beranjak menuju meja makan dan mulai sarapan pagi dengan suasana lebih baik dari sebelumnya.Ting!Hanya suara dentingan alat makan yang terdengar, Mikaila dan Austin tidak pernah menghilangkan gurat senyum diwajahnya.Ditempat lain, saat udara ma
Drrt!Drrt!Drrt!Mikaila tiba-tiba menghentikan gerakan makannya, di ikuti sang isteri dan anaknya. Sesaat tadi dia mendengar suara, dibarengi dengan tanah yang mereka pijak terasa bergetar."Apa suara batu jatuh lagi?" tanya Evan.Mikaila dan Austin saling pandang, tak lama kemudian mereka mengangguk. Mungkin benar batu di gunung kembali jatuh. Dan pasti benda itu cukup besar sampai getarannya sampai ke rumah.Mereka bertiga pun kembali melanjutkan makannya, Evan kembali diam. Tapi justru perasaannya tiba-tiba tak karuan, entah karena apa. Padahal saat ini lelaki itu sedang bersama kedua orangtuanya.Kebingungan itu membantu Evan menyelesaikan makannya dengan cepat, lantas seperti biasa, lelaki itu menunggu di ruang tamu sampai kedua orangtuanya selesai.Tap!Tap!Tap!Sret!Evan mendudukkan bokongnya di kur
Evan dan kedua orangtuanya masih berdebat, akan tetapi hal itu terganggu dengan suara ledakan yang terdengar samar-samar dari rumahnya.Duar!Sontak Evan, Mikaila dan Austin berlari keluar rumah. Dapat mereka lihat ada asap mengepul dari arah kota."Ada apa itu ayah?" tanya Evan terkejut.Mikaila menggeleng, dia pun baru pertama kali melihat hal semacam ini terjadi. Evan sendiri dibuat semakin gelisah melihat kepulan asap itu."Ayah aku ingin pergi kesana" ujar Evan tiba-tiba."Jangan sayang itu berbahaya" timpal Austin khawatir.Ekspresi Evan lah yang membuat kedua orangtuanya ikut tak tenang, mereka jelas melihat gurat gelisah di wajah anaknya itu, meski tak tahu kenapa?."Perasaan ku tidak enak, entah karena apa. Aku tidak mengerti" gumam Evan.Mikaila dan Austin hanya bisa saling pandang, larut dengan pikirannya masing-mas
Immortal dalam keadaan sangat kacau, kerajaan tak mampu memberikan ketenangan bagi masyarakat sebagaimana mestinya.Beberapa melakukan demo ditengah kerusakan istana, mereka menuntut bantuan kepada raja. Banyak rumah dan ladang yang hancur, dan tak ada satupun penyuluhan atas semua itu.Rakyat merasa diabaikan. Namun apa yang bisa dilakukan? Pihak kerajaan juga tak bisa berbuat apa-apa, terlebih ratu yang sibuk menangisi anaknya.Dewi Chanda tak sama sekali memperdulikan masyarakat di luar, dia tak ingin meninggalkan anaknya, padahal tabib jelas mengatakan hanya menderita luka ringan."Dewi Chanda! Masyarakat terus mengamuk diluar" ujar Arietaeus kembali mengingatkan.Perempuan itu merasa terpanggil, lantas kepalanya menoleh menatap sosok penasehat kerajaannya sedang berdiri sembari bersidekap tangan depan dada."Berani sekali kamu memanggil ku seperti itu" desis dewi Ch
Karena rasa penasaran yang besar, Mikaila pergi ke kota untuk melihat keadaan disana, tanpa sepengetahuan Evan tentunya dan hanya mengantongi ijin dari sang isteri, Austin.Wush!Wush!Wush!Mikaila sengaja tak pergi menggunakan direwolf agar anaknya tak curiga, dan sepanjang perjalanan matanya tak henti dibuat terkejut.Beberapa wilayah seperti terdampak sebuah serangan. Ditambah beberapa orang terlihat pergi membawa banyak barang.Apa mereka akan pergi berniaga? Atau kemana? Mikaila ingin bertanya soal itu, tapi ekspresi orang-orang yang terlihat kacau dan marah membuatnya urung. Mungkin jika dia memaksa bertanya, bukan jawaban yang akan dia dapatkan.Wush!Wush!Wush!Hingga akhirnya Mikaila melihat sosok teman berdagangnya. Dia pun langsung turun dan menghampiri dia."Nura!" sapa Mikaila."Mikaila! Apa i
Kanagara sudah sadarkan diri, pangeran itu langsung mengeluhkan keadaan yang tengah mengelilinginya sekarang.Serangan, kerusakan, bangsa iblis, kemarahan rakyat, pelarian, prajurit, perang dan masalah-masalah lainnya. Membuat ia ingin tak sadarkan diri saja, sama seperti sang ayah yang saat ini sedang ditatapnya.Ya, untuk yang ke dua kalinya lelaki itu datang melihat raja di kamarnya. Tak ada yang berubah, orangtua itu terlihat damai nan asik dengan tidurnya."Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya tangan itu mengelus kepala ku" ujar Kanagara di samping sang ayah."Sejak lahir, kita tak pernah bermain. Jika ayah sadar jangan marah melihat sikap ku ini ya" imbuhnya tersenyum lucu.Berharap sekali saja, ada jawaban dari raja. Jujur Kanagara sangat lelah, dia ingin menyerah pada kehidupannya, yang menjadi kenyataan adalah, kehidupan rakyat biasa lebih enak daripada mengemban nama pangeran.
Saat ini para penasehat, dewi Chanda, Aristaeus dan kepala jendral sedang berkumpul melaksanakan rapat setelah membagikan bantuan kepada rakyat tadi.Permasalahannya tak jauh soal penyerangan bangsa iblis dan perang yang memungkinkan akan terjadi."Kita tarik semua dewa dewi muda dan jadikan mereka bala tentara perang" ujar dewi Chanda."Itu berarti kita mengobarkan masa depan immortal, aku tidak akan setuju" timpal Aristaues."Aku tidak membutuhkan persetujuan mu" ujar dewi Chanda."Tanpa kuantitas, immortal bisa kalah. Atau kamu memang ingin kerajaan ini hancur hah?" imbuhnya."Saat ini tak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan, tapi selama itu juga bukan berarti kita hanya diam" ujar salah satu jendral."Kita harus memperkuat pertahanan dan menyiapkan pasukan sebanyak mungkin untuk kemungkinan terburuk" imbuhnya."Lantas jendral setuju
Achilles tak menyangka akan mengatakan kalimat seperti itu, dan mirisnya lelaki yang ditolongnya mengatakan pernyataan setuju.Memang sepintas tak merugikan, Achilles menyediakan tempat sedangkan orang yang ditolongnya menyediakan tenaga."Jadi siapa nama mu?" tanya lelaki itu.Achilles mendongak, nafasnya sedikit memburu karena menggendong seekor kijang yang ternyata lumayan berat."Achilles" jawabnya.Lelaki itu mengangguk, dia tidak terlihat kesusahan sama sekali. Padahal dia membawa banyak hewan buruan dan keranjang buah. Achilles sampai ternganga jika kalian tahu."Lalu nama mu siapa?" benar sekali, Achilles sampai lupa menanyakan hal serupa itu padanya."Aku.." ujar lelaki itu menggantung."Kenapa? Apa jangan-jangan kamu lupa ingatan saat terjatuh itu!" pekik Achilles."Haha, benar sekali tapi tidak juga" ujar lelaki itu
"Nggh.."Achilles tergugu ketika suara lenguhan menyapa telinganya.Matanya yang masih mengantuk dipaksakan terbuka dan melihat sekitar, ternyata lelaki yang diselamatkannya mulai sadarkan diri.Sontak Achilles langsung menghampirinya. Dengan pelan dan apatis dia menggoyangkan bahunya."Hey.. bangun.." ujar Achilles."Hm.. ahh" lelaki itu meringis memegangi kepalanya yang pusing."Dimana aku?" tanyanya."Kamu sudah sadar?" timpal Achilles bertanya."Aku ingin pingsan saja, dan tidak bangun lagi" ujar lelaki itu."Hah? Kalau begitu mati saja" timpal Achilles.Lelaki itu menggeleng, mati? Bukan, bukan itu kemauannya."Tidak. Aku hanya ingin tidur dengan waktu yang lama. Agar aku tak perlu mengetahui apa saja yang terjadi di dunia ini dan aku melupakan semua rasa sakit yang ada" ujar lelaki itu.
Seminggu berlalu.Tak terasa saja, hari sudah berganti minggu. Selama itu pula Evan terbang. Tanpa beristirahat sejenak pun. Kalian bayangkan, tanpa beristirahat sejenak pun!.Rasa sedih, kecewa, sakit dan perasaan-perasaan lainnya yang menumpuk di hati lelaki itu, membuatnya berlaku demikian.Tak kuasa dengan semu itu dan ingin melupakannya, namun Evan berlaku salah. Keinginannya itu justru menyakiti dirinya sendiri.Saat ini pun dia juga masih belum tahu dimana?. Setelah beberapa hari lalu di terbang diatas air atau padang pasir. Kini dibawah kakinya terdapat daratan. Ada tanah yang bisa dia pijak.Nging!Brak!Kepala Evan tiba-tiba berdengung. Pandangannya mengabur dan dewa itu kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya melayang jatuh kebawah, siap menghantam apa saja yang ada dibawahnya."Aku lelah.." gumam Evan memejamkan matanya.Ditempat lain
Brak!Evan yang sedang melamun langsung terkejut ketika beberapa barang, jatuh tepat disampingnya.Dan si pelaku tampak menahan tangisnya, siapa lagi jika bukan Mikaila. Melihat sang ayah dengan nafas memburu seperti itu, lantas Evan berdiri menyamakan tinggi badannya."Cepat pergi dari sini" ujar Mikaila tegas."Ayah mengusir ku?" tanya Evan tak kuasa.Namun Mikaila enggan menjawab, hanya tangannya yang menunjukan arah kemana lelaki itu harus pergi."Aku tidak mau pergi ayah, aku akan tetap disi-""Kamu ingin ayah mati hah?!" ujar Mikaila berteriak."Kalau kamu tetap disini ayah akan bunuh diri!" tegasnya.Evan menggelengkan kepalanya, air mata sudah berada diujung pelupuk mata indah lelaki itu.Sret!Tanpa diduga, Mikaia membawa sebuah pisau runcing yang ia sembunyikan dibalik bajunya. Dan dengan
Saat ini para penasehat, dewi Chanda, Aristaeus dan kepala jendral sedang berkumpul melaksanakan rapat setelah membagikan bantuan kepada rakyat tadi.Permasalahannya tak jauh soal penyerangan bangsa iblis dan perang yang memungkinkan akan terjadi."Kita tarik semua dewa dewi muda dan jadikan mereka bala tentara perang" ujar dewi Chanda."Itu berarti kita mengobarkan masa depan immortal, aku tidak akan setuju" timpal Aristaues."Aku tidak membutuhkan persetujuan mu" ujar dewi Chanda."Tanpa kuantitas, immortal bisa kalah. Atau kamu memang ingin kerajaan ini hancur hah?" imbuhnya."Saat ini tak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan, tapi selama itu juga bukan berarti kita hanya diam" ujar salah satu jendral."Kita harus memperkuat pertahanan dan menyiapkan pasukan sebanyak mungkin untuk kemungkinan terburuk" imbuhnya."Lantas jendral setuju
Kanagara sudah sadarkan diri, pangeran itu langsung mengeluhkan keadaan yang tengah mengelilinginya sekarang.Serangan, kerusakan, bangsa iblis, kemarahan rakyat, pelarian, prajurit, perang dan masalah-masalah lainnya. Membuat ia ingin tak sadarkan diri saja, sama seperti sang ayah yang saat ini sedang ditatapnya.Ya, untuk yang ke dua kalinya lelaki itu datang melihat raja di kamarnya. Tak ada yang berubah, orangtua itu terlihat damai nan asik dengan tidurnya."Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya tangan itu mengelus kepala ku" ujar Kanagara di samping sang ayah."Sejak lahir, kita tak pernah bermain. Jika ayah sadar jangan marah melihat sikap ku ini ya" imbuhnya tersenyum lucu.Berharap sekali saja, ada jawaban dari raja. Jujur Kanagara sangat lelah, dia ingin menyerah pada kehidupannya, yang menjadi kenyataan adalah, kehidupan rakyat biasa lebih enak daripada mengemban nama pangeran.
Karena rasa penasaran yang besar, Mikaila pergi ke kota untuk melihat keadaan disana, tanpa sepengetahuan Evan tentunya dan hanya mengantongi ijin dari sang isteri, Austin.Wush!Wush!Wush!Mikaila sengaja tak pergi menggunakan direwolf agar anaknya tak curiga, dan sepanjang perjalanan matanya tak henti dibuat terkejut.Beberapa wilayah seperti terdampak sebuah serangan. Ditambah beberapa orang terlihat pergi membawa banyak barang.Apa mereka akan pergi berniaga? Atau kemana? Mikaila ingin bertanya soal itu, tapi ekspresi orang-orang yang terlihat kacau dan marah membuatnya urung. Mungkin jika dia memaksa bertanya, bukan jawaban yang akan dia dapatkan.Wush!Wush!Wush!Hingga akhirnya Mikaila melihat sosok teman berdagangnya. Dia pun langsung turun dan menghampiri dia."Nura!" sapa Mikaila."Mikaila! Apa i
Immortal dalam keadaan sangat kacau, kerajaan tak mampu memberikan ketenangan bagi masyarakat sebagaimana mestinya.Beberapa melakukan demo ditengah kerusakan istana, mereka menuntut bantuan kepada raja. Banyak rumah dan ladang yang hancur, dan tak ada satupun penyuluhan atas semua itu.Rakyat merasa diabaikan. Namun apa yang bisa dilakukan? Pihak kerajaan juga tak bisa berbuat apa-apa, terlebih ratu yang sibuk menangisi anaknya.Dewi Chanda tak sama sekali memperdulikan masyarakat di luar, dia tak ingin meninggalkan anaknya, padahal tabib jelas mengatakan hanya menderita luka ringan."Dewi Chanda! Masyarakat terus mengamuk diluar" ujar Arietaeus kembali mengingatkan.Perempuan itu merasa terpanggil, lantas kepalanya menoleh menatap sosok penasehat kerajaannya sedang berdiri sembari bersidekap tangan depan dada."Berani sekali kamu memanggil ku seperti itu" desis dewi Ch
Evan dan kedua orangtuanya masih berdebat, akan tetapi hal itu terganggu dengan suara ledakan yang terdengar samar-samar dari rumahnya.Duar!Sontak Evan, Mikaila dan Austin berlari keluar rumah. Dapat mereka lihat ada asap mengepul dari arah kota."Ada apa itu ayah?" tanya Evan terkejut.Mikaila menggeleng, dia pun baru pertama kali melihat hal semacam ini terjadi. Evan sendiri dibuat semakin gelisah melihat kepulan asap itu."Ayah aku ingin pergi kesana" ujar Evan tiba-tiba."Jangan sayang itu berbahaya" timpal Austin khawatir.Ekspresi Evan lah yang membuat kedua orangtuanya ikut tak tenang, mereka jelas melihat gurat gelisah di wajah anaknya itu, meski tak tahu kenapa?."Perasaan ku tidak enak, entah karena apa. Aku tidak mengerti" gumam Evan.Mikaila dan Austin hanya bisa saling pandang, larut dengan pikirannya masing-mas