"Anggota kerajaan tidak boleh bersikap seperti ini" ujar Evan.
"Kamu pikir ini cukup?" tanya Damon meremehkan.
"Hm?"
Wush!
Evan terkejut melihat Damon melepaskan diri dari serangannya menggunakan kekuatan angin.
"Dan kamu pikir, hanya kamu yang bisa mengendalikan tanah?" tanya Damon.
"Salah besar, seorang rakyat tidak boleh memberontak apalagi menyerang anggota kerajaan. Atau itu bisa disebut pengancaman dan kekerasan" imbuhnya.
Sret!
Wush!
Evan menghindar dengan mudah ketika Damon menyerang dengan serangan tanah, kekuatannya cukup besar juga.
Tanah yang tadinya landai, berubah tekstur dan pecah-pecah. Meskipun itu tak seberapa, Evan yakin dirinya bisa melakukan hal lebih besar.
"Kita bicara baik-baik, dan bukannya seorang anggota kerajaan wajib melayani keluhan rakyat ya?" ujar Evan tenang.
"Bagaimana sekarang? Aku mengeluh soal keamanan yang buruk. Kamu sendiri bahkan tidak berani menampakkan diri kepada masyarakat" imbuhnya heran.
Damon terdiam, memang darimanapun dilihat pihak kerajaan salah, tapi tidak mungkin dia yang menjadi salah satu bagiannya, menunjukkan betapa buruknya kerajaan sekarang.
"Aku akan menemui raja di kerajaan, dan mengatakan jika pekerjanya bersikap buruk" ujar Evan.
"Jangan pernah datang ke kerajaan" timpal Damon.
"Hah? Ada apa lagi? Aku semakin yakin jika kerajaan sedang dalam keadaan buruk" ujar Evan.
"Diam!" bentak Damon.
"Kamu tidak tahu apa-apa, jangan asal berbicara" imbuhnya.
"Lihatlah, hanya dengan satu pernyataan aku membuat mu marah. Hal itu membantu menjelaskan semuanya" ujar Evan tersenyum miris.
"Maaf Evan, ku pikir kamu orang yang bisa diajak berkerjasama" ujar Damon.
"Tapi ternyata tidak" imbuhnya seraya mengeluarkan serangan angin ditangannya.
Evan melihat perlawanan itu hanya tersenyum. Jika ingin, mengalahkan Damon adalah hal yang mudah.
"Oke-oke baiklah, aku tidak seharusnya berbicara seperti itu" ujar Evan mengalah.
"Lagipula orang desa dan terpencil seperti aku tak bisa langsung berspekulasi, hanya karena ini waktu pertamanya datang ke kota" imbuhnya.
Perlahan Damon menurunkan serangannya, Evan juga terlihat terbang membentang sayap.
"Terimakasih mu aku terima, lain kali tetap datangkan prajurit meskipun masalah telah selesai" ujar Evan memberikan sarannya.
"Aku pamit, ayah ku membutuhkan anaknya untuk membantu berdagang" imbuhnya pergi terbang.
Damon terdiam menatap kepergian Evan, tadinya dia tak bermaksud bersikap seperti ini. Tapi sesuatu seperti mendorongnya.
Evan sendiri tadinya hendak menyerang Damon, tapi ungkapan 'jangan datang ke kerajaan' membuatnya banyak berpikir. Mungkin kastil itu sedang kacau, dan mungkin juga yang Damon lakukan berkaitan dengan itu.
Tapi sudahlah, enggan terlalu memikirkannya. Evan pergi melesat cepat kembali ke kota. Damon sendiri langsung pulang ke kerajaan dengan jalur memutar.
Singkatnya Evan sudah kembali, Mikaila tampak sudah membereskan semua dagangannya, padahal Evan tahu, jika masih banyak senjata yang belum dia jual.
"Kenapa kita membereskannya ayah?" tanya Evan.
"Jangan banyak bicara, bantu ayah dulu. Akan ayah ceritakan semuanya di rumah" ujar Mikaila rusuh.
Terpaksa Evan pun menuruti perintah sang ayah, meskipun dia sangat penasaran. Tapi sepertinya bukan sang ayah saja yang rusuh, beberapa pedagang juga terlihat membereskan gerainya.
Sedangkan Damon, lelaki itu juga pulang dengan perasaan heran, Sepanjang perjalanan dia melihat masyarakat gelisah. Ada apa? Padahal sedang tidak terjadi sesuatu.
Hal itu membuat Damon ikut gelisah, jalan keluarnya adalah dengan menemui sang ayah dan bertanya apa yang sedang terjadi.
Evan dan Mikaila juga bergegas, mereka pergi terbang dan meninggalkan direwolfnya berlari sendiri.
Ada hal baru yang tersebar tadi di kota, dan itu membuat Mikaila takut. Beberapa orang yang juga sama seperti dirinya pun merasakan hal yang sama.
Wush!
Wush!
Wush!
"Ayah apa semuanya baik-baik saja" ujar Evan.
"Tidak. Kita harus segera sampai di rumah" timpal Mikaila.
"Tapi kenapa?" tanya Evan.
"Agar kita bisa pergi" jawab Mikaila membuat Evan semakin bingung.
Ditempat lain, Damon sampai di kerajaan dengan selamat. Lelaki itu langsung melesat mencari sosok ayahnya. Namun tak ia temukan, malah sosok Kanagara yang menyambutnya.
"Dari mana saja kamu?" tanya Kanagara.
"Bukan urusan mu, yang jelas aku melakukan sesuatu yang seharusnya kerajaan ini lakukan" ujar Damon sarkas.
"Dan, ya. Dimana ayah ku?" imbuhnya bertanya.
"Melakukan pekerjaan kerajaan kata mu? Kalau begitu bagaimana bisa bangsa iblis sudah menguasai Vaneheim?!" ujar Kanagara membuat Damon terkejut.
Apa benar yang dikatakan pangeran itu?.
"Jangan bercanda Kanagara" ujar Damon.
"Untuk apa aku bergurau hal seperti ini? Kamu tahu, aku sangat pusing sekarang?! Bagaimana jika bangsa kotor itu sudah menyiapkan rencana besar dan immortal akan hancur" timpal Kanagara sedikit panik.
"Kamu memang tidak cocok menjadi seorang raja, bahkan aku ragu dengan gelar pangeran mu" sinis Damon.
"Masih sempat mulut mu itu menghina ku? Apa bedanya sekarang?" ujar Kanagara.
Damon memilih tak memperdulikan Kanagara, lelaki itu melengos meninggalkannya. Kanagara sendiri, kembali larut dengan pikirannya. Yang harus dia lakukan sekarang adalah menenangkan rakyat karena berita penyerangan ini sudah menyebar.
Sret!
Meninggalkan sang pangeran, Damon meringsek masuk kedalam ruang kerja ayahnya. Dan benar saja, lelaki itu sedang berbicara dengan para jendral.
"Ayah bagaimana semua ini terjadi?" tanya Damon to the point. Persetan dengan para jendral yang harusnya dia hormati.
"Bangsa iblis berhasil merasuki seorang dewa sihir, mereka lalu menanamkan kekuatannya pada semua orang. Alhasil satu kawasan Vaneheim berubah jadi pasukan iblis baru" jawab sang ayah.
"Ini akibatnya jika bagian keamanan longgar!" desis Damon menyulut beberapa jenderal.
"Apa maksudnya tuan Damon berkata demikian?" tanya salah seorang dari mereka dingin.
"Kami sudah melakukan tugas semaksimal mungkin, menjaga keamanan bahkan berkelana atas kemauan sendiri" timpal yang lainnya tegas.
Namun Damon tak terintimidasi sama sekali, lelaki dan itu tersenyum kecut dengan tenang.
"Kalau begitu aku harus mengasihani kalian. Sebelumnya terimakasih atas jasanya. Tapi apa kalian tahu bagaimana keadaan bawahan kalian ketika tak terkontrol jendralnya?" tanya Damon.
"Banyak kasus kejahatan di kota yang sudah tak ditangani lagi, prajurit tidak ada yang peduli. Dan kenapa bisa Vaneheim berubah jadi pasukan iblis? Bukan karena penjagaan kerajaan yang tak lagi maksimal bukan?" imbuhnya sarkas.
Para jendral terdiam. Mereka tidak tahu jika bawahannya selama ini bersikap demikian.
"Siapkan pasukan untuk perketat penjagaan, bangun aliansi untuk semua kemungkinan terburuk" ujar Damon.
"Tapi sebelum itu seleksi lagi mana prajurit yang pantas mengemban tanggungjawab ini" imbuhnya melengos pergi.
Ditempat lain Evan dan Mikaila sudah sampai, Austin sang isteri menyambutnya dengan gelisah.
"Ada masalah? Kenapa kalian terlihat buru-buru?" tanya Austin.
"Kita bicarakan didalam" ujar Mikaila.
Ketiga orang itu pun masuk, dan si kepala keluarga mulai menceritakan apa yang tadi terjadi.
"Vaneheim telah berubah jadi pasukan iblis, kerajaan akan melakukan pengetatan penjagaan" ujar Mikaila.
"Lalu?" tanya Austin.
"Kerajaan kekurangan anggota keamanan, mereka pasti akan menarik setiap pemuda utamanya dewa dan akan dijadikan tentara perang" ujar Mikaila.
Tatapan kedua orangtua itu langsung tertuju kepada Evan, sedangkan yang ditatap diam terpaku.
Evan bergeming ketika ibu dan ayahnya menepuk pundaknya."Kamu harus pergi, ayah dan ibu tidak ingin kamu menjadi bagian prajurit perang" ujar Mikaila."Aku tidak ingin meninggalkan kalian" timpal Evan."Kami juga tak ingin berpisah dengan mu, tapi ini soal keadaan, sejauh apapun kita tinggal di Immortal, pada saat genting seperti ini mereka pasti akan menemukan kita" ujar Austin memberikan pengertiannya."Selama aku hidup, tak pernah jauh dengan kalian. Aku tak bisa pergi, tepatnya aku takut sendirian dan meninggalkan kalian" timpal Evan sengit."Kami mohon nak, pada akhirnya kamu juga pasti akan pergi" ujar Mikaila menatap penuh maksud isterinya."Aku tidak ingin pergi ayah. Pada akhirnya aku juga akan berperang" timpal Evan kesal."Tidak Evan, kamu harus pergi. Kamu pintar, tinggal sendirian tak masalah, kamu bisa belajar dengan cepat" ujar Austin.
Lucifer. Sang pangeran iblis yang sebentar lagi akan menjadikan raja, tertawa senang setelah rencananya berjalan dengan lancar.Dia tak salah, menjadikan Vaneheim sebagai sasaran pertama dalam melancarkan aksinya. Tempat yang di huni dewa dewi bodoh itu sudah sangat jarang dijaga.Dan terbukti, sekarang tempat itu sudah berubah menjadi sarang pasukan bangsanya. lalu siapa sasaran berikutnya?."Kehancuran immortal sudah di mulai.." gumam Lucifer menatap pantulan dirinya di air.Saat ini dia sedang berada di Vaneheim, salah seorang peramu bangsa iblis berhasil membuat sebuah obat untuk mempercepat pertumbuhan bangsa iblis dengan cepat."Setelah bangsa ku menjadi banyak, sisanya akan aku kirimkan ke kawasan penjahat. Mereka akan menjadi bagian baru bangsa iblis" ujar Lucifer tersenyum miring.Di tempat lain, Evan masih masih merajuk kepada orangtuanya. Namun tetap, karena h
Di bangsa iblis, ada sebuah pasukan terkenal, para petarung handal dan mempunyai kekuatan besar.Mereka memiliki peran yang besar, kehebatannya terkenal dikalangan semua bangsa iblis. Dan mereka jugalah yang nanti akan menjadi bom bagi immortal.Pasukan itu dipimpin oleh seorang iblis yang kuat, tangguh dan sangat ditakuti oleh kaum iblis. Zalan namanya, dia adalah anak dari jendral perang bangsa iblis, sekaligus teman pangeran Lucifer.Kehebatan Zalan di dukung pasukannya yang sama kuat, pertama Kanika, iblis perempuan yang sangat pendiam namun mematikan. Serangannya tak bisa terlihat musuh.Kedua adalah Awar, iblis berbadan tinggi dan besar. Gerakannya sangat agresif dan mempunyai serangan kutukan. Siapa saja yang terkena olehnya akan mati dalam beberapa jam.Kemudian Ladia, dia adalah iblis yang terkenal dengan lumpur dan kemampuan hisapnya. Tak ada yang bisa tahan ketika Ladia membuka luba
Ceklek!Evan membuka pintu kamarnya, Mikaila dan Austin langsung tersenyum dan berhambur memeluk dirinya.Sungguh, Evan jadi merasa bersalah. Dia sudah menyakiti perasaan orang yang jelas-jelas tulus sayang padanya.Mikaila dan Austin adalah sosok pengganti yang memberikannya kehangatan sebuah kasih sayang, yang dengan ikhlas menjaga, merawat dan membesarkannya sampai saat ini meski tahu mereka tak memiliki hubungan darah.Tapi Evan juga tak bisa mengatakan maaf saat ini, kenyatannya dia memilliki ego tinggi."Mari kita makan" ujar Austin menginterupsi.Mereka bertiga pun beranjak menuju meja makan dan mulai sarapan pagi dengan suasana lebih baik dari sebelumnya.Ting!Hanya suara dentingan alat makan yang terdengar, Mikaila dan Austin tidak pernah menghilangkan gurat senyum diwajahnya.Ditempat lain, saat udara ma
Drrt!Drrt!Drrt!Mikaila tiba-tiba menghentikan gerakan makannya, di ikuti sang isteri dan anaknya. Sesaat tadi dia mendengar suara, dibarengi dengan tanah yang mereka pijak terasa bergetar."Apa suara batu jatuh lagi?" tanya Evan.Mikaila dan Austin saling pandang, tak lama kemudian mereka mengangguk. Mungkin benar batu di gunung kembali jatuh. Dan pasti benda itu cukup besar sampai getarannya sampai ke rumah.Mereka bertiga pun kembali melanjutkan makannya, Evan kembali diam. Tapi justru perasaannya tiba-tiba tak karuan, entah karena apa. Padahal saat ini lelaki itu sedang bersama kedua orangtuanya.Kebingungan itu membantu Evan menyelesaikan makannya dengan cepat, lantas seperti biasa, lelaki itu menunggu di ruang tamu sampai kedua orangtuanya selesai.Tap!Tap!Tap!Sret!Evan mendudukkan bokongnya di kur
Evan dan kedua orangtuanya masih berdebat, akan tetapi hal itu terganggu dengan suara ledakan yang terdengar samar-samar dari rumahnya.Duar!Sontak Evan, Mikaila dan Austin berlari keluar rumah. Dapat mereka lihat ada asap mengepul dari arah kota."Ada apa itu ayah?" tanya Evan terkejut.Mikaila menggeleng, dia pun baru pertama kali melihat hal semacam ini terjadi. Evan sendiri dibuat semakin gelisah melihat kepulan asap itu."Ayah aku ingin pergi kesana" ujar Evan tiba-tiba."Jangan sayang itu berbahaya" timpal Austin khawatir.Ekspresi Evan lah yang membuat kedua orangtuanya ikut tak tenang, mereka jelas melihat gurat gelisah di wajah anaknya itu, meski tak tahu kenapa?."Perasaan ku tidak enak, entah karena apa. Aku tidak mengerti" gumam Evan.Mikaila dan Austin hanya bisa saling pandang, larut dengan pikirannya masing-mas
Immortal dalam keadaan sangat kacau, kerajaan tak mampu memberikan ketenangan bagi masyarakat sebagaimana mestinya.Beberapa melakukan demo ditengah kerusakan istana, mereka menuntut bantuan kepada raja. Banyak rumah dan ladang yang hancur, dan tak ada satupun penyuluhan atas semua itu.Rakyat merasa diabaikan. Namun apa yang bisa dilakukan? Pihak kerajaan juga tak bisa berbuat apa-apa, terlebih ratu yang sibuk menangisi anaknya.Dewi Chanda tak sama sekali memperdulikan masyarakat di luar, dia tak ingin meninggalkan anaknya, padahal tabib jelas mengatakan hanya menderita luka ringan."Dewi Chanda! Masyarakat terus mengamuk diluar" ujar Arietaeus kembali mengingatkan.Perempuan itu merasa terpanggil, lantas kepalanya menoleh menatap sosok penasehat kerajaannya sedang berdiri sembari bersidekap tangan depan dada."Berani sekali kamu memanggil ku seperti itu" desis dewi Ch
Karena rasa penasaran yang besar, Mikaila pergi ke kota untuk melihat keadaan disana, tanpa sepengetahuan Evan tentunya dan hanya mengantongi ijin dari sang isteri, Austin.Wush!Wush!Wush!Mikaila sengaja tak pergi menggunakan direwolf agar anaknya tak curiga, dan sepanjang perjalanan matanya tak henti dibuat terkejut.Beberapa wilayah seperti terdampak sebuah serangan. Ditambah beberapa orang terlihat pergi membawa banyak barang.Apa mereka akan pergi berniaga? Atau kemana? Mikaila ingin bertanya soal itu, tapi ekspresi orang-orang yang terlihat kacau dan marah membuatnya urung. Mungkin jika dia memaksa bertanya, bukan jawaban yang akan dia dapatkan.Wush!Wush!Wush!Hingga akhirnya Mikaila melihat sosok teman berdagangnya. Dia pun langsung turun dan menghampiri dia."Nura!" sapa Mikaila."Mikaila! Apa i
Achilles tak menyangka akan mengatakan kalimat seperti itu, dan mirisnya lelaki yang ditolongnya mengatakan pernyataan setuju.Memang sepintas tak merugikan, Achilles menyediakan tempat sedangkan orang yang ditolongnya menyediakan tenaga."Jadi siapa nama mu?" tanya lelaki itu.Achilles mendongak, nafasnya sedikit memburu karena menggendong seekor kijang yang ternyata lumayan berat."Achilles" jawabnya.Lelaki itu mengangguk, dia tidak terlihat kesusahan sama sekali. Padahal dia membawa banyak hewan buruan dan keranjang buah. Achilles sampai ternganga jika kalian tahu."Lalu nama mu siapa?" benar sekali, Achilles sampai lupa menanyakan hal serupa itu padanya."Aku.." ujar lelaki itu menggantung."Kenapa? Apa jangan-jangan kamu lupa ingatan saat terjatuh itu!" pekik Achilles."Haha, benar sekali tapi tidak juga" ujar lelaki itu
"Nggh.."Achilles tergugu ketika suara lenguhan menyapa telinganya.Matanya yang masih mengantuk dipaksakan terbuka dan melihat sekitar, ternyata lelaki yang diselamatkannya mulai sadarkan diri.Sontak Achilles langsung menghampirinya. Dengan pelan dan apatis dia menggoyangkan bahunya."Hey.. bangun.." ujar Achilles."Hm.. ahh" lelaki itu meringis memegangi kepalanya yang pusing."Dimana aku?" tanyanya."Kamu sudah sadar?" timpal Achilles bertanya."Aku ingin pingsan saja, dan tidak bangun lagi" ujar lelaki itu."Hah? Kalau begitu mati saja" timpal Achilles.Lelaki itu menggeleng, mati? Bukan, bukan itu kemauannya."Tidak. Aku hanya ingin tidur dengan waktu yang lama. Agar aku tak perlu mengetahui apa saja yang terjadi di dunia ini dan aku melupakan semua rasa sakit yang ada" ujar lelaki itu.
Seminggu berlalu.Tak terasa saja, hari sudah berganti minggu. Selama itu pula Evan terbang. Tanpa beristirahat sejenak pun. Kalian bayangkan, tanpa beristirahat sejenak pun!.Rasa sedih, kecewa, sakit dan perasaan-perasaan lainnya yang menumpuk di hati lelaki itu, membuatnya berlaku demikian.Tak kuasa dengan semu itu dan ingin melupakannya, namun Evan berlaku salah. Keinginannya itu justru menyakiti dirinya sendiri.Saat ini pun dia juga masih belum tahu dimana?. Setelah beberapa hari lalu di terbang diatas air atau padang pasir. Kini dibawah kakinya terdapat daratan. Ada tanah yang bisa dia pijak.Nging!Brak!Kepala Evan tiba-tiba berdengung. Pandangannya mengabur dan dewa itu kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya melayang jatuh kebawah, siap menghantam apa saja yang ada dibawahnya."Aku lelah.." gumam Evan memejamkan matanya.Ditempat lain
Brak!Evan yang sedang melamun langsung terkejut ketika beberapa barang, jatuh tepat disampingnya.Dan si pelaku tampak menahan tangisnya, siapa lagi jika bukan Mikaila. Melihat sang ayah dengan nafas memburu seperti itu, lantas Evan berdiri menyamakan tinggi badannya."Cepat pergi dari sini" ujar Mikaila tegas."Ayah mengusir ku?" tanya Evan tak kuasa.Namun Mikaila enggan menjawab, hanya tangannya yang menunjukan arah kemana lelaki itu harus pergi."Aku tidak mau pergi ayah, aku akan tetap disi-""Kamu ingin ayah mati hah?!" ujar Mikaila berteriak."Kalau kamu tetap disini ayah akan bunuh diri!" tegasnya.Evan menggelengkan kepalanya, air mata sudah berada diujung pelupuk mata indah lelaki itu.Sret!Tanpa diduga, Mikaia membawa sebuah pisau runcing yang ia sembunyikan dibalik bajunya. Dan dengan
Saat ini para penasehat, dewi Chanda, Aristaeus dan kepala jendral sedang berkumpul melaksanakan rapat setelah membagikan bantuan kepada rakyat tadi.Permasalahannya tak jauh soal penyerangan bangsa iblis dan perang yang memungkinkan akan terjadi."Kita tarik semua dewa dewi muda dan jadikan mereka bala tentara perang" ujar dewi Chanda."Itu berarti kita mengobarkan masa depan immortal, aku tidak akan setuju" timpal Aristaues."Aku tidak membutuhkan persetujuan mu" ujar dewi Chanda."Tanpa kuantitas, immortal bisa kalah. Atau kamu memang ingin kerajaan ini hancur hah?" imbuhnya."Saat ini tak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan, tapi selama itu juga bukan berarti kita hanya diam" ujar salah satu jendral."Kita harus memperkuat pertahanan dan menyiapkan pasukan sebanyak mungkin untuk kemungkinan terburuk" imbuhnya."Lantas jendral setuju
Kanagara sudah sadarkan diri, pangeran itu langsung mengeluhkan keadaan yang tengah mengelilinginya sekarang.Serangan, kerusakan, bangsa iblis, kemarahan rakyat, pelarian, prajurit, perang dan masalah-masalah lainnya. Membuat ia ingin tak sadarkan diri saja, sama seperti sang ayah yang saat ini sedang ditatapnya.Ya, untuk yang ke dua kalinya lelaki itu datang melihat raja di kamarnya. Tak ada yang berubah, orangtua itu terlihat damai nan asik dengan tidurnya."Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya tangan itu mengelus kepala ku" ujar Kanagara di samping sang ayah."Sejak lahir, kita tak pernah bermain. Jika ayah sadar jangan marah melihat sikap ku ini ya" imbuhnya tersenyum lucu.Berharap sekali saja, ada jawaban dari raja. Jujur Kanagara sangat lelah, dia ingin menyerah pada kehidupannya, yang menjadi kenyataan adalah, kehidupan rakyat biasa lebih enak daripada mengemban nama pangeran.
Karena rasa penasaran yang besar, Mikaila pergi ke kota untuk melihat keadaan disana, tanpa sepengetahuan Evan tentunya dan hanya mengantongi ijin dari sang isteri, Austin.Wush!Wush!Wush!Mikaila sengaja tak pergi menggunakan direwolf agar anaknya tak curiga, dan sepanjang perjalanan matanya tak henti dibuat terkejut.Beberapa wilayah seperti terdampak sebuah serangan. Ditambah beberapa orang terlihat pergi membawa banyak barang.Apa mereka akan pergi berniaga? Atau kemana? Mikaila ingin bertanya soal itu, tapi ekspresi orang-orang yang terlihat kacau dan marah membuatnya urung. Mungkin jika dia memaksa bertanya, bukan jawaban yang akan dia dapatkan.Wush!Wush!Wush!Hingga akhirnya Mikaila melihat sosok teman berdagangnya. Dia pun langsung turun dan menghampiri dia."Nura!" sapa Mikaila."Mikaila! Apa i
Immortal dalam keadaan sangat kacau, kerajaan tak mampu memberikan ketenangan bagi masyarakat sebagaimana mestinya.Beberapa melakukan demo ditengah kerusakan istana, mereka menuntut bantuan kepada raja. Banyak rumah dan ladang yang hancur, dan tak ada satupun penyuluhan atas semua itu.Rakyat merasa diabaikan. Namun apa yang bisa dilakukan? Pihak kerajaan juga tak bisa berbuat apa-apa, terlebih ratu yang sibuk menangisi anaknya.Dewi Chanda tak sama sekali memperdulikan masyarakat di luar, dia tak ingin meninggalkan anaknya, padahal tabib jelas mengatakan hanya menderita luka ringan."Dewi Chanda! Masyarakat terus mengamuk diluar" ujar Arietaeus kembali mengingatkan.Perempuan itu merasa terpanggil, lantas kepalanya menoleh menatap sosok penasehat kerajaannya sedang berdiri sembari bersidekap tangan depan dada."Berani sekali kamu memanggil ku seperti itu" desis dewi Ch
Evan dan kedua orangtuanya masih berdebat, akan tetapi hal itu terganggu dengan suara ledakan yang terdengar samar-samar dari rumahnya.Duar!Sontak Evan, Mikaila dan Austin berlari keluar rumah. Dapat mereka lihat ada asap mengepul dari arah kota."Ada apa itu ayah?" tanya Evan terkejut.Mikaila menggeleng, dia pun baru pertama kali melihat hal semacam ini terjadi. Evan sendiri dibuat semakin gelisah melihat kepulan asap itu."Ayah aku ingin pergi kesana" ujar Evan tiba-tiba."Jangan sayang itu berbahaya" timpal Austin khawatir.Ekspresi Evan lah yang membuat kedua orangtuanya ikut tak tenang, mereka jelas melihat gurat gelisah di wajah anaknya itu, meski tak tahu kenapa?."Perasaan ku tidak enak, entah karena apa. Aku tidak mengerti" gumam Evan.Mikaila dan Austin hanya bisa saling pandang, larut dengan pikirannya masing-mas