Chris memandang seorang gadis dari kejauhan. Jari-jari tangannya mengelus bibir tipisnya sambil berpikir, "Apa benar dia gadis yang dimaksud Ayah?" tanya Chris pada Anton.
"Benar, Tuan. Semua keterangan tentang gadis itu sudah ada di dalam file yang Anda pegang."
Chris melirik dan membuka map hitam yang ada di pangkuannya. Halaman pertama menampilkan foto Cindy yang tengah tersenyum sambil menyuapi seorang wanita yang duduk di kursi roda.
"Ini Ibunya?" tanya Chris sambil menunjuk foto itu.
"Iya, Tuan. Setelah kecelakaan 7 tahun yang lalu, Maria mengalami kelumpuhan."
Chris menggelengkan kepalanya dan menutup map itu, "Aku malas membaca, ceritakan secara singkat tentang gadis itu." Anton hanya mengangguk dan mengambil map yang diberikan oleh Chris.
"Nama gadis itu Madeline Cindy," Anton mulai bercerita, "Berusia 20 tahun. Hidup bersama Ibu dan adiknya yang bernama Caleb. Adiknya masih berusia 16 tahun dan duduk di sekolah menengah atas. Setelah lulus sekolah 2 tahun yang lalu, Cindy mulai bekerja secara penuh untuk menghidupi ibunya dan menyekolahkan adiknya."
"Tunggu, jadi dia bekerja sendiri?" tanya Chris tidak percaya.
"Benar. Saat masih sekolah dulu dia bekerja paruh waktu tapi setelah lulus, akhirnya dia bekerja penuh dengan mengambil beberapa pekerjaan."
"Di mana?" tanya Chris kembali menatap Cindy yang sedang duduk di taman sendirian.
"Bekerja di toko bunga milik Bibi Jane."
"Bibi Jane?" Chris bertanya dengan kening yang berkerut. Bibi Jane adalah wanita yang mengurusnya sejak kecil, ternyata dia berhenti bekerja karena permintaan Ayahnya untuk membantu Cindy.
Anton mengangguk membenarkan, "Benar, Tuan. Ayah Anda yang menyiapkan itu semua."
"Jadi selama ini Ayah sudah memantau gadis itu?"
"Benar, Tuan."
"Aku mengerti Anton, tapi aku masih tidak paham dengan jalan pikiran Ayah yang menyembunyikan ini semua." Setelah mengatakan itu, Chris langsung turun dari mobil dan menghampiri Cindy.
"Tuan! Tunggu!" Chris menghentikan langkahnya saat Anton memanggilnya.
"Apa?"
"Tuan serius ingin menampakkan diri? Tidak seperti Mr. Auredo yang menjaga gadis itu dari jauh?" Anton merasa ragu jika Chris akan melakukan wasiat Ayahnya dengan baik.
"Kau tahu jika itu bukan gayaku." Chris mendengus dan berlalu pergi meninggalkan Anton, melanjutkan langkahnya untuk menemui Cindy.
Chris menghentikan langkahnya ketika sudah berada di belakang gadis yang sudah memberikan tanda tanya besar di kepalanya. Dapat dia lihat jika Cindy sedang menggambar sesuatu di buku sketsanya.
"Suka menggambar, eh?" tanya Chris memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Pria itu menunjukkan kesan dinginnya dengan tidak memandang Cindy secara langsung.
Cindy menoleh dan mengerutkan dahinya bingung. Dia mengeluarkan lollypop yang sedari tadi ada di mulutnya dan berbicara, "Kau bicara padaku?" Tunjuk Cindy pada dirinya sendiri.
"Kau suka menggambar?" Chris bertanya lagi dan mulai menatap mata Cindy secara langsung.
Cindy menatap Chris dengan pandangan aneh. Dia sedikit canggung saat berbicara dengan orang asing, "Seperti yang kau lihat, aku sedang menggambar dan bukan membaca."
Chris menaikkan alisnya tidak percaya saat mendengar nada tinggi yang Cindy gunakan. Kesan pertama yang Chris dapat dari gadis itu adalah dia orang yang tertutup dan sulit untuk bergaul.
Menarik.
"Ini." Chris memberikan kartu namanya pada Cindy.
"Apa itu?" tanya Cindy tanpa menoleh dan melanjutkan kegiatannya.
"Kartu namaku. Jika kau berminat, perusahaanku mengeluarkan beasiswa untuk sekolah desain."
Cindy langsung menoleh dan mengambil kartu nama itu cepat setelah mendengar ucapan Chris, "Beasiswa? Kau serius?" tanya Cindy memastikan.
"Ya, sebaiknya kau mulai belajar dari sekarang karena slot beasiswa hanya sedikit." Setelah itu Chris berbalik pergi dan kembali ke dalam mobil.
Cindy melihat kartu nama itu dengan ragu. Apa benar dia bisa mempercayai pria itu? Bahkan namanya saja dia tidak tahu.
Cindy meletakkan pensilnya dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dia memutar kembali kejadian saat di mana pria asing itu datang menghampirinya dan menawarkan beasiswa. Bagaimana bisa pria itu tahu jika memang Cindy berpotensi untuk masuk, melihat hasil karyanya saja dia tidak.
"Dasar aneh!" ucap Cindy dan mengedarkan pandangannya ke seluruh taman untuk mencari Violet.
"Violet! Tetap bermain di sana dan jangan jauh-jauh!" Cindy sedikit berteriak agar Violet dapat mendengarnya.
"Aku akan tetap di sini, Kak. Kau menggambar saja sana!" Cindy mencebik begitu mendengar kata-kata pedas dari Violet. Sebenarnya tidak ada masalah dengan kalimat itu, hanya saja telinganya risih jika ada anak kecil berusia 8 tahun seperti Violet yang bertingkah seperti orang dewasa.
Cindy kembali menatap kartu nama yang masih digenggamnya itu dengan pandangan bertanya. Dia membaca nama yang tertera dengan teliti.
Christopher Romee Auredo.
Cindy memiringkan kepalanya untuk mengingat-ingat, apakah dia pernah mendengar nama itu sebelumnya? Jika memang pria itu kaya dan mempunyai perusahaan tentu dia akan tahu bukan? Cindy masih berpikir dengan keras sampai akhirnya Violet datang dengan tubuhnya yang basah.
"Astaga, Violet! Kenapa bisa basah seperti ini?"
Cindy memasukkan kartu nama itu ke dalam tas dan menghampiri Violet yang sedang mengerucutkan bibirnya kesal. Dielusnya rambut Violet agar air tidak menetes pada wajahnya. Ingin rasanya Cindy mengomel tapi saat melihat bibir maju itu, dia mengurungkan niatnya. Semenyebalkan apapun Violet, dia tetap menyayanginya. Cindy tidak akan tega jika memarahi gadis cantik itu.
"Ada apa, hm?" tanya Cindy sekali lagi.
“Laki-laki bodoh itu tidak bisa bermain skateboard! Karena dia aku jadi masuk ke dalam kolam," ucap Violet menunjuk ke arah kolam air mancur tempatnya bermain tadi. Di sana terdapat laki-laki muda yang sedang tersenyum canggung padanya.
"Dia tidak sengaja Violet." Cindy berusaha untuk meredamkan amarah gadis kecil di hadapannya.
"Tapi tetap saja dia bodoh!"
Cindy meringis saat mendengar ucapan tidak sopan itu, "Apa kau mengatainya bodoh secara langsung?"
"Tentu saja! Saat aku masuk ke dalam kolam aku langsung mengatainya bodoh."
"Violet dengar..." Cindy menunduk dan menyamakan tingginya dengan Violet, "Kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau perempuan dan kau juga masih kecil. Itu bukanlah kalimat yang bagus untuk kau ucapkan."
"Tapi dia menyebalkan, Cindy!"
"Aku tahu, apa dia sudah meminta maaf?" Violet hanya mengangguk dan mengerucutkan bibirnya kesal.
"Lihat, dia bahkan sudah meminta maaf. Seharusnya kau tidak boleh marah lagi. Jadilah gadis baik dan jangan buat Ibumu sedih."
"Baiklah, aku minta maaf."
"Pintar," ucap Cindy sambil memasangkan jaket rajut miliknya pada Violet agar tidak kedinginan.
"Karena aku menurut, bisakah kau membelikanku lollypop?" Minta Violet dengan polosnya.
"Tentu saja, tapi tunggu aku gajian." Cindy tersenyum lebar dan Violet hanya memutar bola matanya jengah.
"Violet, sudah berapa kali aku bilang jangan memutar—"
"Ya ya ya.. jangan memutar mata karena itu tidak sopan." Cindy kembali tersenyum dan merapikan barang miliknya.
Setelah itu dia berlalu pergi bersama dengan Violet yang menggenggam tangannya erat. Sudah jam 9 pagi dan seharusnya Rose sudah pulang sekarang. Seperti biasanya, saat pagi dia harus mengantar Violet ke sekolah tapi karena sekarang hari libur, maka dia harus membawa Violet jalan-jalan. Hal itu sudah menjadi permintaan Rose, Ibu Violet. Dia tidak ingin anaknya melihat dirinya datang dalam keadaan kacau setelah usai bekerja di kelab semalaman.
Semua yang Cindy lakukan itu tidak luput dari pandangan Chris. Pria itu masih berada di mobil dan mengawasi gerak-gerik gadis itu. Tidak ada yang mencurigakan dan seharusnya Chris tidak sepenasaran ini pada Cindy.
"Jalan," ucap Chris saat Cindy sudah pergi.
"Baik, Tuan."
"Aku masih belum mengerti apa alasan Ayah memintaku untuk menjaga gadis itu, aku harap kau segera menemukannya," kata Chris pada Anton.
"Baik, Tuan."
"Dan satu lagi, cari tahu siapa anak kecil itu."
"Sudah ada di dalam data, gadis kecil itu bernama Violet. Selain bekerja di toko bunga Bibi Jane, Cindy juga menjaga Violet saat Ibunya bekerja." Chris hanya mengelus dagunya saat mendengar penjelasan dari asistennya itu.
"Ton, aku minta kau siapkan 1 slot beasiswa di sekokah desain milik Nenek untuk Cindy," ucap Chris saat mengingat penawaran yang dia ajukan pada Cindy. Itu hanya pikiran spontan, Ayahnya meminta dia untuk menjaga Cindy dan dia sedang berusaha untuk melakukan itu sekarang.
"Baik, Tuan."
Chris tersenyum tipis, dia yakin hidupnya akan berubah mulai dari sekarang. Entah kenapa dia berpikir jika jalannya dalam menjaga Cindy akan terasa sulit. Namun dia menyukainya, karena dia menyukai tantangan.
Saat sedang terdiam memikirkan Cindy, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Dengan kesal Chris mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya saat ini. Chris menekan tombol merah begitu mengetahui siapa yang menghubunginya. Siapa lagi jika bukan Lexa. Hanya dia yang berani menghubunginya di jam-jam seperti ini. Seakan tidak menyerah, Lexa kembali menghubungi Chris dan membuat pria itu jengah. Akhirnya mau tidak mau Chris harus mengangkat panggilan itu.
"Apa?" jawab Chris datar.
"Kau ini ke mana saja?! Aku sudah menunggu di restoran sejak tadi!" teriak Lexa dari seberang sana.
Chris memejamkan matanya saat sadar jika dia sudah melupakan Lexa, padahal dia sudah berjanji untuk sarapan bersama, "Aku lupa," sahut Chris tanpa merasa bersalah.
"Lupa?! Kau selalu saja seperti ini! Apa kau ingin membuatku mati kelaparan, hah?!"
"Berhenti berteriak Lexa! aku sudah di jalan." Chris ikut emosi mendengar suara Lexa yang tidak berhenti berbicara itu.
"Kau sangat menyebal—"
"Aku matikan sekarang." Detik itu juga Chris segera menutup panggilan itu. Dia muak mendengar suara nyaring milik Lexa.
"Ke restoran sekarang." Perintah Chris pada Anton.
***
Cindy tersenyum saat mendapati mobil Rose sudah terparkir di parkiran apartemen. Sepertinya wanita itu datang lebih awal, "Lihat Ibumu sudah pulang." Tunjuk Cindy pada mobil tua milik Rose.
"Yes! Mom pasti akan membawa pizza. Dia sudah berjanji semalam." Cindy kembali tersenyum dan mulai masuk ke dalam apartemen yang menjadi tempat tinggal Rose bersama Violet.
"Kau tidak seharusnya terus memakan pizza. Itu tidak sehat."
"Apa salahnya? Pizza itu enak. Kau saja sering makan makanan instan. Apa bedanya?" Cindy terdiam saat mendengar ucapan Violet yang begitu menohoknya. Bukan tanpa alasan dia sering makan makanan instan karena dia memang harus memberikan makanan yang sehat terlebih dahulu untuk Caleb dan Ibunya. Cindy tidak masalah jika tidak makan sekalipun asalkan Ibu dan adiknya tetap bisa makan.
Cindy membuka pintu apartemen milik Rose dan meletakkan semua barangnya di sofa. Violet langsung berlari untuk menemui Ibunya tanpa memperdulikan bajunya yang basah.
"Mom!" teriak Violet mencari Ibunya.
"Di dapur, Sayang."
Cindy terduduk dengan lelah. Selama seminggu ini dia bekerja secara penuh. Mulai dari bekerja di toko bunga sampai menjaga Violet. Dia melakukannya dari pagi hingga malam. Meskipun sekarang hari minggu, dia harus tetap bekerja di toko bunga setelah ini. Tidak ada hari libur untuknya.
"Kau apakan anakku sampai basah seperti ini, Cindy?" Cindy membuka matanya saat melihat Rose menghampirinya sambil menggosok rambut basah milik Violet.
"Violet berenang di kolam tadi," jawab Cindy menggoda Violet.
"Aku tidak berenang!" ucap Violet dengan kesal, kemudian dia beralih pada Ibunya, "Mom, tadi ada anak yang bermain skateboard dan menabrakku, karena itu aku jatuh ke kolam dan jadi basah seperti ini."
"Benarkah?" Bukannya merasa khawatir, Rose malah tertawa geli.
"Kau sudah makan Cindy?" tanya Rose pada Cindy yang terlihat lelah.
Cindy membuka matanya dan menatap Rose lekat, "Kau tahu jika aku tidak suka sarapan, Rose."
Rose mendengus dan mengambil duduk di sebelah Cindy, "Ada pizza di dapur, makanlah."
"Baiklah jika kau memaksa." Tanpa membutuhkan banyak waktu, Cindy langsung beranjak ke dapur untuk menghampiri Violet yang sedang memakan pizza-nya.
"Bilang saja jika kau memang lapar! Dasar keras kepala." Rose terkekeh dan masuk ke dalam kamarnya.
Cindy meminum air putihnya saat sudah memakan 3 potong pizza. Setidaknya perutnya sudah terisi dan dapat bertahan sampai siang nanti. Tangannya meraih tisu dan mengelap bibir Violet yang masih memakan pizza-nya dengan tekun. Setelah Violet selesai makan, dia akan langsung ke toko. Hari minggu seperti ini pasti akan ramai sekali nantinya.
"Ini, gajimu selama seminggu." Rose memberikan amplop coklat pada Cindy.
Cindy memandang Rose dengan bingung, "Bukannya kau akan memberikan gaji setiap bulan? Kenapa jad— Astaga! Kau akan memecatku, Rose? Aku tidak menyangka hanya karena Violet jatuh ke kolam kau akan melakukan ini padaku."
"Mom kau akan memecat Cindy?" tanya Violet ikut sedih.
"Astaga, kalian ini berlebihan sekali! Aku tidak memecatmu, Cindy. Hanya saja mulai dari sekarang aku akan memberikan gajimu setiap minggu. Aku tahu kau pasti membutuhkan uang ini."
Cindy menghela nafas lega, "Aku pikir kau benar akan memecatku tadi."
"Tidak, aku masih membutuhkanmu di sini."
"Baiklah. Terima kasih, Rose." Cindy tersenyum dan menerima uang itu. Setelahnya, dia pamit untuk kembali bekerja di toko bunga milik Bibi Jane.
***
Chris mengelap bibirnya dengan tisu saat dia sudah menghabiskan makanannya. Sejak dia datang tadi, Lexa terus saja diam sebagai aksi marahnya. Chris malah bersyukur karena tidak mendengar suara melengking wanita itu sehingga dia bisa makan dengan tenang.
"Aku selesai," ucap Chris dan berdiri.
Lexa terkejut dan ikut berdiri, "Kau akan pergi lagi?"
"Aku harus ke kantor."
"Demi Tuhan! Sekarang hari minggu Chris." Lexa berbicara dengan wajah yang memerah. Sepertinya wanita itu akan marah lagi.
Chris menghela nafas lelah dan kembali duduk. Dia bersyukur jika Lexa memesan ruang privat untuk sarapan mereka, jika tidak dia akan malu melihat tingkah Lexa seperti ini.
"Jadi apa maumu sekarang?" tanya Chris mencoba untuk bersabar.
Lexa hanya tersenyum dan menghampiri Chris, secara tak terduga wanita itu langsung duduk di pangkuan Chris. Pria itu hanya mengerutkan dahinya saat Lexa mulai melingkarkan tangannya di lehernya.
"Apa kau tidak merindukanku?" tanya Lexa dengan nada yang menggoda.
"Aku harus ke kantor," ucap Chris sambil berusaha untuk melepaskan tangan wanita itu dari lehernya.
"Tapi aku merindukanmu." Setelah mengucapkan itu Lexa langsung menyambar bibir Chris. Dia melumat bibir pria itu berusaha untuk menggoyahkan pertahanannya dan sepertinya itu berhasil karena Chris mulai membalas ciumannya.
Mereka berciuman dengan panas sampai akhirnya Chris melepaskan ciuman mereka, "Ke tempatku sekarang." Setelah itu Chris berdiri dan Lexa langsung tertawa senang karena usahanya berhasil.
***
"Aku pulang."Cindy membuka pintu rumahnya dan berjalan ke arah dapur untuk meletakkan makanan yang sempat dia beli setelah selesai menidurkan Violet tadi. Untung saja Rose tidak memintanya untuk menginap lagi sehingga dia bisa menemani Ibunya malam ini."Ibu?" panggil Cindy sambil menyiapkan makan malam. Dia bersyukur bisa membeli makanan lezat malam ini dengan gaji pemberian Rose. Wanita itu benar-benar pengertian.Bunyi dentuman bola basket membuat Cindy menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke arah Caleb yang baru saja datang dari pintu belakang. Tubuh polos pria itu terlihat basah karena keringat. Sepertinya Caleb baru saja selesai bermain basket di lahan kosong belakang rumah."Di mana Ibu?" tanya Caleb pada Cindy masih dengan memainkan bola basketnya."Berhenti Caleb! Kau ingin merusak lantai rumah?!"Caleb meletakkan bola basketnya dan menghampiri Cindy yang sedang menyiapkan makanan di dapur. Pria itu mengambil gelas dan mengisinya
Tangan kecil Cindy dengan lembut mencuci kaki ringkih Ibunya. Di saat seperti ini, ingin rasanya dia menangis, menangisi nasib keluarganya yang benar-benar jatuh pada titik terendah.Cindy tidak masalah jika mereka hidup dalam kekurangan, karena uang masih bisa dicari. Namun tidak dengan kesehatan, melihat Ibunya yang hanya duduk di kursi roda setiap hari membuat Cindy sakit hati.Ingatannya kembali berputar ke masa lalu di mana Ayahnya telah pergi meninggalkan mereka. Sejak saat itu, Maria yang menggantikan tugas Ayahnya untuk mencari uang. Wanita itu begitu semangat membanting tulang untuk kebahagiaan anaknya yang masih bersekolah, tapi takdir berkata lain. Maria mengalami kecelakaan yang harus membuat kedua kakinya tidak bisa berjalan. Kendala biaya yang membuatnya seperti ini.Sampai sekarang, Cindy belum menemukan siapa pelaku tabrak lari tersebut. Bisa saja dia menuntut dan mencari sampai ditemukan, tapi apa daya dia hanyalah rakyat
Denganhoodiepolos berwarna hitam, Cindy mulai memasuki sekolahnya. Hari ini dia hanya ada kelas sampai jam 2 siang dan setelah itu dia akan kembali bekerja di toko bunga.Cindy telah memulai kuliahnya sejak 2 hari yang lalu. Perasaannya sempat campur aduk begitu harus memulai hari barunya. Dia takut jika tidak akan ada yang mau berteman dengannya dan sialnya itu benar terjadi.Cindy harus mulai menguatkan mental dari sekarang. Jika tidak, dia akan menjadi gi
Cindy terdiam dengan bingung. Dia masih tidak percaya dengan pria yang ada di depannya saat ini. Jujur saja, Cindy tidak ingin melihat Chris untuk saat ini."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Cindy tidak sukaChris melirik jam tangannya sebentar, "Sebentar lagi malam, ayo kita pulang."Cindy menatap Chris aneh, "Kenapa aku harus pulang denganmu?"Chris berdecak dan melipat kedua tangannya di dada, "Aku pernah berjanji untuk membawamu makan makanan yang sehat dan aku pikir saat ini adalah waktu yang tepat.""Kau berkata seolah tidak terjadi apa-apa di antara kita. Apa kau lupa jika kau membuatku menangis saat terakhir kali kita bertemu," ucap Cindy dengan kesal."Itu karena kau saja yang cengeng. Jika kau tidak keras kepala tentu aku tidak akan melakukan itu.""Ya ya ya terserah kau Tuan angkuh. Yang pasti aku tidak bisa pulang sekarang, pekerjaanku banyak." Cindy kembali duduk dan merangkai bunganya yang sempat dia tinggalkan tadi.
Cindy tersenyum dan melambaikan tangannya pada Violet. Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi dan seperti hari-hari sebelumnya, dia harus mengantar Violet ke sekolah. Jika biasanya Cindy akan menunggu sampai gadis kecil itu pulang, tapi untuk kali ini tidak karena dia ada kelas. Sebagai gantinya, Ron yang akan menjemput Violet nanti. Untung saja Rose tidak mempersalahkan hal itu.Cindy memasangearphonedi telinganya begitu telah keluar dari sekolah Violet. Jarak sekolah Violet dan kampusnya tidak terlalu jauh, hanya 15 menit dengan berjalan kaki. Bisa saja Cindy menaiki bus untuk sampai ke kampusnya tapi ketika mengingat jika hanya 15 menit berjalan kaki, dia mengurungkan niatnya. Anggap saja dia sedang berolah raga sekarang.Cindy memasukkan tangannya ke dalam sakuhoodiedan menatap jalanan yang mulai ramai. Lampu merah yang masih hijau membuat Cindy berhenti di trotoar bersama dengan orang-orang yang ingin menyeberang. Begitu lampu
Suara dentingan sendok yang beradu cepat membuat Lexa mengerutkan dahinya bingung. Wanita itu mengalihkan pandangannya dari salad yang dia makan dan mulai menatap Chris.Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi dan tidak biasanya Chris sudah rapi dengan pakaian kantornya. Sebenarnya Lexa juga jarang untuk berkunjung kepenthouse, tapi entah kenapa pagi ini dia begitu merindukan pria itu.Sudah 2 hari dia ke Paris untuk pemotretan dan Chris sama sekali tidak menghubunginy
Chris berjalan ke arah kasir dengan langkah yang pasti. Matanya menatap pegawai kasir itu dengan tajam seolah sedang meneliti sesuatu. Sebelah alis Chris terangkat begitu orang di hadapannya itu tidak mengenalinya sama sekali. "Apa kau akan terus diam dan tidak menyapaku?" Chris membuka suara membuat pemuda yang ada di hadapannya tersentak dan menatap Chris dalam. Sedetik kemudian pria itu tergagap dan mundur selangkah, "Kau malaikat pembawa beasiswa itu bukan?" Chris terkekeh, "Konyol sekali julukanku." "Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud melupakan wajahmu tap—" Ucapan Caleb terhenti begitu Chris mengangkat sebelah tangannya, "Panggil aku Chris." "Ba—baik, Chris." "Jadi?" Chris menatap keadaan supermarket itu dengan pandangan menilai, "Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" "Baru 3 hari. Aku bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di sini, karena sulit sekali rasanya mencari pekerjaan saat masih bersekolah." Chris m
Tatapan tajam itu masih menatap dua orang yang tengah berbincang di taman gelap dengan amarah yang memuncak. Lexa berdesis dan memukul setir mobilnya kencang.Sialan!
Maria mendorong kursi roda yang diduduki oleh gadis berwajah muram ke arah taman. Sejak masuk ke dalam yayasannya, Maria tidak pernah melihat senyum di bibir gadis itu. Mungkin dia masih mengalami trauma atas kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Kini gadis yang bernama Nessa itu hanya hidup sendiri dan kerabatnya dengan tega memasukkannya ke yayasan orang berkebutuhan khusus.Nessa memang tidak bisa berjalan, tapi bukan berarti dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi. Jika dia mau, perawatan medis dapat membantu kakinya kembali berjalan. Namun entah kenapa Maria tidak merasakan adanya semangat dari diri Nessa. Tatapan gadis itu selalu kosong dan menampakkan kesedihan.Maria tersenyum menatap Caleb yang tengah bermain basket dengan anak-anak yayasannya. Pria itu tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan mempesona."Jika kau mau, kau bisa bermain basket bersama mereka." Tawar Maria menyentuh pundak Nessa. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang dia terima.
Wajah penuh keringat itu mendongak dengan suara yang tertahan. Matanya terpejam seolah menikmati apa yang baru saja dia alami. Setelah itu, tubuh besar Chris jatuh di atas tubuhnya. Tidak terlalu lama, karena Chris sadar akan perut Cindy yang sudah besar. Pelepasan yang sempurna."Apa kita harus menyelesaikan perdebatan dengan bercinta?" tanya Cindy geli.Dia sangat ingat ketika Chris marah hanya karena melihatnya menggunakan sepatu ber-hak tinggi ketika kuliah. Pria itu tanpa ragu melempar semua koleksi sepatunya ke kolam renang dari balkon kamar mereka. Sebenarnya Cindy tidak berniat menggunakan heels, namun entah kenapa bayinya menginginkan itu."Kau yang memulai." Chris meraih pinggang Cindy dan memeluknya erat."Apa? Kau saja yang selalu marah-marah." Cindy cemberut.Chris menghela nafas kasar, "Apa kita akan berdebat lagi? Jika iya, aku masih kuat untuk ronde kedua.""Jangan konyol!" Cindy mendorong wajah Chris
Suasana tegang di dalam sebuah kamar itu semakin menakutkan saat Cindy tidak lagi membuka mulutnya. Wanita itu memilih diam dan membiarkan Chris melakukan apa yang dia mau dan dia suka. Toh, ucapannya juga tidak akan mempengaruhi isi kepala Chris yang seperti batu.Tangan Cindy dengan lincah membalik lembar halaman buku yang dia baca. Dia masih mengabaikan Chris yang bersandar pada lemari dengan tubuh basahnya. Suara helaan nafas dari Chris pun tidak membuat Cindy beralih. Dia sudah membulatkan tekat untuk diam dan menurut. Itu yang Chris mau."Baiklah, kau ingin nuansa warnapeach?Kau mendapatkannya, Cindy." Chris mengambil sebuah baju dan memakainya cepat.Cindy yang mendengar ucapan suaminya pun menutup bukunya cepat dan berteriak senang. "Akhirnya!" Cindy mulai berdiri dan menghampiri suaminya."Kau selalu melakukan itu." Chris bergumam tanpa menatap Cindy yang berada di belakangnya.Tangan kecil itu perlahan melingkar denga
Chris keluar dari bilik telepon umum setelah berhasil menghubungi Ron. Dia hanya memberi informasi jika dia baik-baik saja dan akan segera menjemput Cindy. Perkataan Anton terngiang-ngiang di otaknya. Apa yang Cindy lakukan di gudang Auredo? Bahkan Chris harus menempuh waktu 3 jam untuk sampai di tempat itu.Perjalanan terasa begitu lama dan Chris kesal dengan itu. Rasa nyeri di kepalanya tidak sebanding dengan rasa nyeri di hatinya. Demi apapun, jika istrinya tidak dalam keadaan baik. Chris akan menghukum dirinya sendiri. Semua ini salahnya. Jika tidak datang ke rumah terkutuk itu semua ini tidak akan terjadi.***Anton menatap pintu berwarna putih di hadapannya dengan ragu. Setelah melihat mobil merah di teras rumah Cindy, dia yakin jika Lexa berada di dalam sana. Perlahan tangan itu terangkat untuk mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Ron yang menatapnya aneh, tapi itu tidak bertahan lama karena Ron langsung melayangka
Lexa berdiri dengan kaku. Rasa semangatnya yang berkobar mendadak hilang entah ke mana. Jujur saja, rumah besar di hadapannya sedikit memberikan rasa trauma. Namun demi Cindy, dia akan memberanikan diri. Dengan tangan yang mengelus perutnya, Lexa berjalan menghampiri Ron yang tengah berbicara dengan penjaga gerbang. Tak lama pagar besar itu terbuka membuat Lexa reflek menarik lengan Ron."Kita harus hati-hati. Ada iblis di dalam sana," bisik Lexa pelan."Kau yang harusnya hati-hati." Ron mendengus dan melirik perut buncit Lexa.Mereka bergegas masuk ke area rumah tanpa rasa ragu. Ron sudah sering datang, begitupun juga Lexa. Namun mereka tidak tahu apa semuanya masih sama setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini?"Kenapa kau begitu yakin jika Anton berada di sini?""Perasaanku kuat." Lexa mengedikkan bahunya acuh.Tangan Ron yang akan mengetuk pintu seketika terhenti ketika mendengar suara di belakangnya. Lexa dan Ron kompak menoleh dan mend
Chris terengah dengan tangan yang penuh akan darah. Di hadapannya sudah ada 3 penjaga yang tumbang karena menahannya untuk pergi. Melihat situasi rumah yang tampak sepi, Chris dengan cepat keluar dari kamar. Sudah dua hari dia di rumah ini dan tidak ingin lebih lama lagi untuk tinggal. Rumahnya bukan di sini, melainkan tempat sederhana di mana dia merasakan apa itu kehangatan keluarga."Tuan Chris!" teriak Anton yang melihat kepergian Chris. Dengan cepat dia menghubungi penjaga gerbang untuk lebih meningkatkan keamanan. Seharusnya dia tahu jika Tuannya sudah pasti akan memberontak.Chris bukanlah pria yang lemah. Diam bukan berarti dia menurut, tapi dia memilih untuk menunggu momen yang tepat. Anton yakin jika penjaga yang berjaga di depan kamar Tuannya sudah terbaring kehilangan nyawa.Anton berjalan keluar rumah untuk melihat keberadaan Chris. Dari kejauhan dia melihat anak buahnya tengah menggotong tubuh seseorang. Anton berdecak melihat itu. Begitu sudah ber
Cindy menatap rumah besar di hadapannya dengan jantung yang berdetak kencang. Entah apa yang membuatnya datang ke tempat ini, tapi perasaannya begitu kuat. Untuk pertama kalinya dia datang ke tempat masa kecil Chris. Sebuah rumah megah bak istana yang sangat bertolak belakang dengan kenyataannya. Mendengar dari Chris, rumah itu bahkan tidak mencerminkan kehangatan akan keluarga sama sekali.Kepala Cindy bergerak untuk mencari cara agar pagar besar di hadapannya dapat terbuka. Ketika melihat sebuah pos kecil, dia segera datang menghampiri. Namun belum sampai di pos, pagar besar itu mulai terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan Anton yang sudah berdiri tegak di dalam sana."Nona Cindy," sapa Anton menghampirinya."Kau di sini, Anton?" Cindy bertanya bingung."Saya bekerja di sini." Anton mengedikkan bahunya pelan, "Silahkan masuk, Nona."Dengan cepat Cindy menggeleng, "Tidak! Tidak perlu," ucapnya cepat. "Aku hanya ingin mencari Chris. Apa dia ada
Cindy berdiri di depan jendela dengan resah. Matanya tak berhenti untuk menatap jalan dengan harapan akan melihat mobil Chris yang datang. Namun tidak, Cindy tidak melihatnya. Chris tak kunjung pulang. Tangan Cindy meremas ponselnya kesal dan kembali menghubungi nomor suaminya. Lagi-lagi hanya bunyi operator yang menjawab.Sebenarnya Cindy tidak akan seresah ini jika Chris menghubunginya. Pria itu memang sering lembur akhir-akhir ini, tapi selalu ada kabar. Chris tidak pernah absen untuk menghubunginya jika ada pekerjaan mendadak."Kak?" Suara ketukan membuat Cindy dengan cepat membuka pintu kamarnya. Dia menghela nafas lelah karena hanya Caleb yang berdiri sana dan bukan Chris."Ada apa denganmu?" tanya Caleb aneh."Ada apa?" Cindy berusaha tenang dan menatap Caleb yang lebih tinggi darinya."Aku lapar, bisakah kau membuatkanku spageti?"Cindy mendengus dan mengikat rambutnya asal. "Kau sudah makan malam tadi dan juga menghabiskan satu dus
Chris melepaskan helm proyeknya setelah selesai meninjau pembangunan gedung milik perusahaanya. Setelah beberapa bulan berjuang, tentu usaha tidak akan mengkhianati hasil. Chris mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan dia juga mendengar jika kerajaan bisnis Auredo mulai menurun. Chris tertawa melihat berita itu di televisi.Berita tentang dirinya yang tidak lagi menggunakan nama Auredo juga sempat meledak selama beberapa minggu. Banyak wartawan yang ingin mendapatkan informasi secara detail. Tentu Chris tidak akan menyia-nyiakan hal itu. Otak bisnisnya bekerja dengan baik."Lakukan semuanya dengan baik," ucap Chris pada salah satu anak buahnya dan berlalu masuk ke dalam mobil.Bunyi berdering membuat Chris melirik ponselnya sebentar. Setelah melihat nama wanita mungilnya, tanpa ragu dia mengangkatnya."Aku dalam perjalanan, Cindy." Chris berucap tanpa mendengar sapaan dari Cindy."Lama sekali?" Cindy cemberut di seberang sana."Baru tadi pagi a