"Aku pulang."
Cindy membuka pintu rumahnya dan berjalan ke arah dapur untuk meletakkan makanan yang sempat dia beli setelah selesai menidurkan Violet tadi. Untung saja Rose tidak memintanya untuk menginap lagi sehingga dia bisa menemani Ibunya malam ini.
"Ibu?" panggil Cindy sambil menyiapkan makan malam. Dia bersyukur bisa membeli makanan lezat malam ini dengan gaji pemberian Rose. Wanita itu benar-benar pengertian.
Bunyi dentuman bola basket membuat Cindy menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke arah Caleb yang baru saja datang dari pintu belakang. Tubuh polos pria itu terlihat basah karena keringat. Sepertinya Caleb baru saja selesai bermain basket di lahan kosong belakang rumah.
"Di mana Ibu?" tanya Caleb pada Cindy masih dengan memainkan bola basketnya.
"Berhenti Caleb! Kau ingin merusak lantai rumah?!"
Caleb meletakkan bola basketnya dan menghampiri Cindy yang sedang menyiapkan makanan di dapur. Pria itu mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih.
"Panggil Ibu sekarang." Perintah Cindy yang langsung dilakukan oleh Caleb.
Cindy bersyukur jika adiknya bisa mengerti dengan keadaan keluarganya. Caleb memang cukup pendiam, tapi Cindy tahu jika dia hanya memendam perasaannya saja selama ini, sama seperti dirinya. Untung saja Caleb tidak meniru teman-temannya yang suka membuat ulah.
Tidak lama Caleb datang dengan mendorong Ibunya yang duduk di kursi roda. Cindy tersenyum dan menunjuk makanan yang sudah ia siapkan di atas meja.
"Lihat! Aku membawa banyak makanan!"
"Dari mana kau mendapatkan uang Cindy?" tanya Ibunya bingung sekaligus senang.
"Rose baru saja menggajiku, Bu. Wanita itu pengertian sekali."
Maria mengangguk paham, "Ah, tentu saja Rose, siapa lagi?"
Caleb duduk di samping Ibunya dan mulai mengambilkan makanan untuk wanita itu. Mereka makan dengan tenang, sesekali berbincang sampai tidak sadar jika makanan mereka telah habis. Caleb dengan sigap kembali membantu Ibunya untuk kembali ke kamar karena wanita itu perlu banyak istirahat.
"Kak?" panggil Caleb yang telah kembali ke dapur.
Cindy menatap Caleb sebentar dan melanjutkan kegiatannya mencuci piring.
"Kak!"
"Astaga! Apa Caleb? Bicaralah."
"Aku mendapatkan surat dari sekolah." Kegiatan Cindy terhenti begitu Caleb meletakkan selembar kertas di atas meja.
"Apa itu?" tanya Cindy dengan cemas, "Apa surat tagihan?"
Caleb menggaruk kepalanya dengan bingung, "Bisa dibilang seperti itu."
"Aku pikir beasiswamu benar-benar gratis." Cindy mendengus dan mengelap tangannya. Dia menghampiri Caleb dan mengambil surat itu.
"Ya Tuhan, kenapa mahal sekali!" Cindy mengerutkan hidungnya begitu membaca surat itu.
Sebenarnya surat itu bukanlah surat tagihan seperti yang Caleb katakan. Kertas itu hanya berisi rincian biaya yang harus dikeluarkan untuk turnamen basket antar sekolah bulan depan.
"Jadi bagaimana?" tanya Caleb memastikan.
"Apa kau bisa menunggu hingga akhir bulan?"
Caleb berdecak dan duduk di atas kursi, "Itu lama sekali."
"Caleb, uang $70 bukanlah uang yang sedikit. Lagipula kenapa sekolahmu tidak membayarnya untukmu? Kau mendapatkan beasiswa dari sana, bukan?"
Caleb menghela nafas kasar, "Percayalah, Kak. Temanku mendapat tagihan yang lebih banyak."
"Kau serius? Mungkin sekolahmu melakukan korupsi Caleb, kau harus menghubungi polisi!" ucap Cindy konyol.
Melihat respon Caleb yang datar, Cindy langsung tertawa. Kenapa adiknya serius sekali? Bahkan pria itu tidak terlihat tertarik dengan lelucon yang ia keluarkan.
"Serius sekali." Cindy mengusap wajah Caleb kasar yang langsung dibalas dengan umpatan dari bibir pria itu.
"Aku serius, Kak!"
Cindy bertumpu pada meja pembatas dapur, "Aku tahu, tapi aku tidak punya uang sebanyak itu untuk sekarang. Kau harus menunggu sampai akhir bulan, katakan itu pada Mr. Reynolds."
"Kau baru saja mendapat gaji tadi?"
"Kau pikir berapa gaji yang didapat oleh pengasuh bayi setiap minggunya. Jangan bodoh!"
Caleb mengusap kepalanya yang dipukul Cindy dan mengikuti kakaknya yang berjalan menuju kamarnya, "Kak, aku serius! Kau tahu aku tidak akan masuk tim utama jika tidak membayar itu dan sudah pasti prestasiku dalam basket akan menurun dan yang lebih parahnya lagi jika prestasiku menurun, pihak sekolah akan mencabut beasiswa untukku."
Cindy menghela nafas lelah dan berbalik menatap adiknya, "Aku tahu, Caleb. Sekolahmu licik sekali," umpat Cindy kesal, "Oh atau kau bisa membujuk Mr. Reynolds untuk memberikan potongan untukmu? Aku hanya punya uang setengahnya." Lanjut Cindy.
Caleb menghela nafas lelah dan mengangguk, "Aku akan mencoba berbicara dengan Mr. Reynolds besok."
"Baiklah, sudah malam. Sebaiknya kau mandi karena kau bau!" Cindy kembali berbalik dengan menutupi hidungnya.
***
Cindy membalikkan tubuhnya menjadi terlentang, kemudian menghadap ke samping, dan begitu seterusnya. Dia tidak bisa tidur malam ini. Banyak hal yang membuatnya tidak bisa memejamkan mata. Mulai dari tawaran pria yang menemuinya tadi pagi sampai Caleb yang harus membayar biaya turnamen.
Cindy kembali mengambil kartu nama Chris dari tasnya dan menatapnya dalam. Dengan pasti dia mengambil ponsel dan menuliskan nama Chris di mesin pencari g****e. Hanya butuh beberapa detik, Cindy langsung bangkit dari tidurnya begitu melihat biografi Chris yang berada di list paling atas.
"Sialan! Dia benar-benar kaya!" Cindy mengumpat begitu membaca banyak informasi yang dia dapat. Ternyata pria itu adalah pewaris satu-satunya kerajaan bisnis Auredo's company.
"Kenapa tiba-tiba dia berada di taman dan menghampiriku?" tanya Cindy pada dirinya sendiri. Sungguh mustahil jika orang penting seperti Chris akan turun tangan langsung dalam mencari anak yang berkompeten.
Cindy kembali merebahkan tubuhnya saat kepalanya mulai terasa pening. Begitu banyak hal yang membuatnya harus berpikir keras. Cindy jadi menyesal saat memutuskan untuk mencari tahu tentang kehidupan Chris tadi, karena itu dia jadi tidak bisa tidur sampai jam 3 pagi.
Cindy sudah mengambil keputusan, dia akan menerima beasiswa itu. Maksudnya, dia akan mengambil tawaran Chris untuk ikut seleksi terlebih dahulu.
Setelah melihat latar belakang pria itu, Cindy menjadi yakin jika Chris memang bisa dipercaya. Bahkan dia mempunyai sekolah desain milik keluarganya sendiri. Apa ada yang perlu diragukan lagi?
***
Cindy menguap ketika sudah sampai di depan pintu apartemen Rose. Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi dan dia harus membawa Violet ke taman seperti biasa, tapi jujur saja Cindy masih sangat mengantuk pagi ini. Dia hanya tidur selama 2 jam karena memikirkan pria yang bernama Chris.
Cindy bersandar pada tembok sambil memejamkan matanya. Dia menguap dan mengetuk pintu, tapi dia langsung berdiri tegak ketika menyadari sesuatu.
"Astaga! Konyol sekali aku," rutuk Cindy dan mulai menekan kata sandi apartemen milik Rose.
Mengetuk pintu selama 2 jam pun akan sia-sia karena tidak ada Rose di dalam rumah. Seharusnya dia langsung masuk seperti biasa dan mulai membangunkan Violet.
Cindy meletakkan tasnya di sofa dan berlalu pergi ke kamar Violet. Sebuah senyum terukir di bibirnya begitu melihat Violet sedang tertidur dengan memeluk boneka pemberiannya dulu.
Cindy mulai mendekat dan membuka jendela kamar. Meskipun jam masih menunjukkan pukul 6 pagi yang otomatis tidak banyak cahaya yang masuk, tapi setidaknya Violet akan mendapatkan cahaya alami nanti. Itu bagus untuk tubuhnya.
"Violet, bangunlah!" panggil Cindy mencari pakaian yang tepat untuk Violet kenakan ke sekolah jam 9 nanti.
"Apakah itu kau Cindy?" Violet terbangun dengan nada yang mengantuk.
"Iya, Sayang. Kau ingin sarapan apa pagi ini?" Cindy tersenyum melihat wajah lucu Violet yang masih mengantuk.
Cindy bersyukur ketika tahu jika Violet adalah tipe orang yang tidak sulit untuk dibangunkan. Gadis itu sangat pintar untuk memilih tidak merepotkan orang-orang di sekitarnya.
"Aku ingin omelet dengan bawang bombai."
"Baiklah, ayo kita mandi," ucap Cindy melipat selimut Violet.
"Aku bisa mandi sendiri, Cindy. Kau masak saja sana."
Cindy hanya mengangguk dan menatap Violet yang mulai berjalan ke kamar mandi dengan mata yang sedikit tertutup. Setelah memastikan suara air mulai terdengar, Cindy keluar dan mulai membuat sarapan seperti keinginan Violet.
Saat sedang mengiris bawang, Cindy kembali teringat jika dia belum memberitahu Chris tentang ketertarikannya pada beasiswa yang pria itu tawarkan. Dengan ragu Cindy mengambil ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Chris.
Tiga kali dia menghubungi pria itu tapi masih tidak ada jawaban. Mungkin ini masih terlalu pagi untuk menghubungi Chris. Akhirnya Cindy memutuskan untuk mengirim pesan pada pria itu untuk bertemu di taman jam 8 nanti.
***
Chris membuka matanya dan bergerak menjauh dari tubuh Lexa. Dengan malas dia melirik ke arah jam yang tergantung di dinding kamar tamu yang Lexa tiduri saat ini.
"Masih jam 7 pagi, Chris." Lexa berucap manja.
"Aku harus ke kantor." Chris mulai terduduk di atas kasur.
Lexa berdecak tidak suka, "Kau bekerja di perusahaanmu sendiri, kau bisa datang semaumu."
Wanita itu mulai bangkit dari tidurnya dan memeluk punggung kekar Chris dari belakang. Tangannya dengan perlahan mengelus perut Chris membuat pria itu memejamkan matanya kesal.
"Berhenti Lexa." Bukan Lexa namanya jika langsung menurut.
Wanita itu dengan cepat berpindah ke hadapan Chris dan mencium bibir pria itu. Dia mendorong Chris secara perlahan untuk kembali berbaring di atas kasur. Suara ponsel yang berbunyi membuat Chris mendorong Lexa dari atas tubuhnya, tapi dengan cepat wanita itu menahan Chris untuk bangun.
"Lexa berhentilah."
"Ayo lah, Chris. Satu kali lagi," rengek Lexa kembali membuat Chris kesal.
Suara notifikasi pesan pada ponselnya membuat Chris kembali mendorong Lexa dari atas tubuhnya. Dia tidak bisa bersabar lagi, suara ponsel yang terus berdering membuatnya tidak tenang.
"Chris!" Lexa kembali merengek saat Chris mendorongnya menjauh.
"Diamlah!" bentak Chris keras. Dia mulai muak dengan tingkah Lexa.
Chris mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya sedari tadi. Pria itu mengerutkan keningnya ketika melihat nomor yang tidak dia kenal. Ada satu pesan yang masuk dari nomor tersebut dan Chris langsung membukanya.
Maaf sudah mengganggu waktumu di pagi hari. Aku hanya ingin memberitahu jika aku tertarik dengan penawaran tentang beasiswa yang kau tawarkan. Apa kita bisa bertemu di taman jam 8 nanti? Hanya saat itu saja aku punya waktu luang. Terima kasih.
- Madeline Cindy.
Chris mengumpat dan segera bangkit dari kasur. Dia keluar dari kamar Lexa tanpa memperdulikan tubuh polosnya.
"Chris! Kau ingin ke mana? Kita belum selesai! Sialan kau Chris!" Lexa berteriak ketika Chris meninggalkannya begitu saja.
Chris menutup pintu kamarnya cepat dan menguncinya dengan harapan agar Lexa tidak mengganggunya. Dia juga sudah menghubungi Anton untuk segera datang ke penthouse-nya. Dengan cepat Chris membersihkan tubuhnya dan segera bersiap.
Dia melirik jam dan kembali mengumpat, "Sialan! Aku akan terlambat dan kenapa juga aku bisa seheboh ini hanya karena Cindy ingin bertemu?" Chris merutuk dirinya sendiri, tapi dia juga tidak melambatkan gerakannya. Dia memasang dasi dengan cepat tanpa memperdulikan suara ketukan serta teriakan Lexa di luar sana.
Chris membuka pintu kamarnya begitu telah selesai dengan urusannya. Dia berlalu begitu saja melewati Lexa tanpa peduli dengan wanita itu. Lexa mendengus dan dia mulai mengikuti langkah Chris yang akan keluar dari penthouse-nya.
"Demi Tuhan, Chris! Jika kau tidak berhenti, aku akan memberitahu Nenek!"
Dengan tidak peduli, Chris mempercepat langkahnya dan masuk ke dalam lift. Matanya menatap Lexa yang masih berdiri dari kejauhan.
"Katakan saja, aku tidak peduli. Aku harap jam 10 nanti kau sudah pergi dari tempatku. Anton yang akan mengantarmu." Setelah mengucapkan itu, pintu lift tertutup membuat Lexa menggeram kesal.
Lexa sudah terlampau sabar menghadapi sikap Chris. Pria itu memang tunangannya, tapi itu hanyalah sebuah status karena selama ini Lexa tidak pernah merasa jika Chris melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh seorang tunangan kepada pasangannya.
Wanita itu memang kesal, tapi dia benar-benar telah jatuh pada pesona Chris.
***
Chris menghentikan langkahnya begitu melihat punggung kecil yang membelakanginya. Cindy sedang duduk di bangku taman seperti biasa, lengkap dengan buku sketch-nya. Setelah berhasil merubah raut wajahnya menjadi tenang, Chris kembali berjalan menghampiri Cindy.
"Menggambar lagi, eh?"
Mendengar suara itu, Cindy terlonjak kaget dan menatap Chris tidak suka. Kenapa pria itu selalu muncul secara tiba-tiba seperti ini?
"Seperti yang kau lihat, Tuan." Cindy menoleh sebentar dan kembali fokus pada bukunya, sesekali ia juga menatap Violet yang tengah bermain di tengah taman.
"Aku pikir kau yang memintaku datang, tapi kenapa kau yang diam?" Chris dengan angkuhnya berbicara tanpa menatap Cindy.
Seolah tersadar, dengan cepat Cindy melipat bukunya dan menggeser duduknya untuk Chris, "Maaf."
"Tidak masalah." Chris mulai mengambil duduk di sebelah Cindy, "Jadi apa yang ingin kau bicarakan?"
"Seperti pesanku tadi, aku menerima beasiswa yang kau tawarkan. Ah tidak, maksudku seleksi beasiswa yang kau tawarkan."
Chris mengangguk paham tanpa menatap Cindy, "Baiklah, mulai minggu depan kau bisa langsung masuk."
"Apa katamu? Minggu depan? Apa aku tidak mengikuti seleksi terlebih dahulu?"
Chris menatap Cindy dan membenarkan posisi duduknya agar dapat berhadapan dengan gadis itu, "Tidak perlu, aku sudah memasukkan namamu ke dalam daftar mahasiswa."
"Bagaimana bisa?" gumam Cindy pelan.
Cindy merasa terintimidasi dengan pria di hadapannya. Tubuh yang besar itu berbanding terbalik dengan tubuh kecilnya. Ketika ditatap seperti ini, nyali Cindy menjadi menciut, dia takut akan kekuasaan Chris. Apa boleh dia berpikir jika Chris adalah pria yang berbahaya?
Bagaimana tidak jika tanpa hujan badai tiba-tiba pria itu datang bagai malaikat dan menawarkan sesuatu yang Cindy inginkan selama ini? Apa dia bisa mempercayai Chris begitu saja?
"Kenapa menatapku seperti itu?"
Cindy tergagap dan kembali menunduk, "Aku merasa aneh, kenapa kau melakukan ini padaku? Bahkan kau tidak pernah melihat hasil karyaku dan ka—"
"Tidak perlu," Potong Chris cepat. Matanya beralih menatap gadis kecil yang berlari menghampiri mereka.
Violet datang dengan nafas yang terengah. Keringat telah membanjiri tubuhnya. Cindy berdecak melihat itu, dengan cepat dia meraih tisu dan mengusap wajah Violet.
"Kau harus ke sekolah setelah ini, Violet. Kenapa kau mengotori pakaianmu?"
Violet tertawa, tapi tawa itu langsung terhenti begitu melihat seorang pria berbadan besar yang duduk di samping Cindy, "Dia siapa Cindy?"
Cindy menatap Chris sekilas dan tersenyum, "Dia Paman baik, Sayang."
"Paman baik?" Violet menatap Cindy bingung, tapi setelah paham, dia langsung bertepuk tangan senang, "Apa kau benar Paman baik? Jika benar, bisakah kau memberiku lollypop?"
Cindy terkejut dan menarik Violet untuk menjauh dari Chris, "Violet kau tidak bisa seperti itu pada orang yang baru kau kenal."
"Katamu dia orang baik, Kak." Violet menatap Cindy kesal.
"Iya, Paman Chris memang orang bai—"
"Kemarilah," ucap Chris tersenyum tipis pada Violet.
Cindy terdiam begitu Violet mengejeknya dan berlari masuk ke pelukan Chris. Cindy hanya bisa diam melihat interaksi dua orang itu.
"Siapa namamu?"
"Violet, Paman!" jawab Violet semangat.
"Kau ingin lollypop, Violet?" Ucapan Chris mendapat anggukan senang dari Violet.
"Kau ingin mengantar Violet ke sekolah setelah ini?" tanya Chris pada Cindy.
Cindy mengangguk dan melirik jam tangannya, "Iya, aku harus mengantarnya setelah ini."
"Kalau begitu biar aku yang mengantar kalian," ucap Chris sambil kembali menatap Violet, "Aku akan mengantarmu le sekolah dan setelah sampai, aku akan memberimu banyak permen."
"Kau serius?" tanya Violet dengan mata yang berbinar.
"Tidak perlu, Tuan—"
"Panggil aku Chris." Potong Chris cepat.
Cindy mengangguk patuh, "Baiklah, Chris. Tapi sungguh kau tidak perlu melakukan ini. Aku bisa mengantar Violet sendiri."
"Aku tidak menerima penolakan Cindy," ucap Chris dan mulai berdiri. "Ayo Violet!"
Cindy terdiam melihat punggung Chris dan Violet yang mulai menjauh.
Apa semua akan baik-baik saja setelah ini? Batinnya terus bertanya.
"Apa kau akan tetap diam di sana, Cindy?!"
Dengan cepat Cindy membereskan bukunya dan berlari mengikuti langkah Chris yang telah berhenti di depan mobil mewah yang tidak pernah Cindy sentuh, dan sekarang dia akan menaikinya. Apa ini nyata? Cindy tidak tahu, apa ini termasuk nasib baik atau buruk?
Chris terlihat berbicara sebentar dengan seorang pria, sampai pria itu memberikan kunci mobil dan berlalu pergi meninggalkan mereka bertiga.
Chris mulai masuk ke dalam mobil diikuti oleh Cindy dan Violet. Belum sempat Cindy masuk, suara Chris membuat langkah kaki Cindy terhenti.
"Kau duduk di depan. Aku bukan supirmu."
Mendengar nada itu, Cindy mendengus kesal dan langsung berputar untuk duduk di samping kemudi. Setelah duduk, entah kenapa dia malah teringat dengan kasurnya. Bahkan kursi mobil pun sama empuknya dengan kasur miliknya.
Oh ayolah, Cindy! Bisakah kau tidak bertingkah kampungan?!
Cindy terdiam dan berusaha untuk menikmati perjalanan. Telinganya tidak henti mendengar celotehan Violet. Terjadi interaksi kecil antara Chris dan Violet yang membuatnya terkejut.
Dia pikir Chris adalah tipe pria yang kaku, tapi ternyata jika sudah dihadapkan dengan anak kecil dia juga bisa berubah lembut, meskipun wajah angkuhnya masih tetap ada.
Cindy tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Dia paham betul jika Chris merupakan orang asing yang baru saja memasuki hidupnya, tapi Cindy tidak pernah tahu jika kedekatan mereka bisa berkembang begitu cepat. Baru kemarin dia bertemu dengan Chris dan sekarang dia sudah duduk di samping pria itu. Tidak! Cindy tidak tertarik dengan Chris, bahkan dia merasa takut dengan aura pria itu. Dia hanya penasaran, iya hanya penasaran.
***
Tangan kecil Cindy dengan lembut mencuci kaki ringkih Ibunya. Di saat seperti ini, ingin rasanya dia menangis, menangisi nasib keluarganya yang benar-benar jatuh pada titik terendah.Cindy tidak masalah jika mereka hidup dalam kekurangan, karena uang masih bisa dicari. Namun tidak dengan kesehatan, melihat Ibunya yang hanya duduk di kursi roda setiap hari membuat Cindy sakit hati.Ingatannya kembali berputar ke masa lalu di mana Ayahnya telah pergi meninggalkan mereka. Sejak saat itu, Maria yang menggantikan tugas Ayahnya untuk mencari uang. Wanita itu begitu semangat membanting tulang untuk kebahagiaan anaknya yang masih bersekolah, tapi takdir berkata lain. Maria mengalami kecelakaan yang harus membuat kedua kakinya tidak bisa berjalan. Kendala biaya yang membuatnya seperti ini.Sampai sekarang, Cindy belum menemukan siapa pelaku tabrak lari tersebut. Bisa saja dia menuntut dan mencari sampai ditemukan, tapi apa daya dia hanyalah rakyat
Denganhoodiepolos berwarna hitam, Cindy mulai memasuki sekolahnya. Hari ini dia hanya ada kelas sampai jam 2 siang dan setelah itu dia akan kembali bekerja di toko bunga.Cindy telah memulai kuliahnya sejak 2 hari yang lalu. Perasaannya sempat campur aduk begitu harus memulai hari barunya. Dia takut jika tidak akan ada yang mau berteman dengannya dan sialnya itu benar terjadi.Cindy harus mulai menguatkan mental dari sekarang. Jika tidak, dia akan menjadi gi
Cindy terdiam dengan bingung. Dia masih tidak percaya dengan pria yang ada di depannya saat ini. Jujur saja, Cindy tidak ingin melihat Chris untuk saat ini."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Cindy tidak sukaChris melirik jam tangannya sebentar, "Sebentar lagi malam, ayo kita pulang."Cindy menatap Chris aneh, "Kenapa aku harus pulang denganmu?"Chris berdecak dan melipat kedua tangannya di dada, "Aku pernah berjanji untuk membawamu makan makanan yang sehat dan aku pikir saat ini adalah waktu yang tepat.""Kau berkata seolah tidak terjadi apa-apa di antara kita. Apa kau lupa jika kau membuatku menangis saat terakhir kali kita bertemu," ucap Cindy dengan kesal."Itu karena kau saja yang cengeng. Jika kau tidak keras kepala tentu aku tidak akan melakukan itu.""Ya ya ya terserah kau Tuan angkuh. Yang pasti aku tidak bisa pulang sekarang, pekerjaanku banyak." Cindy kembali duduk dan merangkai bunganya yang sempat dia tinggalkan tadi.
Cindy tersenyum dan melambaikan tangannya pada Violet. Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi dan seperti hari-hari sebelumnya, dia harus mengantar Violet ke sekolah. Jika biasanya Cindy akan menunggu sampai gadis kecil itu pulang, tapi untuk kali ini tidak karena dia ada kelas. Sebagai gantinya, Ron yang akan menjemput Violet nanti. Untung saja Rose tidak mempersalahkan hal itu.Cindy memasangearphonedi telinganya begitu telah keluar dari sekolah Violet. Jarak sekolah Violet dan kampusnya tidak terlalu jauh, hanya 15 menit dengan berjalan kaki. Bisa saja Cindy menaiki bus untuk sampai ke kampusnya tapi ketika mengingat jika hanya 15 menit berjalan kaki, dia mengurungkan niatnya. Anggap saja dia sedang berolah raga sekarang.Cindy memasukkan tangannya ke dalam sakuhoodiedan menatap jalanan yang mulai ramai. Lampu merah yang masih hijau membuat Cindy berhenti di trotoar bersama dengan orang-orang yang ingin menyeberang. Begitu lampu
Suara dentingan sendok yang beradu cepat membuat Lexa mengerutkan dahinya bingung. Wanita itu mengalihkan pandangannya dari salad yang dia makan dan mulai menatap Chris.Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi dan tidak biasanya Chris sudah rapi dengan pakaian kantornya. Sebenarnya Lexa juga jarang untuk berkunjung kepenthouse, tapi entah kenapa pagi ini dia begitu merindukan pria itu.Sudah 2 hari dia ke Paris untuk pemotretan dan Chris sama sekali tidak menghubunginy
Chris berjalan ke arah kasir dengan langkah yang pasti. Matanya menatap pegawai kasir itu dengan tajam seolah sedang meneliti sesuatu. Sebelah alis Chris terangkat begitu orang di hadapannya itu tidak mengenalinya sama sekali. "Apa kau akan terus diam dan tidak menyapaku?" Chris membuka suara membuat pemuda yang ada di hadapannya tersentak dan menatap Chris dalam. Sedetik kemudian pria itu tergagap dan mundur selangkah, "Kau malaikat pembawa beasiswa itu bukan?" Chris terkekeh, "Konyol sekali julukanku." "Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud melupakan wajahmu tap—" Ucapan Caleb terhenti begitu Chris mengangkat sebelah tangannya, "Panggil aku Chris." "Ba—baik, Chris." "Jadi?" Chris menatap keadaan supermarket itu dengan pandangan menilai, "Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" "Baru 3 hari. Aku bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di sini, karena sulit sekali rasanya mencari pekerjaan saat masih bersekolah." Chris m
Tatapan tajam itu masih menatap dua orang yang tengah berbincang di taman gelap dengan amarah yang memuncak. Lexa berdesis dan memukul setir mobilnya kencang.Sialan!
Terlihat seorang pria tengah berbaring di atas ranjangnya dengan malas. Matanya menatap ke arah ponsel yang menampilkan video Cindy yang tengah berjalan ke arah halte untuk menaiki bus. Senyum Chris merekah begitu Cindy menuruti ucapannya untuk menaiki bus. Dia tidak tega jika harus melihat gadis itu pergi ke sana-ke mari dengan berjalan kaki. Pasti itu sangat melelahkan.Chris mengeratkan selimutnya dan menutup ponselnya begitu rekaman Cindy telah habis. Pria itu kembali menutup matanya untuk kembali tidur, tapi ketukan keras pada pintu kamarnya membuatnya membuka matanya kembali.Dahi Chris berkerut bingung. Siapa yang berani masuk ke dalam kediamannya tanpa memberi tahu? Tidak mungkin jika Lexa karena wanita itu sudah berangkat ke Jerman tadi pagi."Chris!" teriak seorang wanita dari luar sana yang membuat Chris langsung terduduk di kasur.Kesal karena istirahatnya terganggu akhirnya Chris turun dari ranjang dan menemui Neneknya yang entah kenapa tiba-
Maria mendorong kursi roda yang diduduki oleh gadis berwajah muram ke arah taman. Sejak masuk ke dalam yayasannya, Maria tidak pernah melihat senyum di bibir gadis itu. Mungkin dia masih mengalami trauma atas kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Kini gadis yang bernama Nessa itu hanya hidup sendiri dan kerabatnya dengan tega memasukkannya ke yayasan orang berkebutuhan khusus.Nessa memang tidak bisa berjalan, tapi bukan berarti dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi. Jika dia mau, perawatan medis dapat membantu kakinya kembali berjalan. Namun entah kenapa Maria tidak merasakan adanya semangat dari diri Nessa. Tatapan gadis itu selalu kosong dan menampakkan kesedihan.Maria tersenyum menatap Caleb yang tengah bermain basket dengan anak-anak yayasannya. Pria itu tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan mempesona."Jika kau mau, kau bisa bermain basket bersama mereka." Tawar Maria menyentuh pundak Nessa. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang dia terima.
Wajah penuh keringat itu mendongak dengan suara yang tertahan. Matanya terpejam seolah menikmati apa yang baru saja dia alami. Setelah itu, tubuh besar Chris jatuh di atas tubuhnya. Tidak terlalu lama, karena Chris sadar akan perut Cindy yang sudah besar. Pelepasan yang sempurna."Apa kita harus menyelesaikan perdebatan dengan bercinta?" tanya Cindy geli.Dia sangat ingat ketika Chris marah hanya karena melihatnya menggunakan sepatu ber-hak tinggi ketika kuliah. Pria itu tanpa ragu melempar semua koleksi sepatunya ke kolam renang dari balkon kamar mereka. Sebenarnya Cindy tidak berniat menggunakan heels, namun entah kenapa bayinya menginginkan itu."Kau yang memulai." Chris meraih pinggang Cindy dan memeluknya erat."Apa? Kau saja yang selalu marah-marah." Cindy cemberut.Chris menghela nafas kasar, "Apa kita akan berdebat lagi? Jika iya, aku masih kuat untuk ronde kedua.""Jangan konyol!" Cindy mendorong wajah Chris
Suasana tegang di dalam sebuah kamar itu semakin menakutkan saat Cindy tidak lagi membuka mulutnya. Wanita itu memilih diam dan membiarkan Chris melakukan apa yang dia mau dan dia suka. Toh, ucapannya juga tidak akan mempengaruhi isi kepala Chris yang seperti batu.Tangan Cindy dengan lincah membalik lembar halaman buku yang dia baca. Dia masih mengabaikan Chris yang bersandar pada lemari dengan tubuh basahnya. Suara helaan nafas dari Chris pun tidak membuat Cindy beralih. Dia sudah membulatkan tekat untuk diam dan menurut. Itu yang Chris mau."Baiklah, kau ingin nuansa warnapeach?Kau mendapatkannya, Cindy." Chris mengambil sebuah baju dan memakainya cepat.Cindy yang mendengar ucapan suaminya pun menutup bukunya cepat dan berteriak senang. "Akhirnya!" Cindy mulai berdiri dan menghampiri suaminya."Kau selalu melakukan itu." Chris bergumam tanpa menatap Cindy yang berada di belakangnya.Tangan kecil itu perlahan melingkar denga
Chris keluar dari bilik telepon umum setelah berhasil menghubungi Ron. Dia hanya memberi informasi jika dia baik-baik saja dan akan segera menjemput Cindy. Perkataan Anton terngiang-ngiang di otaknya. Apa yang Cindy lakukan di gudang Auredo? Bahkan Chris harus menempuh waktu 3 jam untuk sampai di tempat itu.Perjalanan terasa begitu lama dan Chris kesal dengan itu. Rasa nyeri di kepalanya tidak sebanding dengan rasa nyeri di hatinya. Demi apapun, jika istrinya tidak dalam keadaan baik. Chris akan menghukum dirinya sendiri. Semua ini salahnya. Jika tidak datang ke rumah terkutuk itu semua ini tidak akan terjadi.***Anton menatap pintu berwarna putih di hadapannya dengan ragu. Setelah melihat mobil merah di teras rumah Cindy, dia yakin jika Lexa berada di dalam sana. Perlahan tangan itu terangkat untuk mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Ron yang menatapnya aneh, tapi itu tidak bertahan lama karena Ron langsung melayangka
Lexa berdiri dengan kaku. Rasa semangatnya yang berkobar mendadak hilang entah ke mana. Jujur saja, rumah besar di hadapannya sedikit memberikan rasa trauma. Namun demi Cindy, dia akan memberanikan diri. Dengan tangan yang mengelus perutnya, Lexa berjalan menghampiri Ron yang tengah berbicara dengan penjaga gerbang. Tak lama pagar besar itu terbuka membuat Lexa reflek menarik lengan Ron."Kita harus hati-hati. Ada iblis di dalam sana," bisik Lexa pelan."Kau yang harusnya hati-hati." Ron mendengus dan melirik perut buncit Lexa.Mereka bergegas masuk ke area rumah tanpa rasa ragu. Ron sudah sering datang, begitupun juga Lexa. Namun mereka tidak tahu apa semuanya masih sama setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini?"Kenapa kau begitu yakin jika Anton berada di sini?""Perasaanku kuat." Lexa mengedikkan bahunya acuh.Tangan Ron yang akan mengetuk pintu seketika terhenti ketika mendengar suara di belakangnya. Lexa dan Ron kompak menoleh dan mend
Chris terengah dengan tangan yang penuh akan darah. Di hadapannya sudah ada 3 penjaga yang tumbang karena menahannya untuk pergi. Melihat situasi rumah yang tampak sepi, Chris dengan cepat keluar dari kamar. Sudah dua hari dia di rumah ini dan tidak ingin lebih lama lagi untuk tinggal. Rumahnya bukan di sini, melainkan tempat sederhana di mana dia merasakan apa itu kehangatan keluarga."Tuan Chris!" teriak Anton yang melihat kepergian Chris. Dengan cepat dia menghubungi penjaga gerbang untuk lebih meningkatkan keamanan. Seharusnya dia tahu jika Tuannya sudah pasti akan memberontak.Chris bukanlah pria yang lemah. Diam bukan berarti dia menurut, tapi dia memilih untuk menunggu momen yang tepat. Anton yakin jika penjaga yang berjaga di depan kamar Tuannya sudah terbaring kehilangan nyawa.Anton berjalan keluar rumah untuk melihat keberadaan Chris. Dari kejauhan dia melihat anak buahnya tengah menggotong tubuh seseorang. Anton berdecak melihat itu. Begitu sudah ber
Cindy menatap rumah besar di hadapannya dengan jantung yang berdetak kencang. Entah apa yang membuatnya datang ke tempat ini, tapi perasaannya begitu kuat. Untuk pertama kalinya dia datang ke tempat masa kecil Chris. Sebuah rumah megah bak istana yang sangat bertolak belakang dengan kenyataannya. Mendengar dari Chris, rumah itu bahkan tidak mencerminkan kehangatan akan keluarga sama sekali.Kepala Cindy bergerak untuk mencari cara agar pagar besar di hadapannya dapat terbuka. Ketika melihat sebuah pos kecil, dia segera datang menghampiri. Namun belum sampai di pos, pagar besar itu mulai terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan Anton yang sudah berdiri tegak di dalam sana."Nona Cindy," sapa Anton menghampirinya."Kau di sini, Anton?" Cindy bertanya bingung."Saya bekerja di sini." Anton mengedikkan bahunya pelan, "Silahkan masuk, Nona."Dengan cepat Cindy menggeleng, "Tidak! Tidak perlu," ucapnya cepat. "Aku hanya ingin mencari Chris. Apa dia ada
Cindy berdiri di depan jendela dengan resah. Matanya tak berhenti untuk menatap jalan dengan harapan akan melihat mobil Chris yang datang. Namun tidak, Cindy tidak melihatnya. Chris tak kunjung pulang. Tangan Cindy meremas ponselnya kesal dan kembali menghubungi nomor suaminya. Lagi-lagi hanya bunyi operator yang menjawab.Sebenarnya Cindy tidak akan seresah ini jika Chris menghubunginya. Pria itu memang sering lembur akhir-akhir ini, tapi selalu ada kabar. Chris tidak pernah absen untuk menghubunginya jika ada pekerjaan mendadak."Kak?" Suara ketukan membuat Cindy dengan cepat membuka pintu kamarnya. Dia menghela nafas lelah karena hanya Caleb yang berdiri sana dan bukan Chris."Ada apa denganmu?" tanya Caleb aneh."Ada apa?" Cindy berusaha tenang dan menatap Caleb yang lebih tinggi darinya."Aku lapar, bisakah kau membuatkanku spageti?"Cindy mendengus dan mengikat rambutnya asal. "Kau sudah makan malam tadi dan juga menghabiskan satu dus
Chris melepaskan helm proyeknya setelah selesai meninjau pembangunan gedung milik perusahaanya. Setelah beberapa bulan berjuang, tentu usaha tidak akan mengkhianati hasil. Chris mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan dia juga mendengar jika kerajaan bisnis Auredo mulai menurun. Chris tertawa melihat berita itu di televisi.Berita tentang dirinya yang tidak lagi menggunakan nama Auredo juga sempat meledak selama beberapa minggu. Banyak wartawan yang ingin mendapatkan informasi secara detail. Tentu Chris tidak akan menyia-nyiakan hal itu. Otak bisnisnya bekerja dengan baik."Lakukan semuanya dengan baik," ucap Chris pada salah satu anak buahnya dan berlalu masuk ke dalam mobil.Bunyi berdering membuat Chris melirik ponselnya sebentar. Setelah melihat nama wanita mungilnya, tanpa ragu dia mengangkatnya."Aku dalam perjalanan, Cindy." Chris berucap tanpa mendengar sapaan dari Cindy."Lama sekali?" Cindy cemberut di seberang sana."Baru tadi pagi a