Cindy tersenyum dan melambaikan tangannya pada Violet. Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi dan seperti hari-hari sebelumnya, dia harus mengantar Violet ke sekolah. Jika biasanya Cindy akan menunggu sampai gadis kecil itu pulang, tapi untuk kali ini tidak karena dia ada kelas. Sebagai gantinya, Ron yang akan menjemput Violet nanti. Untung saja Rose tidak mempersalahkan hal itu.
Cindy memasang earphone di telinganya begitu telah keluar dari sekolah Violet. Jarak sekolah Violet dan kampusnya tidak terlalu jauh, hanya 15 menit dengan berjalan kaki. Bisa saja Cindy menaiki bus untuk sampai ke kampusnya tapi ketika mengingat jika hanya 15 menit berjalan kaki, dia mengurungkan niatnya. Anggap saja dia sedang berolah raga sekarang.
Cindy memasukkan tangannya ke dalam saku hoodie dan menatap jalanan yang mulai ramai. Lampu merah yang masih hijau membuat Cindy berhenti di trotoar bersama dengan orang-orang yang ingin menyeberang. Begitu lampu telah berubah merah, Cindy kembali berjalan dengan menunduk seperti kebiasaannya. Hanya beberapa langkah berjalan, Cindy dikejutkan dengan suara klakson yang memekakkan telinga. Bahkan suara klakson tersebut lebih keras dari suara musik yang didengarnya.
Cindy menoleh ke arah mobil dengan kesal. Ketika mendapati mobil hitam yang sangat dia kenal, wajah Cindy semakin merengut kesal. Belum sempat dia berbicara, Chris telah membuka jendela mobilnya. Dengan gerakan tangan, pria itu meminta Cindy untuk masuk ke dalam mobil. Tidak mau membuat jalanan macet, akhirnya Cindy menghampiri Chris dan masuk ke dalam mobilnya.
"Ada apa denganmu? Kenapa suka sekali muncul dengan tiba-tiba seperti ini?!" Cindy berucap kesal begitu mobil kembali berjalan.
Chris menyeringai, "Membuatmu kesal, itulah tujuanku."
"Dasar gila!" rutuk Cindy pelan.
Dalam perjalanan Cundy hanya diam, tidak berniat untuk bertanya pada Chris dan sepertinya Chris juga tidak berniat untuk membuka mulut. Kening Cindy berkerut ketika mobil yang dia naiki berjalan berlawanan arah dari kampusnya.
"Kau ingin membawaku ke mana?" tanya Cindy sambil menatap Chris cemas.
"Hanya sebentar," gumam Chris.
Cindy berdecak, "Aku harus sampai ke kampus sekarang Chris, aku tidak ma—"
"Kau tidak akan dihukum Cindy. Kau sedang bersama dengan pemilik kampus sekarang. Jadi jangan konyol dan berhentilah berbicara."
Bibir Cindy terkatup rapat begitu Chris sudah mengeluarkan ultimatumnya. Dulu dia berpikir Chris adalah seorang malaikat, tapi ternyata itu salah besar. Pria itu lebih mirip iblis dari pada malaikat.
"Turun," ucap Chris dan mulai turun dari mobil.
Cindy menggigit bibirnya cemas dan menatap nanar pada butik yang ada di hadapannya sekarang. Apa Chris akan mempermalukannya kali ini?
Semua orang juga tahu jika butik yang ada di hadapan Cindy adalah butik ternama dengan model terkenal sebagai wadah promosinya. Chris tidak gila bukan? Apa dia benar-benar yakin membawa gadis sepertinya ke tempat ini?
Lamunan Cindy buyar begitu mendengar suara mobil yang terkunci, dengan cepat dia langsung mencoba untuk membuka mobil. Cindy menatap nanar pada Chris yang berdiri di depan butik dengan kunci di tangannya. Karena kesal, akhirnya Cindy mengangkat jari tengahnya untuk pria itu.
Chris hanya tersenyum tipis dan kembali membuka kunci mobil. Cindy langsung turun dan memandang punggung Chris yang berlalu masuk dengan kesal. Kenapa pria itu selalu membuatnya kesal?
Langkah ragu dari kakinya membuat Cindy terlihat aneh ketika memasuki butik. Dia tidak menemukan Chris di mana pun dan itu semakin membuatnya kesal. Cindy merasa seperti orang bodoh sekarang.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" Seorang pegawai datang dengan pakaian rapinya membuat Cindy tersenyum canggung.
Matanya mengedar ke seluruh ruangan untuk menemukan Chris, tapi pria itu seolah menghilang di telan bumi. Atau pria itu sudah berada di neraka sekarang? Cindy harap begitu.
"Nona?" panggil pegawai itu lagi.
"Maaf, tapi aku bersama seseorang di sini," jawab Cindy akhirnya. Pegawai itu terlihat bingung tapi akhirnya Cindy dapat menghela nafas lega saat Chris datang ke hadapannya dengan tumpukan baju.
"Kau ke mana saja?!" tanya Cindy kesal.
Interaksi itu ditangkap aneh oleh pegawai butik. Bukan rahasia lagi jika Chris adalah pelanggan VIP di tempat ini. Selain butik yang menjadi favorit Neneknya, Chris juga sering membawa para wanitanya ke tempat ini.
"Ini, coba semua pakaian ini." Perintah Chris sambil memberikan tumpukan baju itu ke tangan Cindy.
"Apa maksudmu? Apa kau gila?!"
Chris menatap Cindy datar, "Mulutmu benar-benar tajam. Kenapa kau tidak pernah menurut?"
"Maaf, tapi aku benar-benar tidak mengerti apa maksudmu."
"Lihat itu." Tunjuk Chris pada hoody army yang Cindy kenakan, "Aku bosan melihatmu memakai pakaian konyol itu."
"Apa kau baru saja menghina penampilanku?"
"Bisakah kau menurut? Cepat coba semua pakaian ini!" Tegas Chris pada akhirnya.
"Aku tidak bisa, Chris. Aku harus ke kampus sekarang atau aku akan terlambat. Aku tidak punya banyak waktu untuk mencoba semua pakaian ini." Cindy akhirnya berhasil mencari alasan.
"Oh.." Chris mengambil kembali tumpukan pakaian itu dari tangan Cindy, "Total semua pakaian ini dan lakukan dengan cepat!" Chris dengan cepat memberikan tumpukan baju itu pada pegawai yang masih berdiri di sekitar mereka.
"Tunggu, apa yang kau lakukan?!" Cindy menatap Chris tidak percaya.
Chris hanya mengedikkan bahunya acuh dan mulai duduk di sofa, "Kau sendiri yang tidak ingin mencobanya, jadi jangan salahkan aku jika membeli semuanya untukmu."
"Untukku?" gumam Cindy pelan, "Kenapa Chris? Kenapa kau selalu melakukan ini?" Lanjut Cindy dengan lirih.
Chris hanya diam dan mulai membuka majalah yang tertata rapi di atas meja. Dia tidak perlu menjawab pertanyaan Cindy karena dia juga tidak tahu kenapa bisa bertindak seperti ini.
Setelah mendengar informasi tentang bully dari orang suruhannya yang mengawasi Cindy di kampus, hati Chris menjadi tidak tenang. Lagi-lagi dia bersyukur karena mempunyai kekuasaan untuk membuat orang-orang yang mengucilkan Cindy merasakan akibatnya.
Chris sudah berjanji pada Ayahnya jika akan melakukan wasiat itu dengan baik, tapi Chris juga tidak berhenti untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ayahnya dan Cindy beserta keluarganya.
"Kau melakukannya lagi," ucap Cindy dengan pelan, masih memandang Chris dengan tatapan yang tidak bisa dibaca.
"Melakukan apa?"
"Aku tahu kau tidak bodoh. Aku juga tahu jika kau memiliki alasan di balik semua ini."
"Aku juga tidak tahu alasannya," gumam Chris pelan tanpa bisa didengar oleh Cindy.
Cindy masih menatap Chris dengan pandangan yang menerawang. Lihatlah wajah hedonis yang angkuh itu. Apa Cindy sedang bermimpi sekarang? Dia masih tidak percaya jika dia sedang berada di butik ini, bersama Chris dengan segala keinginannya yang harus terpenuhi.
Apa benar Chris adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuknya? Atau bahkan sebaliknya? Mengingat betapa menyebalkannya pria itu, tapi Cindy tidak bisa membohongi diri jika dia sangat berterima kasih pada Chris, pada segala sesuatu yang pria itu berikan padanya.
Cindy yakin jika Chris mempunyai alasan di balik semua ini. Pria itu terlalu pintar untuk menyembunyikan semuanya atau Cindy saja yang terlalu bodoh untuk menyadari semuanya?
***
Cindy berhenti melangkah saat Chris masih saja mengikutinya. Dia sudah sampai di sekolah sekarang, lengkap dengan dress yang sempat Chris belikan tadi. Pria itu menepati janjinya untuk membawanya ke sekolah dengan segera tapi tidak seperti ini juga.
Seperti kacung, Chris mengikuti Cindy dari belakang dengan tatapan yang tajam. Cindy tidak suka ini! Dia tidak suka diperhatikan banyak orang seperti ini.
"Kau tidak perlu mengikutiku, Chris. Kau bisa kembali bekerja!" rutuk Cindy kesal.
"Diamlah, aku ingin lihat siapa yang berani mengejek pakaianmu."
"Kau." Tunjuk Cindy pada Chris, "Kau yang mengejek pakaianku tadi."
Chris mendengus dan menampis tangan Cindy yang menunjuk wajahnya, "Jangan konyol! Justru aku yang merubahmu menjadi cinderella dalam satu hari."
"Oh, jadi menurutmu aku cocok menjadi puteri?" tanya Cindy jahil.
"Jangan mulai dan cepat masuk ke kelasmu. Aku akan mencabut beasiswamu jika kau terlambat!" ucap Chris dengan kejam.
Cindy memutar matanya kesal, "Kau sudah membuatku terlambat 30 menit, aku tidak mau masuk."
Chris berdecak dan menarik Cindy untuk mengikutinya. Pria itu membuka pintu kelas Cindy tanpa permisi dan mendorong gadis itu untuk duduk di salah satu kursi kosong.
"Jangan hukum dia." Chris berucap pada dosen yang terdiam di depan kelas.
"Baik, Tuan Auredo. Nona Cindy bisa mengikuti kelas saya sampai selesai nanti," jawab dosen setelah berhasil sadar dengan situasi yang ada.
Chris mengangguk dan beralih pada Cindy, "Belajar yang serius. Aku akan kembali menjemputmu nanti. Jika ada yang membuat ulah, langsung hubungi aku!" Pesan Chris yang terdengar seperti ancaman di telinga Cindy.
Mau tidak mau Cindy mengangguk dan Chris langsung berlalu pergi. Gadis itu tersenyum canggung pada seisi kelas yang menatapnya terkejut.
Seorang Cindy? Gadis miskin yang datang bersama Christopher Auredo? Yang benar saja!
Cindy mengumpat nama Chris dalam hati. Kelakuan pria itu tidak meredamkan masalah sama sekali. Malah Cindy yakin jika rasa benci teman-temannya akan semakin bertambah setelah tahu jika dia berhubungan dengan Chris sang pemilik sekolah.
Apa aku harus membunuh Chris nanti malam?
***
Terlihat gadis berambut merah tengah berjalan menghampiri sebuah mobil hitam yang sedang terparkir di halaman sekolah. Dari jauh, Alice dapat melihat Chris yang sedang merokok di samping mobilnya.
"Kau datang, Tuan?" tanya Alice dengan bingung.
"Hanya mengantar Cindy," jawab Chris santai.
"Kau yang membuat geng gila itu keluar dari kampus?"
Chris menyeringai, "Tentu saja, kau pikir siapa lagi?"
"Kau benar-benar berbahaya," gumam Alice menggelengkan kepalanya.
"Awasi dia, aku akan memberimu bonus jika kau melakukan pekerjaanmu dengan baik."
"Kau hanya perlu membelikan Anton mobil impiannya, Tuan."
Chris terkekeh, "Kakakmu masih menginginkan Ferrari lama itu? Sulit dipercaya."
"Dia pecinta Ferrari jika kau lupa."
Chris membuang puntung rokok dan menginjaknya, "Jika kau dan kakakmu melakukan pekerjaan dengan baik maka akan aku berikan mobil impian kalian."
Alice menyeringai, "Tidak menyesal aku menerima tawaranmu."
"Ingat, Alice. Awasi Cindy." Ingat Chris lagi sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil.
Alice menatap mobil hitam yang mulai menjauh itu dengan tatapan acuh yang menjadi khasnya. Sebuah senyuman sinis muncul di wajahnya dan dia terkekeh setelahnya.
Untuk pertama kalinya sejak dia mengenal Chris, baru kali ini Alice melihat pria itu bertindak diluar kendali. Dalam sejarah, untuk pertama kalinya Chris turun tangan untuk mengatur hidup Cindy. Hal yang tidak pernah terjadi, bahkan untuk mantan-mantannya terdahulu.
Jangankan mantan kekasih, untuk Lexa tunangannya pun Chris tidak pernah melakukan ini.
Apa kau mulai jatuh cinta, Brother?"
***
Suara dentingan sendok yang beradu cepat membuat Lexa mengerutkan dahinya bingung. Wanita itu mengalihkan pandangannya dari salad yang dia makan dan mulai menatap Chris.Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi dan tidak biasanya Chris sudah rapi dengan pakaian kantornya. Sebenarnya Lexa juga jarang untuk berkunjung kepenthouse, tapi entah kenapa pagi ini dia begitu merindukan pria itu.Sudah 2 hari dia ke Paris untuk pemotretan dan Chris sama sekali tidak menghubunginy
Chris berjalan ke arah kasir dengan langkah yang pasti. Matanya menatap pegawai kasir itu dengan tajam seolah sedang meneliti sesuatu. Sebelah alis Chris terangkat begitu orang di hadapannya itu tidak mengenalinya sama sekali. "Apa kau akan terus diam dan tidak menyapaku?" Chris membuka suara membuat pemuda yang ada di hadapannya tersentak dan menatap Chris dalam. Sedetik kemudian pria itu tergagap dan mundur selangkah, "Kau malaikat pembawa beasiswa itu bukan?" Chris terkekeh, "Konyol sekali julukanku." "Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud melupakan wajahmu tap—" Ucapan Caleb terhenti begitu Chris mengangkat sebelah tangannya, "Panggil aku Chris." "Ba—baik, Chris." "Jadi?" Chris menatap keadaan supermarket itu dengan pandangan menilai, "Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" "Baru 3 hari. Aku bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di sini, karena sulit sekali rasanya mencari pekerjaan saat masih bersekolah." Chris m
Tatapan tajam itu masih menatap dua orang yang tengah berbincang di taman gelap dengan amarah yang memuncak. Lexa berdesis dan memukul setir mobilnya kencang.Sialan!
Terlihat seorang pria tengah berbaring di atas ranjangnya dengan malas. Matanya menatap ke arah ponsel yang menampilkan video Cindy yang tengah berjalan ke arah halte untuk menaiki bus. Senyum Chris merekah begitu Cindy menuruti ucapannya untuk menaiki bus. Dia tidak tega jika harus melihat gadis itu pergi ke sana-ke mari dengan berjalan kaki. Pasti itu sangat melelahkan.Chris mengeratkan selimutnya dan menutup ponselnya begitu rekaman Cindy telah habis. Pria itu kembali menutup matanya untuk kembali tidur, tapi ketukan keras pada pintu kamarnya membuatnya membuka matanya kembali.Dahi Chris berkerut bingung. Siapa yang berani masuk ke dalam kediamannya tanpa memberi tahu? Tidak mungkin jika Lexa karena wanita itu sudah berangkat ke Jerman tadi pagi."Chris!" teriak seorang wanita dari luar sana yang membuat Chris langsung terduduk di kasur.Kesal karena istirahatnya terganggu akhirnya Chris turun dari ranjang dan menemui Neneknya yang entah kenapa tiba-
Suara helaan nafas itu kembali terdengar di dalam bilik toilet. Cindy memainkan jari-jarinya dan terduduk di atas toilet dengan gelisah. Telinganya dengan waspada mendengarkan keadaan di luar sana. Takut jika ada orang yang masuk ke dalam toilet, orang- orang yang sangat dia hindari saat ini.Demi Tuhan! Lima belas menit lagi kelas Cindy akan dimulai dan dia masih tidak berani untuk keluar sekarang. Telur busuk sudah cukup untuk mengotori rambutnya tadi dan dia tidak ingin tanah yang akan mendarat di tubuhnya.Iya, Cindy mendapatkan kesialan itu lagi. Dia pikir teman-temannya akan jera, namun ternyata tidak. Setelah dia mulai berangkat sendiri tanpa Chris, teman-temannya mulai berbuat nekat lagi dan kali ini adalah puncaknya. Dia harus rela meninggalkan kelas pertama untuk mengunci diri di toilet guna mencuci rambutnya yang berbau busuk.Chris di mana kau? Aku membutuhkanmu.Cindy kembali menghela nafas kasar dan berus
Pagi yang terik itu tidak menghentikan langkah Cindy untuk segera berangkat ke tempat Violet. Hari ini dia memutuskan untuk tidak pergi ke kampus. Rasa takutnya akanbullyjauh lebih besar dari rasa takutnya pada ancaman Chris. Oh ayo lah! Siapa yang mau jika harus mandi lumpur di pagi hari? Cindy mengeratkanhoodiemerahnya dengan menunduk, menunggu mobil yang melaju di depannya berhenti. Tepat di seberang jalan sana adalah gedung apartemen Rose, dia harus sampai di sana sebelum Violet bangun.
Keadaan ruangan yang sunyi membuat pria yang duduk di kursi kerjanya terlihat lebih tampan berkali-kali lipat. Suara detik jam yang berdenting membuat Chris berkedip, tapi dia masih diam dengan dahi yang berkerut, menatap lantai dengan pandangan seriusnya. Otaknya sedang berpikir keras sekarang. Berpikir tentang bagaimana caranya agar Cindy kembali ke dalam genggamannya, kembali ke pada lingkaran hidup yang sudah dibuat olehnya secara istimewa.Semalam mata elang itu tidak bisa terpejam sedikitpun. Lagi-lagi otaknya yang biasanya cerdas mulai bingung tidak tahu harus melakukan apa untuk kembali menarik Cindy ke dalam hidupnya. Bisa saja Chris memilih
Sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Chris menatap rumah itu dengan seksama, menunggu seseorang yang dia cari keluar dari sana untuk memulai aktivitas.Setelah rapat tadi, entah kenapa Chris ingin melihat wajah Cindy. Meskipun gadis itu berusaha menghindarinya, namun tidak ada yang bisa menentang kuasa seorang Chris bukan? Biar saja masalahtolong-menolongitu berhenti sejenak. Chris hanya ingin mengganggu Cindy hari ini dan membuatnya kesal, itu saja.Chris beranjak keluar dan bersandar pada pintu mobilnya. Sebentar lagi gadis itu akan keluar dan itu benar. Gadis itu keluar dari rumahnya dengan mendorong sebuah kursi roda yang diduduki oleh seorang wanita paru baya. Chris yakin jika itu adalah Ibu Cindy.Kesempatan bagus.Chris berjalan mendekat dengan tersenyum. Seolah mendapatkan sinyal bahaya, Cindy mengalihkan pandangannya dan terkejut mendapati Chris.
Maria mendorong kursi roda yang diduduki oleh gadis berwajah muram ke arah taman. Sejak masuk ke dalam yayasannya, Maria tidak pernah melihat senyum di bibir gadis itu. Mungkin dia masih mengalami trauma atas kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Kini gadis yang bernama Nessa itu hanya hidup sendiri dan kerabatnya dengan tega memasukkannya ke yayasan orang berkebutuhan khusus.Nessa memang tidak bisa berjalan, tapi bukan berarti dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi. Jika dia mau, perawatan medis dapat membantu kakinya kembali berjalan. Namun entah kenapa Maria tidak merasakan adanya semangat dari diri Nessa. Tatapan gadis itu selalu kosong dan menampakkan kesedihan.Maria tersenyum menatap Caleb yang tengah bermain basket dengan anak-anak yayasannya. Pria itu tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan mempesona."Jika kau mau, kau bisa bermain basket bersama mereka." Tawar Maria menyentuh pundak Nessa. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang dia terima.
Wajah penuh keringat itu mendongak dengan suara yang tertahan. Matanya terpejam seolah menikmati apa yang baru saja dia alami. Setelah itu, tubuh besar Chris jatuh di atas tubuhnya. Tidak terlalu lama, karena Chris sadar akan perut Cindy yang sudah besar. Pelepasan yang sempurna."Apa kita harus menyelesaikan perdebatan dengan bercinta?" tanya Cindy geli.Dia sangat ingat ketika Chris marah hanya karena melihatnya menggunakan sepatu ber-hak tinggi ketika kuliah. Pria itu tanpa ragu melempar semua koleksi sepatunya ke kolam renang dari balkon kamar mereka. Sebenarnya Cindy tidak berniat menggunakan heels, namun entah kenapa bayinya menginginkan itu."Kau yang memulai." Chris meraih pinggang Cindy dan memeluknya erat."Apa? Kau saja yang selalu marah-marah." Cindy cemberut.Chris menghela nafas kasar, "Apa kita akan berdebat lagi? Jika iya, aku masih kuat untuk ronde kedua.""Jangan konyol!" Cindy mendorong wajah Chris
Suasana tegang di dalam sebuah kamar itu semakin menakutkan saat Cindy tidak lagi membuka mulutnya. Wanita itu memilih diam dan membiarkan Chris melakukan apa yang dia mau dan dia suka. Toh, ucapannya juga tidak akan mempengaruhi isi kepala Chris yang seperti batu.Tangan Cindy dengan lincah membalik lembar halaman buku yang dia baca. Dia masih mengabaikan Chris yang bersandar pada lemari dengan tubuh basahnya. Suara helaan nafas dari Chris pun tidak membuat Cindy beralih. Dia sudah membulatkan tekat untuk diam dan menurut. Itu yang Chris mau."Baiklah, kau ingin nuansa warnapeach?Kau mendapatkannya, Cindy." Chris mengambil sebuah baju dan memakainya cepat.Cindy yang mendengar ucapan suaminya pun menutup bukunya cepat dan berteriak senang. "Akhirnya!" Cindy mulai berdiri dan menghampiri suaminya."Kau selalu melakukan itu." Chris bergumam tanpa menatap Cindy yang berada di belakangnya.Tangan kecil itu perlahan melingkar denga
Chris keluar dari bilik telepon umum setelah berhasil menghubungi Ron. Dia hanya memberi informasi jika dia baik-baik saja dan akan segera menjemput Cindy. Perkataan Anton terngiang-ngiang di otaknya. Apa yang Cindy lakukan di gudang Auredo? Bahkan Chris harus menempuh waktu 3 jam untuk sampai di tempat itu.Perjalanan terasa begitu lama dan Chris kesal dengan itu. Rasa nyeri di kepalanya tidak sebanding dengan rasa nyeri di hatinya. Demi apapun, jika istrinya tidak dalam keadaan baik. Chris akan menghukum dirinya sendiri. Semua ini salahnya. Jika tidak datang ke rumah terkutuk itu semua ini tidak akan terjadi.***Anton menatap pintu berwarna putih di hadapannya dengan ragu. Setelah melihat mobil merah di teras rumah Cindy, dia yakin jika Lexa berada di dalam sana. Perlahan tangan itu terangkat untuk mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Ron yang menatapnya aneh, tapi itu tidak bertahan lama karena Ron langsung melayangka
Lexa berdiri dengan kaku. Rasa semangatnya yang berkobar mendadak hilang entah ke mana. Jujur saja, rumah besar di hadapannya sedikit memberikan rasa trauma. Namun demi Cindy, dia akan memberanikan diri. Dengan tangan yang mengelus perutnya, Lexa berjalan menghampiri Ron yang tengah berbicara dengan penjaga gerbang. Tak lama pagar besar itu terbuka membuat Lexa reflek menarik lengan Ron."Kita harus hati-hati. Ada iblis di dalam sana," bisik Lexa pelan."Kau yang harusnya hati-hati." Ron mendengus dan melirik perut buncit Lexa.Mereka bergegas masuk ke area rumah tanpa rasa ragu. Ron sudah sering datang, begitupun juga Lexa. Namun mereka tidak tahu apa semuanya masih sama setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini?"Kenapa kau begitu yakin jika Anton berada di sini?""Perasaanku kuat." Lexa mengedikkan bahunya acuh.Tangan Ron yang akan mengetuk pintu seketika terhenti ketika mendengar suara di belakangnya. Lexa dan Ron kompak menoleh dan mend
Chris terengah dengan tangan yang penuh akan darah. Di hadapannya sudah ada 3 penjaga yang tumbang karena menahannya untuk pergi. Melihat situasi rumah yang tampak sepi, Chris dengan cepat keluar dari kamar. Sudah dua hari dia di rumah ini dan tidak ingin lebih lama lagi untuk tinggal. Rumahnya bukan di sini, melainkan tempat sederhana di mana dia merasakan apa itu kehangatan keluarga."Tuan Chris!" teriak Anton yang melihat kepergian Chris. Dengan cepat dia menghubungi penjaga gerbang untuk lebih meningkatkan keamanan. Seharusnya dia tahu jika Tuannya sudah pasti akan memberontak.Chris bukanlah pria yang lemah. Diam bukan berarti dia menurut, tapi dia memilih untuk menunggu momen yang tepat. Anton yakin jika penjaga yang berjaga di depan kamar Tuannya sudah terbaring kehilangan nyawa.Anton berjalan keluar rumah untuk melihat keberadaan Chris. Dari kejauhan dia melihat anak buahnya tengah menggotong tubuh seseorang. Anton berdecak melihat itu. Begitu sudah ber
Cindy menatap rumah besar di hadapannya dengan jantung yang berdetak kencang. Entah apa yang membuatnya datang ke tempat ini, tapi perasaannya begitu kuat. Untuk pertama kalinya dia datang ke tempat masa kecil Chris. Sebuah rumah megah bak istana yang sangat bertolak belakang dengan kenyataannya. Mendengar dari Chris, rumah itu bahkan tidak mencerminkan kehangatan akan keluarga sama sekali.Kepala Cindy bergerak untuk mencari cara agar pagar besar di hadapannya dapat terbuka. Ketika melihat sebuah pos kecil, dia segera datang menghampiri. Namun belum sampai di pos, pagar besar itu mulai terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan Anton yang sudah berdiri tegak di dalam sana."Nona Cindy," sapa Anton menghampirinya."Kau di sini, Anton?" Cindy bertanya bingung."Saya bekerja di sini." Anton mengedikkan bahunya pelan, "Silahkan masuk, Nona."Dengan cepat Cindy menggeleng, "Tidak! Tidak perlu," ucapnya cepat. "Aku hanya ingin mencari Chris. Apa dia ada
Cindy berdiri di depan jendela dengan resah. Matanya tak berhenti untuk menatap jalan dengan harapan akan melihat mobil Chris yang datang. Namun tidak, Cindy tidak melihatnya. Chris tak kunjung pulang. Tangan Cindy meremas ponselnya kesal dan kembali menghubungi nomor suaminya. Lagi-lagi hanya bunyi operator yang menjawab.Sebenarnya Cindy tidak akan seresah ini jika Chris menghubunginya. Pria itu memang sering lembur akhir-akhir ini, tapi selalu ada kabar. Chris tidak pernah absen untuk menghubunginya jika ada pekerjaan mendadak."Kak?" Suara ketukan membuat Cindy dengan cepat membuka pintu kamarnya. Dia menghela nafas lelah karena hanya Caleb yang berdiri sana dan bukan Chris."Ada apa denganmu?" tanya Caleb aneh."Ada apa?" Cindy berusaha tenang dan menatap Caleb yang lebih tinggi darinya."Aku lapar, bisakah kau membuatkanku spageti?"Cindy mendengus dan mengikat rambutnya asal. "Kau sudah makan malam tadi dan juga menghabiskan satu dus
Chris melepaskan helm proyeknya setelah selesai meninjau pembangunan gedung milik perusahaanya. Setelah beberapa bulan berjuang, tentu usaha tidak akan mengkhianati hasil. Chris mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan dia juga mendengar jika kerajaan bisnis Auredo mulai menurun. Chris tertawa melihat berita itu di televisi.Berita tentang dirinya yang tidak lagi menggunakan nama Auredo juga sempat meledak selama beberapa minggu. Banyak wartawan yang ingin mendapatkan informasi secara detail. Tentu Chris tidak akan menyia-nyiakan hal itu. Otak bisnisnya bekerja dengan baik."Lakukan semuanya dengan baik," ucap Chris pada salah satu anak buahnya dan berlalu masuk ke dalam mobil.Bunyi berdering membuat Chris melirik ponselnya sebentar. Setelah melihat nama wanita mungilnya, tanpa ragu dia mengangkatnya."Aku dalam perjalanan, Cindy." Chris berucap tanpa mendengar sapaan dari Cindy."Lama sekali?" Cindy cemberut di seberang sana."Baru tadi pagi a