Cindy terdiam dengan bingung. Dia masih tidak percaya dengan pria yang ada di depannya saat ini. Jujur saja, Cindy tidak ingin melihat Chris untuk saat ini.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Cindy tidak suka
Chris melirik jam tangannya sebentar, "Sebentar lagi malam, ayo kita pulang."
Cindy menatap Chris aneh, "Kenapa aku harus pulang denganmu?"
Chris berdecak dan melipat kedua tangannya di dada, "Aku pernah berjanji untuk membawamu makan makanan yang sehat dan aku pikir saat ini adalah waktu yang tepat."
"Kau berkata seolah tidak terjadi apa-apa di antara kita. Apa kau lupa jika kau membuatku menangis saat terakhir kali kita bertemu," ucap Cindy dengan kesal.
"Itu karena kau saja yang cengeng. Jika kau tidak keras kepala tentu aku tidak akan melakukan itu."
"Ya ya ya terserah kau Tuan angkuh. Yang pasti aku tidak bisa pulang sekarang, pekerjaanku banyak." Cindy kembali duduk dan merangkai bunganya yang sempat dia tinggalkan tadi.
Chris menatap Cindy dengan teliti. Ternyata gadis itu tidak merasa jera melawannya. Bukannya Chris sudah berkata jika dia tidak boleh membantah ucapannya? Kenapa sulit sekali membuat gadis itu menurut.
"Apa kau benar-benar ingin membuatku berdiri seharian di sini?" tanya Chris dengan kesal.
Tanpa menoleh Cindy berbicara, "Aku tidak memintamu untuk menunggu."
"Benar, aku yang memintamu untuk pulang sekarang."
Cindy mengangkat kepalanya dan menatap Chris kesal. Apa pria itu buta? Apa dia tidak bisa melihat jika dia sedang bekerja sekarang? Cindy tahu akan posisinya di sini, hidupnya seolah sudah dimiliki oleh Chris tapi bisakah pria itu mengerti dengan situasinya sekarang?
"Apa kau terlau bodoh untuk melihat jika aku sedang bekerja sekarang?" tanya Cindy tajam.
Jika untuk Chris, dia tidak akan bisa beramah-tamah lagi. Pria itu telah menunjukkan sisi menyebalkannya dan Cindy juga bisa melakukan itu.
"Kau sudah mulai berani sekarang?" Chris menyeringai.
Cindy tergagap dan kembali menunduk, "Aku tidak takut denganmu."
"Aku tahu," jawab Chris cepat dengan tersenyum. Dia merasa lucu melihat tingkah Cindy yang seolah berani padahal dengan jelas jika gadis itu telah terintimidasi olehnya.
Seolah paham jika akan percuma, akhirnya Chris memilih untuk masuk ke dalam ruangan inti pada toko itu. Tempat di mana biasanya Bibi Jane beristirahat atau menyimpan barang-barang pentingnya.
Mendengar langkah kaki yang menjauh, Cindy akhirnya mengangkat kepalanya kembali. Dia terkejut mendapati Chris yang melangkah masuk ke dalam ruangan Bibi Jane.
"Tunggu! Berhenti! Apa yang kau lakukan?!" Cindy berlari untuk mengejar Chris tapi terlambat, pria itu sudah membuka pintu yang menampilkan Bibi Jane dengan majalah di tangannya.
"Maaf, Bibi. Pria ini benar-benar tidak sopan! Aku akan menyuruhnya keluar," ucap Cindy menyesal. Tangannya dengan cepat meraih tangan Chris dan menariknya, tapi dengan cepat Chris menyentak tangan Cindy dan menatap Bibi Jane.
"Aku ingin membawa Cindy pergi sekarang." Bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan. Apa Chris gila bisa berkata seperti itu pada atasannya?
Bibi Jane terdiam dan menatap kedua orang di hadapannya secara bergantian. Wanita tua itu berdiri dan melepas kaca mata bacanya.
"Ingin kau bawa ke mana Cindy?" tanya Bibi Jane berjalan mendekat.
"Hanya makan malam."
Cindy menatap Chris dan Bibi Jane dengan bingung. Kenapa interaksi mereka santai sekali? Apa mereka sudah saling mengenal?
"Dia sedang bekerja, Chris."
Chris menatap Cindy sekilas, "Aku tahu."
"Tunggu, kalian saling mengenal?" tanya Cindy bingung.
"Tidak!" jawab mereka kompak. Hal itu semakin membuat Cindy bingung. Dengan jelas jika dia mendengar Bibi Jane memanggil nama Chris tadi.
"Aku sarankan kau menambah pegawai. Aku tidak mau Cindy lembur seperti ini." Perintah Chris yang hanya dibalas anggukan pasrah oleh Bibi Jane.
"Kenapa Bibi Jane harus menuruti ucapanmu?" Cindy bertanya bingung. Dia masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Tidak perlu banyak tanya, sekarang ambil tasmu dan kita pergi," ucap Chris dan berlalu pergi.
"Aku tidak mau pergi!" teriak Cindy kesal.
Langkah kaki Chris terhenti, "Apa kau ingin aku membuatmu menangis lagi Cindy?"
"Kau membuatnya menangis?" Potong Bibi Jane terkejut.
"Dia ternyata gadis yang cengeng," balas Chris dan melanjutkan langkahnya.
Cindy menatap kepergian Chris dengan kesal. Matanya beralih pada Bibi Jane yang menatapnya bingung. Oh ayo lah! Apa wanita itu tidak berniat untuk menjelaskan semuanya?
"Kenapa kau mengenal pria menyebalkan itu, Bi? Kenapa juga kau harus menuruti ucapannya?!"
Bibi Jane menggeleng lemah, "Aku akan menjawab pertanyaanmu dilain waktu Cindy. Sekarang kau keluar sebelum Chris marah. Aku yakin kau sudah mengetahui bagaimana sikapnya jika sedang marah."
"Kau mengizinkanku keluar? Bersama pria itu?" tanya Cindy tidak percaya.
"Cepat keluar atau kau tidak akan bekerja di sini lagi nanti!" bentak Bibi Jane yang mulai gemas dengan para anak muda itu.
Dengan cepat Cindy langsung pergi dan mengambil tasnya. Dia kesal karena Bibi Jane lebih membela Chris dari pada dirinya. Sebenarnya ada hubungan apa antara Chris dan Bibi Jane?
"Aku pergi, Bi." Pamit Cindy tanpa menoleh.
Bibi Jane menghela nafas kasar. Pasti Cindy salah paham dengan ucapannya tadi. Dia tidak bermaksud mengancam Cindy dengan memecatnya, karena pada kenyataannya hanya Chris yang mampu melakukan itu, atau lebih parahnya lagi dia akan menggusur tempat ini. Jika itu terjadi otomatis Cindy tidak akan bisa bekerja lagi bukan?
***
Chris memotong steak-nya dengan gaya yang elegan dan Cindy mengikuti itu. Oh ayo lah, dia tidak pernah makan di restoran mewah seperti ini dan sialnya Chris mengajaknya tanpa persiapan terlebih dahulu. Jangan salahkan Cindy jika Chris malu dengan sikap kampungan yang dia keluarkan.
"Bagaimana kuliahmu?" tanya Chris membuka suara.
"Baik," balas Cindy singkat dan kembali fokus pada daging di piringnya.
Chris yang mulai jengah dengan tingkah Cindy langsung mengambil piring itu dan memotong daging di dalamnya dengan bagian yang lebih kecil. Setelah selesai, dia mendorong kembali piring itu ke hadapan Cindy.
"Makanlah dengan benar." Cindy hanya cemberut dan memakan dagingnya dengan kesal.
"Jawab pertanyaanku. Bagaimana kuliahmu?"
"Aku sudah menjawabnya, kuliahku sangat baik!" balas Cindy penuh penekanan.
Chris mengangguk paham, "Kau tidak mengalami hal buruk?" tanya Chris lagi.
Kunyahan pada mulut Cindy langsung terhenti. Dia meletakkan pisau dan garpunya begitu mengerti arah pembicaraan Chris. Tubuhnya langsung jatuh bersandar pada kursi dan kedua tangannya terlipat di dada.
"Katakan, apa saja yang kau dengar di kampus tentang diriku?"
Chris ikut meletakkan pisaunya dan menatap Cindy lekat, "Baju yang itu-itu saja, gadis miskin yang kampungan, sepatu antik, ah apa lagi ya?"
Cindy memejamkan matanya kesal, "Apa kau menyesal sekarang telah memberiku beasiswa itu?"
"Tidak." Chris meraih pisaunya dan kembali makan, "Justru aku berterima kasih. Berkat dirimu aku dapat menemukan orang-orang yang pantas dibuang dari tempatku."
"Apa maksudmu?"
"Kau akan mengetahuinya besok," ucap Chris dengan seringainya.
Cindy menatap Chris ngeri, "Jangan lakukan itu."
"Lakukan apa?"
"Itu." Tunjuk Cindy pada senyum Chris, "Jangan menyeringai seperti itu, kau membuatku takut."
Chris berdecak mendengar itu, "Hanya kau gadis yang tidak terpesona dengan senyumanku."
"Karena memang aku tidak tertarik dengan senyummu," jawab Cindy berani.
Chris kembali menyeringai mendengar itu. Gadis di hadapannya benar-benar berbeda. Chris tidak akan pernah bosan untuk mengusik hidup Cindy. Lihat bibir yang mengkerut itu, Chris menyukai pemandangan itu. Sepertinya membuat Cindy kesal adalah hobi barunya saat ini.
"Aku akan mengantarmu besok."
"Apa maksudmu?!" tanya Cindy marah. Lagi-lagi Chris tersenyum melihat itu.
Benar bukan? Cindy sangatlah berbeda..
***
Cindy tersenyum dan melambaikan tangannya pada Violet. Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi dan seperti hari-hari sebelumnya, dia harus mengantar Violet ke sekolah. Jika biasanya Cindy akan menunggu sampai gadis kecil itu pulang, tapi untuk kali ini tidak karena dia ada kelas. Sebagai gantinya, Ron yang akan menjemput Violet nanti. Untung saja Rose tidak mempersalahkan hal itu.Cindy memasangearphonedi telinganya begitu telah keluar dari sekolah Violet. Jarak sekolah Violet dan kampusnya tidak terlalu jauh, hanya 15 menit dengan berjalan kaki. Bisa saja Cindy menaiki bus untuk sampai ke kampusnya tapi ketika mengingat jika hanya 15 menit berjalan kaki, dia mengurungkan niatnya. Anggap saja dia sedang berolah raga sekarang.Cindy memasukkan tangannya ke dalam sakuhoodiedan menatap jalanan yang mulai ramai. Lampu merah yang masih hijau membuat Cindy berhenti di trotoar bersama dengan orang-orang yang ingin menyeberang. Begitu lampu
Suara dentingan sendok yang beradu cepat membuat Lexa mengerutkan dahinya bingung. Wanita itu mengalihkan pandangannya dari salad yang dia makan dan mulai menatap Chris.Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi dan tidak biasanya Chris sudah rapi dengan pakaian kantornya. Sebenarnya Lexa juga jarang untuk berkunjung kepenthouse, tapi entah kenapa pagi ini dia begitu merindukan pria itu.Sudah 2 hari dia ke Paris untuk pemotretan dan Chris sama sekali tidak menghubunginy
Chris berjalan ke arah kasir dengan langkah yang pasti. Matanya menatap pegawai kasir itu dengan tajam seolah sedang meneliti sesuatu. Sebelah alis Chris terangkat begitu orang di hadapannya itu tidak mengenalinya sama sekali. "Apa kau akan terus diam dan tidak menyapaku?" Chris membuka suara membuat pemuda yang ada di hadapannya tersentak dan menatap Chris dalam. Sedetik kemudian pria itu tergagap dan mundur selangkah, "Kau malaikat pembawa beasiswa itu bukan?" Chris terkekeh, "Konyol sekali julukanku." "Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud melupakan wajahmu tap—" Ucapan Caleb terhenti begitu Chris mengangkat sebelah tangannya, "Panggil aku Chris." "Ba—baik, Chris." "Jadi?" Chris menatap keadaan supermarket itu dengan pandangan menilai, "Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" "Baru 3 hari. Aku bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di sini, karena sulit sekali rasanya mencari pekerjaan saat masih bersekolah." Chris m
Tatapan tajam itu masih menatap dua orang yang tengah berbincang di taman gelap dengan amarah yang memuncak. Lexa berdesis dan memukul setir mobilnya kencang.Sialan!
Terlihat seorang pria tengah berbaring di atas ranjangnya dengan malas. Matanya menatap ke arah ponsel yang menampilkan video Cindy yang tengah berjalan ke arah halte untuk menaiki bus. Senyum Chris merekah begitu Cindy menuruti ucapannya untuk menaiki bus. Dia tidak tega jika harus melihat gadis itu pergi ke sana-ke mari dengan berjalan kaki. Pasti itu sangat melelahkan.Chris mengeratkan selimutnya dan menutup ponselnya begitu rekaman Cindy telah habis. Pria itu kembali menutup matanya untuk kembali tidur, tapi ketukan keras pada pintu kamarnya membuatnya membuka matanya kembali.Dahi Chris berkerut bingung. Siapa yang berani masuk ke dalam kediamannya tanpa memberi tahu? Tidak mungkin jika Lexa karena wanita itu sudah berangkat ke Jerman tadi pagi."Chris!" teriak seorang wanita dari luar sana yang membuat Chris langsung terduduk di kasur.Kesal karena istirahatnya terganggu akhirnya Chris turun dari ranjang dan menemui Neneknya yang entah kenapa tiba-
Suara helaan nafas itu kembali terdengar di dalam bilik toilet. Cindy memainkan jari-jarinya dan terduduk di atas toilet dengan gelisah. Telinganya dengan waspada mendengarkan keadaan di luar sana. Takut jika ada orang yang masuk ke dalam toilet, orang- orang yang sangat dia hindari saat ini.Demi Tuhan! Lima belas menit lagi kelas Cindy akan dimulai dan dia masih tidak berani untuk keluar sekarang. Telur busuk sudah cukup untuk mengotori rambutnya tadi dan dia tidak ingin tanah yang akan mendarat di tubuhnya.Iya, Cindy mendapatkan kesialan itu lagi. Dia pikir teman-temannya akan jera, namun ternyata tidak. Setelah dia mulai berangkat sendiri tanpa Chris, teman-temannya mulai berbuat nekat lagi dan kali ini adalah puncaknya. Dia harus rela meninggalkan kelas pertama untuk mengunci diri di toilet guna mencuci rambutnya yang berbau busuk.Chris di mana kau? Aku membutuhkanmu.Cindy kembali menghela nafas kasar dan berus
Pagi yang terik itu tidak menghentikan langkah Cindy untuk segera berangkat ke tempat Violet. Hari ini dia memutuskan untuk tidak pergi ke kampus. Rasa takutnya akanbullyjauh lebih besar dari rasa takutnya pada ancaman Chris. Oh ayo lah! Siapa yang mau jika harus mandi lumpur di pagi hari? Cindy mengeratkanhoodiemerahnya dengan menunduk, menunggu mobil yang melaju di depannya berhenti. Tepat di seberang jalan sana adalah gedung apartemen Rose, dia harus sampai di sana sebelum Violet bangun.
Keadaan ruangan yang sunyi membuat pria yang duduk di kursi kerjanya terlihat lebih tampan berkali-kali lipat. Suara detik jam yang berdenting membuat Chris berkedip, tapi dia masih diam dengan dahi yang berkerut, menatap lantai dengan pandangan seriusnya. Otaknya sedang berpikir keras sekarang. Berpikir tentang bagaimana caranya agar Cindy kembali ke dalam genggamannya, kembali ke pada lingkaran hidup yang sudah dibuat olehnya secara istimewa.Semalam mata elang itu tidak bisa terpejam sedikitpun. Lagi-lagi otaknya yang biasanya cerdas mulai bingung tidak tahu harus melakukan apa untuk kembali menarik Cindy ke dalam hidupnya. Bisa saja Chris memilih
Maria mendorong kursi roda yang diduduki oleh gadis berwajah muram ke arah taman. Sejak masuk ke dalam yayasannya, Maria tidak pernah melihat senyum di bibir gadis itu. Mungkin dia masih mengalami trauma atas kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Kini gadis yang bernama Nessa itu hanya hidup sendiri dan kerabatnya dengan tega memasukkannya ke yayasan orang berkebutuhan khusus.Nessa memang tidak bisa berjalan, tapi bukan berarti dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi. Jika dia mau, perawatan medis dapat membantu kakinya kembali berjalan. Namun entah kenapa Maria tidak merasakan adanya semangat dari diri Nessa. Tatapan gadis itu selalu kosong dan menampakkan kesedihan.Maria tersenyum menatap Caleb yang tengah bermain basket dengan anak-anak yayasannya. Pria itu tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan mempesona."Jika kau mau, kau bisa bermain basket bersama mereka." Tawar Maria menyentuh pundak Nessa. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang dia terima.
Wajah penuh keringat itu mendongak dengan suara yang tertahan. Matanya terpejam seolah menikmati apa yang baru saja dia alami. Setelah itu, tubuh besar Chris jatuh di atas tubuhnya. Tidak terlalu lama, karena Chris sadar akan perut Cindy yang sudah besar. Pelepasan yang sempurna."Apa kita harus menyelesaikan perdebatan dengan bercinta?" tanya Cindy geli.Dia sangat ingat ketika Chris marah hanya karena melihatnya menggunakan sepatu ber-hak tinggi ketika kuliah. Pria itu tanpa ragu melempar semua koleksi sepatunya ke kolam renang dari balkon kamar mereka. Sebenarnya Cindy tidak berniat menggunakan heels, namun entah kenapa bayinya menginginkan itu."Kau yang memulai." Chris meraih pinggang Cindy dan memeluknya erat."Apa? Kau saja yang selalu marah-marah." Cindy cemberut.Chris menghela nafas kasar, "Apa kita akan berdebat lagi? Jika iya, aku masih kuat untuk ronde kedua.""Jangan konyol!" Cindy mendorong wajah Chris
Suasana tegang di dalam sebuah kamar itu semakin menakutkan saat Cindy tidak lagi membuka mulutnya. Wanita itu memilih diam dan membiarkan Chris melakukan apa yang dia mau dan dia suka. Toh, ucapannya juga tidak akan mempengaruhi isi kepala Chris yang seperti batu.Tangan Cindy dengan lincah membalik lembar halaman buku yang dia baca. Dia masih mengabaikan Chris yang bersandar pada lemari dengan tubuh basahnya. Suara helaan nafas dari Chris pun tidak membuat Cindy beralih. Dia sudah membulatkan tekat untuk diam dan menurut. Itu yang Chris mau."Baiklah, kau ingin nuansa warnapeach?Kau mendapatkannya, Cindy." Chris mengambil sebuah baju dan memakainya cepat.Cindy yang mendengar ucapan suaminya pun menutup bukunya cepat dan berteriak senang. "Akhirnya!" Cindy mulai berdiri dan menghampiri suaminya."Kau selalu melakukan itu." Chris bergumam tanpa menatap Cindy yang berada di belakangnya.Tangan kecil itu perlahan melingkar denga
Chris keluar dari bilik telepon umum setelah berhasil menghubungi Ron. Dia hanya memberi informasi jika dia baik-baik saja dan akan segera menjemput Cindy. Perkataan Anton terngiang-ngiang di otaknya. Apa yang Cindy lakukan di gudang Auredo? Bahkan Chris harus menempuh waktu 3 jam untuk sampai di tempat itu.Perjalanan terasa begitu lama dan Chris kesal dengan itu. Rasa nyeri di kepalanya tidak sebanding dengan rasa nyeri di hatinya. Demi apapun, jika istrinya tidak dalam keadaan baik. Chris akan menghukum dirinya sendiri. Semua ini salahnya. Jika tidak datang ke rumah terkutuk itu semua ini tidak akan terjadi.***Anton menatap pintu berwarna putih di hadapannya dengan ragu. Setelah melihat mobil merah di teras rumah Cindy, dia yakin jika Lexa berada di dalam sana. Perlahan tangan itu terangkat untuk mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Ron yang menatapnya aneh, tapi itu tidak bertahan lama karena Ron langsung melayangka
Lexa berdiri dengan kaku. Rasa semangatnya yang berkobar mendadak hilang entah ke mana. Jujur saja, rumah besar di hadapannya sedikit memberikan rasa trauma. Namun demi Cindy, dia akan memberanikan diri. Dengan tangan yang mengelus perutnya, Lexa berjalan menghampiri Ron yang tengah berbicara dengan penjaga gerbang. Tak lama pagar besar itu terbuka membuat Lexa reflek menarik lengan Ron."Kita harus hati-hati. Ada iblis di dalam sana," bisik Lexa pelan."Kau yang harusnya hati-hati." Ron mendengus dan melirik perut buncit Lexa.Mereka bergegas masuk ke area rumah tanpa rasa ragu. Ron sudah sering datang, begitupun juga Lexa. Namun mereka tidak tahu apa semuanya masih sama setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini?"Kenapa kau begitu yakin jika Anton berada di sini?""Perasaanku kuat." Lexa mengedikkan bahunya acuh.Tangan Ron yang akan mengetuk pintu seketika terhenti ketika mendengar suara di belakangnya. Lexa dan Ron kompak menoleh dan mend
Chris terengah dengan tangan yang penuh akan darah. Di hadapannya sudah ada 3 penjaga yang tumbang karena menahannya untuk pergi. Melihat situasi rumah yang tampak sepi, Chris dengan cepat keluar dari kamar. Sudah dua hari dia di rumah ini dan tidak ingin lebih lama lagi untuk tinggal. Rumahnya bukan di sini, melainkan tempat sederhana di mana dia merasakan apa itu kehangatan keluarga."Tuan Chris!" teriak Anton yang melihat kepergian Chris. Dengan cepat dia menghubungi penjaga gerbang untuk lebih meningkatkan keamanan. Seharusnya dia tahu jika Tuannya sudah pasti akan memberontak.Chris bukanlah pria yang lemah. Diam bukan berarti dia menurut, tapi dia memilih untuk menunggu momen yang tepat. Anton yakin jika penjaga yang berjaga di depan kamar Tuannya sudah terbaring kehilangan nyawa.Anton berjalan keluar rumah untuk melihat keberadaan Chris. Dari kejauhan dia melihat anak buahnya tengah menggotong tubuh seseorang. Anton berdecak melihat itu. Begitu sudah ber
Cindy menatap rumah besar di hadapannya dengan jantung yang berdetak kencang. Entah apa yang membuatnya datang ke tempat ini, tapi perasaannya begitu kuat. Untuk pertama kalinya dia datang ke tempat masa kecil Chris. Sebuah rumah megah bak istana yang sangat bertolak belakang dengan kenyataannya. Mendengar dari Chris, rumah itu bahkan tidak mencerminkan kehangatan akan keluarga sama sekali.Kepala Cindy bergerak untuk mencari cara agar pagar besar di hadapannya dapat terbuka. Ketika melihat sebuah pos kecil, dia segera datang menghampiri. Namun belum sampai di pos, pagar besar itu mulai terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan Anton yang sudah berdiri tegak di dalam sana."Nona Cindy," sapa Anton menghampirinya."Kau di sini, Anton?" Cindy bertanya bingung."Saya bekerja di sini." Anton mengedikkan bahunya pelan, "Silahkan masuk, Nona."Dengan cepat Cindy menggeleng, "Tidak! Tidak perlu," ucapnya cepat. "Aku hanya ingin mencari Chris. Apa dia ada
Cindy berdiri di depan jendela dengan resah. Matanya tak berhenti untuk menatap jalan dengan harapan akan melihat mobil Chris yang datang. Namun tidak, Cindy tidak melihatnya. Chris tak kunjung pulang. Tangan Cindy meremas ponselnya kesal dan kembali menghubungi nomor suaminya. Lagi-lagi hanya bunyi operator yang menjawab.Sebenarnya Cindy tidak akan seresah ini jika Chris menghubunginya. Pria itu memang sering lembur akhir-akhir ini, tapi selalu ada kabar. Chris tidak pernah absen untuk menghubunginya jika ada pekerjaan mendadak."Kak?" Suara ketukan membuat Cindy dengan cepat membuka pintu kamarnya. Dia menghela nafas lelah karena hanya Caleb yang berdiri sana dan bukan Chris."Ada apa denganmu?" tanya Caleb aneh."Ada apa?" Cindy berusaha tenang dan menatap Caleb yang lebih tinggi darinya."Aku lapar, bisakah kau membuatkanku spageti?"Cindy mendengus dan mengikat rambutnya asal. "Kau sudah makan malam tadi dan juga menghabiskan satu dus
Chris melepaskan helm proyeknya setelah selesai meninjau pembangunan gedung milik perusahaanya. Setelah beberapa bulan berjuang, tentu usaha tidak akan mengkhianati hasil. Chris mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan dia juga mendengar jika kerajaan bisnis Auredo mulai menurun. Chris tertawa melihat berita itu di televisi.Berita tentang dirinya yang tidak lagi menggunakan nama Auredo juga sempat meledak selama beberapa minggu. Banyak wartawan yang ingin mendapatkan informasi secara detail. Tentu Chris tidak akan menyia-nyiakan hal itu. Otak bisnisnya bekerja dengan baik."Lakukan semuanya dengan baik," ucap Chris pada salah satu anak buahnya dan berlalu masuk ke dalam mobil.Bunyi berdering membuat Chris melirik ponselnya sebentar. Setelah melihat nama wanita mungilnya, tanpa ragu dia mengangkatnya."Aku dalam perjalanan, Cindy." Chris berucap tanpa mendengar sapaan dari Cindy."Lama sekali?" Cindy cemberut di seberang sana."Baru tadi pagi a