Dengan hoodie polos berwarna hitam, Cindy mulai memasuki sekolahnya. Hari ini dia hanya ada kelas sampai jam 2 siang dan setelah itu dia akan kembali bekerja di toko bunga.
Cindy telah memulai kuliahnya sejak 2 hari yang lalu. Perasaannya sempat campur aduk begitu harus memulai hari barunya. Dia takut jika tidak akan ada yang mau berteman dengannya dan sialnya itu benar terjadi.
Cindy harus mulai menguatkan mental dari sekarang. Jika tidak, dia akan menjadi gila sendiri nanti. Bagaimana tidak, jika kehidupan orang-orang di kampus ini benar-benar gila. Mereka begitu modis dan terlihat sialan kaya. Cindy menjadi takut sendiri untuk memulai pertemanan.
Dia sekarang menyesal dengan keinginannnya dulu untuk sekolah di tempat ini. Tidak Cindy pungkiri jika kampus desain ini memang paling bagus di kotanya tapi harusnya dia juga sadar jika sekolah swasta seperti ini pastinya akan diisi oleh orang-orang yang benar-benar beruang.
Cindy berjalan dengan menunduk, tangannya mengepal erat di dalam saku hoodie-nya. Dia berusaha mati-matian untuk mengabaikan semua bisikan setan di sekelilingnya. Cindy memang mendapatkan bully sejak hari pertama. Alasannya hanya satu, karena dia miskin.
"Memakai pakaian itu lagi, Cindy?"
"Ah sepatumu cocok dimasukkan ke museum antik!"
Cindy terjatuh dan memegangi lututnya dengan tangan yang gemetar. Bibirnya dia gigit dengan keras untuk menahan rasa sakit. Ingin rasanya dia memukul pria yang baru saja mendorongnya dari belakang hingga tersungkur seperti ini. Namun apa daya, semakin dia melawan maka semakin banyak yang akan mengganggunya.
Dengan perlahan Cindy bangkit, tapi dia langsung kembali duduk begitu kakinya terasa ngilu. Dia ingin menangis rasanya, tapi tidak mungkin jika harus menangis di depan banyak orang. Yang harus Cindy lakukan sekarang adalah berdiri dan pergi dari sini.
Aku kuat!
Dengan menyemangati dirinya sendiri, akhirnya Cindy berhasil berdiri dan berjalan pelan menuju toilet. Benar, toilet telah menjadi tempat favoritnya di kampus, karena hanya tempat itu saja yang membuatnya tenang dan terhindar dari banyak masalah.
Cindy masuk ke dalam toilet dengan mengusap matanya yang basah. Jika bukan karena pendidikan yang ia inginkan, tentu Cindy tidak akan mau dihina seperti ini. Dia harus tetap menjaga perilakunya atau Chris akan marah nantinya.
Tentang Chris, Cindy tidak bertemu lagi dengan pria itu setelah kejadian dirinya menangis seminggu yang lalu. Chris seolah menghilang, tapi malam sebelum Cindy mulai kuliah, pria itu mengirimkan pesan singkat kepadanya. Hanya pesan yang berisi seputar kuliahnya, itu saja.
Pintu toilet terbuka dan Cindy langsung menghapus air matanya. Dia tidak mau jika siapapun itu melihatnya menangis seperti ini. Tubuh Cindy bergeser begitu melihat wanita dengan rambut merahnya mencuci tangan di wastafel.
"Sakit?" Cindy menatap gadis berambut api itu dengan bingung.
"Kau berbicara padaku?" Tunjuk Cindy pada dirinya sendiri.
"Kau pikir aku gila bicara sendiri."
"Maaf," ucap Cindy dengan menunduk.
Gadis berambut merah itu berbalik menatapnya, "Kau seharusnya melawan mereka."
Cindy menggeleng dan tersenyum kecut, "Aku tidak mau beasiswaku dicabut karena membuat ulah."
"Kau tidak hanya seminggu-dua minggu di sini. Kau tidak mungkin selamanya ditindas seperti itu."
Wajah Cindy terangkat dan menatap gadis itu terkejut. Baru pertama ini ada seseorang yang berbicara dari hati ke hati padanya, "Aku tidak masalah dengan itu."
Gadis berambut merah itu memutar matanya jengah, "Jangan bodoh! Ini, obati luka di lututmu."
Cindy menerima plester itu dengan ragu, "Terima kasih."
"Namaku Alice dan jika kau butuh tempat duduk di kantin, kau bisa duduk di ujung sebelah taman." Cindy mengerutkan keningnya bingung.
Alice berdecak, "Itu tempatku dan aku harap kau berhenti makan siang di toilet, itu menjijikkan." Setelah mengatakan itu Alice berlalu pergi meninggalkan Cindy sendiri.
Dengan perlahan senyuman mulai terukir di bibir Cindy. Akhirnya dia bisa mempunyai teman sekarang. Sempat dia merasa kurang percaya diri dulu, tapi perkataan Alice ada benarnya. Dia tidak bisa diam saja seperti ini. Chris juga akan paham jika dia hanya membela diri.
Dengan masih tersenyum, Cindy keluar dari toilet. Kelas akan dimulai sebentar lagi dan sekarang dia tidak sabar untuk pulang. Dia ingin bercerita pada Ibunya jika dia telah berhasil mendapatkan teman. Konyol memang, tapi itulah yang ingin di dengar oleh Maria. Wanita paruh baya itu ingin anaknya hidup normal seperti remaja lainnya.
***
Cindy merangkai bunga di hadapannya dengan cepat, dia lihai dalam hal ini. Jika tentang kreativitas, tentu tidak ada yang meragukannya. Pesanan sebanyak 150 buket bunga telah diterima oleh Bibi Jane. Sebagai karyawan yang baik, Cindy telah merangkai setidaknya 32 buket dalam waktu 1 jam. Oh ayo lah, ini memang keahliannya!
"Apa tidak masalah jika kau lembur malam ini Cindy?" tanya Bibi Jane membawa minuman dingin yang membuat Ron mengusap tangannya senang.
"Tidak masalah, Bi. Aku tidak ada tugas."
"Bagaimana dengan Violet?" tanya Ron meminum minumannya.
"Rose sedang libur dan aku pikir mereka akan jalan-jalan nanti malam."
"Rose yang malang. Aku masih tidak terima jika dia bekerja sebagai wanita panggilan. Dia begitu sialan cantik!"
Bibi Jane mendengus mendengar ucapan Ron, "Jika kasihan sebaiknya kau mulai bekerja dengan giat sekarang, karena jujur saja Ron, kehidupanmu jauh lebih menyedihkan dibanding Rose."
"Bibi!" teriak Ron kesal, "Kenapa kau selalu memojokkanku? Jika ada, aku pun mau bekerja sesuai dengan bidangku."
"Ya ya ya, teruslah bermimpi, Ron." Bibi Jane pergi meninggalkan dua pekerjanya yang masih sibuk merangkai bunga.
Ron kembali duduk, dengan kesal dia meraih bunga dan kembali merangkainya dengan asal. Hal itu membuat Cindy berdecak gemas. Ron benar-benar tidak bisa jika harus bekerja menggunakan kreativitas.
"Jika kau ingin menghancurkan pekerjaanku lebih baik kau mundur Ron," ucap Cindy kesal.
Ron berdecak dan mendorong buket bunganya menjauh, "Kau juga Cindy! Kenapa kau jadi menyebalkan seperti Bibi!"
"Jangan cemberut seperti itu, kau jelek!" celetuk Cindy tanpa perasaan.
Ron mendengus dan duduk bersandar pada pot besar di belakangnya. Dia hanya memperhatikan tangan lincah Cindy dalam menata bunga. Sesekali matanya juga menatap wajah Cindy yang terlihat berbeda sore ini.
"Ada apa dengan wajahmu? Kau terlihat berbeda." Ron mulai membuka suara.
"Apa maksudmu?"
Ron mendekat dan menatap wajah Cindy dengan teliti. Dengan pelan jari Ron menunjuk wajahnya sendiri, "Wajah itu, kau terlihat bahagia. Coba cerita, apa yang membuatmu bahagia?"
Cindy mulai mengangkat kepalanya dan tersenyum manis, "Aku sudah mempunyai teman."
"Kau serius?"
Cindy mengangguk semangat, "Namanya Alice. Dia terlihat dingin tapi dia sangat baik."
"Apa dia cantik?" tanya Ron keluar topik.
"Apa kau menyukai rambut merah? Jika iya berarti dia cantik dalam kamusmu."
"Ah, wanita nyentrik hah? Aku suka," gumam Ron sambil mengelus dagunya.
"Tapi aku pikir dia tidak akan menyukai pria sepertimu." Ucapan Cindy membuat senyum Ron luntur.
"Lagi Cindy? Berapa kali kau sudah menghinaku hari ini?"
Cindy mengusap peluh di dahinya, "Baru dua kali, Ron. Jangan berlebihan."
"Dasar gadis gila!" rutuk Ron kesal dan berjalan ke luar toko. Lebih baik dia mengerjakan sesuatu di depan sana dari pada mendengar penghinaan yang selalu Cindy dan Bibinya ucapkan.
Ketika masih sibuk membersihkan pupuk di atas jalan, sebuah mobil hitam mengkilap berhenti tepat di depan toko. Ron yang tersadar langsung membuka sarung tangannya cepat.
Seorang pria dengan kaca mata hitamnya turun dari mobil dan menatap Ron dengan datar. Ron hanya menggaruk rambutnya yang tidak gatal melihat tatapan aneh dari orang itu.
"Di mana dia?" tanya Chris melepas kaca mata hitamnya.
Ron tahu jelas arah pembicaraan Chris, "Dia ada di dalam."
"Sedang apa dia?"
Ron melirik ke dalam sebentar, takut jika Cindy akan keluar nanti, "Dia sedang merangkai pesanan bunga."
Alis Chris bertautan mendengar itu, "Dan kau tidak membantu?"
"Ah—itu!" Ron menggaruk sikunya yang tidak gatal, "Aku tidak ahli dalam merangkai bunga."
"Dasar bodoh! Pantas saja kau selalu dihina oleh Bibimu."
"Oh ayo lah! Apa kau juga akan menghinaku?" Chris mengabaikan Ron dan mulai masuk ke dalam toko.
Ketika masuk, mata Chris dimanjakan oleh bunga-bunga cantik yang bertebaran di seluruh ruangan. Matanya menjelajah ke seluruh tempat untuk mencari keberadaan Cindy dan tatapannya terhenti pada seseorang yang sedang terduduk di atas lantai dengan potongan bunga-bunga di sekitarnya.
"Cindy?" panggil Chris membuat gadis itu terlonjak terkejut.
Dia menatap Chris dan langsung berdiri tegak. Apa yang Chris lakukan di tempat kerjanya? Kenapa dia bisa tahu jika Cindy bekerja di toko bunga ini? Tentu saja! Cindy tidak lupa jika pria itu mengetahui segala sesuatu tentang dirinya.
***
Cindy terdiam dengan bingung. Dia masih tidak percaya dengan pria yang ada di depannya saat ini. Jujur saja, Cindy tidak ingin melihat Chris untuk saat ini."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Cindy tidak sukaChris melirik jam tangannya sebentar, "Sebentar lagi malam, ayo kita pulang."Cindy menatap Chris aneh, "Kenapa aku harus pulang denganmu?"Chris berdecak dan melipat kedua tangannya di dada, "Aku pernah berjanji untuk membawamu makan makanan yang sehat dan aku pikir saat ini adalah waktu yang tepat.""Kau berkata seolah tidak terjadi apa-apa di antara kita. Apa kau lupa jika kau membuatku menangis saat terakhir kali kita bertemu," ucap Cindy dengan kesal."Itu karena kau saja yang cengeng. Jika kau tidak keras kepala tentu aku tidak akan melakukan itu.""Ya ya ya terserah kau Tuan angkuh. Yang pasti aku tidak bisa pulang sekarang, pekerjaanku banyak." Cindy kembali duduk dan merangkai bunganya yang sempat dia tinggalkan tadi.
Cindy tersenyum dan melambaikan tangannya pada Violet. Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi dan seperti hari-hari sebelumnya, dia harus mengantar Violet ke sekolah. Jika biasanya Cindy akan menunggu sampai gadis kecil itu pulang, tapi untuk kali ini tidak karena dia ada kelas. Sebagai gantinya, Ron yang akan menjemput Violet nanti. Untung saja Rose tidak mempersalahkan hal itu.Cindy memasangearphonedi telinganya begitu telah keluar dari sekolah Violet. Jarak sekolah Violet dan kampusnya tidak terlalu jauh, hanya 15 menit dengan berjalan kaki. Bisa saja Cindy menaiki bus untuk sampai ke kampusnya tapi ketika mengingat jika hanya 15 menit berjalan kaki, dia mengurungkan niatnya. Anggap saja dia sedang berolah raga sekarang.Cindy memasukkan tangannya ke dalam sakuhoodiedan menatap jalanan yang mulai ramai. Lampu merah yang masih hijau membuat Cindy berhenti di trotoar bersama dengan orang-orang yang ingin menyeberang. Begitu lampu
Suara dentingan sendok yang beradu cepat membuat Lexa mengerutkan dahinya bingung. Wanita itu mengalihkan pandangannya dari salad yang dia makan dan mulai menatap Chris.Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi dan tidak biasanya Chris sudah rapi dengan pakaian kantornya. Sebenarnya Lexa juga jarang untuk berkunjung kepenthouse, tapi entah kenapa pagi ini dia begitu merindukan pria itu.Sudah 2 hari dia ke Paris untuk pemotretan dan Chris sama sekali tidak menghubunginy
Chris berjalan ke arah kasir dengan langkah yang pasti. Matanya menatap pegawai kasir itu dengan tajam seolah sedang meneliti sesuatu. Sebelah alis Chris terangkat begitu orang di hadapannya itu tidak mengenalinya sama sekali. "Apa kau akan terus diam dan tidak menyapaku?" Chris membuka suara membuat pemuda yang ada di hadapannya tersentak dan menatap Chris dalam. Sedetik kemudian pria itu tergagap dan mundur selangkah, "Kau malaikat pembawa beasiswa itu bukan?" Chris terkekeh, "Konyol sekali julukanku." "Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud melupakan wajahmu tap—" Ucapan Caleb terhenti begitu Chris mengangkat sebelah tangannya, "Panggil aku Chris." "Ba—baik, Chris." "Jadi?" Chris menatap keadaan supermarket itu dengan pandangan menilai, "Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" "Baru 3 hari. Aku bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di sini, karena sulit sekali rasanya mencari pekerjaan saat masih bersekolah." Chris m
Tatapan tajam itu masih menatap dua orang yang tengah berbincang di taman gelap dengan amarah yang memuncak. Lexa berdesis dan memukul setir mobilnya kencang.Sialan!
Terlihat seorang pria tengah berbaring di atas ranjangnya dengan malas. Matanya menatap ke arah ponsel yang menampilkan video Cindy yang tengah berjalan ke arah halte untuk menaiki bus. Senyum Chris merekah begitu Cindy menuruti ucapannya untuk menaiki bus. Dia tidak tega jika harus melihat gadis itu pergi ke sana-ke mari dengan berjalan kaki. Pasti itu sangat melelahkan.Chris mengeratkan selimutnya dan menutup ponselnya begitu rekaman Cindy telah habis. Pria itu kembali menutup matanya untuk kembali tidur, tapi ketukan keras pada pintu kamarnya membuatnya membuka matanya kembali.Dahi Chris berkerut bingung. Siapa yang berani masuk ke dalam kediamannya tanpa memberi tahu? Tidak mungkin jika Lexa karena wanita itu sudah berangkat ke Jerman tadi pagi."Chris!" teriak seorang wanita dari luar sana yang membuat Chris langsung terduduk di kasur.Kesal karena istirahatnya terganggu akhirnya Chris turun dari ranjang dan menemui Neneknya yang entah kenapa tiba-
Suara helaan nafas itu kembali terdengar di dalam bilik toilet. Cindy memainkan jari-jarinya dan terduduk di atas toilet dengan gelisah. Telinganya dengan waspada mendengarkan keadaan di luar sana. Takut jika ada orang yang masuk ke dalam toilet, orang- orang yang sangat dia hindari saat ini.Demi Tuhan! Lima belas menit lagi kelas Cindy akan dimulai dan dia masih tidak berani untuk keluar sekarang. Telur busuk sudah cukup untuk mengotori rambutnya tadi dan dia tidak ingin tanah yang akan mendarat di tubuhnya.Iya, Cindy mendapatkan kesialan itu lagi. Dia pikir teman-temannya akan jera, namun ternyata tidak. Setelah dia mulai berangkat sendiri tanpa Chris, teman-temannya mulai berbuat nekat lagi dan kali ini adalah puncaknya. Dia harus rela meninggalkan kelas pertama untuk mengunci diri di toilet guna mencuci rambutnya yang berbau busuk.Chris di mana kau? Aku membutuhkanmu.Cindy kembali menghela nafas kasar dan berus
Pagi yang terik itu tidak menghentikan langkah Cindy untuk segera berangkat ke tempat Violet. Hari ini dia memutuskan untuk tidak pergi ke kampus. Rasa takutnya akanbullyjauh lebih besar dari rasa takutnya pada ancaman Chris. Oh ayo lah! Siapa yang mau jika harus mandi lumpur di pagi hari? Cindy mengeratkanhoodiemerahnya dengan menunduk, menunggu mobil yang melaju di depannya berhenti. Tepat di seberang jalan sana adalah gedung apartemen Rose, dia harus sampai di sana sebelum Violet bangun.
Maria mendorong kursi roda yang diduduki oleh gadis berwajah muram ke arah taman. Sejak masuk ke dalam yayasannya, Maria tidak pernah melihat senyum di bibir gadis itu. Mungkin dia masih mengalami trauma atas kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Kini gadis yang bernama Nessa itu hanya hidup sendiri dan kerabatnya dengan tega memasukkannya ke yayasan orang berkebutuhan khusus.Nessa memang tidak bisa berjalan, tapi bukan berarti dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi. Jika dia mau, perawatan medis dapat membantu kakinya kembali berjalan. Namun entah kenapa Maria tidak merasakan adanya semangat dari diri Nessa. Tatapan gadis itu selalu kosong dan menampakkan kesedihan.Maria tersenyum menatap Caleb yang tengah bermain basket dengan anak-anak yayasannya. Pria itu tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan mempesona."Jika kau mau, kau bisa bermain basket bersama mereka." Tawar Maria menyentuh pundak Nessa. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang dia terima.
Wajah penuh keringat itu mendongak dengan suara yang tertahan. Matanya terpejam seolah menikmati apa yang baru saja dia alami. Setelah itu, tubuh besar Chris jatuh di atas tubuhnya. Tidak terlalu lama, karena Chris sadar akan perut Cindy yang sudah besar. Pelepasan yang sempurna."Apa kita harus menyelesaikan perdebatan dengan bercinta?" tanya Cindy geli.Dia sangat ingat ketika Chris marah hanya karena melihatnya menggunakan sepatu ber-hak tinggi ketika kuliah. Pria itu tanpa ragu melempar semua koleksi sepatunya ke kolam renang dari balkon kamar mereka. Sebenarnya Cindy tidak berniat menggunakan heels, namun entah kenapa bayinya menginginkan itu."Kau yang memulai." Chris meraih pinggang Cindy dan memeluknya erat."Apa? Kau saja yang selalu marah-marah." Cindy cemberut.Chris menghela nafas kasar, "Apa kita akan berdebat lagi? Jika iya, aku masih kuat untuk ronde kedua.""Jangan konyol!" Cindy mendorong wajah Chris
Suasana tegang di dalam sebuah kamar itu semakin menakutkan saat Cindy tidak lagi membuka mulutnya. Wanita itu memilih diam dan membiarkan Chris melakukan apa yang dia mau dan dia suka. Toh, ucapannya juga tidak akan mempengaruhi isi kepala Chris yang seperti batu.Tangan Cindy dengan lincah membalik lembar halaman buku yang dia baca. Dia masih mengabaikan Chris yang bersandar pada lemari dengan tubuh basahnya. Suara helaan nafas dari Chris pun tidak membuat Cindy beralih. Dia sudah membulatkan tekat untuk diam dan menurut. Itu yang Chris mau."Baiklah, kau ingin nuansa warnapeach?Kau mendapatkannya, Cindy." Chris mengambil sebuah baju dan memakainya cepat.Cindy yang mendengar ucapan suaminya pun menutup bukunya cepat dan berteriak senang. "Akhirnya!" Cindy mulai berdiri dan menghampiri suaminya."Kau selalu melakukan itu." Chris bergumam tanpa menatap Cindy yang berada di belakangnya.Tangan kecil itu perlahan melingkar denga
Chris keluar dari bilik telepon umum setelah berhasil menghubungi Ron. Dia hanya memberi informasi jika dia baik-baik saja dan akan segera menjemput Cindy. Perkataan Anton terngiang-ngiang di otaknya. Apa yang Cindy lakukan di gudang Auredo? Bahkan Chris harus menempuh waktu 3 jam untuk sampai di tempat itu.Perjalanan terasa begitu lama dan Chris kesal dengan itu. Rasa nyeri di kepalanya tidak sebanding dengan rasa nyeri di hatinya. Demi apapun, jika istrinya tidak dalam keadaan baik. Chris akan menghukum dirinya sendiri. Semua ini salahnya. Jika tidak datang ke rumah terkutuk itu semua ini tidak akan terjadi.***Anton menatap pintu berwarna putih di hadapannya dengan ragu. Setelah melihat mobil merah di teras rumah Cindy, dia yakin jika Lexa berada di dalam sana. Perlahan tangan itu terangkat untuk mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Ron yang menatapnya aneh, tapi itu tidak bertahan lama karena Ron langsung melayangka
Lexa berdiri dengan kaku. Rasa semangatnya yang berkobar mendadak hilang entah ke mana. Jujur saja, rumah besar di hadapannya sedikit memberikan rasa trauma. Namun demi Cindy, dia akan memberanikan diri. Dengan tangan yang mengelus perutnya, Lexa berjalan menghampiri Ron yang tengah berbicara dengan penjaga gerbang. Tak lama pagar besar itu terbuka membuat Lexa reflek menarik lengan Ron."Kita harus hati-hati. Ada iblis di dalam sana," bisik Lexa pelan."Kau yang harusnya hati-hati." Ron mendengus dan melirik perut buncit Lexa.Mereka bergegas masuk ke area rumah tanpa rasa ragu. Ron sudah sering datang, begitupun juga Lexa. Namun mereka tidak tahu apa semuanya masih sama setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini?"Kenapa kau begitu yakin jika Anton berada di sini?""Perasaanku kuat." Lexa mengedikkan bahunya acuh.Tangan Ron yang akan mengetuk pintu seketika terhenti ketika mendengar suara di belakangnya. Lexa dan Ron kompak menoleh dan mend
Chris terengah dengan tangan yang penuh akan darah. Di hadapannya sudah ada 3 penjaga yang tumbang karena menahannya untuk pergi. Melihat situasi rumah yang tampak sepi, Chris dengan cepat keluar dari kamar. Sudah dua hari dia di rumah ini dan tidak ingin lebih lama lagi untuk tinggal. Rumahnya bukan di sini, melainkan tempat sederhana di mana dia merasakan apa itu kehangatan keluarga."Tuan Chris!" teriak Anton yang melihat kepergian Chris. Dengan cepat dia menghubungi penjaga gerbang untuk lebih meningkatkan keamanan. Seharusnya dia tahu jika Tuannya sudah pasti akan memberontak.Chris bukanlah pria yang lemah. Diam bukan berarti dia menurut, tapi dia memilih untuk menunggu momen yang tepat. Anton yakin jika penjaga yang berjaga di depan kamar Tuannya sudah terbaring kehilangan nyawa.Anton berjalan keluar rumah untuk melihat keberadaan Chris. Dari kejauhan dia melihat anak buahnya tengah menggotong tubuh seseorang. Anton berdecak melihat itu. Begitu sudah ber
Cindy menatap rumah besar di hadapannya dengan jantung yang berdetak kencang. Entah apa yang membuatnya datang ke tempat ini, tapi perasaannya begitu kuat. Untuk pertama kalinya dia datang ke tempat masa kecil Chris. Sebuah rumah megah bak istana yang sangat bertolak belakang dengan kenyataannya. Mendengar dari Chris, rumah itu bahkan tidak mencerminkan kehangatan akan keluarga sama sekali.Kepala Cindy bergerak untuk mencari cara agar pagar besar di hadapannya dapat terbuka. Ketika melihat sebuah pos kecil, dia segera datang menghampiri. Namun belum sampai di pos, pagar besar itu mulai terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan Anton yang sudah berdiri tegak di dalam sana."Nona Cindy," sapa Anton menghampirinya."Kau di sini, Anton?" Cindy bertanya bingung."Saya bekerja di sini." Anton mengedikkan bahunya pelan, "Silahkan masuk, Nona."Dengan cepat Cindy menggeleng, "Tidak! Tidak perlu," ucapnya cepat. "Aku hanya ingin mencari Chris. Apa dia ada
Cindy berdiri di depan jendela dengan resah. Matanya tak berhenti untuk menatap jalan dengan harapan akan melihat mobil Chris yang datang. Namun tidak, Cindy tidak melihatnya. Chris tak kunjung pulang. Tangan Cindy meremas ponselnya kesal dan kembali menghubungi nomor suaminya. Lagi-lagi hanya bunyi operator yang menjawab.Sebenarnya Cindy tidak akan seresah ini jika Chris menghubunginya. Pria itu memang sering lembur akhir-akhir ini, tapi selalu ada kabar. Chris tidak pernah absen untuk menghubunginya jika ada pekerjaan mendadak."Kak?" Suara ketukan membuat Cindy dengan cepat membuka pintu kamarnya. Dia menghela nafas lelah karena hanya Caleb yang berdiri sana dan bukan Chris."Ada apa denganmu?" tanya Caleb aneh."Ada apa?" Cindy berusaha tenang dan menatap Caleb yang lebih tinggi darinya."Aku lapar, bisakah kau membuatkanku spageti?"Cindy mendengus dan mengikat rambutnya asal. "Kau sudah makan malam tadi dan juga menghabiskan satu dus
Chris melepaskan helm proyeknya setelah selesai meninjau pembangunan gedung milik perusahaanya. Setelah beberapa bulan berjuang, tentu usaha tidak akan mengkhianati hasil. Chris mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan dia juga mendengar jika kerajaan bisnis Auredo mulai menurun. Chris tertawa melihat berita itu di televisi.Berita tentang dirinya yang tidak lagi menggunakan nama Auredo juga sempat meledak selama beberapa minggu. Banyak wartawan yang ingin mendapatkan informasi secara detail. Tentu Chris tidak akan menyia-nyiakan hal itu. Otak bisnisnya bekerja dengan baik."Lakukan semuanya dengan baik," ucap Chris pada salah satu anak buahnya dan berlalu masuk ke dalam mobil.Bunyi berdering membuat Chris melirik ponselnya sebentar. Setelah melihat nama wanita mungilnya, tanpa ragu dia mengangkatnya."Aku dalam perjalanan, Cindy." Chris berucap tanpa mendengar sapaan dari Cindy."Lama sekali?" Cindy cemberut di seberang sana."Baru tadi pagi a