Cindy tidak masalah jika mereka hidup dalam kekurangan, karena uang masih bisa dicari. Namun tidak dengan kesehatan, melihat Ibunya yang hanya duduk di kursi roda setiap hari membuat Cindy sakit hati.
Ingatannya kembali berputar ke masa lalu di mana Ayahnya telah pergi meninggalkan mereka. Sejak saat itu, Maria yang menggantikan tugas Ayahnya untuk mencari uang. Wanita itu begitu semangat membanting tulang untuk kebahagiaan anaknya yang masih bersekolah, tapi takdir berkata lain. Maria mengalami kecelakaan yang harus membuat kedua kakinya tidak bisa berjalan. Kendala biaya yang membuatnya seperti ini.
Sampai sekarang, Cindy belum menemukan siapa pelaku tabrak lari tersebut. Bisa saja dia menuntut dan mencari sampai ditemukan, tapi apa daya dia hanyalah rakyat kecil yang makan pun harus bergantung pada orang lain.
"Ibu ingin ke taman?" Tawar Cindy dan mulai mengelap kaki Ibunya dengan kain.
"Tidak perlu, Cindy. Kau harus menemui Bibi Jane sekarang."
Benar, Cindy telah membicarakan tentang beasiswa yang dia terima pada Maria. Wanita itu sangat senang tanpa berpikir jika Cindy mulai bersekolah, otomatis anaknya tidak bisa bekerja secara penuh, dan itu juga akan mempengaruhi keuangan keluarga.
Caleb dengan semangatnya juga meminta Cindy untuk mengambil tawaran itu, biar bagaimanapun dia juga menginginkan yang terbaik untuk kakaknya. Caleb merasa sedih jika Cindy yang masih berusia 20 tahun harus membanting tulang untuk dirinya dan Ibunya. Merasa jika dirinya sudah besar, Caleb siap jika harus mengambil pekerjaan paruh waktu untuk membantu keuangan keluarganya.
Dukungan seperti inilah yang Cindy inginkan. Keluarganya sangat mengerti dirinya. Dengan sekolah pun, Cindy berharap jika dia akan bisa mendapatkan masa depan yang lebih baik nantinya.
"Aku takut jika Bibi Jane tidak akan mengizinkanku, Bu." Cindy terduduk di lantai dengan cemas.
Tangan Maria terulur untuk mengelus rambut coklat anaknya, "Kau tidak perlu khawatir, Cindy. Bibi Jane adalah wanita yang baik, kalaupun dia tidak mengizinkanmu untuk mengurangi jam kerja, kau bisa keluar dari sana. Ibu tidak mau menghalangi kebahagiaanmu, Sayang."
Sebuah senyuman manis muncul di bibir Cindy. Perlahan dia mendekat dan memeluk kaki ibunya erat, "Aku menyangimu, Bu. Ibu jangan khawatir, aku dan Caleb akan tetap berusaha mengumpulkan uang untuk kesembuhan Ibu."
Maria tersenyum, "Tidak perlu dipikirkan. Cepat bersiap dan kembali ke toko bunga. Istirahatmu akan berakhir sebentar lagi."
"Tapi Caleb—"
Maria menggeleng cepat, "Jangan mengkhawatirkan Ibu. Adikmu akan pulang sebentar lagi. Lagipula kau sudah menyiapkan apa yang Ibu butuhkan," ucap Maria sambil menunjuk banyaknya makanan kecil dan benang rajut yang telah Cindy siapkan di meja sebelah Ibunya duduk.
Dengan perlahan, Cindy berdiri dan mulai mengambil tasnya. Dia mengambil potongan roti tanpa selai untuk mengganjal perutnya.
"Aku pergi, Bu. Hubungi aku jika ada apa-apa."
"Ya. Hati-hati, Sayang." Setelah mendengar ucapan Ibunya, Cindy langsung keluar dari rumah untuk kembali ke toko bunga.
Cindy mengeratkan hoodie miliknya dan berjalan dengan menunduk. Bukan tanpa alasan dia melakukan ini. Cindy harus menghindari segala pemandangan yang bisa membuatnya iri hati nantinya.
***
Seorang pria berjalan dengan tegak memasuki ruangan atasannya. Anton terlihat seperti robot dengan tuntutan pekerjaannya sebagai asisten Chris. Pria itu baru saja menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Chris, yaitu menemui Bibi Jane.
Dengan otak cerdiknya, Chris telah membuat skenario untuk hidup Cindy. Dia memang membantu Cindy dalam diam, tapi di satu sisi dia juga telah berhasil mengambil seluruh hidup gadis itu. Mulai dari sekarang, Chris akan selalu mengawasi Cindy.
"Jadi?" tanya Chris sambil bersandar pada kursinya.
Anton menggeleng pelan, "Bibi Jane tidak tahu alasan Mr. Auredo. Dia juga melaksanakan perintah Ayah Anda tanpa tahu akar masalahnya."
Chris mendengus dan memutar kursinya untuk menatap gedung-gedung tinggi di belakangnya. Dahinya berkerut dalam menandakan jika dia sedang berpikir keras sekarang.
Cindy...
Gadis itu...
Chris cukup pusing dengan latar belakang Cindy. Sebenarnya apa yang menyebabkan Ayahnya melakukan semua ini? Chris masih tidak tahu jawabnya sampai sekarang. Semua orang suruhan Ayahnya pun tidak tahu kenapa mereka harus melakukan perintah pria itu.
Chris merasa aneh pada dirinya sendiri. Baru beberapa hari dia mengenal Cindy, tapi gadis itu sudah berani untuk menghantui pikirannya. Seperti sekarang, ketika masih bekerja pun dia masih tetap memikirkan Cindy, mengawasi gadis itu dari jauh melalui Anton.
Chris sadar jika ada yang aneh, tapi dia tidak tahu apa yang membuatnya aneh.
"Saya akan mencari tahu semuanya, Tuan. Beri saya waktu."
Chris mengangguk dan kembali berbalik menatap Anton, "Kupercayakan padamu dan aku harap Nenek tidak akan tahu tentang hal ini."
"Baik, Tuan."
"Oh ya, cari tahu tentang adik Cindy." Perintah Chris sebelum Anton sempat pergi.
"Caleb? Saya dengar dari sekolah jika dia tersendat biaya untuk turnamen."
Chris mengangguk sambil mengelus dagunya. Dia baru sadar ternyata kehidupan Cindy benar-benar menyedihkan, "Kalau begitu bantu dia, carikan dia pekerjaan untuk membantu kakaknya."
Anton mengangguk paham, "Baik, Tuan. Saya akan lakukan setelah ini."
"Ingat Anton, beri dia pekerjaan. Aku tidak suka jika dia hanya diam dan menikmati uang pemberian kakaknya." Pesan Chris sebelum Anton keluar dari ruangannya.
Chris kembali menatap dokumen di mejanya dengan malas. Setelah mendapat informasi dari Anton tentang Cindy, pikirannya langsung buyar. Dia tidak ingin melakukan apa-apa lagi setelah ini. Gadis itu benar-benar membawa efek buruk padanya.
***
Cindy berjalan di trotoar dengan perasaan senang. Dinginnya malam tidak membuatnya resah sedikitpun, bahkan dia tidak merasa takut ketika melewati gang kecil untuk sampai ke rumahnya dengan cepat.
Semua itu terjadi karena dengan mudahnya Bibi Jane mengizinkannya untuk mengurangi jam kerja, sehingga Cindy bisa membagi waktu antara sekolahnya nanti.
Cindy pikir, Bibi Jane akan marah atau yang lebih parahnya akan memecatnya, tapi ternyata pikirannya salah. Wanita paruh baya itu terlihat senang begitu Cindy menceritakan semuanya. Untuk pekerjaannya dengan Rose, Cindy pikir itu tidak masalah. Dia hanya akan menjaga Violet jika Rose bekerja dan selebihnya wanita itu sendiri yang mendampingi anaknya.
Cindy berbelok untuk keluar dari gang sempit menuju jalan raya, tinggal beberapa meter lagi dia sampai di rumah. Begitu akan menyeberang jalan, langkah kakinya terhenti saat melihat mobil hitam mengkilap berhenti tepat di depannya.
Dengan bingung, Cindy memutari mobil itu dengan cepat. Dia takut jika orang itu adalah orang jahat mengingat malam sudah semakin larut. Ketika berusaha memutari mobil, mobil itu kembali bergerak untuk menghalangi langkahnya. Dengan kesal Cindy memukul mobil itu keras. Peduli setan dengan rasa takutnya. Bisakah siapapun itu tidak merusak perasaan baiknya malam ini?
Jendela mobil yang gelap itu perlahan terbuka dan menampilkan wajah Chris yang tersenyum konyol. Cindy menghela nafas lega saat tahu jika pria itu yang berada di balik kemudi mobil.
Chris masih tersenyum tipis mengingat wajah cemberut Cindy yang kesal. Oh ayo lah, dia hanya bermain-main tadi. Dia suka mengganggu gadis kaku itu.
"Ada apa?" tanya Cindy mendekat. Dia tidak berani marah karena biar bagaimanapun Chris yang telah memberikan beasiswa gratis untuknya secara cuma-cuma.
"Masuklah." Perintah Chris menunjuk pintu samping mobilnya.
"Ada apa? Aku harus pulang." Cindy terlihat mundur selangkah untuk menjauh dari mobil.
Chris berdecak dan mulai membuka pintu dari dalam, "Hanya bicara sebentar, masuklah!"
Dengan ragu Cindy mulai masuk ke dalam mobil. Perlahan, mobil Chris mulai bergabung dengan mobil lainnya di jalanan kota yang ramai. Cindy mengulum bibirnya dan memainkan tangannya bingung. Sebenarnya dia tidak ingin ikut, tapi dia juga tidak bisa untuk menolak.
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Cindy pelan.
"Hanya seputar kuliahmu nanti." Chris membelokkan setirnya ke sebuah restoran cepat saji, tapi dia hanya melakukan drive-thru, "Kau ingin pesan apa?"
Cindy menggeleng cepat. Dia tidak ingin apa-apa untuk sekarang. Dia hanya ingin pulang.
Cindy masih diam saat Chris memesan makanannya. Begitu telah menerima makanannya, Chris meletakkan kantong besar itu ke pangkuan Cindy, "Makanlah, atau kau bisa membawanya pulang. Aku tahu itu tidak sehat, tapi lain kali akan aku traktir yang lain."
Cindy menatap Chris tidak percaya. Pria itu berbicara dan meminum kopinya tanpa menatapnya sama sekali. Kenapa? Kenapa Chris bersikap seperti ini padanya?
"Kenapa? Kenapa kau memperlakukanku seperti ini?" tanya Cindy dengan suara pelan.
Chris menoleh sebentar, "Seperti ini bagaimana maksudmu?"
"Ya seperti ini. Menawariku beasiswa, dan.. dan membelikanku makanan." Tunjuk Cindy pada makanan yang ada di pangkuannya.
"Memangnya kenapa? Kau bisa memberikannya pada adikmu."
"Tunggu." Dengan mata yang menyipit Cindy menatap Chris curiga, "Kau tahu jika aku punya adik?"
Chris terdiam dan menatap Cindy dalam, "Percayalah Cindy, aku mengetahui semuanya."
"Jangan seperti itu, kau terdengar seperti psikopat."
Chris tersenyum sinis, "Kau tidak akan menemukan psikopat tampan sepertiku."
"Jangan berbelit-belit. Cepat katakan apa tujuanmu membawaku pergi?" ucap Cindy begitu kesabarannya sudah mulai menipis.
"Apa kau sudah mempunyai peralatan untuk sekokahmu?"
Pertanyaan Chris membuat Cindy terdiam. Benar, dia belum menyiapkan apa-apa untuk sekolahnya. Kalaupun dia harus membeli peralatan sekarang, maka uang tabungan untuk operasi Ibunya akan terpakai nanti.
"Biar kutebak, kau pasti belum menyiapkannya." Tanpa sadar mobil Chris telah berhenti tepat di depan rumah Cindy.
Cindy sempat ingin bertanya, tapi Chris lebih dulu bergerak untuk mengambil sesuatu dari kursi belakang. Sebuah kantong plastik besar yang tidak ia ketahui apa isinya.
Lagi-lagi Chris meletakkan kantong plastik itu ke pangkuan Cindy hingga membuat gadis itu berdecak kesal, "Apa lagi ini, Chris?"
"Kebutuhanmu untuk minggu depan." Chris mengangkat bahunya acuh.
Dengan cepat Cindy membuka kantong itu dan benar saja, dia menemukan banyak peralatan gambar di sana. Dia menatap Chris tidak percaya.
Kenapa Chris melakukan semua ini padaku?
"Kenapa?" tanya Cindy dengan pelan.
Chris berdecak dan mendekat ke arah Cindy, sempat gadis itu ingin marah tapi ternyata pria itu hanya membuka pintu mobil untuknya, "Tidak perlu banyak tanya, sekarang kau masuk sebelum adikmu kelaparan."
"Tapi Chris—"
"Masuk, Cindy. Ini sudah malam."
"Bagaimana dengan ini semua?" Cindy mengangkat semua pemberian Chris termasuk makanan tadi.
"Ambil lah, aku tidak menerima penolakan."
"Tapi—"
"Masuk, Cindy!" bentak Chris pada akhirnya. Dia kesal begitu Cindy selalu membantah ucapannya dan tidak langsung menurut.
Chris menghela nafas kasar begitu melihat Cindy terdiam dan menunduk. Oh ayo lah, ucapannya tadi tidak begitu tajam, kenapa Cindy malah ingin menangis seperti ini?
"Maaf, aku tidak bermaksud membent—"
"Cukup! Aku tahu kau memang mempunyai segalanya, tapi kau tidak bisa berbuat semaumu!" Dengan kesal Cindy meletakkan semua barang pemberian Chris di pangkuan pria itu dan berjalan keluar. Dia tidak menoleh sedikitpun meskipun Chris terus memanggilnya.
"Cindy, jika kau tidak kembali lihat saja nanti!" teriak Chris kesal.
Tanpa ragu Chris keluar dari mobil dengan membawa semua barang yang dia berikan untuk Cindy. Dengan langkah cepat, dia berjalan ke rumah Cindy dan mengetuk pintunya keras.
"Cindy!" teriak Chris tanpa tahu waktu.
"Cin—" Pintu langsung terbuka dan muncul Caleb yang melipat kedua tangannya di dada.
"Siapa kau? Kenapa membuat kakakku menangis?"
Chris menatap Caleb aneh, "Menangis? Bisakah aku bertemu dengannya?"
"Tidak," jawab Caleb cepat.
"Suruh kakakmu keluar atau beasiswanya akan aku cabut," ucap Chris mulai kesal. Mau tidak mau dia harus menunjukkan kekuasaannya sekarang.
"Tunggu, beasiswa katamu?" Caleb bertanya dengan gugup.
"Jika kakakmu masih ingin bersekolah, cepat suruh dia keluar." Tanpa menjawab, Caleb langsung masuk ke dalam rumah.
Chris menunggu dengan kesal. Terdengar suara rusuh di dalam rumah, mungkin terjadi pertengkaran kecil antara Cindy dan adiknya.
"Demi Tuhan, Caleb! Aku tidak mau ber—" Ucapan Cindy terhenti begitu tahu jika usahanya akan sia-sia karena sekarang dia sudah berada tepat di hadapan Chris.
"Apa lagi?" tanya Cindy kesal.
Chris berdecak dan memberikan semua barang yang dia bawa tadi kepada Cindy, "Dengar, kau tahu aku bisa melakukan apapun dalam hitungan detik. Jadi aku harap kau harus berhati-hati dan tetap memperhatikan sikapmu, karena di sini akulah yang memegang kendali."
Cindy terkejut mendengar itu, dia seolah menemukan sisi lain dari dalam diri Chris. Apa pria itu sudah mulai menunjukkan sifat iblisnya?
"Aku tidak ingin mendengar bantahanmu. Hanya satu hal yang harus kau ketahui, berhenti protes atau segalanya akan berjalan diluar dugaanmu." Tekan Chris sekali lagi.
"Apa maksudmu?" Cindy mulai ketakutan.
Chris tersenyum miring, dia senang begitu berhasil membuat gadis kaku itu ketakutan, "Tidak perlu tahu, kau hanya perlu mengingat ucapanku."
Chris berbalik untuk pergi, tapi baru satu langkah dia kembali berbalik menatap Cindy, "Ah ya, untuk Ibumu, aku harap dia cepat sembuh."
Cindy membulatkan matanya mendengar itu. Tadi Caleb, dan sekarang Ibunya? Chris benar-benar mengetahui segalanya. Haruskan Cindy mulai waspada sekarang?
Pikiran baik tentang Chris di otaknya langsung hilang begitu melihat tingkah tak terbantahkannya pria itu.
Apa dia harus menyesal sekarang telah bertemu dengan Chris?
***
Denganhoodiepolos berwarna hitam, Cindy mulai memasuki sekolahnya. Hari ini dia hanya ada kelas sampai jam 2 siang dan setelah itu dia akan kembali bekerja di toko bunga.Cindy telah memulai kuliahnya sejak 2 hari yang lalu. Perasaannya sempat campur aduk begitu harus memulai hari barunya. Dia takut jika tidak akan ada yang mau berteman dengannya dan sialnya itu benar terjadi.Cindy harus mulai menguatkan mental dari sekarang. Jika tidak, dia akan menjadi gi
Cindy terdiam dengan bingung. Dia masih tidak percaya dengan pria yang ada di depannya saat ini. Jujur saja, Cindy tidak ingin melihat Chris untuk saat ini."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Cindy tidak sukaChris melirik jam tangannya sebentar, "Sebentar lagi malam, ayo kita pulang."Cindy menatap Chris aneh, "Kenapa aku harus pulang denganmu?"Chris berdecak dan melipat kedua tangannya di dada, "Aku pernah berjanji untuk membawamu makan makanan yang sehat dan aku pikir saat ini adalah waktu yang tepat.""Kau berkata seolah tidak terjadi apa-apa di antara kita. Apa kau lupa jika kau membuatku menangis saat terakhir kali kita bertemu," ucap Cindy dengan kesal."Itu karena kau saja yang cengeng. Jika kau tidak keras kepala tentu aku tidak akan melakukan itu.""Ya ya ya terserah kau Tuan angkuh. Yang pasti aku tidak bisa pulang sekarang, pekerjaanku banyak." Cindy kembali duduk dan merangkai bunganya yang sempat dia tinggalkan tadi.
Cindy tersenyum dan melambaikan tangannya pada Violet. Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi dan seperti hari-hari sebelumnya, dia harus mengantar Violet ke sekolah. Jika biasanya Cindy akan menunggu sampai gadis kecil itu pulang, tapi untuk kali ini tidak karena dia ada kelas. Sebagai gantinya, Ron yang akan menjemput Violet nanti. Untung saja Rose tidak mempersalahkan hal itu.Cindy memasangearphonedi telinganya begitu telah keluar dari sekolah Violet. Jarak sekolah Violet dan kampusnya tidak terlalu jauh, hanya 15 menit dengan berjalan kaki. Bisa saja Cindy menaiki bus untuk sampai ke kampusnya tapi ketika mengingat jika hanya 15 menit berjalan kaki, dia mengurungkan niatnya. Anggap saja dia sedang berolah raga sekarang.Cindy memasukkan tangannya ke dalam sakuhoodiedan menatap jalanan yang mulai ramai. Lampu merah yang masih hijau membuat Cindy berhenti di trotoar bersama dengan orang-orang yang ingin menyeberang. Begitu lampu
Suara dentingan sendok yang beradu cepat membuat Lexa mengerutkan dahinya bingung. Wanita itu mengalihkan pandangannya dari salad yang dia makan dan mulai menatap Chris.Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi dan tidak biasanya Chris sudah rapi dengan pakaian kantornya. Sebenarnya Lexa juga jarang untuk berkunjung kepenthouse, tapi entah kenapa pagi ini dia begitu merindukan pria itu.Sudah 2 hari dia ke Paris untuk pemotretan dan Chris sama sekali tidak menghubunginy
Chris berjalan ke arah kasir dengan langkah yang pasti. Matanya menatap pegawai kasir itu dengan tajam seolah sedang meneliti sesuatu. Sebelah alis Chris terangkat begitu orang di hadapannya itu tidak mengenalinya sama sekali. "Apa kau akan terus diam dan tidak menyapaku?" Chris membuka suara membuat pemuda yang ada di hadapannya tersentak dan menatap Chris dalam. Sedetik kemudian pria itu tergagap dan mundur selangkah, "Kau malaikat pembawa beasiswa itu bukan?" Chris terkekeh, "Konyol sekali julukanku." "Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud melupakan wajahmu tap—" Ucapan Caleb terhenti begitu Chris mengangkat sebelah tangannya, "Panggil aku Chris." "Ba—baik, Chris." "Jadi?" Chris menatap keadaan supermarket itu dengan pandangan menilai, "Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" "Baru 3 hari. Aku bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di sini, karena sulit sekali rasanya mencari pekerjaan saat masih bersekolah." Chris m
Tatapan tajam itu masih menatap dua orang yang tengah berbincang di taman gelap dengan amarah yang memuncak. Lexa berdesis dan memukul setir mobilnya kencang.Sialan!
Terlihat seorang pria tengah berbaring di atas ranjangnya dengan malas. Matanya menatap ke arah ponsel yang menampilkan video Cindy yang tengah berjalan ke arah halte untuk menaiki bus. Senyum Chris merekah begitu Cindy menuruti ucapannya untuk menaiki bus. Dia tidak tega jika harus melihat gadis itu pergi ke sana-ke mari dengan berjalan kaki. Pasti itu sangat melelahkan.Chris mengeratkan selimutnya dan menutup ponselnya begitu rekaman Cindy telah habis. Pria itu kembali menutup matanya untuk kembali tidur, tapi ketukan keras pada pintu kamarnya membuatnya membuka matanya kembali.Dahi Chris berkerut bingung. Siapa yang berani masuk ke dalam kediamannya tanpa memberi tahu? Tidak mungkin jika Lexa karena wanita itu sudah berangkat ke Jerman tadi pagi."Chris!" teriak seorang wanita dari luar sana yang membuat Chris langsung terduduk di kasur.Kesal karena istirahatnya terganggu akhirnya Chris turun dari ranjang dan menemui Neneknya yang entah kenapa tiba-
Suara helaan nafas itu kembali terdengar di dalam bilik toilet. Cindy memainkan jari-jarinya dan terduduk di atas toilet dengan gelisah. Telinganya dengan waspada mendengarkan keadaan di luar sana. Takut jika ada orang yang masuk ke dalam toilet, orang- orang yang sangat dia hindari saat ini.Demi Tuhan! Lima belas menit lagi kelas Cindy akan dimulai dan dia masih tidak berani untuk keluar sekarang. Telur busuk sudah cukup untuk mengotori rambutnya tadi dan dia tidak ingin tanah yang akan mendarat di tubuhnya.Iya, Cindy mendapatkan kesialan itu lagi. Dia pikir teman-temannya akan jera, namun ternyata tidak. Setelah dia mulai berangkat sendiri tanpa Chris, teman-temannya mulai berbuat nekat lagi dan kali ini adalah puncaknya. Dia harus rela meninggalkan kelas pertama untuk mengunci diri di toilet guna mencuci rambutnya yang berbau busuk.Chris di mana kau? Aku membutuhkanmu.Cindy kembali menghela nafas kasar dan berus
Maria mendorong kursi roda yang diduduki oleh gadis berwajah muram ke arah taman. Sejak masuk ke dalam yayasannya, Maria tidak pernah melihat senyum di bibir gadis itu. Mungkin dia masih mengalami trauma atas kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Kini gadis yang bernama Nessa itu hanya hidup sendiri dan kerabatnya dengan tega memasukkannya ke yayasan orang berkebutuhan khusus.Nessa memang tidak bisa berjalan, tapi bukan berarti dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi. Jika dia mau, perawatan medis dapat membantu kakinya kembali berjalan. Namun entah kenapa Maria tidak merasakan adanya semangat dari diri Nessa. Tatapan gadis itu selalu kosong dan menampakkan kesedihan.Maria tersenyum menatap Caleb yang tengah bermain basket dengan anak-anak yayasannya. Pria itu tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan mempesona."Jika kau mau, kau bisa bermain basket bersama mereka." Tawar Maria menyentuh pundak Nessa. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang dia terima.
Wajah penuh keringat itu mendongak dengan suara yang tertahan. Matanya terpejam seolah menikmati apa yang baru saja dia alami. Setelah itu, tubuh besar Chris jatuh di atas tubuhnya. Tidak terlalu lama, karena Chris sadar akan perut Cindy yang sudah besar. Pelepasan yang sempurna."Apa kita harus menyelesaikan perdebatan dengan bercinta?" tanya Cindy geli.Dia sangat ingat ketika Chris marah hanya karena melihatnya menggunakan sepatu ber-hak tinggi ketika kuliah. Pria itu tanpa ragu melempar semua koleksi sepatunya ke kolam renang dari balkon kamar mereka. Sebenarnya Cindy tidak berniat menggunakan heels, namun entah kenapa bayinya menginginkan itu."Kau yang memulai." Chris meraih pinggang Cindy dan memeluknya erat."Apa? Kau saja yang selalu marah-marah." Cindy cemberut.Chris menghela nafas kasar, "Apa kita akan berdebat lagi? Jika iya, aku masih kuat untuk ronde kedua.""Jangan konyol!" Cindy mendorong wajah Chris
Suasana tegang di dalam sebuah kamar itu semakin menakutkan saat Cindy tidak lagi membuka mulutnya. Wanita itu memilih diam dan membiarkan Chris melakukan apa yang dia mau dan dia suka. Toh, ucapannya juga tidak akan mempengaruhi isi kepala Chris yang seperti batu.Tangan Cindy dengan lincah membalik lembar halaman buku yang dia baca. Dia masih mengabaikan Chris yang bersandar pada lemari dengan tubuh basahnya. Suara helaan nafas dari Chris pun tidak membuat Cindy beralih. Dia sudah membulatkan tekat untuk diam dan menurut. Itu yang Chris mau."Baiklah, kau ingin nuansa warnapeach?Kau mendapatkannya, Cindy." Chris mengambil sebuah baju dan memakainya cepat.Cindy yang mendengar ucapan suaminya pun menutup bukunya cepat dan berteriak senang. "Akhirnya!" Cindy mulai berdiri dan menghampiri suaminya."Kau selalu melakukan itu." Chris bergumam tanpa menatap Cindy yang berada di belakangnya.Tangan kecil itu perlahan melingkar denga
Chris keluar dari bilik telepon umum setelah berhasil menghubungi Ron. Dia hanya memberi informasi jika dia baik-baik saja dan akan segera menjemput Cindy. Perkataan Anton terngiang-ngiang di otaknya. Apa yang Cindy lakukan di gudang Auredo? Bahkan Chris harus menempuh waktu 3 jam untuk sampai di tempat itu.Perjalanan terasa begitu lama dan Chris kesal dengan itu. Rasa nyeri di kepalanya tidak sebanding dengan rasa nyeri di hatinya. Demi apapun, jika istrinya tidak dalam keadaan baik. Chris akan menghukum dirinya sendiri. Semua ini salahnya. Jika tidak datang ke rumah terkutuk itu semua ini tidak akan terjadi.***Anton menatap pintu berwarna putih di hadapannya dengan ragu. Setelah melihat mobil merah di teras rumah Cindy, dia yakin jika Lexa berada di dalam sana. Perlahan tangan itu terangkat untuk mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Ron yang menatapnya aneh, tapi itu tidak bertahan lama karena Ron langsung melayangka
Lexa berdiri dengan kaku. Rasa semangatnya yang berkobar mendadak hilang entah ke mana. Jujur saja, rumah besar di hadapannya sedikit memberikan rasa trauma. Namun demi Cindy, dia akan memberanikan diri. Dengan tangan yang mengelus perutnya, Lexa berjalan menghampiri Ron yang tengah berbicara dengan penjaga gerbang. Tak lama pagar besar itu terbuka membuat Lexa reflek menarik lengan Ron."Kita harus hati-hati. Ada iblis di dalam sana," bisik Lexa pelan."Kau yang harusnya hati-hati." Ron mendengus dan melirik perut buncit Lexa.Mereka bergegas masuk ke area rumah tanpa rasa ragu. Ron sudah sering datang, begitupun juga Lexa. Namun mereka tidak tahu apa semuanya masih sama setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini?"Kenapa kau begitu yakin jika Anton berada di sini?""Perasaanku kuat." Lexa mengedikkan bahunya acuh.Tangan Ron yang akan mengetuk pintu seketika terhenti ketika mendengar suara di belakangnya. Lexa dan Ron kompak menoleh dan mend
Chris terengah dengan tangan yang penuh akan darah. Di hadapannya sudah ada 3 penjaga yang tumbang karena menahannya untuk pergi. Melihat situasi rumah yang tampak sepi, Chris dengan cepat keluar dari kamar. Sudah dua hari dia di rumah ini dan tidak ingin lebih lama lagi untuk tinggal. Rumahnya bukan di sini, melainkan tempat sederhana di mana dia merasakan apa itu kehangatan keluarga."Tuan Chris!" teriak Anton yang melihat kepergian Chris. Dengan cepat dia menghubungi penjaga gerbang untuk lebih meningkatkan keamanan. Seharusnya dia tahu jika Tuannya sudah pasti akan memberontak.Chris bukanlah pria yang lemah. Diam bukan berarti dia menurut, tapi dia memilih untuk menunggu momen yang tepat. Anton yakin jika penjaga yang berjaga di depan kamar Tuannya sudah terbaring kehilangan nyawa.Anton berjalan keluar rumah untuk melihat keberadaan Chris. Dari kejauhan dia melihat anak buahnya tengah menggotong tubuh seseorang. Anton berdecak melihat itu. Begitu sudah ber
Cindy menatap rumah besar di hadapannya dengan jantung yang berdetak kencang. Entah apa yang membuatnya datang ke tempat ini, tapi perasaannya begitu kuat. Untuk pertama kalinya dia datang ke tempat masa kecil Chris. Sebuah rumah megah bak istana yang sangat bertolak belakang dengan kenyataannya. Mendengar dari Chris, rumah itu bahkan tidak mencerminkan kehangatan akan keluarga sama sekali.Kepala Cindy bergerak untuk mencari cara agar pagar besar di hadapannya dapat terbuka. Ketika melihat sebuah pos kecil, dia segera datang menghampiri. Namun belum sampai di pos, pagar besar itu mulai terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan Anton yang sudah berdiri tegak di dalam sana."Nona Cindy," sapa Anton menghampirinya."Kau di sini, Anton?" Cindy bertanya bingung."Saya bekerja di sini." Anton mengedikkan bahunya pelan, "Silahkan masuk, Nona."Dengan cepat Cindy menggeleng, "Tidak! Tidak perlu," ucapnya cepat. "Aku hanya ingin mencari Chris. Apa dia ada
Cindy berdiri di depan jendela dengan resah. Matanya tak berhenti untuk menatap jalan dengan harapan akan melihat mobil Chris yang datang. Namun tidak, Cindy tidak melihatnya. Chris tak kunjung pulang. Tangan Cindy meremas ponselnya kesal dan kembali menghubungi nomor suaminya. Lagi-lagi hanya bunyi operator yang menjawab.Sebenarnya Cindy tidak akan seresah ini jika Chris menghubunginya. Pria itu memang sering lembur akhir-akhir ini, tapi selalu ada kabar. Chris tidak pernah absen untuk menghubunginya jika ada pekerjaan mendadak."Kak?" Suara ketukan membuat Cindy dengan cepat membuka pintu kamarnya. Dia menghela nafas lelah karena hanya Caleb yang berdiri sana dan bukan Chris."Ada apa denganmu?" tanya Caleb aneh."Ada apa?" Cindy berusaha tenang dan menatap Caleb yang lebih tinggi darinya."Aku lapar, bisakah kau membuatkanku spageti?"Cindy mendengus dan mengikat rambutnya asal. "Kau sudah makan malam tadi dan juga menghabiskan satu dus
Chris melepaskan helm proyeknya setelah selesai meninjau pembangunan gedung milik perusahaanya. Setelah beberapa bulan berjuang, tentu usaha tidak akan mengkhianati hasil. Chris mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan dia juga mendengar jika kerajaan bisnis Auredo mulai menurun. Chris tertawa melihat berita itu di televisi.Berita tentang dirinya yang tidak lagi menggunakan nama Auredo juga sempat meledak selama beberapa minggu. Banyak wartawan yang ingin mendapatkan informasi secara detail. Tentu Chris tidak akan menyia-nyiakan hal itu. Otak bisnisnya bekerja dengan baik."Lakukan semuanya dengan baik," ucap Chris pada salah satu anak buahnya dan berlalu masuk ke dalam mobil.Bunyi berdering membuat Chris melirik ponselnya sebentar. Setelah melihat nama wanita mungilnya, tanpa ragu dia mengangkatnya."Aku dalam perjalanan, Cindy." Chris berucap tanpa mendengar sapaan dari Cindy."Lama sekali?" Cindy cemberut di seberang sana."Baru tadi pagi a