Chris berjalan ke arah kasir dengan langkah yang pasti. Matanya menatap pegawai kasir itu dengan tajam seolah sedang meneliti sesuatu. Sebelah alis Chris terangkat begitu orang di hadapannya itu tidak mengenalinya sama sekali.
"Apa kau akan terus diam dan tidak menyapaku?" Chris membuka suara membuat pemuda yang ada di hadapannya tersentak dan menatap Chris dalam.
Sedetik kemudian pria itu tergagap dan mundur selangkah, "Kau malaikat pembawa beasiswa itu bukan?"
Chris terkekeh, "Konyol sekali julukanku."
"Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud melupakan wajahmu tap—"
Ucapan Caleb terhenti begitu Chris mengangkat sebelah tangannya, "Panggil aku Chris."
"Ba—baik, Chris."
"Jadi?" Chris menatap keadaan supermarket itu dengan pandangan menilai, "Sudah berapa lama kau bekerja di sini?"
"Baru 3 hari. Aku bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di sini, karena sulit sekali rasanya mencari pekerjaan saat masih bersekolah."
Chris mengangguk membenarkan. Jika bukan karena bantuannya tentu Caleb tidak akan bisa berada di sini, "Kenapa kau bekerja?"
Hanya mengetes seberapa pintar adik Cindy?
"Kau tahu aku bukan dari keluarga kaya. Aku tidak bisa bergantung pada kakakku terus-menerus."
"Ah ya kau benar. Dia sudah tidak bekerja sekarang?" tanya Chris.
Caleb menggeleng, "Dia masih bekerja. Hanya setengah hari di toko bunga dan dia juga masih bekerja di tempat Rose."
"Rose?" tanya Chris bingung. Dia merasa tidak asing dengan nama itu.
"Iya, Cindy menjaga anak Rose selama wanita itu pergi bekerja."
Chris mengangguk paham, dia ingat sekarang. Ternyata Rose adalah ibu dari gadis lucu bernama Violet.
"Total $3, Tuan."
Chris membuka dompetnya dan mengeluarkan lembaran uang yang cukup tebal. Tanpa ragu dia menarik tangan Caleb dan memberikan uang itu begitu saja. Belum sempat Caleb berbicara, pria itu kembali mengangkat tangannya.
"Ambil uang itu dan bayar turnamenmu sekarang. Berlatihlah dengan baik karena aku ingin melihatmu pulang membawa medali."
Caleb menatap Chris tidak percaya. Kenapa pria itu bisa mengetahui permasalahan pribadinya? Apa kakaknya yang memberitahunya?
"Kau— bagaimana kau bisa tahu?"
Chris menyeringai, "Bukan sesuatu yang sulit untukku mencari tahu." Chris kembali berdiri tegak dan memasukkan tangannya santai ke dalam saku celana, "Aku pergi. Bekerjalah dengan baik dan jangan repotkan kakakmu."
Caleb menatap ratusan dollar di tangannya dengan tangan yang bergetar. Ini terlalu banyak untuk biaya turnamen. Caleb masih tidak percaya jika Chris melakukan ini? Yang masih dia bingungkan saat ini adalah kenapa pria itu melakukan ini?
Lamunan Caleb buyar begitu melihat minuman dan makanan ringan yang dibeli Chris tadi masih berada di atas meja kasir. Dengan cepat dia meraih makanan itu dan berlari ke luar toko.
"Chris! Kamu meninggalkan belanjaanmu."
Chris masih berjalan dan memasang kaca mata hitamnya, "Makanlah," ucapnya keras dan berlalu masuk ke dalam mobil.
Caleb terdiam di depan toko seperti orang bodoh. Chris hanyalah pria asing, tapi pria itu bertindak seolah telah lama mengenal keluarganya. Apa Cindy juga diperlakukan seperti ini? Jika iya maka dia harus mencari jawaban alasan Chris melakukan ini pada kakaknya.
***
Cindy terduduk di meja dapur dengan melamun. Matanya menatap lembaran uang yang Caleb berikan dengan pikiran yang melayang entah ke mana.
Lagi?
Chris melakukannya lagi. Pria itu kembali membuat ulah dengan ikut mencampuri urusan keluarganya. Cindy harus bertindak tegas sekarang. Dia tidak mau Chris terus melakukan ini. Cindy takut jika dia akan bergantung pada pria itu suatu saat nanti.
"Kapan dia menemuimu Caleb?"
"Tadi sore," ucap Caleb dengan menunduk, "Kau tidak berniat mengembalikan uang itu bukan?" tanya Caleb khawatir. Jujur saja dia sangat membutuhkan uang itu.
"Aku tidak tahu."
"Kak, jangan konyol. Aku—tidak, kita membutuhkan uang ini."
Cindy mengerang dan menelungkupkan wajahnya di meja, "Tapi tidak dengan cara seperti ini Caleb. Kita tidak harus bergantung pada Chris. Apa kau tahu apa yang pria itu lakukan padaku?"
Caleb menggeleng pelan karena dia memang tidak tahu apa yang Chris lakukan pada hidup kakaknya.
"Dia menguasaiku, Caleb. Dia menyetir hidupku!"
Caleb terdiam, "Aku tidak mengerti."
Cindy berdecak dan berdiri dari duduknya. Dia meraih tas dan memasukkan uang itu ke dalam tasnya. Caleb yang melihat itu menatap Cindy tidak percaya.
"Apa yang kau lakukan?! Kau benar-benar ingin mengembalikannya?"
"Aku tidak tahu, tapi setidaknya aku ingin mendengar penjelasan dari Chris. Kau tetap di rumah dan jaga Ibu." Setelah itu, Cindy benar-benar keluar dari rumah menuju taman yang biasa dia kunjungi. Tidak peduli dengan malam yang semakin larut, Cindy memakai tudung hoodie-nya dan mulai berjalan cepat.
***
Chris membanting semua berkas pekerjaannya kesal begitu Lexa terus mengganggunya. Bukan tanpa alasan dia masih bekerja di tengah malam seperti ini, karena memang sejak tadi sore dia tidak bekerja dan sibuk memantau pergerakan Cindy.
"Aku serius Lexa, jika kau tidak berhenti aku akan mengusirmu sekarang!"
Lexa berdecak dan melepaskan pelukannya pada leher Chris, "Aku merindukanmu, Chris! Kenapa kau tidak mengerti?"
"Dan seharusnya kau mengerti jika aku tidak merindukanmu."
"Sialan!" teriak Lexa berang. Dia sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya menyikapi sifat keras Chris, "Aku tunanganmu, aku calon istrimu, Chris!"
"Kau tahu jika itu hanyalah sebuah status," jawab Chris masih fokus pada pekerjaannya, "Sebaiknya kau keluar dan jangan ganggu aku, atau kau ingin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah kau pikirkan sebelumnya?"
Lexa berdecak dengan mata yang memanas. Lagi-lagi Chris mengeluarkan ucapan pedasnya. Seharusnya hati Lexa sudah kebal mendengar itu, tapi semakin dijalani, dia semakin merasa jika dia benar-benar tidak berarti untuk hidup Chris.
"Baik aku pulang, aku besok akan ke Jerman," ucap Lexa akhirnya.
"Ya, $70.000
seperti biasa bukan?" tanya Chris.Lexa hanya mengangguk dan mulai tersenyum. Rasa kesalnya tiba-tiba menguap ketika Chris kembali memberinya uang. Jika bukan dengan kasih sayang, setidaknya Chris memanjakannya dengan harta yang pria itu miliki.
Suara deringan ponsel membuat langkah Lexa yang akan keluar dari ruangan kerja Chris terhenti. Tidak biasanya pria itu mengaktifkan ponsel di malam hari seperti ini, karena seperti yang diketahui semua orang jika Chris hobi sekali mematikan ponselnya.
"Halo?"
"Di mana kau?" tanya Cindy dari seberang sana.
Chris melirik jam dindingnya bingung. Gadis itu belum tidur? "Kenapa?"
"Aku ingin bertemu."
"Aku sibuk."
"Aku serius, Chris. Bisakah kau datang ke taman?" Minta Cindy dengan memelas.
Chris menghela nafas kasar dan bersandar pada kursi kerjanya, "Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Banyak hal. Jika kau tidak datang, aku akan membakar uang pemberianmu."
Chris terperangah. Gadis itu berani mengancamnya? "Kau mengancamku?"
"Tidak, kau hanya perlu datang. Jangan membuat aku menunggu lama karena aku bisa melihat gerombolan orang mabuk berjalan ke arahku."
"Sialan!" Chris langsung mematikan sambungan teleponnya dan meraih jaket asal.
"Kau akan ke mana?" tanya Lexa ketika Chris melewatinya begitu saja.
"Pergi."
"Kau berkata jika kau sedang sibuk tadi?!" teriak Lexa lagi.
Chris tersenyum sinis, "Kau tahu jika itu hanya berlaku untukmu." Setelah itu dia benar-benar pergi dari penthouse-nya.
Chris mengendarai mobilnya dengan kencang. Dia khawatir dengan Cindy yang tengah menunggu sendirian di taman. Dia tidak aneh bukan jika mengkhawatirkan Cindy?
Chris tahu apa yang akan Cindy bicarakan. Apa lagi jika bukan tentang uang yang dia berikan pada Caleb. Gadis itu masih saja tidak bisa menurut dan terus membantah ucapannya.
Lihat saja nanti, jika Cindy kembali membantah ucapannya, Chris sudah menyiapkan ultimatum spesial untuk gadis itu.
***
Tatapan tajam itu masih menatap dua orang yang tengah berbincang di taman gelap dengan amarah yang memuncak. Lexa berdesis dan memukul setir mobilnya kencang.Sialan!
Terlihat seorang pria tengah berbaring di atas ranjangnya dengan malas. Matanya menatap ke arah ponsel yang menampilkan video Cindy yang tengah berjalan ke arah halte untuk menaiki bus. Senyum Chris merekah begitu Cindy menuruti ucapannya untuk menaiki bus. Dia tidak tega jika harus melihat gadis itu pergi ke sana-ke mari dengan berjalan kaki. Pasti itu sangat melelahkan.Chris mengeratkan selimutnya dan menutup ponselnya begitu rekaman Cindy telah habis. Pria itu kembali menutup matanya untuk kembali tidur, tapi ketukan keras pada pintu kamarnya membuatnya membuka matanya kembali.Dahi Chris berkerut bingung. Siapa yang berani masuk ke dalam kediamannya tanpa memberi tahu? Tidak mungkin jika Lexa karena wanita itu sudah berangkat ke Jerman tadi pagi."Chris!" teriak seorang wanita dari luar sana yang membuat Chris langsung terduduk di kasur.Kesal karena istirahatnya terganggu akhirnya Chris turun dari ranjang dan menemui Neneknya yang entah kenapa tiba-
Suara helaan nafas itu kembali terdengar di dalam bilik toilet. Cindy memainkan jari-jarinya dan terduduk di atas toilet dengan gelisah. Telinganya dengan waspada mendengarkan keadaan di luar sana. Takut jika ada orang yang masuk ke dalam toilet, orang- orang yang sangat dia hindari saat ini.Demi Tuhan! Lima belas menit lagi kelas Cindy akan dimulai dan dia masih tidak berani untuk keluar sekarang. Telur busuk sudah cukup untuk mengotori rambutnya tadi dan dia tidak ingin tanah yang akan mendarat di tubuhnya.Iya, Cindy mendapatkan kesialan itu lagi. Dia pikir teman-temannya akan jera, namun ternyata tidak. Setelah dia mulai berangkat sendiri tanpa Chris, teman-temannya mulai berbuat nekat lagi dan kali ini adalah puncaknya. Dia harus rela meninggalkan kelas pertama untuk mengunci diri di toilet guna mencuci rambutnya yang berbau busuk.Chris di mana kau? Aku membutuhkanmu.Cindy kembali menghela nafas kasar dan berus
Pagi yang terik itu tidak menghentikan langkah Cindy untuk segera berangkat ke tempat Violet. Hari ini dia memutuskan untuk tidak pergi ke kampus. Rasa takutnya akanbullyjauh lebih besar dari rasa takutnya pada ancaman Chris. Oh ayo lah! Siapa yang mau jika harus mandi lumpur di pagi hari? Cindy mengeratkanhoodiemerahnya dengan menunduk, menunggu mobil yang melaju di depannya berhenti. Tepat di seberang jalan sana adalah gedung apartemen Rose, dia harus sampai di sana sebelum Violet bangun.
Keadaan ruangan yang sunyi membuat pria yang duduk di kursi kerjanya terlihat lebih tampan berkali-kali lipat. Suara detik jam yang berdenting membuat Chris berkedip, tapi dia masih diam dengan dahi yang berkerut, menatap lantai dengan pandangan seriusnya. Otaknya sedang berpikir keras sekarang. Berpikir tentang bagaimana caranya agar Cindy kembali ke dalam genggamannya, kembali ke pada lingkaran hidup yang sudah dibuat olehnya secara istimewa.Semalam mata elang itu tidak bisa terpejam sedikitpun. Lagi-lagi otaknya yang biasanya cerdas mulai bingung tidak tahu harus melakukan apa untuk kembali menarik Cindy ke dalam hidupnya. Bisa saja Chris memilih
Sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Chris menatap rumah itu dengan seksama, menunggu seseorang yang dia cari keluar dari sana untuk memulai aktivitas.Setelah rapat tadi, entah kenapa Chris ingin melihat wajah Cindy. Meskipun gadis itu berusaha menghindarinya, namun tidak ada yang bisa menentang kuasa seorang Chris bukan? Biar saja masalahtolong-menolongitu berhenti sejenak. Chris hanya ingin mengganggu Cindy hari ini dan membuatnya kesal, itu saja.Chris beranjak keluar dan bersandar pada pintu mobilnya. Sebentar lagi gadis itu akan keluar dan itu benar. Gadis itu keluar dari rumahnya dengan mendorong sebuah kursi roda yang diduduki oleh seorang wanita paru baya. Chris yakin jika itu adalah Ibu Cindy.Kesempatan bagus.Chris berjalan mendekat dengan tersenyum. Seolah mendapatkan sinyal bahaya, Cindy mengalihkan pandangannya dan terkejut mendapati Chris.
Cindy merangkai buket bunga di hadapannya dengan cekatan. Di pagi hari seperti ini, otaknya akan berjalan dengan kreatif jika harus diminta untuk merangkai bunga. Entah kenapa hari ini dia tidak mengajak Violet ke taman seperti biasa dan langsung ke toko bunga, meninggalkan Violet yang tengah bermain bersama Ron. Kadang pria itu juga bisa diandalkan."Kenapa kau berhenti kuliah, Cindy? Sangat disayangkan," tanya Bibi Jane yang sedang duduk di sampingnya.Cindy menghentikan gerakan tangannya dan menghela nafas, "Aku lelah, Bi. Mereka semua memperlakukanku dengan tidak baik. Aku lebih nyaman di sini bersamamu dan Ron.""Chris setuju dengan keputusanmu?" Pertanyaan Bibi Jane membuat Cindy terdiam. Dia lupa dengan satu hal. Sejak kapan Bibi Jane mengenal Chris?"Dari mana kau mengenal pria menyebalkan itu, Bi?"Bibi Jane tertawa pelan, "Dia memang menyebalkan, tapi dia anak yang manis, Cindy."Cindy mengerutkan keningnya tidak suka, "Manis bagai
Chris menggeram dan membanting ponselnya dengan kesal. Entah kenapa hari yang menurutnya akan berjalan dengan baik akan berubah menjadi berlawanan arah. Niat awal ingin menemui Cindy di toko bunga harus sirna begitu mendengar penjelasan dari Bibi Jane akan kedatangan Neneknya.Wanita tua itu benar-benar! Jika tidak mengingat dia adalah Neneknya tentu Chris sudah mengacungkan pistolnya sejak dulu. Namun sialnya wanita itu adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki."Kau memilih langkah yang salah, Nek. Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya," gumam Chris memijat keningnya lelah."Anton, cari tahu tentang semua yang Nenek ketahui. Kau bisa lakukan itu sekarang dan tinggalkan aku sendiri." Perintah Chris yang membuat Anton mengangguk dan langsung keluar dari mobil.Chris dengan cepat berpindah duduk di balik kemudi dan mulai menjalankan mobilnya kencang. Kepalanya begitu pening sekarang, Neneknya benar-benar melakukan hal yang diluar dugaan. Apa yang wanita
Maria mendorong kursi roda yang diduduki oleh gadis berwajah muram ke arah taman. Sejak masuk ke dalam yayasannya, Maria tidak pernah melihat senyum di bibir gadis itu. Mungkin dia masih mengalami trauma atas kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Kini gadis yang bernama Nessa itu hanya hidup sendiri dan kerabatnya dengan tega memasukkannya ke yayasan orang berkebutuhan khusus.Nessa memang tidak bisa berjalan, tapi bukan berarti dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi. Jika dia mau, perawatan medis dapat membantu kakinya kembali berjalan. Namun entah kenapa Maria tidak merasakan adanya semangat dari diri Nessa. Tatapan gadis itu selalu kosong dan menampakkan kesedihan.Maria tersenyum menatap Caleb yang tengah bermain basket dengan anak-anak yayasannya. Pria itu tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan mempesona."Jika kau mau, kau bisa bermain basket bersama mereka." Tawar Maria menyentuh pundak Nessa. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang dia terima.
Wajah penuh keringat itu mendongak dengan suara yang tertahan. Matanya terpejam seolah menikmati apa yang baru saja dia alami. Setelah itu, tubuh besar Chris jatuh di atas tubuhnya. Tidak terlalu lama, karena Chris sadar akan perut Cindy yang sudah besar. Pelepasan yang sempurna."Apa kita harus menyelesaikan perdebatan dengan bercinta?" tanya Cindy geli.Dia sangat ingat ketika Chris marah hanya karena melihatnya menggunakan sepatu ber-hak tinggi ketika kuliah. Pria itu tanpa ragu melempar semua koleksi sepatunya ke kolam renang dari balkon kamar mereka. Sebenarnya Cindy tidak berniat menggunakan heels, namun entah kenapa bayinya menginginkan itu."Kau yang memulai." Chris meraih pinggang Cindy dan memeluknya erat."Apa? Kau saja yang selalu marah-marah." Cindy cemberut.Chris menghela nafas kasar, "Apa kita akan berdebat lagi? Jika iya, aku masih kuat untuk ronde kedua.""Jangan konyol!" Cindy mendorong wajah Chris
Suasana tegang di dalam sebuah kamar itu semakin menakutkan saat Cindy tidak lagi membuka mulutnya. Wanita itu memilih diam dan membiarkan Chris melakukan apa yang dia mau dan dia suka. Toh, ucapannya juga tidak akan mempengaruhi isi kepala Chris yang seperti batu.Tangan Cindy dengan lincah membalik lembar halaman buku yang dia baca. Dia masih mengabaikan Chris yang bersandar pada lemari dengan tubuh basahnya. Suara helaan nafas dari Chris pun tidak membuat Cindy beralih. Dia sudah membulatkan tekat untuk diam dan menurut. Itu yang Chris mau."Baiklah, kau ingin nuansa warnapeach?Kau mendapatkannya, Cindy." Chris mengambil sebuah baju dan memakainya cepat.Cindy yang mendengar ucapan suaminya pun menutup bukunya cepat dan berteriak senang. "Akhirnya!" Cindy mulai berdiri dan menghampiri suaminya."Kau selalu melakukan itu." Chris bergumam tanpa menatap Cindy yang berada di belakangnya.Tangan kecil itu perlahan melingkar denga
Chris keluar dari bilik telepon umum setelah berhasil menghubungi Ron. Dia hanya memberi informasi jika dia baik-baik saja dan akan segera menjemput Cindy. Perkataan Anton terngiang-ngiang di otaknya. Apa yang Cindy lakukan di gudang Auredo? Bahkan Chris harus menempuh waktu 3 jam untuk sampai di tempat itu.Perjalanan terasa begitu lama dan Chris kesal dengan itu. Rasa nyeri di kepalanya tidak sebanding dengan rasa nyeri di hatinya. Demi apapun, jika istrinya tidak dalam keadaan baik. Chris akan menghukum dirinya sendiri. Semua ini salahnya. Jika tidak datang ke rumah terkutuk itu semua ini tidak akan terjadi.***Anton menatap pintu berwarna putih di hadapannya dengan ragu. Setelah melihat mobil merah di teras rumah Cindy, dia yakin jika Lexa berada di dalam sana. Perlahan tangan itu terangkat untuk mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Ron yang menatapnya aneh, tapi itu tidak bertahan lama karena Ron langsung melayangka
Lexa berdiri dengan kaku. Rasa semangatnya yang berkobar mendadak hilang entah ke mana. Jujur saja, rumah besar di hadapannya sedikit memberikan rasa trauma. Namun demi Cindy, dia akan memberanikan diri. Dengan tangan yang mengelus perutnya, Lexa berjalan menghampiri Ron yang tengah berbicara dengan penjaga gerbang. Tak lama pagar besar itu terbuka membuat Lexa reflek menarik lengan Ron."Kita harus hati-hati. Ada iblis di dalam sana," bisik Lexa pelan."Kau yang harusnya hati-hati." Ron mendengus dan melirik perut buncit Lexa.Mereka bergegas masuk ke area rumah tanpa rasa ragu. Ron sudah sering datang, begitupun juga Lexa. Namun mereka tidak tahu apa semuanya masih sama setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini?"Kenapa kau begitu yakin jika Anton berada di sini?""Perasaanku kuat." Lexa mengedikkan bahunya acuh.Tangan Ron yang akan mengetuk pintu seketika terhenti ketika mendengar suara di belakangnya. Lexa dan Ron kompak menoleh dan mend
Chris terengah dengan tangan yang penuh akan darah. Di hadapannya sudah ada 3 penjaga yang tumbang karena menahannya untuk pergi. Melihat situasi rumah yang tampak sepi, Chris dengan cepat keluar dari kamar. Sudah dua hari dia di rumah ini dan tidak ingin lebih lama lagi untuk tinggal. Rumahnya bukan di sini, melainkan tempat sederhana di mana dia merasakan apa itu kehangatan keluarga."Tuan Chris!" teriak Anton yang melihat kepergian Chris. Dengan cepat dia menghubungi penjaga gerbang untuk lebih meningkatkan keamanan. Seharusnya dia tahu jika Tuannya sudah pasti akan memberontak.Chris bukanlah pria yang lemah. Diam bukan berarti dia menurut, tapi dia memilih untuk menunggu momen yang tepat. Anton yakin jika penjaga yang berjaga di depan kamar Tuannya sudah terbaring kehilangan nyawa.Anton berjalan keluar rumah untuk melihat keberadaan Chris. Dari kejauhan dia melihat anak buahnya tengah menggotong tubuh seseorang. Anton berdecak melihat itu. Begitu sudah ber
Cindy menatap rumah besar di hadapannya dengan jantung yang berdetak kencang. Entah apa yang membuatnya datang ke tempat ini, tapi perasaannya begitu kuat. Untuk pertama kalinya dia datang ke tempat masa kecil Chris. Sebuah rumah megah bak istana yang sangat bertolak belakang dengan kenyataannya. Mendengar dari Chris, rumah itu bahkan tidak mencerminkan kehangatan akan keluarga sama sekali.Kepala Cindy bergerak untuk mencari cara agar pagar besar di hadapannya dapat terbuka. Ketika melihat sebuah pos kecil, dia segera datang menghampiri. Namun belum sampai di pos, pagar besar itu mulai terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan Anton yang sudah berdiri tegak di dalam sana."Nona Cindy," sapa Anton menghampirinya."Kau di sini, Anton?" Cindy bertanya bingung."Saya bekerja di sini." Anton mengedikkan bahunya pelan, "Silahkan masuk, Nona."Dengan cepat Cindy menggeleng, "Tidak! Tidak perlu," ucapnya cepat. "Aku hanya ingin mencari Chris. Apa dia ada
Cindy berdiri di depan jendela dengan resah. Matanya tak berhenti untuk menatap jalan dengan harapan akan melihat mobil Chris yang datang. Namun tidak, Cindy tidak melihatnya. Chris tak kunjung pulang. Tangan Cindy meremas ponselnya kesal dan kembali menghubungi nomor suaminya. Lagi-lagi hanya bunyi operator yang menjawab.Sebenarnya Cindy tidak akan seresah ini jika Chris menghubunginya. Pria itu memang sering lembur akhir-akhir ini, tapi selalu ada kabar. Chris tidak pernah absen untuk menghubunginya jika ada pekerjaan mendadak."Kak?" Suara ketukan membuat Cindy dengan cepat membuka pintu kamarnya. Dia menghela nafas lelah karena hanya Caleb yang berdiri sana dan bukan Chris."Ada apa denganmu?" tanya Caleb aneh."Ada apa?" Cindy berusaha tenang dan menatap Caleb yang lebih tinggi darinya."Aku lapar, bisakah kau membuatkanku spageti?"Cindy mendengus dan mengikat rambutnya asal. "Kau sudah makan malam tadi dan juga menghabiskan satu dus
Chris melepaskan helm proyeknya setelah selesai meninjau pembangunan gedung milik perusahaanya. Setelah beberapa bulan berjuang, tentu usaha tidak akan mengkhianati hasil. Chris mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan dia juga mendengar jika kerajaan bisnis Auredo mulai menurun. Chris tertawa melihat berita itu di televisi.Berita tentang dirinya yang tidak lagi menggunakan nama Auredo juga sempat meledak selama beberapa minggu. Banyak wartawan yang ingin mendapatkan informasi secara detail. Tentu Chris tidak akan menyia-nyiakan hal itu. Otak bisnisnya bekerja dengan baik."Lakukan semuanya dengan baik," ucap Chris pada salah satu anak buahnya dan berlalu masuk ke dalam mobil.Bunyi berdering membuat Chris melirik ponselnya sebentar. Setelah melihat nama wanita mungilnya, tanpa ragu dia mengangkatnya."Aku dalam perjalanan, Cindy." Chris berucap tanpa mendengar sapaan dari Cindy."Lama sekali?" Cindy cemberut di seberang sana."Baru tadi pagi a