Madeline Cindy, gadis tangguh berusia 20 tahun yang mengambil banyak pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Menjadi tulang punggung keluarga sudah menjadi suatu keharusan untuknya. Cindy harus mengumpulkan banyak uang untuk operasi kaki Ibunya yang lumpuh karena kecelakaan.
Hidup di kota besar seperti New York sangatlah sulit. Kau harus bisa memutar otak jika tidak ingin tidur di pinggir jalan dan meminta belas kasihan dari orang lain. Cindy bersyukur jika Caleb mendapatkan beasiswa untuk sekolah menengah atas sehingga dia tidak perlu bingung dengan biaya sekolah adiknya itu.
Pernah terbesit rasa iri yang Cindy rasakan ketika melihat orang lain bisa tertawa dan membelanjakan uang mereka tanpa khawatir. Seperti remaja pada umumnya, dia juga ingin melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi tapi Cindy harus mengubur semua mimpi itu. Sekarang bukan saatnya dia memikirkan dirinya sendiri karena yang terpenting adalah Ibunya. Cindy ingin Ibunya bisa kembali berjalan sehingga wanita itu tidak perlu meminta Caleb mengantarnya ke gereja untuk mendoakan suaminya yang telah tenang di alam sana. Cita-cita yang cukup sederhana tapi sangat sulit untuk diraih.
"Bisakah kau memindahkan pot itu ke depan, Cindy?" Tunjuk Bibi Jane pada dua pot yang berisi bunga mawar.
"Baik, Bibi Jane," ucap Cindy mengangkat dua pot itu bersamaan dan membawanya ke luar toko. Diletakkannya pot itu dengan rapi agar dapat menarik perhatian pelanggan.
"Cantik sekali bunga ini." Cindy tersenyum sambil menyentuh kelopak mawar putih yang terlihat segar.
"Kau bisa membawa bibit ini dan menanamnya di rumah nanti," ucap Ron sambil memindahkan bibit mawar ke dalam pot yang lebih besar.
Cindy tertawa dan menggelengkan kepalanya pelan, "Percuma, Ron. Tidak ada yang merawatnya nanti."
“Kau bisa menyuruh Caleb."
Cindy berdecak, "Pria itu hanya mencintai bola basket. Aku tidak rela jika bunga ini akan layu begitu saja."
"Setidaknya cintanya kepada bola basket membawa keberuntungan, bukan?"
Cindy mengangguk membenarkan ucapan Ron. Jika bukan karena basket, adiknya itu tidak akan bisa mendapatkan beasiswa. Cindy bersyukur saat menemukan nama Caleb di daftar calon murid penerima beasiswa, biar bagaimanapun juga dia ingin adiknya mendapatkan pendidikan yang terbaik.
Cindy mengalihkan pandangannya pada kafe yang berada di seberang toko. Terlihat banyak anak muda yang sedang tertawa bahagia di sana. Rasa sedih kembali menghampiri Cindy. Seharusnya dia bisa berada di sana dan berkumpul dengan temannya jika Ayahnya tidak pergi meninggalkannya. Dia juga pasti bisa bersekolah di sekolah desain impiannya.
“Kedipkan matamu." Ron menjentikkan jarinya di samping Cindy.
Gadis itu hanya tersenyum kecut. Dia tahu jika Ron akan mengomelinya lagi karena memandang kumpulan anak muda itu dengan tatapan iri. Namun hal itu tidak bisa dicegah. Jauh di dalam hatinya, Cindy ingin merasakan itu semua, menikmati masa mudanya.
"Aku bosan mengomelimu Cindy." Ron mendesah kecewa.
Cindy tertawa dan memukul bahu Ron pelan, "Aku hanya memandang mereka, Ron. Apa salahnya?"
"Kau menatap mereka seolah ingin mencuri tas mereka, kau tahu?!"
"Aku tidak!" Cindy dengan cepat mengelak dan berlalu masuk ke dalam toko.
Ron mengikuti Cindy dan menemukan Bibi Jane yang sedang duduk di balik meja kasir. Kaca mata yang terpasang di matanya menandakan jika wanita paruh baya itu sedang membaca majalah favoritnya.
"Aku bisa membawamu ke kafe nanti malam jika kau mau, aku yang traktir." Ron kembali menghampiri Cindy dan menyenggol bahu gadis itu.
"Kau tahu aku harus menjaga Violet nanti malam."
"Rose masih bekerja di kelab, Cindy?" tanya Bibi Jane sambil melepas kaca matanya.
"Masih, Bi."
"Kenapa tidak bekerja saja di sini?" tanya Ron bingung.
"Dia sudah punya anak, Ron. Biaya sekolah tidaklah murah," sahut Cindy.
"Ron kan memang bodoh! Jadi dia tidak tahu bagaimana sulitnya mencari uang," ucap Bibi Jane menghina keponakannya. Dia berdiri dari kursi dan berjalan ke luar toko untuk menghampiri pelanggan yang sedang melihat-lihat bunga di luar toko.
"Jika aku tidak tahu, aku tidak mungkin bekerja denganmu Bi!" ucap Ron tidak terima saat Bibinya selalu saja menghinanya.
"Seharusnya kau bisa memanfaatkan gelar arsitekmu, sayang sekali jika tak berguna." Cindy tertawa dan ikut memojokkan Ron.
"Kau juga!" Ron mendelik dan mendengus tidak suka, "Bisakah kau ijin nanti malam? Aku benar-benar ingin mengajakmu ke kafe."
"Tidak bisa, Ron. Rose sudah mengatakannya jauh-jauh hari. Dia juga memintaku untuk menginap."
"Sayang sekali wanita secantik Rose harus bekerja menjadi wanita panggilan. Aku yakin jika dia mendaftar menjadi model Victoria Secret dia akan mejadi angel tercantik."
"Well, hidup memang keras," ucap Cindy menepuk bahu Ron dan meninggalkannya untuk membantu Bibi Jane.
***
Chris menatap gundukan tanah yang berisi jasad Ayahnya dengan diam. Suara tangisan dari Neneknya tidak membuat Chris terganggu sedikitpun. Tidak, dia tidak menangis. Hanya saja matanya sedikit memerah, oleh karena itu dia harus menutupinya dengan kaca mata hitam.
Chris menggaruk hidungnya yang gatal dan tanpa diduga Anton langsung memberikannya selembar tisu. Chris menatap tisu yang ada di hadapannya itu dengan bingung.
"Aku tidak menangis, bodoh!" Chris menghempaskan tangan asistennya dan membuat tisu itu terjatuh. Anton hanya berdehem pelan dan mengambil tisunya.
"Sampai kapan kita akan berada di sini?" tanya Chris pada Anton dengan berbisik.
"Saya tidak tahu, Tuan. Kita harus menunggu Mrs. Auredo untuk pulang."
Chris menghela nafas panjang dan menatap Neneknya yang masih menangisi kepergian anaknya. Jangan katakan Chris durhaka karena tidak merasakan simpati sedikitpun atas kematian Ayahnya. Dia tidak dididik seperti itu. Tentu saja dia sedih, serangan jantung yang menyerang Ayahnya benar-benar tidak terduga. Kini dia hanya sendiri sekarang. Kedua orang tuanya telah bahagia karena bisa berkumpul kembali di surga.
Surga? Apa kau yakin Chris?
"Nek, kita harus pulang." Chris menghampiri Neneknya yang masih menangis sambil mengelus batu nisan.
"Ayahmu, Chris. Kenapa dia meninggalkan Nenek sendiri?" Anton dengan sigap memberikan selembar tisu pada Mrs. Auredo yang dengan cepat diambilnya.
"Takdir, Nek. Mungkin Ayah merindukan Ibu."
Mrs. Auredo berdiri dan mengusap air matanya. Dia menatap cucunya dengan serius. Disentuhnya bahu kekar Chris dan menepuknya pelan, "Kau jangan pergi meninggalkan Nenek, ya? Kau akan tahu akibatnya nanti."
Chris memutar matanya jengah, untung saja dia memakai kaca matanya saat ini sehingga Neneknya tidak akan menyadarinya. Mau tidak mau Chris mengangguk agar dia bisa cepat pulang dari makam mengerikan ini. Chris berjalan di samping Neneknya yang berjalan dengan bantuan tongkat. Kesehatan wanita itu menurun akhir-akhir ini. Anton masih setia mengikutinya di belakang.
"Kau akan pulang ke rumah, Chris?" tanya Mrs. Auredo.
"Tidak, Nek."
"Kenapa? Apa kau tidak ingin menemani Nenek?"
"Bukan begitu, hanya saja aku ada rapat
besok pagi," ucap Chris mencari alasan."Nenek sekarang sendiri, Ayahmu tidak ada Chris." Chris memutar matanya lagi. Tentu saja Ayahnya tidak ada karena pria itu akan tidur di dalam tanah mulai dari sekarang.
"Nenek bisa menghubungi Lexa." Tiba-tiba Chris teringat dengan wanita yang menjadi tunangannya itu.
"Kau lupa? Lexa sedang berada di Miami sekarang."
"Untuk apa?"
"Tunangan Anda sedang berlayar di yacht bersama teman-temannya, Tuan," ucap Anton membuka mulut.
Mrs. Auredo dan Chris menghentikan langkahnya saat mendengar penjelasan dari Anton. Anton langsung gugup begitu dia menerima tatapan tajam khas Auredo itu.
"Dari mana kau tahu?" tanya Mrs. Auredo kembali melanjutkan langkahnya.
"Tadi pagi Nona Lexa memberi tahu saya karena ponsel Tuan tidak aktif."
"Kau harus terus mengaktifkan ponselmu, Chris. Jangan membuat Lexa sedih."
"Kenapa kau masih menyukainya, Nek? Padahal dia tidak datang di pemakaman Ayah." Chris tidak habis pikir kenapa dia mau menerima permintaan Neneknya untuk bertunangan dengan Lexa.
"Anggap saja dia sedang bekerja." Mrs. Auredo menepuk bahu Chris pelan dan berlalu untuk masuk ke dalam mobilnya.
Chris hanya diam menunggu mobil itu berlalu pergi. Setelah menghilang dari pandangannya, dia berbalik menatap Anton yang ada di belakangnya.
"Katakan Anton, katakan bagaimana caranya agar aku bisa menjauh dari Lexa?"
Anton terlihat berpikir tapi kemudian dia menggeleng, "Tidak ada, Tuan."
"Dasar tidak berguna!" umpat Chris kasar dan berlalu masuk ke dalam mobil.
Seharusnya Chris tahu jika Neneknya akan melakukan segala cara untuk dapat mengatur hidupnya. Entah apa saja yang wanita itu inginkan, Chris tidak bisa menolak. Jika orang yang tidak mengenal Neneknya pasti akan beranggapan jika wanita tua itu terlihat sangat rapuh dan sama seperti orang tua lainnya. Namun semua itu tidak benar, kelicikan yang dia punya juga berasal dari Neneknya.
Bisnis bukanlah sesuatu yang bersih. Jika ingin berkuasa maka harus melakukan segala cara untuk mendapatkannya, meskipun dengan cara terlarang sekalipun. Itu yang diajarkan keluarga Auredo kepadanya. Chris tidak menyesal dilahirkan dalam keluarga ini karena dia bisa mendapatkan segala hal yang dia inginkan dengan sangat mudah.
"Apa jadwalku setelah ini?" Chris menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dan memijat keningnya pelan.
"Jadwal Tuan setelah ini adalah bertemu dengan Mr. Ronald untuk pembacaan surat wasiat."
"Surat wasiat?" Chris bertanya bingung.
"Iya, Tuan. Mr. Ronald sudah membuat janji semalam." Chris hanya mengangguk paham.
"Di mana?"
"Di kantor Mr. Ronald."
Chris kembali mengangguk dan mengambil ponselnya di saku jas. Dinyalakannya ponselnya yang dia matikan sejak semalam. Begitu menyala, banyak sekali notifikasi yang masuk dan yang paling mendominasi adalah Lexa, tunangannya.
Chris membuka pesan terakhir dari Lexa dan membacanya. Dia mendengus begitu wanita itu hanya menyampaikan maaf karena tidak bisa hadir ke pemakaman Ayahnya karena sedang berada di tengah laut. Alasan konyol itu membuat Chris semakin yakin jika Lexa hanyalah wanita bodoh yang hanya bisa berfoya-foya. Hilang sudah respek Chris terhadap wanita itu.
"Oh iya, Tuan. Mr. Ronald berkata jika Tuan harus merahasiakan pertemuan ini kepada siapapun."
Dahi Chris berkerut bingung, "Nenek tidak ikut dalam pembacaan wasiat?"
"Tidak, Tuan."
"Apa mungkin ada sesuatu yang rahasia, Anton?" gumam Chris menanyakan isi pikirannya.
"Bisa jadi, karena Mr. Ronald mengundang Anda secara personal."
Chris memejamkan matanya dan berpikir. Kehidupannya akan berubah mulai dari sekarang. Dia harus bisa memegang banyak perusahaan sekaligus. Meskipun perusahaan itu milik keluarga, tapi menjadi cucu satu-satunya keluarga Auredo tentu tidaklah mudah. Siapa lagi jika bukan dirinya yang akan mengurus semuanya.
Neneknya? Pftt yang benar saja!
***
"Selamat malam, Chris," sapa Mr. Ronald ketika melihat Chris memasuki ruangannya.
Chris hanya mengangguk dan memilih untuk duduk di salah satu sofa di ruangan Mr. Ronald, pengacara ayahnya.
"Jadi kenapa kau memintaku datang?"
"Aku ikut merasa sedih atas perginya Ayahmu." Mr. Ronald mengambil duduk di depan Chris dan tersenyum lemah mengingat jika sahabatnya itu sudah pergi sekarang, "Dia pria yang baik, Chris."
"Kau tahu jika tidak ada keluarga Auredo yang benar-benar baik, Paman," sahut Chris menghilangkan kesan formal yang ada.
"Tentu saja aku tahu, tapi Ayahmu berbeda."
"Sudahlah, sekarang jelaskan kenapa kau menyuruhku datang? Aku tidak punya banyak waktu."
Mr. Ronald kembali ke mejanya untuk mengambil sebuah gulungan kertas. Setelah itu dia memberikannya kepada Chris.
"Bukalah."
Chris membuka gulungan kertas itu dan dahinya berkerut bingung saat mendapati sebuah foto seorang gadis di sana. Chris menatap Mr. Ronald dengan pandangan bertanya.
"Apa kau mempermainkanku?" tanya Chris.
"Tidak."
"Apa ini?! Kau bilang ingin membacakan surat wasiat dari Ayah!" Chris membanting kertas itu di atas meja dan menatap Mr. Ronald marah.
"Itu adalah wasiat dari Ayahmu, Chris."
"Aku tidak mengerti."
"Namanya Madeline Cindy. Ayahmu ingin kau menjaga gadis itu mulai dari sekarang."
Chris terdiam menatap foto gadis itu dengan bertanya-tanya. Kenapa Ayahnya harus memintanya untuk menjaga gadis itu? Siapa dia? Tiba-tiba pikiran buruk langsung terlintas di kepala Chris. Apa Ayahnya berselingkuh selama ini dan menghasilkan seorang anak? Jika itu benar, Chris benar-benar menyesal merasa kehilangan pria itu.
"Siapa dia, Paman?"
"Aku tidak tahu, dan aku pikir kau bisa mencari tahunya sendiri," ucap Mr. Ronald menyandarkan tubuhnya pada sofa, "Tapi supaya kau tidak bingung, kau bisa membaca cacatan kecil di balik foto itu."
Chris kembali meraih kertas itu dan mencari cacatan kecil di sana, "Aku tidak menemukan apapun." Keningnya berkerut bingung.
"Lepas foto itu." Dengan perlahan Chris melepas foto itu dan benar saja. Dia menemukan sebuah cacatan di balik foto itu. Chris tidak menyangka jika foto itu bisa dilepas.
Christopher anakku, saat kau membaca surat ini berarti ayah sudah tidak ada di sampingmu lagi nak. Maaf jika hanya ini yang bisa ayah berikan padamu, dan bukan perusahan keluarga seperti yang kau inginkan. Kau tahu sendiri jika semua itu milik nenekmu.
Dia Madeline Cindy, ayah ingin kau menjaganya mulai dari sekarang. Tenang dia bukan adikmu, dia hanya gadis biasa yang ayah hancurkan hidupnya. Ayah harap kau mengerti Chris. Jaga dia untuk ayah..
Chris membaca catatan itu dengan bingung. Tidak ada penjelasan secara detail di sana. Chris buta harus mencari tahu dari mana.
"Ayah tidak menjelaskan siapa gadis itu, dan apa ini?" Chris mengerutkan keningnya saat menemukan kalimat yang sangat ambigu, "Dia hanya gadis biasa yang Ayah hancurkan hidupnya." Chris membaca kalimat itu dengan hidung yang berkerut.
"Sangat khas Ayahmu, dia ingin memainkan teka-teki." Mr. Ronald terkekeh saat Chris membacakan kalimat itu.
"Menyebalkan sekali, tapi syukurlah jika gadis itu bukan adikku."
"Kau tahu bukan, harus memulainya dari mana?"
Chris mengangguk, "Aku akan meminta Anton mencari tahu semuanya."
"Kau ingin minum, Chris?" tanya Mr. Ronald sambil menunjuk anggur merah yang berada di dalam lemarinya. Dia tahu jika Chris sedang bingung sekarang dan dia ingin sedikit menghibur pria itu dengan menemaninya minum.
"Sedikit sepertinya tidak masalah." Mr. Ronald berdiri dan menyiapkan gelas untuk Chris.
"Madeline Cindy..." Chris bergumam sambil memandangi foto gadis itu di atas meja. Entah kenapa tangan Chris mengepal, dia seolah mempunyai firasat jika sesuatu yang besar akan datang sebentar lagi.
***Chris memandang seorang gadis dari kejauhan. Jari-jari tangannya mengelus bibir tipisnya sambil berpikir, "Apa benar dia gadis yang dimaksud Ayah?" tanya Chris pada Anton."Benar, Tuan. Semua keterangan tentang gadis itu sudah ada di dalam file yang Anda pegang."Chris melirik dan membuka map hitam yang ada di pangkuannya. Halaman pertama menampilkan foto Cindy yang tengah tersenyum sambil menyuapi seorang wanita yang duduk di kursi roda."Ini Ibunya?" tanya Chris sambil menunjuk foto itu."Iya, Tuan. Setelah kecelakaan 7 tahun yang lalu, Maria mengalami kelumpuhan."Chris menggelengkan kepalanya dan menutup map itu, "Aku malas membaca, ceritakan secara singkat tentang gadis itu." Anton hanya mengangguk dan mengambil map yang diberikan oleh Chris."Nama gadis itu Madeline Cindy," Anton mulai bercerita, "Berusia 20 tahun. Hidup bersama Ibu dan adiknya yang bernama Caleb. Adiknya masih berusia 16 tahun dan duduk di sekolah menengah atas. Setel
"Aku pulang."Cindy membuka pintu rumahnya dan berjalan ke arah dapur untuk meletakkan makanan yang sempat dia beli setelah selesai menidurkan Violet tadi. Untung saja Rose tidak memintanya untuk menginap lagi sehingga dia bisa menemani Ibunya malam ini."Ibu?" panggil Cindy sambil menyiapkan makan malam. Dia bersyukur bisa membeli makanan lezat malam ini dengan gaji pemberian Rose. Wanita itu benar-benar pengertian.Bunyi dentuman bola basket membuat Cindy menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke arah Caleb yang baru saja datang dari pintu belakang. Tubuh polos pria itu terlihat basah karena keringat. Sepertinya Caleb baru saja selesai bermain basket di lahan kosong belakang rumah."Di mana Ibu?" tanya Caleb pada Cindy masih dengan memainkan bola basketnya."Berhenti Caleb! Kau ingin merusak lantai rumah?!"Caleb meletakkan bola basketnya dan menghampiri Cindy yang sedang menyiapkan makanan di dapur. Pria itu mengambil gelas dan mengisinya
Tangan kecil Cindy dengan lembut mencuci kaki ringkih Ibunya. Di saat seperti ini, ingin rasanya dia menangis, menangisi nasib keluarganya yang benar-benar jatuh pada titik terendah.Cindy tidak masalah jika mereka hidup dalam kekurangan, karena uang masih bisa dicari. Namun tidak dengan kesehatan, melihat Ibunya yang hanya duduk di kursi roda setiap hari membuat Cindy sakit hati.Ingatannya kembali berputar ke masa lalu di mana Ayahnya telah pergi meninggalkan mereka. Sejak saat itu, Maria yang menggantikan tugas Ayahnya untuk mencari uang. Wanita itu begitu semangat membanting tulang untuk kebahagiaan anaknya yang masih bersekolah, tapi takdir berkata lain. Maria mengalami kecelakaan yang harus membuat kedua kakinya tidak bisa berjalan. Kendala biaya yang membuatnya seperti ini.Sampai sekarang, Cindy belum menemukan siapa pelaku tabrak lari tersebut. Bisa saja dia menuntut dan mencari sampai ditemukan, tapi apa daya dia hanyalah rakyat
Denganhoodiepolos berwarna hitam, Cindy mulai memasuki sekolahnya. Hari ini dia hanya ada kelas sampai jam 2 siang dan setelah itu dia akan kembali bekerja di toko bunga.Cindy telah memulai kuliahnya sejak 2 hari yang lalu. Perasaannya sempat campur aduk begitu harus memulai hari barunya. Dia takut jika tidak akan ada yang mau berteman dengannya dan sialnya itu benar terjadi.Cindy harus mulai menguatkan mental dari sekarang. Jika tidak, dia akan menjadi gi
Cindy terdiam dengan bingung. Dia masih tidak percaya dengan pria yang ada di depannya saat ini. Jujur saja, Cindy tidak ingin melihat Chris untuk saat ini."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Cindy tidak sukaChris melirik jam tangannya sebentar, "Sebentar lagi malam, ayo kita pulang."Cindy menatap Chris aneh, "Kenapa aku harus pulang denganmu?"Chris berdecak dan melipat kedua tangannya di dada, "Aku pernah berjanji untuk membawamu makan makanan yang sehat dan aku pikir saat ini adalah waktu yang tepat.""Kau berkata seolah tidak terjadi apa-apa di antara kita. Apa kau lupa jika kau membuatku menangis saat terakhir kali kita bertemu," ucap Cindy dengan kesal."Itu karena kau saja yang cengeng. Jika kau tidak keras kepala tentu aku tidak akan melakukan itu.""Ya ya ya terserah kau Tuan angkuh. Yang pasti aku tidak bisa pulang sekarang, pekerjaanku banyak." Cindy kembali duduk dan merangkai bunganya yang sempat dia tinggalkan tadi.
Cindy tersenyum dan melambaikan tangannya pada Violet. Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi dan seperti hari-hari sebelumnya, dia harus mengantar Violet ke sekolah. Jika biasanya Cindy akan menunggu sampai gadis kecil itu pulang, tapi untuk kali ini tidak karena dia ada kelas. Sebagai gantinya, Ron yang akan menjemput Violet nanti. Untung saja Rose tidak mempersalahkan hal itu.Cindy memasangearphonedi telinganya begitu telah keluar dari sekolah Violet. Jarak sekolah Violet dan kampusnya tidak terlalu jauh, hanya 15 menit dengan berjalan kaki. Bisa saja Cindy menaiki bus untuk sampai ke kampusnya tapi ketika mengingat jika hanya 15 menit berjalan kaki, dia mengurungkan niatnya. Anggap saja dia sedang berolah raga sekarang.Cindy memasukkan tangannya ke dalam sakuhoodiedan menatap jalanan yang mulai ramai. Lampu merah yang masih hijau membuat Cindy berhenti di trotoar bersama dengan orang-orang yang ingin menyeberang. Begitu lampu
Suara dentingan sendok yang beradu cepat membuat Lexa mengerutkan dahinya bingung. Wanita itu mengalihkan pandangannya dari salad yang dia makan dan mulai menatap Chris.Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi dan tidak biasanya Chris sudah rapi dengan pakaian kantornya. Sebenarnya Lexa juga jarang untuk berkunjung kepenthouse, tapi entah kenapa pagi ini dia begitu merindukan pria itu.Sudah 2 hari dia ke Paris untuk pemotretan dan Chris sama sekali tidak menghubunginy
Chris berjalan ke arah kasir dengan langkah yang pasti. Matanya menatap pegawai kasir itu dengan tajam seolah sedang meneliti sesuatu. Sebelah alis Chris terangkat begitu orang di hadapannya itu tidak mengenalinya sama sekali. "Apa kau akan terus diam dan tidak menyapaku?" Chris membuka suara membuat pemuda yang ada di hadapannya tersentak dan menatap Chris dalam. Sedetik kemudian pria itu tergagap dan mundur selangkah, "Kau malaikat pembawa beasiswa itu bukan?" Chris terkekeh, "Konyol sekali julukanku." "Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud melupakan wajahmu tap—" Ucapan Caleb terhenti begitu Chris mengangkat sebelah tangannya, "Panggil aku Chris." "Ba—baik, Chris." "Jadi?" Chris menatap keadaan supermarket itu dengan pandangan menilai, "Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" "Baru 3 hari. Aku bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di sini, karena sulit sekali rasanya mencari pekerjaan saat masih bersekolah." Chris m
Maria mendorong kursi roda yang diduduki oleh gadis berwajah muram ke arah taman. Sejak masuk ke dalam yayasannya, Maria tidak pernah melihat senyum di bibir gadis itu. Mungkin dia masih mengalami trauma atas kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Kini gadis yang bernama Nessa itu hanya hidup sendiri dan kerabatnya dengan tega memasukkannya ke yayasan orang berkebutuhan khusus.Nessa memang tidak bisa berjalan, tapi bukan berarti dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi. Jika dia mau, perawatan medis dapat membantu kakinya kembali berjalan. Namun entah kenapa Maria tidak merasakan adanya semangat dari diri Nessa. Tatapan gadis itu selalu kosong dan menampakkan kesedihan.Maria tersenyum menatap Caleb yang tengah bermain basket dengan anak-anak yayasannya. Pria itu tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan mempesona."Jika kau mau, kau bisa bermain basket bersama mereka." Tawar Maria menyentuh pundak Nessa. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang dia terima.
Wajah penuh keringat itu mendongak dengan suara yang tertahan. Matanya terpejam seolah menikmati apa yang baru saja dia alami. Setelah itu, tubuh besar Chris jatuh di atas tubuhnya. Tidak terlalu lama, karena Chris sadar akan perut Cindy yang sudah besar. Pelepasan yang sempurna."Apa kita harus menyelesaikan perdebatan dengan bercinta?" tanya Cindy geli.Dia sangat ingat ketika Chris marah hanya karena melihatnya menggunakan sepatu ber-hak tinggi ketika kuliah. Pria itu tanpa ragu melempar semua koleksi sepatunya ke kolam renang dari balkon kamar mereka. Sebenarnya Cindy tidak berniat menggunakan heels, namun entah kenapa bayinya menginginkan itu."Kau yang memulai." Chris meraih pinggang Cindy dan memeluknya erat."Apa? Kau saja yang selalu marah-marah." Cindy cemberut.Chris menghela nafas kasar, "Apa kita akan berdebat lagi? Jika iya, aku masih kuat untuk ronde kedua.""Jangan konyol!" Cindy mendorong wajah Chris
Suasana tegang di dalam sebuah kamar itu semakin menakutkan saat Cindy tidak lagi membuka mulutnya. Wanita itu memilih diam dan membiarkan Chris melakukan apa yang dia mau dan dia suka. Toh, ucapannya juga tidak akan mempengaruhi isi kepala Chris yang seperti batu.Tangan Cindy dengan lincah membalik lembar halaman buku yang dia baca. Dia masih mengabaikan Chris yang bersandar pada lemari dengan tubuh basahnya. Suara helaan nafas dari Chris pun tidak membuat Cindy beralih. Dia sudah membulatkan tekat untuk diam dan menurut. Itu yang Chris mau."Baiklah, kau ingin nuansa warnapeach?Kau mendapatkannya, Cindy." Chris mengambil sebuah baju dan memakainya cepat.Cindy yang mendengar ucapan suaminya pun menutup bukunya cepat dan berteriak senang. "Akhirnya!" Cindy mulai berdiri dan menghampiri suaminya."Kau selalu melakukan itu." Chris bergumam tanpa menatap Cindy yang berada di belakangnya.Tangan kecil itu perlahan melingkar denga
Chris keluar dari bilik telepon umum setelah berhasil menghubungi Ron. Dia hanya memberi informasi jika dia baik-baik saja dan akan segera menjemput Cindy. Perkataan Anton terngiang-ngiang di otaknya. Apa yang Cindy lakukan di gudang Auredo? Bahkan Chris harus menempuh waktu 3 jam untuk sampai di tempat itu.Perjalanan terasa begitu lama dan Chris kesal dengan itu. Rasa nyeri di kepalanya tidak sebanding dengan rasa nyeri di hatinya. Demi apapun, jika istrinya tidak dalam keadaan baik. Chris akan menghukum dirinya sendiri. Semua ini salahnya. Jika tidak datang ke rumah terkutuk itu semua ini tidak akan terjadi.***Anton menatap pintu berwarna putih di hadapannya dengan ragu. Setelah melihat mobil merah di teras rumah Cindy, dia yakin jika Lexa berada di dalam sana. Perlahan tangan itu terangkat untuk mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Ron yang menatapnya aneh, tapi itu tidak bertahan lama karena Ron langsung melayangka
Lexa berdiri dengan kaku. Rasa semangatnya yang berkobar mendadak hilang entah ke mana. Jujur saja, rumah besar di hadapannya sedikit memberikan rasa trauma. Namun demi Cindy, dia akan memberanikan diri. Dengan tangan yang mengelus perutnya, Lexa berjalan menghampiri Ron yang tengah berbicara dengan penjaga gerbang. Tak lama pagar besar itu terbuka membuat Lexa reflek menarik lengan Ron."Kita harus hati-hati. Ada iblis di dalam sana," bisik Lexa pelan."Kau yang harusnya hati-hati." Ron mendengus dan melirik perut buncit Lexa.Mereka bergegas masuk ke area rumah tanpa rasa ragu. Ron sudah sering datang, begitupun juga Lexa. Namun mereka tidak tahu apa semuanya masih sama setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini?"Kenapa kau begitu yakin jika Anton berada di sini?""Perasaanku kuat." Lexa mengedikkan bahunya acuh.Tangan Ron yang akan mengetuk pintu seketika terhenti ketika mendengar suara di belakangnya. Lexa dan Ron kompak menoleh dan mend
Chris terengah dengan tangan yang penuh akan darah. Di hadapannya sudah ada 3 penjaga yang tumbang karena menahannya untuk pergi. Melihat situasi rumah yang tampak sepi, Chris dengan cepat keluar dari kamar. Sudah dua hari dia di rumah ini dan tidak ingin lebih lama lagi untuk tinggal. Rumahnya bukan di sini, melainkan tempat sederhana di mana dia merasakan apa itu kehangatan keluarga."Tuan Chris!" teriak Anton yang melihat kepergian Chris. Dengan cepat dia menghubungi penjaga gerbang untuk lebih meningkatkan keamanan. Seharusnya dia tahu jika Tuannya sudah pasti akan memberontak.Chris bukanlah pria yang lemah. Diam bukan berarti dia menurut, tapi dia memilih untuk menunggu momen yang tepat. Anton yakin jika penjaga yang berjaga di depan kamar Tuannya sudah terbaring kehilangan nyawa.Anton berjalan keluar rumah untuk melihat keberadaan Chris. Dari kejauhan dia melihat anak buahnya tengah menggotong tubuh seseorang. Anton berdecak melihat itu. Begitu sudah ber
Cindy menatap rumah besar di hadapannya dengan jantung yang berdetak kencang. Entah apa yang membuatnya datang ke tempat ini, tapi perasaannya begitu kuat. Untuk pertama kalinya dia datang ke tempat masa kecil Chris. Sebuah rumah megah bak istana yang sangat bertolak belakang dengan kenyataannya. Mendengar dari Chris, rumah itu bahkan tidak mencerminkan kehangatan akan keluarga sama sekali.Kepala Cindy bergerak untuk mencari cara agar pagar besar di hadapannya dapat terbuka. Ketika melihat sebuah pos kecil, dia segera datang menghampiri. Namun belum sampai di pos, pagar besar itu mulai terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan Anton yang sudah berdiri tegak di dalam sana."Nona Cindy," sapa Anton menghampirinya."Kau di sini, Anton?" Cindy bertanya bingung."Saya bekerja di sini." Anton mengedikkan bahunya pelan, "Silahkan masuk, Nona."Dengan cepat Cindy menggeleng, "Tidak! Tidak perlu," ucapnya cepat. "Aku hanya ingin mencari Chris. Apa dia ada
Cindy berdiri di depan jendela dengan resah. Matanya tak berhenti untuk menatap jalan dengan harapan akan melihat mobil Chris yang datang. Namun tidak, Cindy tidak melihatnya. Chris tak kunjung pulang. Tangan Cindy meremas ponselnya kesal dan kembali menghubungi nomor suaminya. Lagi-lagi hanya bunyi operator yang menjawab.Sebenarnya Cindy tidak akan seresah ini jika Chris menghubunginya. Pria itu memang sering lembur akhir-akhir ini, tapi selalu ada kabar. Chris tidak pernah absen untuk menghubunginya jika ada pekerjaan mendadak."Kak?" Suara ketukan membuat Cindy dengan cepat membuka pintu kamarnya. Dia menghela nafas lelah karena hanya Caleb yang berdiri sana dan bukan Chris."Ada apa denganmu?" tanya Caleb aneh."Ada apa?" Cindy berusaha tenang dan menatap Caleb yang lebih tinggi darinya."Aku lapar, bisakah kau membuatkanku spageti?"Cindy mendengus dan mengikat rambutnya asal. "Kau sudah makan malam tadi dan juga menghabiskan satu dus
Chris melepaskan helm proyeknya setelah selesai meninjau pembangunan gedung milik perusahaanya. Setelah beberapa bulan berjuang, tentu usaha tidak akan mengkhianati hasil. Chris mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan dia juga mendengar jika kerajaan bisnis Auredo mulai menurun. Chris tertawa melihat berita itu di televisi.Berita tentang dirinya yang tidak lagi menggunakan nama Auredo juga sempat meledak selama beberapa minggu. Banyak wartawan yang ingin mendapatkan informasi secara detail. Tentu Chris tidak akan menyia-nyiakan hal itu. Otak bisnisnya bekerja dengan baik."Lakukan semuanya dengan baik," ucap Chris pada salah satu anak buahnya dan berlalu masuk ke dalam mobil.Bunyi berdering membuat Chris melirik ponselnya sebentar. Setelah melihat nama wanita mungilnya, tanpa ragu dia mengangkatnya."Aku dalam perjalanan, Cindy." Chris berucap tanpa mendengar sapaan dari Cindy."Lama sekali?" Cindy cemberut di seberang sana."Baru tadi pagi a