Gadis kecil dengan wajah yang penuh debu bercampur lelehan ingus berjalan sempoyongan melewati pagar-pagar kayu. Ada rasa takut yang melingkup diwajahnya. Ia terlambat pulang sesuatu yang buruk akan terjadi ketika ia sampai rumah. Ia berhenti melangkah mata kecilnya menatap rumah kecil yang tak jauh dari arahnya. Ada keenggangan untuk terus melangkah dilihat dari kaki kecilnya yang mulai gemetaran. Cukup lama ia mematung disana hingga kaki kecilnya kembali melangkah. Membuka pintu pagar dan suara dentingan lonceng dari pagar kayu yang ia tarik membuatnya menahan nafas sejenak. Seharusnya ia membuka pintu pagar lebih pelan lagi. Ketakutannya makin menjadi saat pintu rumah itu tiba-tiba terbuka lebar menampakkan wajah garang dari si pembuka pintu.
“Dari mana saja kau Mida, kau anak tidak berguna yang hanya tahu menghabiskan makanan. Kau ingin menjadi wanita murahan seperti ibumu yang lupa untuk pulang itu, huh!” itu teriakan amarah dari neneknya saat mereka berpapasan di depan pintu.
“….” Mida gemetar ketakutan. Setelah amarah neneknya yang menjadi sesuatu yang lebih buruk akan terjadi pada dirinya.
“Apa kau tuli, aku tanya darimana saja kau Mida?”
“….” Mida masih diam tidak menjawab.
“Bagus, sudah berani rupanya, huh!” menarik tongkat kayu yang tak jauh dari arahnya. Tongkat kayu yang besarnya menyamai kepalan tangan bayi kini mendarat dengan keras dipunggung kecil Mida. Suara tangisan keras menjadi melodi memengkakkan telinga di sore itu. Bukan hanya satu pukulan tapi beberapa kali pukulan. Akankah Mida kecil bertahan?
Malam menjelang, isak tangis dari Mida kecil masih terdengar meski samar. Apakah ada yang peduli? Sayangnya tidak ada, Mida kecil ada disana duduk meringis menahan sakit dipojokan. Terlalu lama menangis dan menahan rasa sakit akhirnya Mida kecil tertidur disana. Tepat tengah malam Mida terbangun. Merasakan seluruh tubunya seperti terkoyak-koyak, Mida mencoba menggerakkan tangan kanannya mencoba menggapai apa saja di sekitarnya sebagai pertahanan agar ia bisa berdiri dari sana. Perlahan ia berdiri sesekali meringis menahan sakit, kaki kecilnya melangkah pelan ke arah pintu. Memutar kunci pintu secara perlahan agar tidak menimbulkan suara, Mida akhirnya berhasil ia pun kembali melangkah pelan keluar rumah setelah ia menutup kembali pintu dari luar.
Duduk dibawah pohon jambu, tubuhnya menyandar sedang matanya menatap bulatnya bulan diatas sana. Ada kerinduan yang amat besar tersirat di kedua bola mata cokelat itu. Adakah yang tahu? Sayangnya ia sendiri tidak tahu untuk siapa dadanya berdenyut sakit? Air mata itu kembali mengalir. Malam yang masih panjang rupanya.
Pagi menyambut sedang tubuh ringkih itu menggigil dan mata yang terpejam erat. Apakah sudah berakhir? Ia merasakan panas dan dingin disaat bersamaan. Sebuah tendangan keras di rusuknya tidak membuat dirinya berteriak kesakitan seperti biasa. Saat ini tubuhnya seakan mati rasa. Adakah yang bersedia menggenggam tangan mungilnya dan membacakan mantra penyembuh untuknya? Siapapun tolonglah Mida kecil yang malang?
***
10 tahun kemudian….
Disebuah sekolah Menengah Atas hiruk pikuk siswa-siswi dengan beragam aktivitas. Seorang gadis dengan tubuh kurus dengan tinggi berkisar 160 an melangkah masuk ke dalam kelas yang bertuliskan XI IPS 1. Di punggungnya terdapas tas lusuh yang sudah robek bagian atasnya. Baju seragam yang seharusnya putih bersih tapi miliknya sudah berganti warna kuning pucat pertanda bahwa itu hanya baju seragam bekas pemberian orang lain untukknya. Sepatu hitam yang sudah bolong sebelah dibagian depan. Ia lebih terlihat mirip gelandangan daripada seorang siswa, mungkin. Menghiraukan bisik-bisik teman kelasnya kakinya melangkah menuju meja yang biasa ia tempati. Selang beberapa menit bel masuk pun bebunyi menyebabkan keributan dan desahan tidak berarti menit selanjutnya hanya keheningan hingga seorang guru memasuki kelas tempat ia belajar. Pelajaran berlangsung cukup alot, mata gadis itu tak pernah melepas gerak-gerik guru yang mengajar didepannya tapi siapa sangka kemana pikiran gadis ini berlabuh. Menit-menit kelas belajar terus berlangsung hingga tiba pada saat yang paling ditunggu seluruh siswa, jam istirahat. Seluruh siswa berhamburan keluar kelas berlomba menuju arah kantin takut tidak mendapat tempat. Hanya saja ada satu siswa yang masih berdiam duduk didalam kelas. Matanya menatap iri para siswa yang ditangannya terdapat berbagai jenis makanan ringan. Ia juga menginginkan itu tapi… Menatap tas lusuh miliknya yang sudah ia letakkan diatas paha saat ia ingin memasukkan buku-buku yang sebelumnya ia pakai. Apa yang ada didalam tas lusuh itu selain buku-buku lusuhnya? Tidak ada tapi ia berharap ada sesuatu yang bisa ia makan, ia sangat lapar sejak pagi belum ada sedikitpun makanan yang masuk kedalam perutnya. Mengangkat tas lusuh itu ke atas meja selanjutnya ia meletakkan kepalanya di atas tas lusuh itu meski tak emput tapi cukup nyaman. Ia menutup mata mencoba menghilangkan rasa lapar yang terus menyiksanya. Bel pelajaran kembali berbunyi dan gadis itu tidak menyadarinya. Terlalu nyaman mungkin dengan keadaannya sekarang. Derik gesekan bangku dan lantai bersahutan barulah gadis itu terbangun, mengucek mata dengan kedua tangannya setelahnya ia menoleh kearah samping kanannya. Seseorang duduk disana bercahaya seperti malaikat. Siapa dia? Kenapa duduk disampingnya dan sejak kapan? Matanya mengerjab berkali-kali mengagumi wajah dari gadis yang duduk disampingnya itu.
“Perkanalkan namaku Angela Manof, kau bisa memanggilku Angel” Gadis malaikat itu bersuara tapi gadis lusuh itu masih pada dunianya sendiri tak menyadari tangan sosok gadis malaikat itu terulur kepadanya.
“….” Angel, gadis malaikat itu mengibas-ngibaskan kedua tangannya didepan gadis lusuh itu hingga membuat ia tersadar.
“Si..siapa ka..kamu? Kenapa duduk di sampingku? Sebaiknya kamu duduk ditempat lain, aku bau kamu tidak akan tahan.” Gadis lusuh itu berucap gagap, matanya bergerak liar mengobservasi ruang kelasnya. Ia mendesah lemah. Hanya kursi disebelahnya yang kosong.
“Aku punya banyak parfum, kau tak perlu khawatir, saat aku mencium bau yang tidak ku sukai aku akan menyemprotkan salah satu parfumku.” Ucap gadis malaikat itu diselingi senyum lembut. Lagi-lagi gadis lusuh itu terpaku akan gadis malaikat dihadapannya. Menggeleng kasar ia memilih memandang keluar jendela, ia tak ingin disalah pahami menyukai sesama jenis karena terus memandang wajah si gadis malaikat. Dan hari itu menjadi pertemuan pertamanya dengan sosok gadis malaikat bernama Angela Manof.
Siang yang terik seakan membakar kulit, Mida dengan tas lusuh dipunggung berjalan tertatih-tatih dan sesekali kedua tangannya meremas bagian perut. Ia merasakan lapar yang luar biasa, bibir pecah-pecah dengan keringat yang bercucuran ia masih harus berjalan kurang lebih satu kilometer untuk sampai ke rumahnya. Sebuah suara klakson mobil yang tiba-tiba dari arah belakang membuat tubuhnya berjengit kaget dan segera menepi tapi ada yang aneh mobil itu masih saja mengeluarkan bunyi yang sama. Tidak ambil pusing ia meneruskan langkahnya. Sedang sosok yang ada di atas mobil menjadi kesal sendiri, niat ingin menolong tapi malah diabaikan.
“Hey, teman sebangku apa kau butuh tumpangan?” teriak si pengendara mobil.
“….”
“Hey, lusuh. Aku memanggilmu?” teriaknya lagi. Mida menoleh mendapati sosok Angel dengan senyum malaikatnya.
“Apa ia memanggilku?” pikir Mida mendapati Angel yang sedang melihat kearahnya. Mida menggeleng pelan, mungkin ia salah beranggapan. Mida mempercepat langkahnya.
“Orang ini benar-benar aneh,” guman Angel, ia kemudian menghentikan mobilnya dan mengejar Mida yang sudah berjalan cukup jauh.
“Hey, aku memanggilmu.” Menarik tangan Mida agar berhenti berjalan.
“Maaf, aku tidak mengerti apa maksudmu?” cicit Mida khawatir dan tidak ingin berbuat masalah.
“Jangan takut, aku bukan untuk menyakitimu. Aku hanya ingin mengantarmu pulang. Dimana rumahmu?” tak ingin di tolak Angel langsung memberi penjelasan akan tujuannya. Mida tersenyum detik berikutnya ia terlihat bingung membuat Angel secara reflex mencubit pipi Mida gemas. Tanpa menunggu jawaban lagi Angel menarik tangan Mida untuk menaiki mobilnya.
“Dimana rumahmu?” Tanya Angel kembali.
“Koplex Bunga.” Jawab Mida singkat. Angel tersenyum kemudian mulai menjalankan mobilnya.
Satu minggu berlalu sejak hari Angel mengantar Mida pulang ke koplex Bunga dan hari ini hari kelima anak itu tidak muncul dan tanpa informasi sedikitpun. Guru-guru yang mengajar pun seakan acuh tak acuh atas keabsenan Mida selama lima hari. Dua hari yang lalu Angel mendatangi kompleks bunga tapi tak seorang pun penghuni disana yang mengenal anak SMA bernama Mida. Angel bertanya kepada wali kelasnya tapi respon yang ia terima tidak sesuai harapan. Mida dinyatakan keluar dari sekolah tepat lima hari yang lalu.
“Mida, anak itu sungguh misterius, tiba-tiba menghilang begitu saja,” guman Angel pada dirinya sendiri mendapati sosok yang ia cari takkan muda ia temui lagi.
Siang dengan terik matahari bukanlah ketakutannya, ia sudah terbiasa dengan hal itu tapi sekarang adalah sosok bongsor ibu paruh baya yang menatap nyalang kearahnya. Peluh membasahi. Tangan yang mulai gemetaran itu sesekali mengusap keringat di dahi. Tubuh ringkih dengan lebam disekujur betis. Siapapun akan menyadari anak gadis itu baru saja menerima siksaan dari majikannya. Apakah ia menangis? Tidak, sorot matanya kosong tidak ada rasa sakit disana. Mungkin ia telah mati rasa. Menyelesaikan sisa jemuran terakhirnya, Mida melangkahkan kaki kecilnya memasuki rumah sang majikan.Ia telah menyelesaikan tugas-tugasnya, sekarang ia akan kembali ke gudang untuk beristirahat dan memakan sepotong roti yang ia sisa kemarin. Belum sempat tubuhnya berbalik, sebuah teriakan kembali menyebut namanya. Menghela nafas pasrah, Mida berjalan kearah ruang tamu. Disana ada sang majikan dan anaknya yang baru berusia 12 tahun. Lagi-lagi tatapan tajam itu terarah padanya.“Apa saja yan
Penjaga toko meraih bingkai foto kecil yang terpajang disudut ruangan, kemudian tangannya menekan sebuah tombol yang Mida sendiri tak akan menyadari jika ada tombol dibalik bingkai foto kecil itu. Perlahan sesuatu bergeser pelan setelah penjaga itu menekan tombol dibalik bingkai foto tersebut. Sebuah pintu rahasia dan dibalik pintu rahasia tersebut ada lift yang entah digunakan kemana, seingat Mida, bangunan toko toserba ini tidak bertingkat. Masih dalam pertanyaan dibenaknya, Davin mengintrupsi agar Mida memasuki lift. Mida lagi-lagi hanya bisa menurut. Perlahan pintu lift tertutup dan bergerak kebawah dan terjawab pula pertanyaan yang bersarang dibenak Mida. Bunyi denting dari lift menyadarkan Mida dari pemikirannya. Pintu lift terbuka, Davin bergegas keluar diikuti oleh Mida. Detik berikutnya Mida terperangah.Ia ingin tidak mempercayai apa yang ada dihadapannya sekarang ini tapi ia juga bukan orang yeng terlalu bodoh untuk tidak tahu sama sekali
Ia, Fox hanya mendengus dan meletakkan botol ditangannya dengan kasar. Memejamkan mata, hanya setengah botol yang ia konsumsi tapi sudah membuatnya sakit kepala. Itulah alasan mengapa ia tidak suka dengan perkumpulan seperti ini. Jika bukan karena tuannya yang ingin bertemu dengannya, ia akan memilih tidur di apartemen sebelum ada panggilan tugas berikutnya.“Aku ingin mengajakmu kembali ke Indo.” Kalimat itu terasa berat untuk ia terima, bukan karena tidak ingin tapi kepalanya yang terus-terusan berdenyut sakit.Kebodohannya sendiri karena langsung menenggak vodka dari dalam botol. Hanya satu orang yang tahu tentang kelemahannya ini. Senior dan rekan seperlatihannya tidak ada yang tahu bahkan tuannya sendiri. Mereka hanya tahu Fox yang sempurna tanpa kecacatan secuil pun.Tidak tahan dengan sakit kepala yang menderanya, meski tidak ingin menghubungi sosok itu terpaksa ia lakukan. Menekan tombol panggil secara diam-diam dibalik saku jaketnya.
Sebuah notif email masuk saat Fox sedang mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Tangannya kemudian beralih kearah komputer yang ada diruang kerjanya. Ia mengetikkan sesuatu didalam email itu sebagai balasan, biasanya ia tidak lakukan tapi kali ini pengecualian. Selanjutnya ia memeriksa file yang Elliot kirimkan untuknya. Isi datanya cukup lengkap, ia masih tidak bisa menentukan keakuratan data itu akan sesuai dengan lokasi atau itu hanya tipuan. Jika pergerakan Blame berfokus pada Negara Asia itu akan berbahaya, ditambah kondisi pasukan khusus di sana rata-rata masih berada di Amerika. Belum selesai ia membaca deretan informasi didalam file yang dikirimkan oleh Elliot, email baru kembali masuk.‘Data itu masih rencana awal mereka, kemungkinan Blame akan memulai bergerak dari Bangkok. Beberapa koneksi baru saja melaporkan, anggota Blame berkumpul disana. Jadi bagaimana, sudah memutuskan untuk kembali ke Asia?’Fox tidak membalas emai
“Apa mereka sudah sampai?”Wajah yang tampak agung yang tengah duduk dikursi kebesarannya, ditangannya terdapat gelas anggur merah.“Benar, Tuan. Mereka sedang dalam perjalanan kemari.”Sosok Tuan itu berdiri dari singgasananya, melangkah mendekati kotak beludru yang sudah dipersiapkannya jauh hari.“Berikan kotak hadiah ini padanya.” Ucapnya lantas berbalik pergi.“Baik Tuan.”Tidak lama ruangan itu kembali terbuka, sosok itu muncul disana.“Dimana Tuan?” Tanya Fox tanpa membuang waktu.“Kalian akan bertemu dengannya saat pesta perayaan.” Sosok yang menunggu kedatangan mereka menjawab.Fox menatap kearah Joan, apakah mereka terlambat?“Tuan menitipkan kotak ini untuk Fox.” Sosok itu berjalan mendekat dan menyerahkan kotak beludru yang Tuan mereka titipkan.Tanpa ragu Fox menerima kotak beludru dari satu-satunya sosok yang m
Dor!Satu tembakan melesat melewati helaian rambut Fox, tembakan peringatan. Fox tidak menduga pimpinan dari musuh tidak bisa diprovokasi dengan mudah. Dan lagi, kemana anak buahnya yang ditugaskan untuk berjaga didepan?“Seperti katamu, ini hanya rencana murahan tapi lihatlah aku berhasil menangkap tangkapan yang bagus. Bukankah ini luar biasa? Ayolah, jangan kaget dengan tembakan barusan, aku tidak mungkin melukaimu saat ini.” Sosok itu kemudian berjalan mendekat.“Pistol yang bagus.” Komentarnya, mengetuk-ngetuk pistol yang ditodongkan Fox dengan pistolnya sendiri.“Jatuhkan!” Perintahnya setengah membentak.Fox menurut, melepaskan genggamannya pada pistol kesayangannya.“Bagus.” Komentarnya lagi, berpuas diri.“Kalian ikat dia dan bawa keatas!” Perintahnya pada dua sosok yang berdiri menodongkan pistol pada Fox.“Bagus, hari ini akan ada hadiah besar
Tidak ada yang perlu ia tanyakan lagi mengenai mengapa dirinya berada ditempat sosok dihadapannya. Ia akan mencari tahu sendiri apa yang terjadi setelah keadaannya sedikit lebih pulih. Di pintu kamar ia melihat sosok itu kembali berbincang dengan dokter yang sudah memeriksa kondisi tubuhnya. Setelah sosok dokter yang telah memeriksa kondisinya menghilang dibalik pintu sosok pria itu kembali mendekat kearah dimana Fox terbaring. Senyum yang tampak ragu-ragu melengkung dibibirnya.“Bagaimana? Apa kamu butuh sesuatu?” Tanyanya sedikit lebih akrab.“Saya sedikit haus.” Ucap Fox dengan suara serak.Keinginannya yang sedari tadi tertunda, tanpa ragu-ragu sosok itu bergerak cepat kearah gelas air yang terletak diatas nakas.“Maaf, seharusnya saya tahu anda akan sangat haus.”Fox tidak membalas, ia hanya menatap tangan yang terulur dengan air itu, sedikit mengangkat tangan.“Dimana ini?” Ia selesai den
Fox membuka matanya, perlahan ia bangkit dari atas tempat tidur. Ia bahkan tidak sadar sejak kapan ia tertidur. Melirik keluar jendela hanya gelap yang terlihat. Sudah berapa lama ia tertidur? Apa itu sungguh tertidur atau sengaja dibuat tertidur? Melihat sekeliling ia masih berada ditempat yang sama. Ia ingat, terakhir kali ia berniat pergi dari tempat ini setelah mengucapkan terima kasih. Sekarang kekhawatirannya tentang sosok penolongnya menjadi kenyataan. Orang itu tidak berniat untuk membiarkan ia pergi dari tempat ini. Apa yang sebenarnya terjadi Fox masih mencari tahu? Musuh di Indo sama sekali belum ia ketahui dan bisa saja orang yang menolongnya adalah musuh berkedok sebagai pahlawan untuknya. Luka-luka ditumbuhnya memang berangsur membaik tapi untuk bergerak bebas masihlah sulit untuk ia lakukan. Apalagi jika ia berniat kabur ditempat ini yang sudah pasti dijaga dengan ketat. Belum melangkah mendekati gerbang ia akan kembali terbaring diatas ranjang pasien. “Haah..
“Bagaimana kau akan bertanggung jawab dengan omong kosongmu itu?” sarkas Fox tajam saat berbalik menatap pria itu.“Ini bukan waktu untuk berdebat dan tidak ada dari perkataanku yang termasuk omong kosong,” balas orang itu tidak kalah tajam.“Ck, lalu katakan detailnya. Aku akan kembali ke camp dan memberi tahu yang lain.”Fox berbalik pergi dan meski tidak sepenuhnya mempercayai orang asing yang baru saja muncul dihadapannya. Untuk saat ini ia merasa tidak punya pilihan lain. Terlebih kepergian Davin tidak dikawal oleh pengawal.Sebelumnya, Fox juga telah masuk kedalam jebakan yang tidak terduga seperti saat ini. Bertemu para agen di camp memungkinkan dirinya mengambil kesimpulan pasti. Orang itu tidak tampak terkejut dengan keputusan Fox yang kembali tenang dan tidak terburu-buru untuk menyelamatkan Davin. Satu hal yang pasti mengenai Davin sebagai pimpinan kelompok dan orang yang membantunya keluar dari penjara. Davin adalah orang kuat, ia tidak bisa begitu saja mengabaikan bahwa
Davin mendorong tubuh penuh sabun Fox kembali ke dalam kamar mandi. Ia memiliki pikilan gila dan sekarang ia hanya akan semakin gila dengan gadis yang tidak bisa menjaga tubuhnya sama sekali.“Bagaimana kau bisa tinggal berdua dengan pria itu selama ini?”Fox tidak langsung menjawab, melainkan mengingat hari-hari yang ia habiskan bersama John. Tidak ada yang buruk untuk tinggal bersama pria itu, John cukup pengertian dan selalu sigap dalam setiap situasi.“Cukup baik, ia tidak pandai memasak tapi cukup untuk perut yang kelaparan.”Davin menghentikan gerakannya menyiram tubuh Fox dengan shower di tangannya. Dulu ia mengabaikan keberadaan Fox. Pertemuan kedua mereka adalah membawa Fox ke dunia bawah dan memerintahkan seseorang untuk membawanya ke kamp pelatihan. Setelah itu, ia sepenuhnya melupakan keberadaan seorang gadis yang telah ia bawa ke dunianya. Membiarkan gadis itu berjuang sendirian hingga beberapa pencapaian yang membuat
Fox menatap gunung berbatu di hadapannya tanpa ekspresi. Jalan tercepat menuju kamp pelatihan iblis tidak lain dengan memanjat gunung di hadapannya. Ia tidak akan goyah, niatnya untuk menjadi lebih kuat dan tidak menjadi beban adalah kekuatannya saat ini. Bersiap untuk mulai memanjat tanpa tali pengaman dan di punggungnya terdapat satu ransel besar yang memuat beberapa beban pemberat. Jika sedikit saja kakinya goyah maka ia akan jatuh, beruntung jika ia langsung mati dan bukan tulang remuk yang hanya akan membuatnya lebih menderita. Camp iblis, sesuai namanya, sebuah tempat pelatihan mengerikan yang berada di sebuah pulau di laut pasifik. Cukup mudah untuk tiba tepat di kamp pelatihan, namun untuk menjadi anggota pelatihan elit. Mereka harus memulai dari garis awal, tepatnya di pinggir pantai yang menjadi dermaga satu-satunya. Memanjat gunung berbatu atau berjalan memutar hingga tiba di pintu kamp pelatihan iblis. Mengencangkan kekuatan tangannya saat mengangkat sedi
Sehari telah berlalu sejak bebasnya Fox di tangan Frank. Sejak hari itu juga, John tidak melepaskan pandangannya dari Fox. Ia terlihat seperti bebek yang mengikuti induknya ke mana-mana. Bahkan ketika Fox ingin ke kamar mandi tanpa sadar ia berjalan mengikuti. Hingga berakhir menerima lemparan sayang dari Fox.“Apa kau yakin akan kembali ke LA? Aku tidak yakin jika Bos akan setuju dengan itu.” John berbicara sembari berlari kecil mengejar langkah Fox yang di percepat.“Hmm, aku belum siap di sini, mengulang latihan tiga tahun lagi untuk memperkuat diriku,” balas Fox acuh. Ia tidak ingin di permalukan dua kali oleh pria itu. sangat tidak menyenangkan melihat seringaian menjengkelkan yang harus ia lihat setiap hari di sana.“Hey, itu hanya karena kau lengah sesaat! Kau hanya sedang tidak beruntung saat itu.” John bergerak cepat dan mencegat langkah Fox. Mendelik kesal, Fox melempar tinju ke arah wajah John. Kekuatan tidak seimba
Sesaat setelah melewati pintu, Fox mengedarkan pandangannya. Sebuah pesta mewah dengan orang-orang luar biasa di dalamnya. Para pejabat, artis terkenal, pebisnis hebat dan barisan orang-orang berduit lainnya. “Apa ini?” tanya Fox dengan suara dalam. Frank tidak menjawab dan hanya tersenyum miring. Jelas saja matanya sedang mencari sosok itu. “Kau tidak berpikir bahwa aku tidak bisa menghilang dari pandanganmu di tempat ini, bukan?” lanjut Fox. “Cobalah!” lirik tajam Frank mengancam. Fox mendecih keras namun tidak sampai menimbulkan perhatian dari para tamu pesta. Masih jelas di ingatannya, hari itu ia dengan konyolnya di culik sejam sebelum ia akan menghadiri pesta yang telah di siapkan oleh tuannya. Berjalan menjauh dari Frank, Fox mendekat ke arah meja panjang dengan dessert lezat di atasnya. Ia tidak menyukai hal-hal manis. Baginya rasa manis lebih kejam dari obat pahit. Namun kali ini moodnya lebih buruk dari tampilan manis cake y
Ruangan yang di dominasi oleh putih dan abu, seorang pria dewasa yang tengah menyulut rokok disudut bibirnya. Pada ketinggian bangunan tempat pria itu berdiri, dibawah sana hiruk-pikuk dunia terus bergerak entah teratur atau berantakan. Saat asap putih berbentuk oval keluar dari mulutnya ia tersenyum miring. Seseorang yang gila akan pertempuran dan darah yang menyebar dimana-mana, ia mendambakan itu lebih dari nafsu pribadinya.Sesaat yang lalu, ia menerima laporan bahwa salah satu bawahan kepercayaannya menghilang. Ia tahu hal itu akan terjadi dan sosok yang telah melakukan tindakan itu tidak lain adalah si serigala lapar yang tidak kenal ampun. Sangat lucu mengingat mereka dulu berada di neraka yang sama, hanya saja ada yang berbeda dari ingatannya.Wajah yang awalnya tersenyum itu berubah menyulut tajam dan mengeras. Bagaimana wanita itu melupakan dirinya begitu saja tanpa mengingat sedikit pun tentang dirinya?Kembali pada beberapa saat lalu saat ia duduk da
Fox membuka matanya, perlahan ia bangkit dari atas tempat tidur. Ia bahkan tidak sadar sejak kapan ia tertidur. Melirik keluar jendela hanya gelap yang terlihat. Sudah berapa lama ia tertidur? Apa itu sungguh tertidur atau sengaja dibuat tertidur? Melihat sekeliling ia masih berada ditempat yang sama. Ia ingat, terakhir kali ia berniat pergi dari tempat ini setelah mengucapkan terima kasih. Sekarang kekhawatirannya tentang sosok penolongnya menjadi kenyataan. Orang itu tidak berniat untuk membiarkan ia pergi dari tempat ini. Apa yang sebenarnya terjadi Fox masih mencari tahu? Musuh di Indo sama sekali belum ia ketahui dan bisa saja orang yang menolongnya adalah musuh berkedok sebagai pahlawan untuknya. Luka-luka ditumbuhnya memang berangsur membaik tapi untuk bergerak bebas masihlah sulit untuk ia lakukan. Apalagi jika ia berniat kabur ditempat ini yang sudah pasti dijaga dengan ketat. Belum melangkah mendekati gerbang ia akan kembali terbaring diatas ranjang pasien. “Haah..
Tidak ada yang perlu ia tanyakan lagi mengenai mengapa dirinya berada ditempat sosok dihadapannya. Ia akan mencari tahu sendiri apa yang terjadi setelah keadaannya sedikit lebih pulih. Di pintu kamar ia melihat sosok itu kembali berbincang dengan dokter yang sudah memeriksa kondisi tubuhnya. Setelah sosok dokter yang telah memeriksa kondisinya menghilang dibalik pintu sosok pria itu kembali mendekat kearah dimana Fox terbaring. Senyum yang tampak ragu-ragu melengkung dibibirnya.“Bagaimana? Apa kamu butuh sesuatu?” Tanyanya sedikit lebih akrab.“Saya sedikit haus.” Ucap Fox dengan suara serak.Keinginannya yang sedari tadi tertunda, tanpa ragu-ragu sosok itu bergerak cepat kearah gelas air yang terletak diatas nakas.“Maaf, seharusnya saya tahu anda akan sangat haus.”Fox tidak membalas, ia hanya menatap tangan yang terulur dengan air itu, sedikit mengangkat tangan.“Dimana ini?” Ia selesai den
Dor!Satu tembakan melesat melewati helaian rambut Fox, tembakan peringatan. Fox tidak menduga pimpinan dari musuh tidak bisa diprovokasi dengan mudah. Dan lagi, kemana anak buahnya yang ditugaskan untuk berjaga didepan?“Seperti katamu, ini hanya rencana murahan tapi lihatlah aku berhasil menangkap tangkapan yang bagus. Bukankah ini luar biasa? Ayolah, jangan kaget dengan tembakan barusan, aku tidak mungkin melukaimu saat ini.” Sosok itu kemudian berjalan mendekat.“Pistol yang bagus.” Komentarnya, mengetuk-ngetuk pistol yang ditodongkan Fox dengan pistolnya sendiri.“Jatuhkan!” Perintahnya setengah membentak.Fox menurut, melepaskan genggamannya pada pistol kesayangannya.“Bagus.” Komentarnya lagi, berpuas diri.“Kalian ikat dia dan bawa keatas!” Perintahnya pada dua sosok yang berdiri menodongkan pistol pada Fox.“Bagus, hari ini akan ada hadiah besar