Siang dengan terik matahari bukanlah ketakutannya, ia sudah terbiasa dengan hal itu tapi sekarang adalah sosok bongsor ibu paruh baya yang menatap nyalang kearahnya. Peluh membasahi. Tangan yang mulai gemetaran itu sesekali mengusap keringat di dahi. Tubuh ringkih dengan lebam disekujur betis. Siapapun akan menyadari anak gadis itu baru saja menerima siksaan dari majikannya. Apakah ia menangis? Tidak, sorot matanya kosong tidak ada rasa sakit disana. Mungkin ia telah mati rasa. Menyelesaikan sisa jemuran terakhirnya, Mida melangkahkan kaki kecilnya memasuki rumah sang majikan.
Ia telah menyelesaikan tugas-tugasnya, sekarang ia akan kembali ke gudang untuk beristirahat dan memakan sepotong roti yang ia sisa kemarin. Belum sempat tubuhnya berbalik, sebuah teriakan kembali menyebut namanya. Menghela nafas pasrah, Mida berjalan kearah ruang tamu. Disana ada sang majikan dan anaknya yang baru berusia 12 tahun. Lagi-lagi tatapan tajam itu terarah padanya.
“Apa saja yang kau lakukan, anakku sudah kelaparan dan kau sama sekali belum menyiapkan makan siang untuknya? Apa kau mau bermalas-malasan? Dasar anak pelacur!” bagai bom waktu, kalimat terakhir dari sang nyonya seakan mengahantam sampai ke titik terendah dari pertahanan Mida.
Tangannya mengepal erat siap menghantam sang majikan. Mida berjalan mendekat tangan kanannya menyambar vas bunga diatas meja. Detik selanjutnya vas bunga tersebut sudah bersarang di kepala sang majikan dengan darah segar yang mengalir disana. Sebuah tangisan keras dari sang anak melihat ibunya yang jatuh pingsan dengan darah yang terus mengalir. Mida berdiri kaku disana tersadar dari apa yang baru saja ia lakukan. Derap langkah kaki mulai terdengar saling bersahut-sahutan. Mida menoleh, diarah pintu sana orang-orang mulai berdatangan. Mida menjatuhkan sisa vas bunga ditangannya.
Mata kosong itu menatap mantan majikan yang masih memberi sumpah serapah untuknya. Dua hari yang lalu adalah hari terakhirnya menatap sinar matahari dunia luar. Sekarang ia duduk lesu menatap dinding yang penuh goresan tidak jelas didepan sana. Tempat yang akan ia tinggali selama 2,5 tahun. Takdir yang buruk, pikir Mida dan memilih memejamkan mata.
Takdir bagaimana ia menafsirkan tentang takdir, sedang ia sendiri tidak percaya akan takdir. Hidup yang ia jalani selama 17 tahun ia hidup tidak lebih dari permainan takdir untuknya. Jika ia mulai dari awal lagi, awal apa yang akan ia mulai? Ia sendiri tidak punya tempat untuk kembali. Tidak ada yang menunggu dirinya. Kenapa takdirnya begitu buruk? Untuk apa ia hidup?
Malam yang dingin telah ia lalui dibalik pintu jeruji kurang lebih setengah bulan. Bagaimana dengan esok, masih sanggupkah ia? Lambat laun keputusasaan itu semakin mendalam. Kehampaan semakin menggerogoti dirinya. Menjeratnya ke dalam lubang kosong tanpa celah untuk kembali. Ia akan mengakhiri semuanya.
“Kau terlihat putus asa,” seseorang yang berasal dari sel sebelah selnya berujar. Mida tidak menjawab, fokus matanya masih menatap lekat langit-langit jeruji.
“Kau tahu, besok aku akan dibebaskan. Apa kau butuh bantuanku? Aku akan dengan senang hati membantumu.”
“…..” masih tidak ada jawaban dari Mida.
“Kau terlalu menganggap remeh hidupmu. Kau hanya belum mengenal kesenangan dunia ini. Jika kau menyerah sekarang, di akhirat kau akan sangat menyesal,” lagi-lagi orang itu berujar mengabaikan Mida yang masih bungkam.
“Apa kau tidak punya dendam dengan orang-orang yang telah menghancurkanmu? Mungkin kau punya dendam tapi kau terlalu pengecut untuk membalas perbuatan mereka. Kau memiliki potensi yang luar biasa, kau hanya perlu mengasahnya sedikit. Aku memberimu waktu sampai besok pagi sebelum aku keluar dari penjara ini. Jawabanmu harus memuaskan karena aku cukup tertarik dengan kepribadianmu.” Mida menoleh menatap sosok yang terus-terusan mengajaknya berbicara.
“Tidak perlu menunggu besok, aku bisa menjawabnya sekarang. Jadi pastikan saja kau menperlihatkan kesenangan dunia itu kepadaku setelah bebas dari tempat ini.”
“Menarik, kau sungguh membuatku semakin tertarik padamu.” Laki-laki itu tersenyum penuh makna kemudian memperbaiki posisi tidurnya.
Sekitar jam 10 laki-laki dari sel sebelahnya mendapat surat pembebasan. Sebelum meninggalkan sel, laki-laki itu mendekat ke sel Mida dan membisikkan sesuatu. Mida hanya diam tidak memberi tanggapan berarti tapi ia menyimpan sedikit harapan atas apa yang telah dijanjikan laki-laki yang baru 2 hari masuk penjara tapi hari ini sudah dibebaskan. Ia akan bertahan sampai hari yang telah dijanjikan laki-laki itu. Meski sedikit ia tidak mempercayai laki-laki itu tapi untuk pertama kalinya ia akan bertaruh pada takdir.
Menunggu selama 2 hari 2 malam ternyata lebih lama dari yang Mida rasakan. Entah karena penasaran atau hanya tidak tahan menunggu jawaban takdir yang ia pertaruhkan. Pintul sel terbuka, Mida menoleh mendapati sorang penjaga membuka pintu sel yang ia tempati.
“Tahanan 90012, anda dibebaskan, ikut saya!”
Mida menurut, berjalan di belakang penjaga tahanan. Melewati beberapa sel dan berakhir di sebuah ruangan yang cukup familiar karena tempat itu adalah tempat pertama yang ia tempati selama penangkapan dirinya.
“Tahanan 90012 anda telah dibebaskan. Silahkan tanda tangan disini dan barang-barang anda akan segera diantarkan kemari.” Tidak ingin berlama-lama lagi ditempat itu, Mida langsung membubuhkan tanda tangan pada kertas yang diserahkan oleh petugas tersebut.
Seorang pria dengan pakain rapi menghampiri Mida, Mida mengernyit bingung. Laki-laki itu menyodorkan tangannya.
“Perkenalkan saya, Don. Tuan meminta untuk menjemput anda untuk segera menemuinya.” Mida mengangguk dan laki-laki itu mempersilahkan dirinya untuk berjalan lebih dulu.
Mida cukup takjub dengan apa yang ia lihat dihadapannya saat ini. Rumah mewah khas Eropa berdiri dengan megahnya ditengah lahan luas yang entah berapa hektar luasnya. Benarkah ini hasil pertaruhan takdir yang ia lakukan 2 hari yang lalu?
“Silahkan ikuti saya, menemui tuan Davin.” Pinta Don setelah memasuki pintu utama rumah megah tersebut.
Ada banyak pelayan yang hilir mudik, entah itu membersihkan atau menata sesuatu dan semua itu tak luput dari pandangan Mida. Don berhenti tepat dibuah pintu yang cukup besar namun tak sebesar pintu utama. Mengetuk pintu 3 kali dan terdengar sahutan perintah untuk masuk, Don membuka pintu cukup lebar dan mempersilahkan Mida untuk masuk. Mida mengangguk dan setelahnya Don pamit undur diri setelah menghadap kepada tuannya.
“Kita mengobrol cukup lama malam itu tapi belum saling mengetahui nama masing-masing,” laki-laki itu membuka percakapan. Dirinya yang sejak tadi duduk dibalik meja kebesarannya berdiri dan menghampiri Mida.
“Davin Ellys,” mengulurkan tangan dan tanpa ragu dibalas oleh Mida.
“Mida.” Balas Mida, Davin mengerut. Mida yang mengerti akan tatapan itu itu kembali berucap.
“Namaku Mida hanya Mida.” Davin tertawa, tawa yang cukup menggelegar. Mida yang mendengar tawa itu hanya diam tidak merasa tersinggung sama sekali.
“Baiklah, hanya Mida. Sesuai perjanjian yang saya ajukan kepadamu, mulai hari ini kau akan bekerja dibawahku dan imbalannya saya pastikan akan sangat memenuhi apa yang pernah saya janjikan. Saya memberimu waktu setengah tahun untuk menerima pelatihan dan setelahnya adalah tergantung dari hasil pelatihanmu.”
“Tidak masalah.” Jawab Mida menyanggupi.
“Malam ini akan saya tunjukkan secuil cara menjalani hidup dalam kesenangan jadi bersip-siaplah. Pelayan akan mengantarmu ke salah satu kamar tamu di mansion ini.” Mida hanya mengangguk kemudian berbalik meninggalkan Davin di dalam sana.
Malam menjelang dan sesuai janji Davin, ia mengajak Mida ke suatu tempat yang Davin sebut sebagai tempat mendapatkan kesenangan. Mobil yang dikendarai Davin berhenti disebuah toko toserba. Davin turun dari mobil diikuti oleh Mida. Meski dalam kebingungan namun Mida tetap mengikuti langkah kaki Davin yang memasuki toko toserba tersebut. Davin memperlihatkan sebuah kartu pada penjaga toserba dan langsung diangguki oleh penjaga toko tersebut. Davin melanjutkan langkahnya membuka pintu kayu kecil. Di dalam sana hanya terdapat kursi kayu tua dan peralatan minum tidak ada ke anehan ataupun berbau kesenangan. Mida tidak berniat untuk bertanya dan Davin pun tidak ada niat untuk menjelaskan. Mereka berdiam diri cukup lama sebelum penjaga toko itu juga muncul dibalik pintu kayu yang Mida lewati bersama Davin.
“Maaf menunggu, tuan Davin. Silahkan lewat sini.” Penjaga toko itu membungkuk setelah meminta maaf dan mempersilahkan mereka untuk mengikutinya.
Penjaga toko meraih bingkai foto kecil yang terpajang disudut ruangan, kemudian tangannya menekan sebuah tombol yang Mida sendiri tak akan menyadari jika ada tombol dibalik bingkai foto kecil itu. Perlahan sesuatu bergeser pelan setelah penjaga itu menekan tombol dibalik bingkai foto tersebut. Sebuah pintu rahasia dan dibalik pintu rahasia tersebut ada lift yang entah digunakan kemana, seingat Mida, bangunan toko toserba ini tidak bertingkat. Masih dalam pertanyaan dibenaknya, Davin mengintrupsi agar Mida memasuki lift. Mida lagi-lagi hanya bisa menurut. Perlahan pintu lift tertutup dan bergerak kebawah dan terjawab pula pertanyaan yang bersarang dibenak Mida. Bunyi denting dari lift menyadarkan Mida dari pemikirannya. Pintu lift terbuka, Davin bergegas keluar diikuti oleh Mida. Detik berikutnya Mida terperangah.Ia ingin tidak mempercayai apa yang ada dihadapannya sekarang ini tapi ia juga bukan orang yeng terlalu bodoh untuk tidak tahu sama sekali
Ia, Fox hanya mendengus dan meletakkan botol ditangannya dengan kasar. Memejamkan mata, hanya setengah botol yang ia konsumsi tapi sudah membuatnya sakit kepala. Itulah alasan mengapa ia tidak suka dengan perkumpulan seperti ini. Jika bukan karena tuannya yang ingin bertemu dengannya, ia akan memilih tidur di apartemen sebelum ada panggilan tugas berikutnya.“Aku ingin mengajakmu kembali ke Indo.” Kalimat itu terasa berat untuk ia terima, bukan karena tidak ingin tapi kepalanya yang terus-terusan berdenyut sakit.Kebodohannya sendiri karena langsung menenggak vodka dari dalam botol. Hanya satu orang yang tahu tentang kelemahannya ini. Senior dan rekan seperlatihannya tidak ada yang tahu bahkan tuannya sendiri. Mereka hanya tahu Fox yang sempurna tanpa kecacatan secuil pun.Tidak tahan dengan sakit kepala yang menderanya, meski tidak ingin menghubungi sosok itu terpaksa ia lakukan. Menekan tombol panggil secara diam-diam dibalik saku jaketnya.
Sebuah notif email masuk saat Fox sedang mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Tangannya kemudian beralih kearah komputer yang ada diruang kerjanya. Ia mengetikkan sesuatu didalam email itu sebagai balasan, biasanya ia tidak lakukan tapi kali ini pengecualian. Selanjutnya ia memeriksa file yang Elliot kirimkan untuknya. Isi datanya cukup lengkap, ia masih tidak bisa menentukan keakuratan data itu akan sesuai dengan lokasi atau itu hanya tipuan. Jika pergerakan Blame berfokus pada Negara Asia itu akan berbahaya, ditambah kondisi pasukan khusus di sana rata-rata masih berada di Amerika. Belum selesai ia membaca deretan informasi didalam file yang dikirimkan oleh Elliot, email baru kembali masuk.‘Data itu masih rencana awal mereka, kemungkinan Blame akan memulai bergerak dari Bangkok. Beberapa koneksi baru saja melaporkan, anggota Blame berkumpul disana. Jadi bagaimana, sudah memutuskan untuk kembali ke Asia?’Fox tidak membalas emai
“Apa mereka sudah sampai?”Wajah yang tampak agung yang tengah duduk dikursi kebesarannya, ditangannya terdapat gelas anggur merah.“Benar, Tuan. Mereka sedang dalam perjalanan kemari.”Sosok Tuan itu berdiri dari singgasananya, melangkah mendekati kotak beludru yang sudah dipersiapkannya jauh hari.“Berikan kotak hadiah ini padanya.” Ucapnya lantas berbalik pergi.“Baik Tuan.”Tidak lama ruangan itu kembali terbuka, sosok itu muncul disana.“Dimana Tuan?” Tanya Fox tanpa membuang waktu.“Kalian akan bertemu dengannya saat pesta perayaan.” Sosok yang menunggu kedatangan mereka menjawab.Fox menatap kearah Joan, apakah mereka terlambat?“Tuan menitipkan kotak ini untuk Fox.” Sosok itu berjalan mendekat dan menyerahkan kotak beludru yang Tuan mereka titipkan.Tanpa ragu Fox menerima kotak beludru dari satu-satunya sosok yang m
Dor!Satu tembakan melesat melewati helaian rambut Fox, tembakan peringatan. Fox tidak menduga pimpinan dari musuh tidak bisa diprovokasi dengan mudah. Dan lagi, kemana anak buahnya yang ditugaskan untuk berjaga didepan?“Seperti katamu, ini hanya rencana murahan tapi lihatlah aku berhasil menangkap tangkapan yang bagus. Bukankah ini luar biasa? Ayolah, jangan kaget dengan tembakan barusan, aku tidak mungkin melukaimu saat ini.” Sosok itu kemudian berjalan mendekat.“Pistol yang bagus.” Komentarnya, mengetuk-ngetuk pistol yang ditodongkan Fox dengan pistolnya sendiri.“Jatuhkan!” Perintahnya setengah membentak.Fox menurut, melepaskan genggamannya pada pistol kesayangannya.“Bagus.” Komentarnya lagi, berpuas diri.“Kalian ikat dia dan bawa keatas!” Perintahnya pada dua sosok yang berdiri menodongkan pistol pada Fox.“Bagus, hari ini akan ada hadiah besar
Tidak ada yang perlu ia tanyakan lagi mengenai mengapa dirinya berada ditempat sosok dihadapannya. Ia akan mencari tahu sendiri apa yang terjadi setelah keadaannya sedikit lebih pulih. Di pintu kamar ia melihat sosok itu kembali berbincang dengan dokter yang sudah memeriksa kondisi tubuhnya. Setelah sosok dokter yang telah memeriksa kondisinya menghilang dibalik pintu sosok pria itu kembali mendekat kearah dimana Fox terbaring. Senyum yang tampak ragu-ragu melengkung dibibirnya.“Bagaimana? Apa kamu butuh sesuatu?” Tanyanya sedikit lebih akrab.“Saya sedikit haus.” Ucap Fox dengan suara serak.Keinginannya yang sedari tadi tertunda, tanpa ragu-ragu sosok itu bergerak cepat kearah gelas air yang terletak diatas nakas.“Maaf, seharusnya saya tahu anda akan sangat haus.”Fox tidak membalas, ia hanya menatap tangan yang terulur dengan air itu, sedikit mengangkat tangan.“Dimana ini?” Ia selesai den
Fox membuka matanya, perlahan ia bangkit dari atas tempat tidur. Ia bahkan tidak sadar sejak kapan ia tertidur. Melirik keluar jendela hanya gelap yang terlihat. Sudah berapa lama ia tertidur? Apa itu sungguh tertidur atau sengaja dibuat tertidur? Melihat sekeliling ia masih berada ditempat yang sama. Ia ingat, terakhir kali ia berniat pergi dari tempat ini setelah mengucapkan terima kasih. Sekarang kekhawatirannya tentang sosok penolongnya menjadi kenyataan. Orang itu tidak berniat untuk membiarkan ia pergi dari tempat ini. Apa yang sebenarnya terjadi Fox masih mencari tahu? Musuh di Indo sama sekali belum ia ketahui dan bisa saja orang yang menolongnya adalah musuh berkedok sebagai pahlawan untuknya. Luka-luka ditumbuhnya memang berangsur membaik tapi untuk bergerak bebas masihlah sulit untuk ia lakukan. Apalagi jika ia berniat kabur ditempat ini yang sudah pasti dijaga dengan ketat. Belum melangkah mendekati gerbang ia akan kembali terbaring diatas ranjang pasien. “Haah..
Ruangan yang di dominasi oleh putih dan abu, seorang pria dewasa yang tengah menyulut rokok disudut bibirnya. Pada ketinggian bangunan tempat pria itu berdiri, dibawah sana hiruk-pikuk dunia terus bergerak entah teratur atau berantakan. Saat asap putih berbentuk oval keluar dari mulutnya ia tersenyum miring. Seseorang yang gila akan pertempuran dan darah yang menyebar dimana-mana, ia mendambakan itu lebih dari nafsu pribadinya.Sesaat yang lalu, ia menerima laporan bahwa salah satu bawahan kepercayaannya menghilang. Ia tahu hal itu akan terjadi dan sosok yang telah melakukan tindakan itu tidak lain adalah si serigala lapar yang tidak kenal ampun. Sangat lucu mengingat mereka dulu berada di neraka yang sama, hanya saja ada yang berbeda dari ingatannya.Wajah yang awalnya tersenyum itu berubah menyulut tajam dan mengeras. Bagaimana wanita itu melupakan dirinya begitu saja tanpa mengingat sedikit pun tentang dirinya?Kembali pada beberapa saat lalu saat ia duduk da