Home / Urban / The Foxy Lady / Jalan Untuk Memulai

Share

Jalan Untuk Memulai

Sebuah notif email masuk saat Fox sedang mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Tangannya kemudian beralih kearah komputer yang ada diruang kerjanya. Ia mengetikkan sesuatu didalam email itu sebagai balasan, biasanya ia tidak lakukan tapi kali ini pengecualian. Selanjutnya ia memeriksa file yang Elliot kirimkan untuknya. Isi datanya cukup lengkap, ia masih tidak bisa menentukan keakuratan data itu akan sesuai dengan lokasi atau itu hanya tipuan. Jika pergerakan Blame berfokus pada Negara Asia itu akan berbahaya, ditambah kondisi pasukan khusus di sana rata-rata masih berada di Amerika. Belum selesai ia membaca deretan informasi didalam file yang dikirimkan oleh Elliot, email baru kembali masuk.

‘Data itu masih rencana awal mereka, kemungkinan Blame akan memulai bergerak dari Bangkok. Beberapa koneksi baru saja melaporkan, anggota Blame berkumpul disana. Jadi bagaimana, sudah memutuskan untuk kembali ke Asia?’

Fox tidak membalas email dari Elliot, fokusnya ia kembali arahkan ke file pergerakan Blame.

“Ini akan sedikit merepotkan.” Gumamnya pada diri sendiri.

Ia kemudian menghapus file tersebut, matanya menatap tajam kearah pintu. Instingnya tidak salah, ada yang tidak beres didalam apartemennya itu. Melempar handuk kecil yang sebelumnya ia letakkan diatas kepala kesembarang arah. Dengan gerakan cepat ia menyambar pistol yang selalu ia letakkan dibawah salah satu bantal diatas ranjang tidurnya. Colt 1911 adalah senjata rancangan ternama John Browning yang menjadi andalannya dalam menyerang tipe jarak dekat. Meski senjata ini hanya senjata tipe lama tapi ia menyukainya. Satu muntahan peluru menembus pintu kamarnya, Fox segera menghindar mencari perlindungan. Ia masih mengenakan piyama mandi, membuat ia sulit untuk bertindak lebih. Lemari pakaiannya terletak cukup jauh dari arahnya. Ia mengutuk kelalaiannya dalam menyembunyikan lokasi saat ia menerima email dari Elliot. Jika Joan belum kembali dalam 15 menit ia bisa berada dalam bahaya, didalam pistol miliknya hanya tersisa 3 peluru. Pertahanan didalam apartemennya ini memang cukup buruk. Meski kadang Joan mengingatkan, ia selalu abaikan menganggap cara hidupnya yang seolah berbaur dengan masyarakat biasa tidak akan menimbulkan kecurigaan dari musuh-musuhnya.

Satu muntahan peluru kembali menyasar masuk kedalam kamar. Tembakan itu memang asal, tapi cukup efisien untuk memancing ataupun menakuti target yang belum ada persiapan. Fox tidak bisa memberi balasan pada musuh atau letak persembunyiannya akan diketahui. Terlebih jika diperhatikan dari derap langkah musuh kurang lebih ada tiga derap langkah dari arah berlawanan. Sepertinya ia sudah dikepung tapi musuh sendiri masih berjaga-jaga untuk menyerang secara brutal. Mereka hanya berpikir untuk memberi tembakan peringatan.

Cara satu-satunya yang terpikir olehnya untuk menghindari mereka adalah memanfaatkan waktu dan tempat untuk mengenai target yang tidak memancing mereka menyerang bersamaan. Kejadiannya akan fatal jika mereka menyadari keberadaannya. Tangannya sudah siap menarik pelatuk untuk membidik target yang terlihat berjalan mendekat. Gerakannya terhenti kala mendengar suara tembakan yang saling bersahutan. Beberapa menit kemudian suara tembakan itu terhenti, entah siapa yang menang, ia bukannya pengecut tapi ia juga tidak bisa sembarang bertindak.

Suara tendangan dari luar, membuat Fox kembali bersiaga untuk balik menyerang. Pintu kamarnya hancur, Joan berdiri disana memegang Desert Eagle kesayangannya.

“Joan.” Panggilnya datar.

Joan menoleh ke asal suara, dilihatnya Fox yang tengah mengenakan piyama mandi. Sejenak ia menahan tawa, sebelumnya ia pikir Fox tidak ada didalam kamar dan penyusup itu salah satunya ada yang masuk kedalam kamar Fox dilihat dari 2 tembakan di pintu kamar.

“Fox, kau terlihat kacau.” Joah berseloroh, ia berjalan kearah ranjang setelah ia melempar pistolnya lebih dulu.

“Bukan urusanmu dan lagi apa yang kau lakukan dikamarku dengan merusak pintu disana?”

Fox berdiri dari posisi jongkoknya. Kemudian melakukan hal sama dengan Joan. Melempar pistolnya keatas ranjang.

“Kemarin kau menodongku dengan cepat sekarang saat musuh menyerang kau malah bersembunyi seperti seorang anak kecil.”

Fox mendecih, merasa itu bukan sesuatu yang harus dibanggakan karena Joan berhasil melumpuhkan mereka.

“Ini sesuatu yang beda, jadi berhenti mengusikku. Sekarang keluar dari kamarku dan urus mayat-mayat yang sudah kau bunuh itu.”

Tidak menghiraukan Joan lagi yang terlihat mengabaikan kata-katanya, Fox beralih ke lemari pakaian. Tanpa memeriksa model pakaian yang akan dikenakan, Fox hanya asal menyambar saja. Melihat cara Joan bicara seolah mengejek dirinya membuat ia kesal. Ia belum pernah dalam keadaan seperti ini. Terakhir tangannya jatuh pada set pakaian dalam, ia menariknya kasar. Gara-gara benda laknat itu, ia gagal membunuh musuh yang tengah menyergapnya.

Tawa Joan meledak, ia yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Fox dengan lemari pakaian sedikit penasaran apa yang membuat sosok berdarah dingin itu tiba-tiba seperti anak kecil yang butuh pertolongan. Gerakan terakhir Fox dengan pakaian dalam memberi jawaban jelas untuk pertanyaannya.

Mendengar suara tawa itu, Fox berbalik menatap tajam kearah Joan.

“Ahh, maaf. Aku teringat sesuatu yang lucu.” Sangkal Joan, ia menutup mulutnya dengan tangan kanan berusaha menahan tawa.

“Keluar dari kamarku sekarang sebelum aku meledakkan kepala kecilmu itu!” Suaranya dingin menusuk, Joan mengangkat kedua tangannya menyerah. Ia beranjak dari atas ranjang dan meraih pistol miliknya yang tergelatak disana juga.

“Aku memutuskan untuk kembali.” Ucap Fox tiba-tiba.

Joan yang sudah berada diambang pintu mengehentikan langkahnya, lantas berbalik menatap kearah Fox.

“Aku pun demikian, akan ikut denganmu.” Jawab Joan.

“Yah, terserah!” Ucap Fox acuh.

Tidak bisa mengutarakan bahwa ia senang mendengar keputusan Joan yang akan ikut dengannya, ia memilih menjawab asal dan menyibukkan diri dengan pakaian ditangannya kembali.

Sebuah garis tipis tertarik ke atas dari bibir Joan, ia senang wanita itu baik-baik saja. Siapa sangka alarm yang ia siapkan di apartemen sebagai penanda jika ada penyusup terlambat merespon.

Di medan perang ia tidak akan mengkhawatirkan wanita itu tapi berbeda jika wanita itu berubah jadi wanita rumahan biasa. Pertahanannya sangat buruk.

“Perbaiki pintunya, semua harus sempurna saat kita menjual apartemen ini. Konsumen banyak yang tidak menyukai barang cacat.” Teriak Fox saat tubuh Joan sudah tidak terlihat dari pandangannya.

“Sejak kapan kau belajar mengenai produk gagal dan konsumen?” Itu suara teriakan balasan dari Joan yang lebih terdengar mengejek.

Tidak mendengar balasan dari Fox kembali Joan meneruskan langkahnya ke kamarnya sendiri. Ia yakin wajah Fox saat ini menjadi tatapan laser pembunuh.

“Cih! Sejak kapan bocah itu menjadi sangat berani.” Rutuk Fox.

Dua hari telah berlalu, suasana padat ibukota Jakarta membentang didepan mata. Tiga menit lalu dua sosok dengan pakaian mencolok keluar dari Bandar udara. Lambang rubah berwarna putih berkibar di punggung sosok berpakaian bad boy. Mata cokelat yang berada dibalik lensa hitam seolah menginfansi seluruh tempat yang matanya tuju. Satu koper hitam kecil ditarik dengan santai. Sosok disampingnya terlihat lebih santai dan natural, wajahnya yang putih khas bangsa asing cukup menarik beberapa perhatian. Keduanya lebih terlihat perpaduan pria tampan dan mempesona, siapapun bisa terjerat pesona dari keduanya.

Fox menarik kaca mata hitam yang bertengger diatas hidungnya, kesan yang santai dan tidak dibuat-buat malah membuat beberapa pasang mata berteriak histeris. Sosok memukau yang hanya tampil dibalik layar. Ketampanan dan style keduanya seolah menjerat untuk dikagumi. Tidak ada yang tahu status keduanya yang sebenarnya, dihadapan mereka kini adalah sosok tampan yang mereka akan puja sejak pertemuan pertama. Tidak melepas kesempatan untuk mengabadikan sosok memukau yang tidak sengaja mereka temui, berbagai tipe ponsel merekam kehadiran keduanya. Cahaya lampu blits menerangi hari yang terik, tidak ada kepedulian dari dua sosok yang berjalan angkuh melewati kerumunan.

“Aku merasa seperti bintang model.” Joan berkata, ia tersenyum simpul setelah melewati kerumunan yang terus meneriakkan kehadiran mereka sebagai pangeran.

“Jangan banyak tingkah, kita harus sampai sebelum jam makan malam.” Balas Fox dingin.

“Baiklah, baiklah!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status