Beranda / Urban / The Foxy Lady / Mimpi Buruk

Share

Mimpi Buruk

Dor!

Satu tembakan melesat melewati helaian rambut Fox, tembakan peringatan. Fox tidak menduga pimpinan dari musuh tidak bisa diprovokasi dengan mudah. Dan lagi, kemana anak buahnya yang ditugaskan untuk berjaga didepan?

“Seperti katamu, ini hanya rencana murahan tapi lihatlah aku berhasil menangkap tangkapan yang bagus. Bukankah ini luar biasa? Ayolah, jangan kaget dengan tembakan barusan, aku tidak mungkin melukaimu saat ini.” Sosok itu kemudian berjalan mendekat.

“Pistol yang bagus.” Komentarnya, mengetuk-ngetuk pistol yang ditodongkan Fox dengan pistolnya sendiri.

“Jatuhkan!” Perintahnya setengah membentak.

Fox menurut, melepaskan genggamannya pada pistol kesayangannya.

“Bagus.” Komentarnya lagi, berpuas diri.

“Kalian ikat dia dan bawa keatas!” Perintahnya pada dua sosok yang berdiri menodongkan pistol pada Fox.

“Bagus, hari ini akan ada hadiah besar dari bos yang menanti diriku. Kalian jaga dia dengan ketat jangan biarkan ia mengelabui kalian jika sampai ia berhasil kabur nyawa kalian gantinya.” Ucapnya penuh penekanan pada bawahannya.

“Ohh, jangan khawatir mengenai anak buahmu, sekarang mereka sudah terbebas dan saat ini sedang menunggumu di neraka.” Ungkapnya lagi sebelum berbalik pergi.

Fox mengepal tangannya kuat, mengingat betapa mudah dirinya terjebak oleh musuh. Ia benar-benar gegabah, jika Joan tahu hal ini anak itu pasti akan menertawakan dirinya habis-habisan.

“Jalan!”

Kedua tangannya terikat, tiga pistol terarah tepat dikepalanya, bergerak sedikit saja mungkin peluru dari ketiga pistol itu akan bersarang di otaknya. Saat salah satu dari ketiganya mendorong dirinya untuk berjalan ia bisa merasakan langkahnya yang goyah. Keseimbangan tubuhnya tidak terlalu bagus terlepas tubuhnya yang sudah memar menerima pukulan yang tidak main-main dari mereka. Sekarang dirinya diapit oleh tiga musuh dengan pistol yang mengacung dikepalanya. Ia akan baik-baik saja sampai pimpinan mereka belum memberi perintah untuk membunuh dirinya.

Sekarang dirinya adalah pion untuk mendapatkan Tuannya. Apakah tuannya akan menolong dirinya? Fox enggan memikirkan hal yang kemungkinan besar mustahil itu. Ini karena ia gegabah jadi sudah sepantasnya ia selesaikan sendiri. Ruangan yang ia tempati hanya diterangi satu lilin kecil yang menyala redup. Jika tebakannya tidak salah, pesta perayaan itu sudah berlangsung sejak 30 menit lalu. Sekarang ia terkurung ditempat pengap ini sudah hampir satu jam. Setengah jam yang lalu ia berhasil melepas ikatan tali ditangannya, namun masih enggan untuk bergerak. Rasa ngilu di hampir sekujur tubuhnya adalah masalah utamanya saat ini. Dan lagi ia tidak memegang senjata sedang didepan sana dua pria terus mengawasi dirinya dengan senjata ditangan masing-masing.

Ini adalah pertama kalinya ia tertangkap musuh. Selama ia mengembangkan tugas dirinyalah yang selalu menyiksa musuh-musuhnya sampai mereka merasakan antara hidup dan mati yang beda tipis.

Entah mengapa ia ingin tertawa saat ini. Apa ia sudah putus asa? Apa karena luka ditubuhnya ia menjadi bersikap tidak wajar?

“He…”

“Menarik!” Gumannya, membuat dua sosok yang mengawasinya sontak menoleh kearahnya.

“Hahahahaha…. Ini sangat menarik!” Tawanya menggelegar, dua sosok penjaga itu saling pandang dan berjalan mendekat.

“Apa kamu sudah menjadi gila karena tertangkap?”

Fox seolah tuli, matanya menyipit memandang dua sosok dihadapannya. Baru kali ini ia merasakan perasaan yang membuncah didadanya. Perasaan yang terlalu menarik untuk dilewatkan.

“Tutup mulutmu bangsat!” Satu bogem mentah bersarang dipipi kanan Fox.

Seolah mati rasa, ia ingin mendapatkan pukulan lebih. Ia kembali tertawa namun kali ini adalah tawa mengejek untuk memprovokasi kedua penjaga dihadapannya.

“Brengsek!” Maki keduanya dan langsung menyerang Fox secara bertubi-tubi dengan tendangan.

Fox berhenti tertawa kala tendangan itu semakin keras dan mengenai uluhatinya, ia terbatuk keras. Darah segar keluar dari batuknya. Tendangan dari keduanya yang tidak main-main, Fox yang tanpa pertahanan mulai merasakan kepalanya berkunang-kunang. Sebelum kesadarannya terkikis habis, ia masih menyempatkan memberi senyuman meremehkan kearah mereka berdua. Satu tendangn terakhir membuatnya jatuh tersungkur kebelakang.

“Ayah, ayah! Kapan ibu pulang?” Anak kecil itu berlari menerjang masuk kepelukan pria dewasa yang baru saja melewati pintu pagar. Gurat lelah terpampang diwajah pria itu, melihat putri kecilnya yang berlari kearahnya membuat gurat lelah itu menghilang ditelan senyum tipisnya.

“Hey, pelan-pelan!” Ucapnya tegas namun penuh kelembutan.

“Ayah, bukankah ayah berjanji akan pulang bersama ibu? Kenapa ayah masih pulang sendirian?” Menyembunyikan kepalanya diperpotongan kepala ayahnya menyembunyikan rasa kecewa yang tidak berwujud dimatanya.

“Maaf, ibumu masih sangat sibuk. Mida bersabar ya, ibu pasti akan cepat-cepat pulang kalau pekerjaannya sudah selesai.”

“….” Anak kcil itu tidak menjawab, ia semakin mengencangkan pelukannya pada leher ayahnya.

“Mida dengarkan ayah, ayah akan pergi untuk sementara jadi Mida sekarang tinggal bersama nenek. Jangan nakal dan patuh pada nenek, mengerti!”

“Mida tidak mau, Mida mau sama ayah dan ibu. Mida mau ikut ayah saja.”

“Mida, ayah tidak akan lama. Jadi menurut ya sayang.”

“Tidak mau!”

“Mida!”

Anak kecil itu tersentak kala mendengar nada bicara yang tidak biasa keluar dari mulut ayahnya. Perlahan ia melangkah mundur dan berbalik berlari pergi meninggalkan sosok dewasa yang menatap sendu kearahnya.

Perlahan ia membuka mata, rasa perih dan nyeri tidak lepas ia rasakan dari hampir sekujur tubuhnya. Ia mendesis sakit saat ia berusaha menggerakkan tangannya. Ruangan putih itu terlihat sepi dan tenggorokannya terasa amat kering. Menggerakkan kepalanya untuk melihat sekitar, tidak ada siapapun didalam ruangan itu selain dirinya. Sekali lagi ia berusaha menggerakkan tangannya, ditatapnya selang infus yang menempel disana. Entah sejak kapan ia mulai tidak sadarkan diri dan bagaiamana ia berada ditempat asing ini?

“Ehh, ternyata kamu sudah sadar. Tunggu akan aku panggilkan dokter.” Sosok yang baru muncul dari balik pintu kembali berbalik pergi. Belum sempat Fox mencegat, sosok itu sudah menghilang dari balik pintu.

“Dimana aku?” Gumannya pada diri sendiri.

Tidak lama sosok itu kembali muncul dengan sosok lain berpakain khas seorang dokter. Keduanya terlihat terburu-buru dan panik.

“Bagaimana Dok?” Belum saja dokter itu selesai memeriksa kondisi Fox, sosok itu sudah memburunya dengan pertanyaan.

Fox yang pada dasarnya tidak banyak bicara, hanya menonton gerak-gerik dari keduanya.

“Tidak ada masalah serius, terlalu banyak menerima pukulan jadi untuk beberapa hari kedepan otot-ototnya akan sulit untuk digerakkan.”

Fox mengerti sekarang, mengapa rasa sakit yang menjalar ditubuhnya begitu mengerikan? Selama pelatihan mereka juga menerima perawatan khusus jadi untuk pengalaman pertamanya menerima penyiksaan dari musuh memberinya banyak pelajaran. Lupakan mengenai pengalaman, sekarnag ia butuh mengetahui dimana dirinya berada. Ia tidak tahu dirinya masih ditangan musuh atau kawan.

“Maaf, ini pertama kalinya saya melihat korban penculikan jadi tanpa pikir panjang saya membawa anda pulang kerumah pribadi saya.” Sosok itu berbicara kearah Fox, wajahnya terlihat canggung.

“Terima kasih.”

Dua kata dari mulut Fox membuat wajah sosok pria itu tercengang, matanya sedikit melebar tidak menyangka akan mendengar ucapan terima kasih dari Fox sedemikian rupa. Pikirannya sempat mengatakan sosok yang terbaring diranjang adalah seorang nona kaya angkuh. Yang kemungkinan hanya akan melontarkan kalimat pedas dan imbalan yang setimpal karena telah menyelamatkannya. Meski wajah itu sedikit lebam namun sorot matanya yang dingin menusuk dalam satu kali tatap telah meyakinkan dirinya akan sosok yang sudha ia selamatkan dari aksi penculikan kemarin malam di pinggiran kota.

“Ti_tidak masalah, saya senang bisa menyelamatkan anda dari para penjahat biadab itu.” Balasnya kemudian.

“Tuan, pemeriksaannya sudah selesai, saya akan pamit pulang sekarang.”

Tanpa keduanya sadari, dokter yang memeriksa Fox sudah selesai dengan alat-alatnya dan siap pergi.

“Ahh, ia. Terima kasih, Dok.”

Beberapa kalangan terkadang memanggil dokter pribadi kekediaman mereka. Sosok penolongnya ini entah masuk dari kalangan mana. Keduanya yang tampak akrab satu sama lain seolah sudah terbiasa dalam pertemuan seperti sekarang ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status