Kania menghentakkan sepatu boot kulitnya ke tanah berpasir. Matahari berada di titik kulminasi, membuat hawa panas menyengat semakin terasa. Terlebih di antara pohon sawit muda yang tingginya kira-kira baru dua meter. Kania menyusuri jalan setapak di sela-sela pokok tanaman sawit. Barry dan dua orang staff kebun mengekor di belakangnya. Sejak pagi ia dan Barry sudah berangkat menuju area perkebunan, menjelajah ke lokasi blok pepohonan sawit dan infrastruktur yang mendukungnya.
Kania sibuk menjelaskan kepada atasannya secara detail proses-proses pemeliharaan tanaman sawit dan kendala-kendala yang dihadapi oleh para pekerja. Sesuai catatan Pak Prasetya tempo hari, Barry memang cukup cerdas, menangkap semua hal baru dengan cepat.
“Kita bisa ke lokasi pemupukan pesawat sekarang, Pak?” tanya Kania kepada manajer lapangan.
“Bisa, Bu. Mari, jaraknya tidak terlalu jauh dari sini, kebetulan hari ini ada jadwal pemupukan menggunakan pesawat.” Sang manajer memimpin langkah mereka kembali menuju mobil Fortuner yang terparkir di tepian blok tanaman sawit,
***
Berkendara selama sepuluh menit, akhirnya mereka sampai di lokasi yang dimaksud. Kania dan Barry berjalan beriringan menuju landasan pacu mini di tengah blok pepohonan sawit, mengikuti langkah sang manajer.
Dari kejauhan, di langit tampak titik hitam yang lambat laun menjadi besar. Semakin besar mendekati landasan pacu. Rombongan Kania yang berada cukup dekat dengan landasan pacu mengamati benda terbang itu sambil menyipitkan mata, menghalau sinar matahari yang cukup terik.
“Itu, Bu, pesawat pupuk sebentar lagi mendarat.”
Suara menderu mengikuti pesawat yang mendarat mulus di landasan pacu. Pesawat kccil bekabin sempit itu mulai mengurangi kecepatan hingga ahirnya berhenti di lokasi parkir yang telah ditentukan. Seorang pegawai segera mendekati pesawat yang telah berhenti sempurna.
Pintu cockpit terbuka, seorang pilot keluar dengan cekatan. Lelaki berpostur tinggi itu turun dari pesawat, membuka helm, lalu menyodorkannya kepada pegawai yang telah menanti.
Jaket kulit yang dikenakan pria berkaca mata hitam itu mengkilat ditempa sinar matahari. Ia berjalan dengan gagah ke arah Barry dan Kania. Langkahnya pelan, tetapi pasti. Angin menyapu rambut bagian atasnya yang terlihat berantakan. Sambil melepas kacamata hitam, ia mendekat.
“Kemana saja kalian?” suara bariton pria itu menggelegar.
“Pak Marlo?” tanya Kania terkejut, tidak menyangka pilot handal itu adalah Marlo.
Barry mendengkus kesal.
Kania menyesal sempat terkagum-kagum pada pilot yang terlihat gagah. Seandainya ia tahu yang membawa pesawat adalah tuan muda Marlo, sang komisaris bermulut pedas. Ia tentu tidak akan menanti sang pilot dengan mulut hampir menganga. Rupanya sang komisaris sengaja menyombongkan diri.
Kania teringat pertemuan tadi malam, sesaat sebelum makan malam di rumah singgah.
Sesuai permintaan Barry, Kania sudah standby di ruang tamu sebelum jam makan malam. Tubuhnya sudah bersih dan wangi. Celana denim dan sweater longgar membungkus tubuhnya yang ramping. Rambut lurus sebahu ia gerai menutupi tengkuk.
“Gimana? Capek perjalanan jauh?” Barry muncul tiba-tiba, lalu segera mengambil posisi duduk di samping Kania.
“Sudah biasa, Pak.”
“Stop, tidak perlu panggil pak. Kita tidak sedang di kantor, panggil Barry saja. Oke?” Kania sebenarnya merasa sungkan, tetapi ia menganguk, menyadari bosnya yang satu ini tidak akan menerima penolakan. Lelaki berhidung mancung itu tampak segar dengan kaus polo berwarna biru gelap dan celana bahan berwarna khaki.
“Seperti saya bilang dulu, saya mau kamu memberi tahu semua seluk beluk tentang perkebunan kita. Sampai hal sekecil apapun. Kita mulai besok pagi.”
“Baik, Pak.”
Barry menatap Kania dengan jengkel.
“Ups, sorry, oke Barry.” Kania meralat ucapannya dengan kikuk.
Barry tersenyum melihat Kania yang salah tingkah. Laki-laki itu kini menggeser duduknya lebih mendekat ke arah Kania. Kini, wanita itu justru semakin salah tingkah, ia bukan tipe wanita penggoda yang akan merasa senang didekati orang setampan dan setajir Barry. Ia ingin menggeser duduknya menjauh, tetapi takut tidak sopan. Akhirnya ia tetap duduk di tempatnya, memandang lurus ke arah televisi empat puluh inci yang menyala redup di depan mereka.
Barry membentangkan tangannya jauh ke sandaran kursi Kania. Ia mengamati wajah Kania yang memerah.
“Kamu tahu? Kamu cantik sekali, apalagi kalau sedang merona seperti ini,” ujar Barry tanpa basa-basi, membuat Kania semakin tersipu.
Wanita itu hendak memprotes kelakuan bosnya yang membuat jengah. Namun, tiba-tiba suara bariton terdengar dari arah pintu masuk.
“Heh, ngapain kalian? Jam segini sudah ada di sini?” Laki-laki jangkung itu medekat ke ruang tamu diikuti oleh Damar, ia memperhatikan Barry dan Kania bergantian. “Enggak kunjungan ke pabrik? Pabrik itu justru banyak aktivitas di malam hari begini. Kamu tahu itu, kan, Kania?”
Wanita bersweater longgar itu seperti ditegur oleh Kepala Sekolah. Kenapa justru dirinya yang salah di mata Marlo?
Pandangan lelaki jangkung itu menusuk sampai ke dalam hati. Posisi duduk Kania yang merapat pada sang CEO baru itu mungkin menimbulkan kesan yang kurang bagus. Namun, itu bukan keinginannya. Pandangan Marlo yang jijik, menuduh seolah-olah ia yang mengambil kesempatan bersama Barry.
Ia menatap dengan jengkel pria jangkung dengan tatapan angkuh itu. Ingin memprotes, tetapi sadar tidak akan ada gunanya.
“Selamat malam, Pak Marlo. Bapak baru dari pabrik?” Kania berdiri menyapa sang Komisaris sekilas, dan mengangguk kepada Damar.
Wanita itu segera berlalu ke ruang makan mengecek kesiapan acara makan malam mereka. Ia meninggalkan kedua kerabat itu sendiri, membiarkan mereka dengan konflik internal mereka. Ia tidak mau ikut campur.
Selanjutnya acara makan malam dimulai dengan suasana yang kikuk. Kania dan Damar merasa terjebak di antara atmoser kedua atasan mereka yang berkerabat, tetapi terasa bagai musuh. Selesai makan malam, setelah para bos beranjak, Kania segera mengajak Damar untuk segera pergi dari ruang makan. Mereka keluar ke halaman untuk menghirup udara segar.
“Oom Marlo! Katanya mau ke kebun sebelah?” tanya Barry keras, mengembalikan lamunan Kania ke dunia nyata.
“Iya, aku memang ke kebun sebelah. Jadwal pilot yang melakukan pemupukan dari kebun sebelah sampai ke kebun ini terganggu, karena yang bersangkutan mengalami kecelakaan ringan di bengkel,” jawabnya ketus.
“Pak Manajer, tolong itu marka di sebelah barat dipertebal lagi catnya! Sudah mulai luntur, bisa bahaya itu!” ujarnya pada manajer, seolah sengaja tidak menanggapi Barry lebih lanjut.
Sang manajer segera mengangguk mengantisipasi omelan sang atasan berlanjut. “Baik, Pak, segera dikerjakan.”
Manajer segera memanggil beberapa pegawai, memberikan instruksi singkat kepada pegawai untuk segera mencat ulang mareka saat itu juga.
Marlo mengangguk puas.
“Sudah waktunya makan siang. Kalian nggak keberatan, kan, kalau saya numpang mobil kalian sampai ke rumah singgah?” Marlo menatap Barry dan Kania bergantian.
Barry mengangguk dengan kesal. Sejak kecil, ia merasa Marlo tidak ramah padanya. Sebenarnya bukan padanya saja. Marlo tidak pernah ramah kepada semua orang. Namun, ia merasa Marlo sangat tidak suka kepada dirinya maupun sang ibu. Entah untuk alasan apa, ia pun tidak tahu.
Hampir seminggu Kania dan rombongan berada di kebun. Rutinitas dimulai tiap pagi. Barry yang terbiasa bangun siang di rumah, kini mulai terbiasa bangun subuh. Mereka berangkat saat matahari belum muncul, masuk ke pos-pos di kebun, mengamati para pekerja yang berkumpul untuk melakukan briefing pagi sebelum mulai pekerjaan. Setelah itu mereka akan kembali ke rumah singgah untuk mandi dan sarapan, lalu melanjutkan aktivitas kunjungan ke kebun, meninjau pabrik dan berbagai sarana dan prasarana pendukung. Barry dan Marlo seperti melakukan gencatan senjata. Terpaksa tinggal dalam satu atap, mereka hanya bertemu saat sarapan dan makan malam. Itu pun dengan suasana yang kurang mengenakkan. Oleh karena itu Barry sering mengajak Kania pergi makan malam di luar kebun. Padahal membutuhkan waktu paling cepat satu jam untuk mencapai kota terdekat.&
Lima hari telah berlalu sejak Kania kembali dari dinas luar. Rutinitas harian kembali mengelilinginya. Kini ia masih membeku di depan layar laptop, berputar dengan data dan serangkaian gambar yang perlu ia susun menjadi laporan. “Nggak pulang?” Barry dengan senyum cerah menyapa staff idolanya. “Belum selesai, Pak.” “Saya ada meeting dengan perusahaan batubara malam ini, nggak bisa nunguin kamu untuk pulang bareng,” katanya. Sejak pulang dari dinas luar, Barry tampak semakin mendekati Kania. Ia bahkan memaksa mengantar Kania pulang tiap hari. Penolakan Kania rupanya tidak berarti bagi Barry. “Saya bisa pulang sendiri, Pak.” &n
Semenjak kejadian di lift, terjadi perang batin dalam hati Marlo. Ada rasa baru bergejolak di hatinya yang berusaha ia lawan. Sebuah rasa aneh yang muncul untuk Kania selalu menyeruak. Bayangan Kania sesekali menyelinap di benaknya. Mereka sempat berpapasan beberapa kali di kantor semenjak terakhir ia mengantar pulang wanita itu. Kania seolah-olah tidak merasa terjadi sesuatu di antara mereka, bahkan cenderung dingin terhadapnya. Hal itu membuat Marlo kembali membangun dinding-dinding pertahanan diri. Ia tidak mau sampai terlena dengan pesona Kania, apalagi harus bertekuk lutut kepada wanita itu. Marlo kini sedang menuju ruang rapat utama, ketika melihat dari sudut matanya, Kania dan Barry sedang berdiskusi di ruangan Barry. Ia berhenti sebentar di depan ruanga
Marlo melihat arloji di pergelangannya, waktu menunjukkan pukul 19.00. Ia masih mengamati wanita di lobby kantor. Wanita berkemeja putih dengan bawahan rok motif kotak-kotak jingga itu sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Senyum yang menawan dapat dipindai langsung oleh Marlo walaupun mereka berjarak setidaknya lima belas meter. Marlo sengaja tidak mendekat, memilih bersembunyi di balik bayangan pot tanaman tinggi. Lima menit berselang, seorang laki-laki datang mendekati wanita itu. Marlo bisa mendengar jelas percakapan mereka. “Maaf, ya, lama menunggu?” “Nggak papa, barusan terima telepon dari anakku,” jawa
Marlo melangkahkan kaki dengan ragu. Sebenarnya ia enggan sekali kembali ke rumah besar ini, walaupun ia sangat berhak berada di tempat tersebut. Jerih payah sang kakaklah yang membuat rumah megah bak istana itu berdiri. Banyak tahun telah ia lalui di rumah ini, banyak kenangan indah sekaligus sangat buruk berada di rumah ini. Marlo melepas kaca mata hitam, lalu memperhatikan halaman luas di sekelilingnya. Dilihat sekilas tak jauh berbeda dari terakhir kali ia berada di sini belasan tahun lalu. Mungkin karena beberapa pegawai rumah tangga yang sama masih berada di sini, kecuali Berto yang memilih mengikutinya. Memorinya kembali pada kejadian belasan tahun lalu, yang membuatnya pergi dari sini. Peringatan seratus h
Kania mempersiapkan sekeranjang penuh keperluan piknik hari ini. Sekotak roti lapis isi keju, ham, dan selada telah selesai dipotong siap untuk disantap nanti. Dua botol jus jeruk dan jambu kesukaan Nadin sudah masuk ke dalam keranjang, begitu juga dengan toples minum air putih. Aneka biskuit dan makanan kecil yang bisa disantap Nadin maupun orang dewasa tak ketinggalan. Sebagai menu utama, Kania membuat spaghetti brulee. Tiga kotak alumunium foil berisi pasta yang sudah dipanggangg itu akhirnya masuk juga ke keranjang piknik. “Mama sudah siap?” Nadin muncul dari dalam kamar berjalan riang ke arah Kania yang sibuk di dapur. Gadis mungil itu sudah siap berangkat dengan legging dan kaus berwarna pink,terlihat girang penuh semangat. Hari ini, sesuai janji Barry, mereka bertiga akan pergi piknik.
Kania meraih sebuah mug polos di nakas. Ia hendak membuat secangkir kopi untuk dibawa ke ruang meeting yang sementara ini menjadi ruang kerja pribadinya di lantai tiga puluh delapan. Dua hari ini ia memakai ruang meeting yang berada tepat di sebelah ruang Barry untuk menyelesaikan pembuatan buku SOP yang menjadi project-nya bersama sang CEO. Project tersebut digagas olehnya seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan di korporasi mereka. Dengan adanya buku panduan mengenai bisnis perusahaan mereka tersebut, diharapkan setiap ada regenerasi kepemimpinan akan mudah dalam beradaptasi, otomatis akan membuat efektivitas kerja meningkat. Selanjutnya buku panduan tersebut akan di-update setiap kali ada perkembangan bisnis mereka. Barry menunjuk Kania sebagai penanggung jawab karena di antara seluruh pegawai, hanya Kani
Lalu lintas di pusat kota tidak dapat diprediksi. Sudah satu jam Kania berada di mobil Marlo yang terjebak macet di Bundaran HI, tak bergerak. Kania mencoba menghabiskan waktu dengan berselancar di dunia maya membaca berita hari ini dan menonton video-video viral. Semuanya tampak sudah dilakukan kecuali mengobrol dengan teman seperjalanannya yang sekarang tampak seperti tukang gerutu. Merutuki kemacetaan yang sudah menjadi langganan di Ibu Kota. Ada pesan di notifikasi hijau dari Barry, menanyakan dirinya. Kania menjawab kalau ia pulang dengan taksi daring. Ia tidak mau Barry kepikiran kalau dirinya ternyata pulang bersama Marlo. Barry pasti akan mencemaskannya. Lelaki itu tahu dirinya tidak pernah bisa akur dengan Marlo. Melihat kemacetan yang semakin parah Kania pun menghubungi Bi Darni, memberitahu bahwa mungkin dirinya akan
Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat
Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor
Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so
Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.
Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya
"Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."
Divia baru saja selesai melakukan aktivitas rutin di akhir minggu. Pagi tadi ia sudah berangkat ke fitness center, melakukan yoga sekitar sejam lamanya. Kini setelah mandi dan sedikit bersolek di ruang ganti fitness center, ia menjejakkan kakinya ke lorong mal yang masih sepi. Pusat kebugaran favoritnya itu terletak di dalam mal. Jam di dinding masih menunjuk pukul 09.00 ketika ia keluar dari pusat kebugaran itu.Mode getar dari ponsel pintarnya berfungsi, sambil terus berjalan menyusuri lorong, Divia meraih benda pipih itu dari kantong tas fitness-nya. Bibir wanita itu melengkung ke atas saat melihat nama Damar muncul di layar."Halo, Mar?" sapanya."Vi, bisa ikut aku, nggak?" Lelaki di ujung telepon rupanya tidak suka basa-basi."Ha? Ikut ke mana? Aku baru aja selesai yoga di Gym, sebentar lagi nyampe kos-kosan." Divia masih mengayunkan langkah dengan pelan."Okelah, setengah jam l
"Mama!" Gadis kecil itu berteriak, berlari ke arah Kania. Sedetik kemudian Kania limbung karena tubuh kecil nan energik itu menghantam bagian bawah tubuhnya.Gadis kecil itu terkikik girang, membuat Kania langsung menangkap dan menggendongnya di lengan."Aduuuh, Sayang, kebiasaan!" Dengan gemas Kania menowel hidung mungil Nadin."Hei, Cantik, selamat yaa, pertunjukanmu berjalan lancar. Kamu luar biasa sekali!" Marlo memekik tertahan.Nadin tersenyum semringah, merentangkan tangan kepada lelaki di sebelah Kania itu. Marlo buru-buru meraihnya, memindahkan Nadin dari lengan Kania ke lengannya sendiri."Makasih, Om," ucap Nadin dengan riang. Gadis kecil itu memeluk bahu Marlo dengan kencang.Dengan ekspresi bangga, Marlo menatap Kania. Senyumnya lebar, matanya berbinar. Kania sangat suka melihat ekspresi Marlo seperti ini. Batinnya terus berteriak bahwa Marlo adalah tipe seora
Kania mememui Prasetya di sebuah kafe di pusat kota."Sehat, Pak?" Wanita itu duduk di kursi di seberang lelaki berambut kelabu."Alhamdulilah," jawab lelaki itu mantap."Maaf, agak lama menunggu."*Saya juga baru sampai. Kamu gimana, Kan? Sehat?""Puji Tuhan, Pak."Seorang pelayan membawa baki berisi satu cangkir kopi pekat untuk Prasetya. Lelaki itu mengangguk menunjukkan Terima kasih, sebelum sang pelayan undur diri."Kania sudah pesan?""Sudah, tadi di konter depan, sebentar lagi mungkin datang.""Saya senang kalau kamu sehat, Kan. Saya lihat kamu juga malah lebih fresh sekarang."Kania tersenyum merona. Pak Prasetya belum mengetahui sejauh mana hubungan dirinya dengan Marlo."Pak, saya dengar Bapak mau resign dari kantor. Apa betul?"Lelaki itu menatap Kania dari balik kepulan uap panas ko