Marlo melihat arloji di pergelangannya, waktu menunjukkan pukul 19.00. Ia masih mengamati wanita di lobby kantor. Wanita berkemeja putih dengan bawahan rok motif kotak-kotak jingga itu sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Senyum yang menawan dapat dipindai langsung oleh Marlo walaupun mereka berjarak setidaknya lima belas meter. Marlo sengaja tidak mendekat, memilih bersembunyi di balik bayangan pot tanaman tinggi.
Lima menit berselang, seorang laki-laki datang mendekati wanita itu. Marlo bisa mendengar jelas percakapan mereka.
“Maaf, ya, lama menunggu?”
“Nggak papa, barusan terima telepon dari anakku,” jawab wanita itu. Marlo menangkap ada nada riang saat wanita itu menyebut anaknya.
“Kania, ayo, sebelah sini, mobilku di sini.” Lelaki jangkung tampan itu menggamit lengan Kania, membawanya ke mobil sedan gelap. Mereka berdua menghilang di dalamnya. Beberapa menit kemudian mobil itu meluncur keluar zona parkir menuju ke jalanan.
Marlo masih berdiri di tempatnya semula saat seorang menepuk bahunya dari belakang.
“Ngeliatin siapa, Bos? Sampai sebegitunya,” Damar terkekeh di belakang Marlo.
“Siapa? Bukan siapa-siapa?”
Damar yakin sekali bosnya sedang mengamati Kania tadi. Namun, ia cukup heran pria galak itu tidak mengakuinya.
“Mau pulang?” tanya Marlo
Damar mengangguk.
“Ayo temanin ngopi dulu.” Marlo menepuk punggung Damar memberi kode agar Damar mengikutinya ke kedai kopi terkenal tak jauh dari kantor.
Mereka berdua menyusuri jalan dengan berjalan kaki sebelum sampai ke kedai kopi tersebut.
***
“Mau langsung pulang, atau mau ke mana dulu?” tanya Barry, tangannya sibuk memegang kemudi.
“Langsung pulanglah, kasian anakku sudah nunggu.”
Barry tersenyum mengamati sekilas wajah cantik Kania dari spion depan. Kania selalu berbinar bila membicarakan anaknya. Mungkin melalui anak Kania akhirnya ia bisa mendapatkan hati Kania, pikir Barry.
“Eh, berhenti sebentar beli kue, ya?” Barry tiba-tiba punya gagasan bagus.
Mereka berhenti di sebuah toko roti ternama. Barry mengajak Kania untuk membeli sekotak kue.
“Pilihin yang Nadin suka yang mana?” Barry membawa Kania ke depan etalase berisi kue dan desert segala rasa.
“Nggak usah repot-repot, pakai bawain kue segala.”
“Ayolah, please ....”
“Mmm, kayanya yang cokelat itu dia suka, yang ada potongan stroberinya.” Kania akhirnya menunjuk kue mungil yang ia rasa akan disukai oleh Nadin.
Barry segera meminta pramuniaga untuk membungkus kue tersebut dengan kotak cantik.
Setelah mengurus pembayaran di kasir, mereka melanjutkan perjalanan.
Dua puluh menit kemudian, sedan hitam itu sudah berhenti di depan rumah mungil milik Kania.
“Mamaaa ...!” Terdengar pekik riang dari dalam rumah saat mereka memasuki pagar rumah yang terbuat dari besi tempa.
Gadis kecil itu berlari dari dalam, menubruk sang ibu yang nyaris jatuh terjengkang.
“Halo, sayangku,” sapa Kania. Ia menggendong bocah itu lalu menciumi dengan gemas pipi tembamnya.
“Eh, iya, sayang, kenalin ini teman Mama, namanya oom Barry.”
Nadin mengamati teman laki-laki ibunya, lalu tersenyum manis, memperlihatkan gigi depannya yang masih rapi.
“Halo Oom Barry, namaku Nadin.” Nadin melambaikan tangan di depan Barry.
Sapaan ringan gadis kecil itu telah membuat Barry merasa gemas dan jatuh hati.
“Halo Nadin, kamu cantik sekali, ya, sama kayak Mama,” ujar Barry membuat pipi Kania semerah jambu.
“Nadin, Oom bawa oleh-oleh, lho, buat Nadin. Semoga kamu suka, ya.” Barry mengeluarkan kotak yang tadi dibeli. Kemasan kotak yang cantik, khas anaak kecil, membuat mata Nadin membulat sempurna, terlebih ada satu karakter kesukaan di kmasan cantik itu.
“Waw keren, sekali, Oom, Nadin suka.”
“Nadin, bilang apa sama Om Barry?”
“Terima kasih, Om.”
Barry tersenyum riang, ia merasa puas sekali melihat putri Kania sepertinya cukup menyukai apa yang ia berikan sebagai awal mula pertemuan. Ia berharap semuanya berjalan lancar hingga Kania bisa membuka hati.
***
“Kamu pintar sekali, ya. Anak kecil jago makan sayur!” Barry mengangkat dua jempol sekaligus.
Nadin tertawa girang dipuji sedemikian rupa.
Mereka bertiga duduk di ruang makan sederhana di rumah Kania. Bi Darni dan Kania memasak sup tomyam untuk orang dewasa dan cah sayur untuk Nadin, ditambah ayam goreng dan tahu bacem.
Kania mengamati sang putri yang kian akrab dengan Barry, CEO-nya. Nadin telah kehilangan sosok ayah jauh sebelum lahir. Kania juga tidak pernah menghadirkan sosok ayah bagi gadis kecil itu. Sejak melahirkan Nadin, ia memang menutup diri dari pergaulan dengan laki-laki yang menjurus ke hal pribadi. Mungkin hal itu yang membuat Nadin merasa sangat senang dengan kehadiran Barry di rumah.
Saat Barry memaksa untuk singgah ke rumah Kania dan berniat berjumpa dengan sang putri, ia tidak kuasa untuk menolak. Kini ia semakin sadar seharusnya ia tolak kenginan Barry itu. Ia khawatir satu saat Nadin terbiasa dengan sosok lelaki dewasa, sementara ibunya belum sanggup untuk menerima lelaki mana pun singgah secara permanen di hatinya.
“Nadin, sudah larut malam, sekarang cuci tangan dan kaki, gosok gigi lalu bobok, ya.”
“Mama, Nadin masih mau main sama Oom Barry ....” Gadis kecil itu merajuk, mulutnya mengerucut seperti terompet.
Nadin baru mau masuk ke kamar ketika Barry menjanjikan untuk main kembali esok harinya. Barry berjanji untuk datang kembali menemui gadis cantik itu.
Kini Kania dan Barry bersantai di beranda depan. Jam di dinding sudah menunjuk pukul 21.30.
“Terima kasih, ya. Kamu sudah ngijinin aku main ke rumah.” Barry menarik kakinya .lurus dari tempat duduknya. “Putrimu luar biasa.”
Kania tersenyum pasrah.
“Yah, begitulah, dialah satu-satunya harapan hidupku. Harusnya tadi kamu enggak perlu berjanji padanya untuk datang lagi. Bisa repot dia nagih janji besok.”
“Enggak papa, aku mau, kok, besok datang lagi.”
Kania menggelengkan kepala. Ia tidak bisa membiarkan Barry terus terusan hadir di rumahnya.
“Aku pamit dulu, ya. Sudah malam.”
Barry beranjak dari duduk, ia berjalan mendekat ke arah Kania. Lelaki itu menyentuh bahu Kania sehingga mendongak menatap lelaki yang tingginya lebih dua jengkal di atasnya.
Barry terlena dengan tatapan Kania yang sendu. Ia semakin mendekat. Saat jarak nya hanya sejengkal dari wajah cantik itu, tiba-tiba Kania berpaling. Wanita itu sengaja menjauh, membuat Barry tersadar.
“Aku pulang, ya.”
Barry berlalu, keluar melewati pagar besi, menuju mobilnya. Beberapa detik kemudian wajah tampan itu muncul dari balik kaca mobil, melambai ke arah Kania, lalu segera berlalu menembus malam.
Kania menarik napas dalam-dalam, menghembuskan pelan. Ia berbalik masuk ke dalam rumah. Ia berjanji tidak akan tergoda lelaki untuk memulai suatu hal yang lebh bersifat pribadi.
***
Damar mengamati bos yang seolah-olah larut dengan dunianya sendiri. Percuma lelaki itu mengajak ke kedai kopi kalau pada akhirnya ia hanya melamun seorang diri.
“Mikirin apa, sih, Bos?” tanya Damar, tidak tahan untuk tidak bertanya.
“Sudah kubilang, jangan panggil Bos.”
Damar tersenyum, ia lebih suka memanggil Bos, lebih sesuai untuk lelaki itu. Marlo mempunyai aura kepemimpinan yang kuat ditambah sifatnya yang keras dan dominan. Hanya saja, beberapa hari ini Damar melihat ada sesuatu yang berbeda dari diri lelaki berjambang tipis itu. Seolah-olah ada mendung bergelayut di depan wajah kerasnya. Tingkat konsentrasi Marlo juga sedikit menurun.
Kemarin pagi ada laporan keuangan yang lolos dari pengawasan Marlo. Hal itu baru terjadi kali ini. Damar curiga ada kaitannya dengan Kania.
“Bos, ada Kania, tuh.”
Marlo segera berdiri tegak, celingukan mencari orang yang barusan disebut oleh Damar.
Damar terkekeh puas, ternyata kecurigaannya benar.
“Brengsek!” Marlo memaki lelaki muda di depannya.
Ia meraup mukanya dengan kedua telapak tangan. Mungkin sekarang ia sudah menjadi gila.
Setelah mengambil ponselnya dari meja, Marlo segera berlalu meninggalkan Damar. Ia jengkel setengah mati karena bertingkah konyol di depan pemuda itu.
“Lho, kok pergi, bos tungguin, dong, tunggu!” Damar segera beraanjak setengaah berlari mengejar Marlo.
Marlo melangkahkan kaki dengan ragu. Sebenarnya ia enggan sekali kembali ke rumah besar ini, walaupun ia sangat berhak berada di tempat tersebut. Jerih payah sang kakaklah yang membuat rumah megah bak istana itu berdiri. Banyak tahun telah ia lalui di rumah ini, banyak kenangan indah sekaligus sangat buruk berada di rumah ini. Marlo melepas kaca mata hitam, lalu memperhatikan halaman luas di sekelilingnya. Dilihat sekilas tak jauh berbeda dari terakhir kali ia berada di sini belasan tahun lalu. Mungkin karena beberapa pegawai rumah tangga yang sama masih berada di sini, kecuali Berto yang memilih mengikutinya. Memorinya kembali pada kejadian belasan tahun lalu, yang membuatnya pergi dari sini. Peringatan seratus h
Kania mempersiapkan sekeranjang penuh keperluan piknik hari ini. Sekotak roti lapis isi keju, ham, dan selada telah selesai dipotong siap untuk disantap nanti. Dua botol jus jeruk dan jambu kesukaan Nadin sudah masuk ke dalam keranjang, begitu juga dengan toples minum air putih. Aneka biskuit dan makanan kecil yang bisa disantap Nadin maupun orang dewasa tak ketinggalan. Sebagai menu utama, Kania membuat spaghetti brulee. Tiga kotak alumunium foil berisi pasta yang sudah dipanggangg itu akhirnya masuk juga ke keranjang piknik. “Mama sudah siap?” Nadin muncul dari dalam kamar berjalan riang ke arah Kania yang sibuk di dapur. Gadis mungil itu sudah siap berangkat dengan legging dan kaus berwarna pink,terlihat girang penuh semangat. Hari ini, sesuai janji Barry, mereka bertiga akan pergi piknik.
Kania meraih sebuah mug polos di nakas. Ia hendak membuat secangkir kopi untuk dibawa ke ruang meeting yang sementara ini menjadi ruang kerja pribadinya di lantai tiga puluh delapan. Dua hari ini ia memakai ruang meeting yang berada tepat di sebelah ruang Barry untuk menyelesaikan pembuatan buku SOP yang menjadi project-nya bersama sang CEO. Project tersebut digagas olehnya seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan di korporasi mereka. Dengan adanya buku panduan mengenai bisnis perusahaan mereka tersebut, diharapkan setiap ada regenerasi kepemimpinan akan mudah dalam beradaptasi, otomatis akan membuat efektivitas kerja meningkat. Selanjutnya buku panduan tersebut akan di-update setiap kali ada perkembangan bisnis mereka. Barry menunjuk Kania sebagai penanggung jawab karena di antara seluruh pegawai, hanya Kani
Lalu lintas di pusat kota tidak dapat diprediksi. Sudah satu jam Kania berada di mobil Marlo yang terjebak macet di Bundaran HI, tak bergerak. Kania mencoba menghabiskan waktu dengan berselancar di dunia maya membaca berita hari ini dan menonton video-video viral. Semuanya tampak sudah dilakukan kecuali mengobrol dengan teman seperjalanannya yang sekarang tampak seperti tukang gerutu. Merutuki kemacetaan yang sudah menjadi langganan di Ibu Kota. Ada pesan di notifikasi hijau dari Barry, menanyakan dirinya. Kania menjawab kalau ia pulang dengan taksi daring. Ia tidak mau Barry kepikiran kalau dirinya ternyata pulang bersama Marlo. Barry pasti akan mencemaskannya. Lelaki itu tahu dirinya tidak pernah bisa akur dengan Marlo. Melihat kemacetan yang semakin parah Kania pun menghubungi Bi Darni, memberitahu bahwa mungkin dirinya akan
"Hari ini Pak Marlo enggak ke kantor, lu bisa taruh berkasnya di meja aja. "Kania mendengar Angelica--seketaris Marlo--berteriak dari ruangan sebelah. Seorang staff dari lantai bawah sedang membawa berkas ke meja wanita yang suaranya melengking tinggi itu.Satu pikiran terbesit di benak Kania. Jangan-jangan Pak Marlo sakit gara-gara kehujanan kemarin? Kania mengernyit.Mukanya tiba-tiba memerah mengingat kejadian malam tadi. Bagaimana mungkin ia tak berbuat apa pun sementara lelaki arogan itu berhasil menguasai tubuhnya. Semalaman ia tidak bisa tidur merutuki dirinya sendiri. Untunglah seisi rumah sudah terlelap dalam tidur sehingga tidak ada yang sempat melihat aksi Marlo di beranda rumahnya. Aksi Marlo? Tentu saja, kalau saja otaknya yang beku saat itu mau diajak bekerja sama, ia tidak akan menyesal seperti pagi ini."Kan, elu masih bertahan ngantor di sini?” Suara Divia membuyarkan lamunannya. “Sepi begini mana
Barry melirik ke arah Kania yang sedang asyik menyantap steak sapi. Tangan kiri wanita itu menahan steak dengan grapu, sementara tangan kanannya memotong daging gemuk itu menggunakan pisau. Potongan demi potongan daging masuk ke dalam mulut wanita itu dengan sempurna. Barry tersenyum, wanita di hadapannya bukan wanita yang terlalu menjaga image. Wanita itu menghabiskan potongan-potongan steak dengan lahap tanpa khawatir akan diet ketat. Di suatu masa Barry pernah berjumpa dengan seorang wanita di belahan bumi lain, wanita yang begitu mirip dengan Kania. Bukan secara fisik karena tentu saja mereka beda kebangsaan. Cara Kania makan, lembut tutur kata, dan cara bergaul mereka sama. Keduanya memiliki kecantikan khas yang berbeda. Namun, dengan attitude yang sama. Dulu ia pernah sangat memuja wanita itu. Kini dengan menatap Kania seolah-olah Barry kembali ke masa lalu, mengingat betapa sering
Wanita dengan gaun warna beige itu turun dari mobil mewah. Wajah cantiknya menjadi daya tarik tersendiri. Usia yang tidak lagi muda sepertinya tidak berpengaruh pada keelokan wajah yang tak tertandingi oleh para kaum muda. Ia menyadari betul pesona dirinya bisa menaklukan pria mana pun di dunia, kecuali satu orang. Pria yang begitu dicintai olehnya, yang membiarkan kisah asmara bertepuk sebelah tangan. "Kita langsung ke lantai atas, Nyonya?" Sekretaris pribadi wanita itu, seorang pria dengan setelan rapi, menenteng tas kecil di satu tangan dan ponsel di tangan yang lain, menyejajari langkah sang wanita cantik. "Tentu saja langsung ke atas, kamu sudah hubungi putraku?" "Sudah saya coba berkali-kali, tidak ada respons." Wanita itu terus melangkah menuju lift dengan anggun. Kaki beralas sepatu hak tinggi berayun dengan langkah anggun dan molek. Puluhan mata menatapnya dengan terpukau. Hal yang biasa ia terim
“Saya cuma minta kamu berhati-hati dengan Clarissa. Jangan samakan dia dengan dirimu. Clarissa tidak punya ketulusan.” Barry mengatakan hal itu dengan serius Kania yang berada sejengkal di depannya tetap bergeming mengawasi bibir Marlo yang terus bergerak memperingatkan tentang Clarissa. “Bapak yang mungkin selama ini salah menilai orang.” Kania mulai rileks bersandar di dinding marmer kamar kecil. Ia melipat kedua lengannya di depan, seakan-akan menjadi pembatas bagi dirinya dan Marlo. “Bukankah dulu Bapak jijik sama saya, meragukan moral saya, dan mengangap saya liar? Mungkin Bapak perlu mengevaluasi lagi cara Bapak menilai orang lain. Mungkin ada yang salah?” Gotcha! Kania menembak te