Marlo melihat arloji di pergelangannya, waktu menunjukkan pukul 19.00. Ia masih mengamati wanita di lobby kantor. Wanita berkemeja putih dengan bawahan rok motif kotak-kotak jingga itu sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Senyum yang menawan dapat dipindai langsung oleh Marlo walaupun mereka berjarak setidaknya lima belas meter. Marlo sengaja tidak mendekat, memilih bersembunyi di balik bayangan pot tanaman tinggi.
Lima menit berselang, seorang laki-laki datang mendekati wanita itu. Marlo bisa mendengar jelas percakapan mereka.
“Maaf, ya, lama menunggu?”
“Nggak papa, barusan terima telepon dari anakku,” jawab wanita itu. Marlo menangkap ada nada riang saat wanita itu menyebut anaknya.
“Kania, ayo, sebelah sini, mobilku di sini.” Lelaki jangkung tampan itu menggamit lengan Kania, membawanya ke mobil sedan gelap. Mereka berdua menghilang di dalamnya. Beberapa menit kemudian mobil itu meluncur keluar zona parkir menuju ke jalanan.
Marlo masih berdiri di tempatnya semula saat seorang menepuk bahunya dari belakang.
“Ngeliatin siapa, Bos? Sampai sebegitunya,” Damar terkekeh di belakang Marlo.
“Siapa? Bukan siapa-siapa?”
Damar yakin sekali bosnya sedang mengamati Kania tadi. Namun, ia cukup heran pria galak itu tidak mengakuinya.
“Mau pulang?” tanya Marlo
Damar mengangguk.
“Ayo temanin ngopi dulu.” Marlo menepuk punggung Damar memberi kode agar Damar mengikutinya ke kedai kopi terkenal tak jauh dari kantor.
Mereka berdua menyusuri jalan dengan berjalan kaki sebelum sampai ke kedai kopi tersebut.
***
“Mau langsung pulang, atau mau ke mana dulu?” tanya Barry, tangannya sibuk memegang kemudi.
“Langsung pulanglah, kasian anakku sudah nunggu.”
Barry tersenyum mengamati sekilas wajah cantik Kania dari spion depan. Kania selalu berbinar bila membicarakan anaknya. Mungkin melalui anak Kania akhirnya ia bisa mendapatkan hati Kania, pikir Barry.
“Eh, berhenti sebentar beli kue, ya?” Barry tiba-tiba punya gagasan bagus.
Mereka berhenti di sebuah toko roti ternama. Barry mengajak Kania untuk membeli sekotak kue.
“Pilihin yang Nadin suka yang mana?” Barry membawa Kania ke depan etalase berisi kue dan desert segala rasa.
“Nggak usah repot-repot, pakai bawain kue segala.”
“Ayolah, please ....”
“Mmm, kayanya yang cokelat itu dia suka, yang ada potongan stroberinya.” Kania akhirnya menunjuk kue mungil yang ia rasa akan disukai oleh Nadin.
Barry segera meminta pramuniaga untuk membungkus kue tersebut dengan kotak cantik.
Setelah mengurus pembayaran di kasir, mereka melanjutkan perjalanan.
Dua puluh menit kemudian, sedan hitam itu sudah berhenti di depan rumah mungil milik Kania.
“Mamaaa ...!” Terdengar pekik riang dari dalam rumah saat mereka memasuki pagar rumah yang terbuat dari besi tempa.
Gadis kecil itu berlari dari dalam, menubruk sang ibu yang nyaris jatuh terjengkang.
“Halo, sayangku,” sapa Kania. Ia menggendong bocah itu lalu menciumi dengan gemas pipi tembamnya.
“Eh, iya, sayang, kenalin ini teman Mama, namanya oom Barry.”
Nadin mengamati teman laki-laki ibunya, lalu tersenyum manis, memperlihatkan gigi depannya yang masih rapi.
“Halo Oom Barry, namaku Nadin.” Nadin melambaikan tangan di depan Barry.
Sapaan ringan gadis kecil itu telah membuat Barry merasa gemas dan jatuh hati.
“Halo Nadin, kamu cantik sekali, ya, sama kayak Mama,” ujar Barry membuat pipi Kania semerah jambu.
“Nadin, Oom bawa oleh-oleh, lho, buat Nadin. Semoga kamu suka, ya.” Barry mengeluarkan kotak yang tadi dibeli. Kemasan kotak yang cantik, khas anaak kecil, membuat mata Nadin membulat sempurna, terlebih ada satu karakter kesukaan di kmasan cantik itu.
“Waw keren, sekali, Oom, Nadin suka.”
“Nadin, bilang apa sama Om Barry?”
“Terima kasih, Om.”
Barry tersenyum riang, ia merasa puas sekali melihat putri Kania sepertinya cukup menyukai apa yang ia berikan sebagai awal mula pertemuan. Ia berharap semuanya berjalan lancar hingga Kania bisa membuka hati.
***
“Kamu pintar sekali, ya. Anak kecil jago makan sayur!” Barry mengangkat dua jempol sekaligus.
Nadin tertawa girang dipuji sedemikian rupa.
Mereka bertiga duduk di ruang makan sederhana di rumah Kania. Bi Darni dan Kania memasak sup tomyam untuk orang dewasa dan cah sayur untuk Nadin, ditambah ayam goreng dan tahu bacem.
Kania mengamati sang putri yang kian akrab dengan Barry, CEO-nya. Nadin telah kehilangan sosok ayah jauh sebelum lahir. Kania juga tidak pernah menghadirkan sosok ayah bagi gadis kecil itu. Sejak melahirkan Nadin, ia memang menutup diri dari pergaulan dengan laki-laki yang menjurus ke hal pribadi. Mungkin hal itu yang membuat Nadin merasa sangat senang dengan kehadiran Barry di rumah.
Saat Barry memaksa untuk singgah ke rumah Kania dan berniat berjumpa dengan sang putri, ia tidak kuasa untuk menolak. Kini ia semakin sadar seharusnya ia tolak kenginan Barry itu. Ia khawatir satu saat Nadin terbiasa dengan sosok lelaki dewasa, sementara ibunya belum sanggup untuk menerima lelaki mana pun singgah secara permanen di hatinya.
“Nadin, sudah larut malam, sekarang cuci tangan dan kaki, gosok gigi lalu bobok, ya.”
“Mama, Nadin masih mau main sama Oom Barry ....” Gadis kecil itu merajuk, mulutnya mengerucut seperti terompet.
Nadin baru mau masuk ke kamar ketika Barry menjanjikan untuk main kembali esok harinya. Barry berjanji untuk datang kembali menemui gadis cantik itu.
Kini Kania dan Barry bersantai di beranda depan. Jam di dinding sudah menunjuk pukul 21.30.
“Terima kasih, ya. Kamu sudah ngijinin aku main ke rumah.” Barry menarik kakinya .lurus dari tempat duduknya. “Putrimu luar biasa.”
Kania tersenyum pasrah.
“Yah, begitulah, dialah satu-satunya harapan hidupku. Harusnya tadi kamu enggak perlu berjanji padanya untuk datang lagi. Bisa repot dia nagih janji besok.”
“Enggak papa, aku mau, kok, besok datang lagi.”
Kania menggelengkan kepala. Ia tidak bisa membiarkan Barry terus terusan hadir di rumahnya.
“Aku pamit dulu, ya. Sudah malam.”
Barry beranjak dari duduk, ia berjalan mendekat ke arah Kania. Lelaki itu menyentuh bahu Kania sehingga mendongak menatap lelaki yang tingginya lebih dua jengkal di atasnya.
Barry terlena dengan tatapan Kania yang sendu. Ia semakin mendekat. Saat jarak nya hanya sejengkal dari wajah cantik itu, tiba-tiba Kania berpaling. Wanita itu sengaja menjauh, membuat Barry tersadar.
“Aku pulang, ya.”
Barry berlalu, keluar melewati pagar besi, menuju mobilnya. Beberapa detik kemudian wajah tampan itu muncul dari balik kaca mobil, melambai ke arah Kania, lalu segera berlalu menembus malam.
Kania menarik napas dalam-dalam, menghembuskan pelan. Ia berbalik masuk ke dalam rumah. Ia berjanji tidak akan tergoda lelaki untuk memulai suatu hal yang lebh bersifat pribadi.
***
Damar mengamati bos yang seolah-olah larut dengan dunianya sendiri. Percuma lelaki itu mengajak ke kedai kopi kalau pada akhirnya ia hanya melamun seorang diri.
“Mikirin apa, sih, Bos?” tanya Damar, tidak tahan untuk tidak bertanya.
“Sudah kubilang, jangan panggil Bos.”
Damar tersenyum, ia lebih suka memanggil Bos, lebih sesuai untuk lelaki itu. Marlo mempunyai aura kepemimpinan yang kuat ditambah sifatnya yang keras dan dominan. Hanya saja, beberapa hari ini Damar melihat ada sesuatu yang berbeda dari diri lelaki berjambang tipis itu. Seolah-olah ada mendung bergelayut di depan wajah kerasnya. Tingkat konsentrasi Marlo juga sedikit menurun.
Kemarin pagi ada laporan keuangan yang lolos dari pengawasan Marlo. Hal itu baru terjadi kali ini. Damar curiga ada kaitannya dengan Kania.
“Bos, ada Kania, tuh.”
Marlo segera berdiri tegak, celingukan mencari orang yang barusan disebut oleh Damar.
Damar terkekeh puas, ternyata kecurigaannya benar.
“Brengsek!” Marlo memaki lelaki muda di depannya.
Ia meraup mukanya dengan kedua telapak tangan. Mungkin sekarang ia sudah menjadi gila.
Setelah mengambil ponselnya dari meja, Marlo segera berlalu meninggalkan Damar. Ia jengkel setengah mati karena bertingkah konyol di depan pemuda itu.
“Lho, kok pergi, bos tungguin, dong, tunggu!” Damar segera beraanjak setengaah berlari mengejar Marlo.
Marlo melangkahkan kaki dengan ragu. Sebenarnya ia enggan sekali kembali ke rumah besar ini, walaupun ia sangat berhak berada di tempat tersebut. Jerih payah sang kakaklah yang membuat rumah megah bak istana itu berdiri. Banyak tahun telah ia lalui di rumah ini, banyak kenangan indah sekaligus sangat buruk berada di rumah ini. Marlo melepas kaca mata hitam, lalu memperhatikan halaman luas di sekelilingnya. Dilihat sekilas tak jauh berbeda dari terakhir kali ia berada di sini belasan tahun lalu. Mungkin karena beberapa pegawai rumah tangga yang sama masih berada di sini, kecuali Berto yang memilih mengikutinya. Memorinya kembali pada kejadian belasan tahun lalu, yang membuatnya pergi dari sini. Peringatan seratus h
Kania mempersiapkan sekeranjang penuh keperluan piknik hari ini. Sekotak roti lapis isi keju, ham, dan selada telah selesai dipotong siap untuk disantap nanti. Dua botol jus jeruk dan jambu kesukaan Nadin sudah masuk ke dalam keranjang, begitu juga dengan toples minum air putih. Aneka biskuit dan makanan kecil yang bisa disantap Nadin maupun orang dewasa tak ketinggalan. Sebagai menu utama, Kania membuat spaghetti brulee. Tiga kotak alumunium foil berisi pasta yang sudah dipanggangg itu akhirnya masuk juga ke keranjang piknik. “Mama sudah siap?” Nadin muncul dari dalam kamar berjalan riang ke arah Kania yang sibuk di dapur. Gadis mungil itu sudah siap berangkat dengan legging dan kaus berwarna pink,terlihat girang penuh semangat. Hari ini, sesuai janji Barry, mereka bertiga akan pergi piknik.
Kania meraih sebuah mug polos di nakas. Ia hendak membuat secangkir kopi untuk dibawa ke ruang meeting yang sementara ini menjadi ruang kerja pribadinya di lantai tiga puluh delapan. Dua hari ini ia memakai ruang meeting yang berada tepat di sebelah ruang Barry untuk menyelesaikan pembuatan buku SOP yang menjadi project-nya bersama sang CEO. Project tersebut digagas olehnya seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan di korporasi mereka. Dengan adanya buku panduan mengenai bisnis perusahaan mereka tersebut, diharapkan setiap ada regenerasi kepemimpinan akan mudah dalam beradaptasi, otomatis akan membuat efektivitas kerja meningkat. Selanjutnya buku panduan tersebut akan di-update setiap kali ada perkembangan bisnis mereka. Barry menunjuk Kania sebagai penanggung jawab karena di antara seluruh pegawai, hanya Kani
Lalu lintas di pusat kota tidak dapat diprediksi. Sudah satu jam Kania berada di mobil Marlo yang terjebak macet di Bundaran HI, tak bergerak. Kania mencoba menghabiskan waktu dengan berselancar di dunia maya membaca berita hari ini dan menonton video-video viral. Semuanya tampak sudah dilakukan kecuali mengobrol dengan teman seperjalanannya yang sekarang tampak seperti tukang gerutu. Merutuki kemacetaan yang sudah menjadi langganan di Ibu Kota. Ada pesan di notifikasi hijau dari Barry, menanyakan dirinya. Kania menjawab kalau ia pulang dengan taksi daring. Ia tidak mau Barry kepikiran kalau dirinya ternyata pulang bersama Marlo. Barry pasti akan mencemaskannya. Lelaki itu tahu dirinya tidak pernah bisa akur dengan Marlo. Melihat kemacetan yang semakin parah Kania pun menghubungi Bi Darni, memberitahu bahwa mungkin dirinya akan
"Hari ini Pak Marlo enggak ke kantor, lu bisa taruh berkasnya di meja aja. "Kania mendengar Angelica--seketaris Marlo--berteriak dari ruangan sebelah. Seorang staff dari lantai bawah sedang membawa berkas ke meja wanita yang suaranya melengking tinggi itu.Satu pikiran terbesit di benak Kania. Jangan-jangan Pak Marlo sakit gara-gara kehujanan kemarin? Kania mengernyit.Mukanya tiba-tiba memerah mengingat kejadian malam tadi. Bagaimana mungkin ia tak berbuat apa pun sementara lelaki arogan itu berhasil menguasai tubuhnya. Semalaman ia tidak bisa tidur merutuki dirinya sendiri. Untunglah seisi rumah sudah terlelap dalam tidur sehingga tidak ada yang sempat melihat aksi Marlo di beranda rumahnya. Aksi Marlo? Tentu saja, kalau saja otaknya yang beku saat itu mau diajak bekerja sama, ia tidak akan menyesal seperti pagi ini."Kan, elu masih bertahan ngantor di sini?” Suara Divia membuyarkan lamunannya. “Sepi begini mana
Barry melirik ke arah Kania yang sedang asyik menyantap steak sapi. Tangan kiri wanita itu menahan steak dengan grapu, sementara tangan kanannya memotong daging gemuk itu menggunakan pisau. Potongan demi potongan daging masuk ke dalam mulut wanita itu dengan sempurna. Barry tersenyum, wanita di hadapannya bukan wanita yang terlalu menjaga image. Wanita itu menghabiskan potongan-potongan steak dengan lahap tanpa khawatir akan diet ketat. Di suatu masa Barry pernah berjumpa dengan seorang wanita di belahan bumi lain, wanita yang begitu mirip dengan Kania. Bukan secara fisik karena tentu saja mereka beda kebangsaan. Cara Kania makan, lembut tutur kata, dan cara bergaul mereka sama. Keduanya memiliki kecantikan khas yang berbeda. Namun, dengan attitude yang sama. Dulu ia pernah sangat memuja wanita itu. Kini dengan menatap Kania seolah-olah Barry kembali ke masa lalu, mengingat betapa sering
Wanita dengan gaun warna beige itu turun dari mobil mewah. Wajah cantiknya menjadi daya tarik tersendiri. Usia yang tidak lagi muda sepertinya tidak berpengaruh pada keelokan wajah yang tak tertandingi oleh para kaum muda. Ia menyadari betul pesona dirinya bisa menaklukan pria mana pun di dunia, kecuali satu orang. Pria yang begitu dicintai olehnya, yang membiarkan kisah asmara bertepuk sebelah tangan. "Kita langsung ke lantai atas, Nyonya?" Sekretaris pribadi wanita itu, seorang pria dengan setelan rapi, menenteng tas kecil di satu tangan dan ponsel di tangan yang lain, menyejajari langkah sang wanita cantik. "Tentu saja langsung ke atas, kamu sudah hubungi putraku?" "Sudah saya coba berkali-kali, tidak ada respons." Wanita itu terus melangkah menuju lift dengan anggun. Kaki beralas sepatu hak tinggi berayun dengan langkah anggun dan molek. Puluhan mata menatapnya dengan terpukau. Hal yang biasa ia terim
“Saya cuma minta kamu berhati-hati dengan Clarissa. Jangan samakan dia dengan dirimu. Clarissa tidak punya ketulusan.” Barry mengatakan hal itu dengan serius Kania yang berada sejengkal di depannya tetap bergeming mengawasi bibir Marlo yang terus bergerak memperingatkan tentang Clarissa. “Bapak yang mungkin selama ini salah menilai orang.” Kania mulai rileks bersandar di dinding marmer kamar kecil. Ia melipat kedua lengannya di depan, seakan-akan menjadi pembatas bagi dirinya dan Marlo. “Bukankah dulu Bapak jijik sama saya, meragukan moral saya, dan mengangap saya liar? Mungkin Bapak perlu mengevaluasi lagi cara Bapak menilai orang lain. Mungkin ada yang salah?” Gotcha! Kania menembak te
Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat
Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor
Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so
Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.
Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya
"Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."
Divia baru saja selesai melakukan aktivitas rutin di akhir minggu. Pagi tadi ia sudah berangkat ke fitness center, melakukan yoga sekitar sejam lamanya. Kini setelah mandi dan sedikit bersolek di ruang ganti fitness center, ia menjejakkan kakinya ke lorong mal yang masih sepi. Pusat kebugaran favoritnya itu terletak di dalam mal. Jam di dinding masih menunjuk pukul 09.00 ketika ia keluar dari pusat kebugaran itu.Mode getar dari ponsel pintarnya berfungsi, sambil terus berjalan menyusuri lorong, Divia meraih benda pipih itu dari kantong tas fitness-nya. Bibir wanita itu melengkung ke atas saat melihat nama Damar muncul di layar."Halo, Mar?" sapanya."Vi, bisa ikut aku, nggak?" Lelaki di ujung telepon rupanya tidak suka basa-basi."Ha? Ikut ke mana? Aku baru aja selesai yoga di Gym, sebentar lagi nyampe kos-kosan." Divia masih mengayunkan langkah dengan pelan."Okelah, setengah jam l
"Mama!" Gadis kecil itu berteriak, berlari ke arah Kania. Sedetik kemudian Kania limbung karena tubuh kecil nan energik itu menghantam bagian bawah tubuhnya.Gadis kecil itu terkikik girang, membuat Kania langsung menangkap dan menggendongnya di lengan."Aduuuh, Sayang, kebiasaan!" Dengan gemas Kania menowel hidung mungil Nadin."Hei, Cantik, selamat yaa, pertunjukanmu berjalan lancar. Kamu luar biasa sekali!" Marlo memekik tertahan.Nadin tersenyum semringah, merentangkan tangan kepada lelaki di sebelah Kania itu. Marlo buru-buru meraihnya, memindahkan Nadin dari lengan Kania ke lengannya sendiri."Makasih, Om," ucap Nadin dengan riang. Gadis kecil itu memeluk bahu Marlo dengan kencang.Dengan ekspresi bangga, Marlo menatap Kania. Senyumnya lebar, matanya berbinar. Kania sangat suka melihat ekspresi Marlo seperti ini. Batinnya terus berteriak bahwa Marlo adalah tipe seora
Kania mememui Prasetya di sebuah kafe di pusat kota."Sehat, Pak?" Wanita itu duduk di kursi di seberang lelaki berambut kelabu."Alhamdulilah," jawab lelaki itu mantap."Maaf, agak lama menunggu."*Saya juga baru sampai. Kamu gimana, Kan? Sehat?""Puji Tuhan, Pak."Seorang pelayan membawa baki berisi satu cangkir kopi pekat untuk Prasetya. Lelaki itu mengangguk menunjukkan Terima kasih, sebelum sang pelayan undur diri."Kania sudah pesan?""Sudah, tadi di konter depan, sebentar lagi mungkin datang.""Saya senang kalau kamu sehat, Kan. Saya lihat kamu juga malah lebih fresh sekarang."Kania tersenyum merona. Pak Prasetya belum mengetahui sejauh mana hubungan dirinya dengan Marlo."Pak, saya dengar Bapak mau resign dari kantor. Apa betul?"Lelaki itu menatap Kania dari balik kepulan uap panas ko