Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.
Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat
Erlangga Hadinegoro, milyader gagah perkasa itu jatuh berlutut di lantai. Marlo menyaksikan sendiri, betapa kakak kandungnya yang terkenal gagah perkasa dalam dunia bisnis kini seperti hilang gelabah. Kabar yang baru saja didengar telah memporak porandakan hati dan mental lelaki empat puluh tahun itu. Anjani Hadinegoro, istri yang sangat dikasihinya, dikabarkan meninggal dunia dalam kecelakaan maut. Mobil yang ditumpangi perempuan tiga puluh tahun itu jatuh ke jurang dan terbakar habis. Lebih mengenaskan lagi, Anjani sedang mengandung anak pertamanya, buah hati yang telah dinanti hampir delapan tahun lamanya oleh pasangan milyuner itu.Dengan tangan gemetar, Marlo mencoba menyentuh bahu kakaknya. Ia sendiri juga merasa terpukul. Anjani sudah seperti ibu baginya."Bang ...." Marlo berusaha meraih sang kakak.Bahu Erlangga terguncang hebat. Tiba-tiba mata lelaki itu terlihat nyalang. Ia memandang setiap orang di sekitarnya. Semua orang kepercayaan Erlangga berkump
Kania buru-buru membawa semua dokumen yang diperlukan. Divia, sekretaris wakil direktur baru saja menghubunginya lewat telepon. Memberitahukan bahwa Pak Prasetya—bosnya—meminta Kania untuk ke ruangan beliau sebelum rapat besar bersama jajaran direksi dimulai. Kania melintasi beberapa blok kubikel berisi karyawan sebelum sampai ke ruangan wakil direktur. “Langsung masuk aja, Pak Bos sudah nunggu,” seru Divia. “Et...et...et tunggu dulu bentar.” Divia tiba-tiba meminta sahabatnya mundur, mendekat ke mejanya yang persis berada di depan ruangan Pak Prasetya. “Gue enggak sabar nunggu CEO baru datang, ganteng banget!” bisiknya sambil terkikik.&nb
Arloji di pergelangan tangan kanan Kania menunjuk pukul 19.00. Wanita muda itu menghembuskan napas lega. Ia menepati janjinya untuk pulang lebih awal hari ini. Sopir kantor telah mengantar dirinya sampai di depan rumah. Beberapa detik setelah menutup pintu pagar yang terbuat dari besi bercat perunggu, suara tinggi melengking menyambutnya, disusul tubrukan ke arah lutut yang seketika hampir oleng. “Mamaaa!” Kania berjongkok, kini ia sejajar dengan gadis kecil berambut ikal yang tadi menubruknya. “Hai, sayangkuu!” Kania memeluk erat gadis berponi itu. “Mama temani Nadin belajar, ya?
“Mama sudah bisa melihat. Kamu tertarik dengan Kania, benar?” Clarissa menyesap secangkir teh dalam cangkir keramik bermotif klasik. Teh Earl Grey kesukaannya itu disajikan dengan racikan yang pas. Barry membawakan untuknya beberapa waktu yang lalu dari London. Wanita paruh baya itu tak juga mendapat respons dari pemuda tampan, putra kesayangannya, aset besarnya. Barry masih asyik dengan gawai, sesekali tersenyum menanggapi ocehan beberapa sahabat di media sosial. Ibu jarinya terus berputar di layar ponsel pintar. “Barry, Sayang, kamu dengar Mama?”Barry mendongak, memandang sang ibu yang tersenyum hangat padanya. Ia meletakkan ponsel pintarnya di meja re
Kania menunggu dengan sabar di loket pembelian kereta bandara yang akan membawanya dari Bandara Kualanamu ke kota Medan. Ia telah menempuh dua jam perjalanan udara dari Jakarta sampai Kualanamu, bandara internasional, gerbang udara untuk perjalanan ke daerah Sumatera Utara. Hari ini adalah jadwal perjalanan dinasnya bersama sang atasan, Barry. Sejak berangkat dari bandara Soekarno-Hatta wanita itu belum berjumpa langsung dengan Barry. Ia sempat melihat mealui jendela kabin, CEO-nya itu berlari kecil masuk ke pesawat, langsung menuju kursi kelas bisnis. Sebelumnya, sang CEO sudah mengirimkan pesan supaya mereka bertemu di bandara Kualanamu, Kania diminta untuk membeli tiket kereta api bandara terlebih dahulu untuk mereka berdua. Sesuai perintah atasan, kini Kania menanti di dekat loket bandara terb
Kania menghentakkan sepatu boot kulitnya ke tanah berpasir. Matahari berada di titik kulminasi, membuat hawa panas menyengat semakin terasa. Terlebih di antara pohon sawit muda yang tingginya kira-kira baru dua meter. Kania menyusuri jalan setapak di sela-sela pokok tanaman sawit. Barry dan dua orang staff kebun mengekor di belakangnya. Sejak pagi ia dan Barry sudah berangkat menuju area perkebunan, menjelajah ke lokasi blok pepohonan sawit dan infrastruktur yang mendukungnya. Kania sibuk menjelaskan kepada atasannya secara detail proses-proses pemeliharaan tanaman sawit dan kendala-kendala yang dihadapi oleh para pekerja. Sesuai catatan Pak Prasetya tempo hari, Barry memang cukup cerdas, menangkap semua hal baru dengan cepat. “Kita bisa ke lokasi pemu
Hampir seminggu Kania dan rombongan berada di kebun. Rutinitas dimulai tiap pagi. Barry yang terbiasa bangun siang di rumah, kini mulai terbiasa bangun subuh. Mereka berangkat saat matahari belum muncul, masuk ke pos-pos di kebun, mengamati para pekerja yang berkumpul untuk melakukan briefing pagi sebelum mulai pekerjaan. Setelah itu mereka akan kembali ke rumah singgah untuk mandi dan sarapan, lalu melanjutkan aktivitas kunjungan ke kebun, meninjau pabrik dan berbagai sarana dan prasarana pendukung. Barry dan Marlo seperti melakukan gencatan senjata. Terpaksa tinggal dalam satu atap, mereka hanya bertemu saat sarapan dan makan malam. Itu pun dengan suasana yang kurang mengenakkan. Oleh karena itu Barry sering mengajak Kania pergi makan malam di luar kebun. Padahal membutuhkan waktu paling cepat satu jam untuk mencapai kota terdekat.&
Lima hari telah berlalu sejak Kania kembali dari dinas luar. Rutinitas harian kembali mengelilinginya. Kini ia masih membeku di depan layar laptop, berputar dengan data dan serangkaian gambar yang perlu ia susun menjadi laporan. “Nggak pulang?” Barry dengan senyum cerah menyapa staff idolanya. “Belum selesai, Pak.” “Saya ada meeting dengan perusahaan batubara malam ini, nggak bisa nunguin kamu untuk pulang bareng,” katanya. Sejak pulang dari dinas luar, Barry tampak semakin mendekati Kania. Ia bahkan memaksa mengantar Kania pulang tiap hari. Penolakan Kania rupanya tidak berarti bagi Barry. “Saya bisa pulang sendiri, Pak.” &n