Kania mememui Prasetya di sebuah kafe di pusat kota.
"Sehat, Pak?" Wanita itu duduk di kursi di seberang lelaki berambut kelabu. "Alhamdulilah," jawab lelaki itu mantap. "Maaf, agak lama menunggu."*Saya juga baru sampai. Kamu gimana, Kan? Sehat?""Puji Tuhan, Pak."Seorang pelayan membawa baki berisi satu cangkir kopi pekat untuk Prasetya. Lelaki itu mengangguk menunjukkan Terima kasih, sebelum sang pelayan undur diri. "Kania sudah pesan?""Sudah, tadi di konter depan, sebentar lagi mungkin datang.""Saya senang kalau kamu sehat, Kan. Saya lihat kamu juga malah lebih fresh sekarang."Kania tersenyum merona. Pak Prasetya belum mengetahui sejauh mana hubungan dirinya dengan Marlo. "Pak, saya dengar Bapak mau resign dari kantor. Apa betul?"Lelaki itu menatap Kania dari balik kepulan uap panas ko"Mama!" Gadis kecil itu berteriak, berlari ke arah Kania. Sedetik kemudian Kania limbung karena tubuh kecil nan energik itu menghantam bagian bawah tubuhnya.Gadis kecil itu terkikik girang, membuat Kania langsung menangkap dan menggendongnya di lengan."Aduuuh, Sayang, kebiasaan!" Dengan gemas Kania menowel hidung mungil Nadin."Hei, Cantik, selamat yaa, pertunjukanmu berjalan lancar. Kamu luar biasa sekali!" Marlo memekik tertahan.Nadin tersenyum semringah, merentangkan tangan kepada lelaki di sebelah Kania itu. Marlo buru-buru meraihnya, memindahkan Nadin dari lengan Kania ke lengannya sendiri."Makasih, Om," ucap Nadin dengan riang. Gadis kecil itu memeluk bahu Marlo dengan kencang.Dengan ekspresi bangga, Marlo menatap Kania. Senyumnya lebar, matanya berbinar. Kania sangat suka melihat ekspresi Marlo seperti ini. Batinnya terus berteriak bahwa Marlo adalah tipe seora
Divia baru saja selesai melakukan aktivitas rutin di akhir minggu. Pagi tadi ia sudah berangkat ke fitness center, melakukan yoga sekitar sejam lamanya. Kini setelah mandi dan sedikit bersolek di ruang ganti fitness center, ia menjejakkan kakinya ke lorong mal yang masih sepi. Pusat kebugaran favoritnya itu terletak di dalam mal. Jam di dinding masih menunjuk pukul 09.00 ketika ia keluar dari pusat kebugaran itu.Mode getar dari ponsel pintarnya berfungsi, sambil terus berjalan menyusuri lorong, Divia meraih benda pipih itu dari kantong tas fitness-nya. Bibir wanita itu melengkung ke atas saat melihat nama Damar muncul di layar."Halo, Mar?" sapanya."Vi, bisa ikut aku, nggak?" Lelaki di ujung telepon rupanya tidak suka basa-basi."Ha? Ikut ke mana? Aku baru aja selesai yoga di Gym, sebentar lagi nyampe kos-kosan." Divia masih mengayunkan langkah dengan pelan."Okelah, setengah jam l
"Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."
Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya
Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.
Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so
Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor
Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat