Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.
“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.
Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”
“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”
Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.
Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so
Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor
Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat
Erlangga Hadinegoro, milyader gagah perkasa itu jatuh berlutut di lantai. Marlo menyaksikan sendiri, betapa kakak kandungnya yang terkenal gagah perkasa dalam dunia bisnis kini seperti hilang gelabah. Kabar yang baru saja didengar telah memporak porandakan hati dan mental lelaki empat puluh tahun itu. Anjani Hadinegoro, istri yang sangat dikasihinya, dikabarkan meninggal dunia dalam kecelakaan maut. Mobil yang ditumpangi perempuan tiga puluh tahun itu jatuh ke jurang dan terbakar habis. Lebih mengenaskan lagi, Anjani sedang mengandung anak pertamanya, buah hati yang telah dinanti hampir delapan tahun lamanya oleh pasangan milyuner itu.Dengan tangan gemetar, Marlo mencoba menyentuh bahu kakaknya. Ia sendiri juga merasa terpukul. Anjani sudah seperti ibu baginya."Bang ...." Marlo berusaha meraih sang kakak.Bahu Erlangga terguncang hebat. Tiba-tiba mata lelaki itu terlihat nyalang. Ia memandang setiap orang di sekitarnya. Semua orang kepercayaan Erlangga berkump
Kania buru-buru membawa semua dokumen yang diperlukan. Divia, sekretaris wakil direktur baru saja menghubunginya lewat telepon. Memberitahukan bahwa Pak Prasetya—bosnya—meminta Kania untuk ke ruangan beliau sebelum rapat besar bersama jajaran direksi dimulai. Kania melintasi beberapa blok kubikel berisi karyawan sebelum sampai ke ruangan wakil direktur. “Langsung masuk aja, Pak Bos sudah nunggu,” seru Divia. “Et...et...et tunggu dulu bentar.” Divia tiba-tiba meminta sahabatnya mundur, mendekat ke mejanya yang persis berada di depan ruangan Pak Prasetya. “Gue enggak sabar nunggu CEO baru datang, ganteng banget!” bisiknya sambil terkikik.&nb
Arloji di pergelangan tangan kanan Kania menunjuk pukul 19.00. Wanita muda itu menghembuskan napas lega. Ia menepati janjinya untuk pulang lebih awal hari ini. Sopir kantor telah mengantar dirinya sampai di depan rumah. Beberapa detik setelah menutup pintu pagar yang terbuat dari besi bercat perunggu, suara tinggi melengking menyambutnya, disusul tubrukan ke arah lutut yang seketika hampir oleng. “Mamaaa!” Kania berjongkok, kini ia sejajar dengan gadis kecil berambut ikal yang tadi menubruknya. “Hai, sayangkuu!” Kania memeluk erat gadis berponi itu. “Mama temani Nadin belajar, ya?
“Mama sudah bisa melihat. Kamu tertarik dengan Kania, benar?” Clarissa menyesap secangkir teh dalam cangkir keramik bermotif klasik. Teh Earl Grey kesukaannya itu disajikan dengan racikan yang pas. Barry membawakan untuknya beberapa waktu yang lalu dari London. Wanita paruh baya itu tak juga mendapat respons dari pemuda tampan, putra kesayangannya, aset besarnya. Barry masih asyik dengan gawai, sesekali tersenyum menanggapi ocehan beberapa sahabat di media sosial. Ibu jarinya terus berputar di layar ponsel pintar. “Barry, Sayang, kamu dengar Mama?”Barry mendongak, memandang sang ibu yang tersenyum hangat padanya. Ia meletakkan ponsel pintarnya di meja re
Kania menunggu dengan sabar di loket pembelian kereta bandara yang akan membawanya dari Bandara Kualanamu ke kota Medan. Ia telah menempuh dua jam perjalanan udara dari Jakarta sampai Kualanamu, bandara internasional, gerbang udara untuk perjalanan ke daerah Sumatera Utara. Hari ini adalah jadwal perjalanan dinasnya bersama sang atasan, Barry. Sejak berangkat dari bandara Soekarno-Hatta wanita itu belum berjumpa langsung dengan Barry. Ia sempat melihat mealui jendela kabin, CEO-nya itu berlari kecil masuk ke pesawat, langsung menuju kursi kelas bisnis. Sebelumnya, sang CEO sudah mengirimkan pesan supaya mereka bertemu di bandara Kualanamu, Kania diminta untuk membeli tiket kereta api bandara terlebih dahulu untuk mereka berdua. Sesuai perintah atasan, kini Kania menanti di dekat loket bandara terb