Kania menunggu dengan sabar di loket pembelian kereta bandara yang akan membawanya dari Bandara Kualanamu ke kota Medan. Ia telah menempuh dua jam perjalanan udara dari Jakarta sampai Kualanamu, bandara internasional, gerbang udara untuk perjalanan ke daerah Sumatera Utara.
Hari ini adalah jadwal perjalanan dinasnya bersama sang atasan, Barry. Sejak berangkat dari bandara Soekarno-Hatta wanita itu belum berjumpa langsung dengan Barry. Ia sempat melihat mealui jendela kabin, CEO-nya itu berlari kecil masuk ke pesawat, langsung menuju kursi kelas bisnis. Sebelumnya, sang CEO sudah mengirimkan pesan supaya mereka bertemu di bandara Kualanamu, Kania diminta untuk membeli tiket kereta api bandara terlebih dahulu untuk mereka berdua.
Sesuai perintah atasan, kini Kania menanti di dekat loket bandara terbesar pertama di Indonesia itu. Sebuah travel bag berwarna biru metalik berdiri tegak di samping kanannya.
Kania berusaha menghubungi Barry melalui ponsel, tetapi tidak tersambung. Sepertinya telepon sang bos masih belum aktif.
Kania memanfaatkan waktu luang untuk menghubungi Nadin.
“Halo, sayaaang, sudah pulang sekolah?” Suara Kania terdengar semangat menyambut sapaan hangat buah hatinya di ujung telepon.
“Mama sudah sampai di kebun?” suara polos Nadin dari ujung teepon nun juah di sana.
“Belum sayang, Mama baru sampai di bandara Kualanamu, masih lima jam lagi sampai ke kebun, Nak.”
“Mama, hati-hati di jalan, ya.”
“Iya, Nak. Terima kasih. Habis ini Nadin makan, terus istirahat ya.”
“Iya, Mama. Sampai jumpa. I love you.”
“I love you too.”
Kania menutup telepon.
“Telponan sama siapa?” Suara pria mengejutkan Kania. Saat ia menoleh ke sumber suara, Barry tampak sedang memperhatikannya.
“Oh, sama anak saya, Pak.”
“Kamu punya anak?”
Wanita berkemeja motif bunga itu mengangguk. Ia tak peduli apa pemikiran atasannya.
Kania menyodorkan tiket kereta bandara yang berupa kartu kepada Barry. Mereka berjalan beriringan menuju ke stasiun kereta bandara yang hanya berjarak dua ratus meter, masih di dalam area bandara.
Barry dengan sopan meminta Kania masuk terlebih dahulu. Masing-masing menggesekkan kartu mereka ke mesin untuk membuka pintu masuk peron. Kereta bandara sudah menunggu di peron. Tak menunggu waktu, keduanya segera masuk, menempatkan koper masing masing di tempat koper yang disediakan, lalu segera mencari tempat duduk yang berisisian. Lima menit kemudian kereta meluncur meninggalkan bandara.
***
Kania menyeret kopernya, berlari-lari kecil, berusaha menyejajarkan langkah dengan Barry, sementara laki-laki berkemeja maroon itu berjalan dengan langkah lebar. Tangan kanan lelaki itu menggenggam ponsel yang tegah menempel di telinga kanannya.
“Ngapain Oom Marlo ikut ke kebun?”
Terdengar makian dari mulut lelaki itu, membuat Kania penasaran, siapa sebenarnya seseorang diujung telepon. Telepon bosnya itu tadi berdering sesaat mereka sampai di kota Medan.
“Okelah, terserah kamu atur bagaimana, saya tidak mau kunjungan saya direcokin orang lain.” Barry segera menutup teleponnya.
Kania mengurungkan niat untuk bertanya, melihat ekspresi sang bos yang kurang menyenangkan.
Mereka menunggu jemputan di kanopi depan stasiun Medan.
Lima menit berselang, seorang pria muda mendekat, dari seragam yang dikenakan, Kania hapal orang tersebut adalah salah satu sopir kantor perwakiln mereka di Medan.
“Permisi, Bapak, Ibu, mobilnya di sebelah sana, saya bantu bawakan tasnya,” ujar pria itu.
“Ayo, pak, ini sopir kantor kita dari perwakilan,” timpal Kania.
Barry mengangguk menyerahkan tasnya kepada pria itu, begitu juga Kania
Sejak Barry bertanya tentang anak Kania, lelaki itu belum berbicara satu patah kata pun kepadanya. Kania berpikir mungkin kenyataan bahwa dirinya sudah memiliki anak mengganggu Barry.
Sebuah mobil SUV berwarna hitam metalik sudah menunggu di arah yang ditunjuk oleh sopir. Sang sopir segera memasukkan barang-barang bawaan mereka ke bagasi. Kania membukakan pintu untuk atasannya di jok belakang, kemudian dirinya segera masuk ke kursi penumpang di samping sopir.
“”Langsung ke kebun, Pak?” tanya sopir muda begitu ia siap berkendara.
“Kita makan siang dulu deh, ke soto medan, ya. Cari yang paling enak,” titah Barry.
Mereka meluncur ke sebuah kedai soto medan di tengah kota.
***
Kania menghabiskan seporsi soto medan dengan cukup cepat, lalu menyesap secangkir es teh tawar dengan nikmat.
Barry yang duduk tepat di seberang mejanya tersenyum geli.
“Baru kali ini, lho. Saya ketemu wanita cantik dengan selera makan kaya kamu. Benar-benar lahap.” Barry memasukkan suapan terakhir kuah sotonya ke dalam mulut, lalu mengambil tissu untuk melap multnya. “Kamu doyan apa lapar?” tanyanya.
Kania tersipu malu. Sejak kecil dirinya dididik untuk menghabiskan setiap makanan yang disajikan untuknya. Ia juga bukan tipe wanita yang suka berdiet. Kuliner adalah kawan baiknya selama ini. Tak ada satu makanan yang tidak habis dilahap olehnya. Cukup mengherankn memang bila porsi tubuhnya tetaap ideal sampai sejauh ini, bahkan sejaak melahirkan Nadin pun, badannya cepat kembali ke berat badan normal, hanya bagian-bagian tertentu saja yang semakin membesar. Itu pun jutru membuat bentuk tubuhnya semakin indah.
“Mau tambah lagi?” tanya Barry.
“Cukup, Pak. Terima kasih,” jawabnya masih tersipu.
Barry menyesap kopi hitam yang dipesannya. Peluh mulai muncul di dahinya yang lebar. Kedai makan yang mereka datangi bukanlah restoran mewah seperti biasa Barry masuki. Tak ada penyejuk ruangan dan toilet mewah. Namun, rasa makanan yang disajikan memang luar biasa. Banyak para pejabat dan pengusaha kota ini yang sering datang.
“Kania,”
“Tadi kamu bilang punya anak, kan? Sorry, selama ini saya tidak tahu kalau dirimu sudah berkeluarga. Suamimu tidak keberatan dengan perjalanan dinas ini, kan?”
Kania memandang bosnya, mencari tahu apakah ada akna tersembuyi di balik pertanyaan itu.
Dengan penuh pertimbangan akhirnya ia menjawab. “Saya memang punya seorang putri pak, usianya lima tahun.” Kania menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Saya memang tidak punya suami, Pak. Saya single parent.”
Barry membiarkan pernyataan Kania menggantung di udara, tidak merespons. Ia tidak mau terlihat begitu bahagia di depan wanita cantik itu. Sebenarnya tadi sempat syok begitu tahu Kania sudah punya anak. Postur dan penamppilan wanita cantik itu sama sekali tidak menunjukkan seorang ibu. Apalagi kemudian ada telepon dari asisten ibunya bahwa pamannya juga melakukan perjalanan dinas ke lokasi yang sama. Emosinya sudah hampir naik ke ubun-ubun.
“Oke, kita jalan lagi, ya,” ajak Barry.
Setelah menyelesaikan pembayaran di kasir, Kania segera memanggil sopir untuk segera melanjutkan perjalanan panjang mereka.
***
Perjalanan darat menembus hutan dan pedesaan ditempuh selama lima jam, hingga mereka sampai di sebuah rumah singgah yang mirip villa. Mereka akan tinggal selama beberapa hari di tempat itu. Letaknya jauh masuk ke dalam perkebunan, tiga puluh menit berkendara menuju jalan aspal.
Bangunan rumah singgah itu cukup megah dan luas dengan pilar-pilar dan jendela-jendela besar. Langit-langitnya tinggi dengan sedikit aksen ukiran di tiap pintu dan jendela. Taman yang mengelilingi rumah singah itu sangat asri, ditumbuhi aneka macam bunga dan tanaman hias. Ada suara gemericik air dari kolam ikan di samping rumah. Sebuah gazebo berdinding bata tampak semarak di tengah taman, dihiasi dengan aneka macam tanaman gantung.
Ini adalah kali kelima Kania berkunjung ke rumah singgah tersebut. Setelah semua barang bawaan diturunkan dari bagasi mobil, Kania menyeret kopernya menuju sebuah kamar yang terletak paling ujung, kamar yang biasa ia singgahi selama berkunjung. Sementara sopir membawa koper Barry ke kamar utama di dekat ruang tamu.
“Nanti temui saya di ruang tamu, sebelum makan malam, ya.” Suara Barry ditujukan untuk Kania. Kania berhenti sebentar hanya untuk merepons permintaan atasannya tersebut.
Kania menghentakkan sepatu boot kulitnya ke tanah berpasir. Matahari berada di titik kulminasi, membuat hawa panas menyengat semakin terasa. Terlebih di antara pohon sawit muda yang tingginya kira-kira baru dua meter. Kania menyusuri jalan setapak di sela-sela pokok tanaman sawit. Barry dan dua orang staff kebun mengekor di belakangnya. Sejak pagi ia dan Barry sudah berangkat menuju area perkebunan, menjelajah ke lokasi blok pepohonan sawit dan infrastruktur yang mendukungnya. Kania sibuk menjelaskan kepada atasannya secara detail proses-proses pemeliharaan tanaman sawit dan kendala-kendala yang dihadapi oleh para pekerja. Sesuai catatan Pak Prasetya tempo hari, Barry memang cukup cerdas, menangkap semua hal baru dengan cepat. “Kita bisa ke lokasi pemu
Hampir seminggu Kania dan rombongan berada di kebun. Rutinitas dimulai tiap pagi. Barry yang terbiasa bangun siang di rumah, kini mulai terbiasa bangun subuh. Mereka berangkat saat matahari belum muncul, masuk ke pos-pos di kebun, mengamati para pekerja yang berkumpul untuk melakukan briefing pagi sebelum mulai pekerjaan. Setelah itu mereka akan kembali ke rumah singgah untuk mandi dan sarapan, lalu melanjutkan aktivitas kunjungan ke kebun, meninjau pabrik dan berbagai sarana dan prasarana pendukung. Barry dan Marlo seperti melakukan gencatan senjata. Terpaksa tinggal dalam satu atap, mereka hanya bertemu saat sarapan dan makan malam. Itu pun dengan suasana yang kurang mengenakkan. Oleh karena itu Barry sering mengajak Kania pergi makan malam di luar kebun. Padahal membutuhkan waktu paling cepat satu jam untuk mencapai kota terdekat.&
Lima hari telah berlalu sejak Kania kembali dari dinas luar. Rutinitas harian kembali mengelilinginya. Kini ia masih membeku di depan layar laptop, berputar dengan data dan serangkaian gambar yang perlu ia susun menjadi laporan. “Nggak pulang?” Barry dengan senyum cerah menyapa staff idolanya. “Belum selesai, Pak.” “Saya ada meeting dengan perusahaan batubara malam ini, nggak bisa nunguin kamu untuk pulang bareng,” katanya. Sejak pulang dari dinas luar, Barry tampak semakin mendekati Kania. Ia bahkan memaksa mengantar Kania pulang tiap hari. Penolakan Kania rupanya tidak berarti bagi Barry. “Saya bisa pulang sendiri, Pak.” &n
Semenjak kejadian di lift, terjadi perang batin dalam hati Marlo. Ada rasa baru bergejolak di hatinya yang berusaha ia lawan. Sebuah rasa aneh yang muncul untuk Kania selalu menyeruak. Bayangan Kania sesekali menyelinap di benaknya. Mereka sempat berpapasan beberapa kali di kantor semenjak terakhir ia mengantar pulang wanita itu. Kania seolah-olah tidak merasa terjadi sesuatu di antara mereka, bahkan cenderung dingin terhadapnya. Hal itu membuat Marlo kembali membangun dinding-dinding pertahanan diri. Ia tidak mau sampai terlena dengan pesona Kania, apalagi harus bertekuk lutut kepada wanita itu. Marlo kini sedang menuju ruang rapat utama, ketika melihat dari sudut matanya, Kania dan Barry sedang berdiskusi di ruangan Barry. Ia berhenti sebentar di depan ruanga
Marlo melihat arloji di pergelangannya, waktu menunjukkan pukul 19.00. Ia masih mengamati wanita di lobby kantor. Wanita berkemeja putih dengan bawahan rok motif kotak-kotak jingga itu sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Senyum yang menawan dapat dipindai langsung oleh Marlo walaupun mereka berjarak setidaknya lima belas meter. Marlo sengaja tidak mendekat, memilih bersembunyi di balik bayangan pot tanaman tinggi. Lima menit berselang, seorang laki-laki datang mendekati wanita itu. Marlo bisa mendengar jelas percakapan mereka. “Maaf, ya, lama menunggu?” “Nggak papa, barusan terima telepon dari anakku,” jawa
Marlo melangkahkan kaki dengan ragu. Sebenarnya ia enggan sekali kembali ke rumah besar ini, walaupun ia sangat berhak berada di tempat tersebut. Jerih payah sang kakaklah yang membuat rumah megah bak istana itu berdiri. Banyak tahun telah ia lalui di rumah ini, banyak kenangan indah sekaligus sangat buruk berada di rumah ini. Marlo melepas kaca mata hitam, lalu memperhatikan halaman luas di sekelilingnya. Dilihat sekilas tak jauh berbeda dari terakhir kali ia berada di sini belasan tahun lalu. Mungkin karena beberapa pegawai rumah tangga yang sama masih berada di sini, kecuali Berto yang memilih mengikutinya. Memorinya kembali pada kejadian belasan tahun lalu, yang membuatnya pergi dari sini. Peringatan seratus h
Kania mempersiapkan sekeranjang penuh keperluan piknik hari ini. Sekotak roti lapis isi keju, ham, dan selada telah selesai dipotong siap untuk disantap nanti. Dua botol jus jeruk dan jambu kesukaan Nadin sudah masuk ke dalam keranjang, begitu juga dengan toples minum air putih. Aneka biskuit dan makanan kecil yang bisa disantap Nadin maupun orang dewasa tak ketinggalan. Sebagai menu utama, Kania membuat spaghetti brulee. Tiga kotak alumunium foil berisi pasta yang sudah dipanggangg itu akhirnya masuk juga ke keranjang piknik. “Mama sudah siap?” Nadin muncul dari dalam kamar berjalan riang ke arah Kania yang sibuk di dapur. Gadis mungil itu sudah siap berangkat dengan legging dan kaus berwarna pink,terlihat girang penuh semangat. Hari ini, sesuai janji Barry, mereka bertiga akan pergi piknik.
Kania meraih sebuah mug polos di nakas. Ia hendak membuat secangkir kopi untuk dibawa ke ruang meeting yang sementara ini menjadi ruang kerja pribadinya di lantai tiga puluh delapan. Dua hari ini ia memakai ruang meeting yang berada tepat di sebelah ruang Barry untuk menyelesaikan pembuatan buku SOP yang menjadi project-nya bersama sang CEO. Project tersebut digagas olehnya seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan di korporasi mereka. Dengan adanya buku panduan mengenai bisnis perusahaan mereka tersebut, diharapkan setiap ada regenerasi kepemimpinan akan mudah dalam beradaptasi, otomatis akan membuat efektivitas kerja meningkat. Selanjutnya buku panduan tersebut akan di-update setiap kali ada perkembangan bisnis mereka. Barry menunjuk Kania sebagai penanggung jawab karena di antara seluruh pegawai, hanya Kani
Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat
Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor
Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so
Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.
Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya
"Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."
Divia baru saja selesai melakukan aktivitas rutin di akhir minggu. Pagi tadi ia sudah berangkat ke fitness center, melakukan yoga sekitar sejam lamanya. Kini setelah mandi dan sedikit bersolek di ruang ganti fitness center, ia menjejakkan kakinya ke lorong mal yang masih sepi. Pusat kebugaran favoritnya itu terletak di dalam mal. Jam di dinding masih menunjuk pukul 09.00 ketika ia keluar dari pusat kebugaran itu.Mode getar dari ponsel pintarnya berfungsi, sambil terus berjalan menyusuri lorong, Divia meraih benda pipih itu dari kantong tas fitness-nya. Bibir wanita itu melengkung ke atas saat melihat nama Damar muncul di layar."Halo, Mar?" sapanya."Vi, bisa ikut aku, nggak?" Lelaki di ujung telepon rupanya tidak suka basa-basi."Ha? Ikut ke mana? Aku baru aja selesai yoga di Gym, sebentar lagi nyampe kos-kosan." Divia masih mengayunkan langkah dengan pelan."Okelah, setengah jam l
"Mama!" Gadis kecil itu berteriak, berlari ke arah Kania. Sedetik kemudian Kania limbung karena tubuh kecil nan energik itu menghantam bagian bawah tubuhnya.Gadis kecil itu terkikik girang, membuat Kania langsung menangkap dan menggendongnya di lengan."Aduuuh, Sayang, kebiasaan!" Dengan gemas Kania menowel hidung mungil Nadin."Hei, Cantik, selamat yaa, pertunjukanmu berjalan lancar. Kamu luar biasa sekali!" Marlo memekik tertahan.Nadin tersenyum semringah, merentangkan tangan kepada lelaki di sebelah Kania itu. Marlo buru-buru meraihnya, memindahkan Nadin dari lengan Kania ke lengannya sendiri."Makasih, Om," ucap Nadin dengan riang. Gadis kecil itu memeluk bahu Marlo dengan kencang.Dengan ekspresi bangga, Marlo menatap Kania. Senyumnya lebar, matanya berbinar. Kania sangat suka melihat ekspresi Marlo seperti ini. Batinnya terus berteriak bahwa Marlo adalah tipe seora
Kania mememui Prasetya di sebuah kafe di pusat kota."Sehat, Pak?" Wanita itu duduk di kursi di seberang lelaki berambut kelabu."Alhamdulilah," jawab lelaki itu mantap."Maaf, agak lama menunggu."*Saya juga baru sampai. Kamu gimana, Kan? Sehat?""Puji Tuhan, Pak."Seorang pelayan membawa baki berisi satu cangkir kopi pekat untuk Prasetya. Lelaki itu mengangguk menunjukkan Terima kasih, sebelum sang pelayan undur diri."Kania sudah pesan?""Sudah, tadi di konter depan, sebentar lagi mungkin datang.""Saya senang kalau kamu sehat, Kan. Saya lihat kamu juga malah lebih fresh sekarang."Kania tersenyum merona. Pak Prasetya belum mengetahui sejauh mana hubungan dirinya dengan Marlo."Pak, saya dengar Bapak mau resign dari kantor. Apa betul?"Lelaki itu menatap Kania dari balik kepulan uap panas ko