Kania menunggu dengan sabar di loket pembelian kereta bandara yang akan membawanya dari Bandara Kualanamu ke kota Medan. Ia telah menempuh dua jam perjalanan udara dari Jakarta sampai Kualanamu, bandara internasional, gerbang udara untuk perjalanan ke daerah Sumatera Utara.
Hari ini adalah jadwal perjalanan dinasnya bersama sang atasan, Barry. Sejak berangkat dari bandara Soekarno-Hatta wanita itu belum berjumpa langsung dengan Barry. Ia sempat melihat mealui jendela kabin, CEO-nya itu berlari kecil masuk ke pesawat, langsung menuju kursi kelas bisnis. Sebelumnya, sang CEO sudah mengirimkan pesan supaya mereka bertemu di bandara Kualanamu, Kania diminta untuk membeli tiket kereta api bandara terlebih dahulu untuk mereka berdua.
Sesuai perintah atasan, kini Kania menanti di dekat loket bandara terbesar pertama di Indonesia itu. Sebuah travel bag berwarna biru metalik berdiri tegak di samping kanannya.
Kania berusaha menghubungi Barry melalui ponsel, tetapi tidak tersambung. Sepertinya telepon sang bos masih belum aktif.
Kania memanfaatkan waktu luang untuk menghubungi Nadin.
“Halo, sayaaang, sudah pulang sekolah?” Suara Kania terdengar semangat menyambut sapaan hangat buah hatinya di ujung telepon.
“Mama sudah sampai di kebun?” suara polos Nadin dari ujung teepon nun juah di sana.
“Belum sayang, Mama baru sampai di bandara Kualanamu, masih lima jam lagi sampai ke kebun, Nak.”
“Mama, hati-hati di jalan, ya.”
“Iya, Nak. Terima kasih. Habis ini Nadin makan, terus istirahat ya.”
“Iya, Mama. Sampai jumpa. I love you.”
“I love you too.”
Kania menutup telepon.
“Telponan sama siapa?” Suara pria mengejutkan Kania. Saat ia menoleh ke sumber suara, Barry tampak sedang memperhatikannya.
“Oh, sama anak saya, Pak.”
“Kamu punya anak?”
Wanita berkemeja motif bunga itu mengangguk. Ia tak peduli apa pemikiran atasannya.
Kania menyodorkan tiket kereta bandara yang berupa kartu kepada Barry. Mereka berjalan beriringan menuju ke stasiun kereta bandara yang hanya berjarak dua ratus meter, masih di dalam area bandara.
Barry dengan sopan meminta Kania masuk terlebih dahulu. Masing-masing menggesekkan kartu mereka ke mesin untuk membuka pintu masuk peron. Kereta bandara sudah menunggu di peron. Tak menunggu waktu, keduanya segera masuk, menempatkan koper masing masing di tempat koper yang disediakan, lalu segera mencari tempat duduk yang berisisian. Lima menit kemudian kereta meluncur meninggalkan bandara.
***
Kania menyeret kopernya, berlari-lari kecil, berusaha menyejajarkan langkah dengan Barry, sementara laki-laki berkemeja maroon itu berjalan dengan langkah lebar. Tangan kanan lelaki itu menggenggam ponsel yang tegah menempel di telinga kanannya.
“Ngapain Oom Marlo ikut ke kebun?”
Terdengar makian dari mulut lelaki itu, membuat Kania penasaran, siapa sebenarnya seseorang diujung telepon. Telepon bosnya itu tadi berdering sesaat mereka sampai di kota Medan.
“Okelah, terserah kamu atur bagaimana, saya tidak mau kunjungan saya direcokin orang lain.” Barry segera menutup teleponnya.
Kania mengurungkan niat untuk bertanya, melihat ekspresi sang bos yang kurang menyenangkan.
Mereka menunggu jemputan di kanopi depan stasiun Medan.
Lima menit berselang, seorang pria muda mendekat, dari seragam yang dikenakan, Kania hapal orang tersebut adalah salah satu sopir kantor perwakiln mereka di Medan.
“Permisi, Bapak, Ibu, mobilnya di sebelah sana, saya bantu bawakan tasnya,” ujar pria itu.
“Ayo, pak, ini sopir kantor kita dari perwakilan,” timpal Kania.
Barry mengangguk menyerahkan tasnya kepada pria itu, begitu juga Kania
Sejak Barry bertanya tentang anak Kania, lelaki itu belum berbicara satu patah kata pun kepadanya. Kania berpikir mungkin kenyataan bahwa dirinya sudah memiliki anak mengganggu Barry.
Sebuah mobil SUV berwarna hitam metalik sudah menunggu di arah yang ditunjuk oleh sopir. Sang sopir segera memasukkan barang-barang bawaan mereka ke bagasi. Kania membukakan pintu untuk atasannya di jok belakang, kemudian dirinya segera masuk ke kursi penumpang di samping sopir.
“”Langsung ke kebun, Pak?” tanya sopir muda begitu ia siap berkendara.
“Kita makan siang dulu deh, ke soto medan, ya. Cari yang paling enak,” titah Barry.
Mereka meluncur ke sebuah kedai soto medan di tengah kota.
***
Kania menghabiskan seporsi soto medan dengan cukup cepat, lalu menyesap secangkir es teh tawar dengan nikmat.
Barry yang duduk tepat di seberang mejanya tersenyum geli.
“Baru kali ini, lho. Saya ketemu wanita cantik dengan selera makan kaya kamu. Benar-benar lahap.” Barry memasukkan suapan terakhir kuah sotonya ke dalam mulut, lalu mengambil tissu untuk melap multnya. “Kamu doyan apa lapar?” tanyanya.
Kania tersipu malu. Sejak kecil dirinya dididik untuk menghabiskan setiap makanan yang disajikan untuknya. Ia juga bukan tipe wanita yang suka berdiet. Kuliner adalah kawan baiknya selama ini. Tak ada satu makanan yang tidak habis dilahap olehnya. Cukup mengherankn memang bila porsi tubuhnya tetaap ideal sampai sejauh ini, bahkan sejaak melahirkan Nadin pun, badannya cepat kembali ke berat badan normal, hanya bagian-bagian tertentu saja yang semakin membesar. Itu pun jutru membuat bentuk tubuhnya semakin indah.
“Mau tambah lagi?” tanya Barry.
“Cukup, Pak. Terima kasih,” jawabnya masih tersipu.
Barry menyesap kopi hitam yang dipesannya. Peluh mulai muncul di dahinya yang lebar. Kedai makan yang mereka datangi bukanlah restoran mewah seperti biasa Barry masuki. Tak ada penyejuk ruangan dan toilet mewah. Namun, rasa makanan yang disajikan memang luar biasa. Banyak para pejabat dan pengusaha kota ini yang sering datang.
“Kania,”
“Tadi kamu bilang punya anak, kan? Sorry, selama ini saya tidak tahu kalau dirimu sudah berkeluarga. Suamimu tidak keberatan dengan perjalanan dinas ini, kan?”
Kania memandang bosnya, mencari tahu apakah ada akna tersembuyi di balik pertanyaan itu.
Dengan penuh pertimbangan akhirnya ia menjawab. “Saya memang punya seorang putri pak, usianya lima tahun.” Kania menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Saya memang tidak punya suami, Pak. Saya single parent.”
Barry membiarkan pernyataan Kania menggantung di udara, tidak merespons. Ia tidak mau terlihat begitu bahagia di depan wanita cantik itu. Sebenarnya tadi sempat syok begitu tahu Kania sudah punya anak. Postur dan penamppilan wanita cantik itu sama sekali tidak menunjukkan seorang ibu. Apalagi kemudian ada telepon dari asisten ibunya bahwa pamannya juga melakukan perjalanan dinas ke lokasi yang sama. Emosinya sudah hampir naik ke ubun-ubun.
“Oke, kita jalan lagi, ya,” ajak Barry.
Setelah menyelesaikan pembayaran di kasir, Kania segera memanggil sopir untuk segera melanjutkan perjalanan panjang mereka.
***
Perjalanan darat menembus hutan dan pedesaan ditempuh selama lima jam, hingga mereka sampai di sebuah rumah singgah yang mirip villa. Mereka akan tinggal selama beberapa hari di tempat itu. Letaknya jauh masuk ke dalam perkebunan, tiga puluh menit berkendara menuju jalan aspal.
Bangunan rumah singgah itu cukup megah dan luas dengan pilar-pilar dan jendela-jendela besar. Langit-langitnya tinggi dengan sedikit aksen ukiran di tiap pintu dan jendela. Taman yang mengelilingi rumah singah itu sangat asri, ditumbuhi aneka macam bunga dan tanaman hias. Ada suara gemericik air dari kolam ikan di samping rumah. Sebuah gazebo berdinding bata tampak semarak di tengah taman, dihiasi dengan aneka macam tanaman gantung.
Ini adalah kali kelima Kania berkunjung ke rumah singgah tersebut. Setelah semua barang bawaan diturunkan dari bagasi mobil, Kania menyeret kopernya menuju sebuah kamar yang terletak paling ujung, kamar yang biasa ia singgahi selama berkunjung. Sementara sopir membawa koper Barry ke kamar utama di dekat ruang tamu.
“Nanti temui saya di ruang tamu, sebelum makan malam, ya.” Suara Barry ditujukan untuk Kania. Kania berhenti sebentar hanya untuk merepons permintaan atasannya tersebut.
Kania menghentakkan sepatu boot kulitnya ke tanah berpasir. Matahari berada di titik kulminasi, membuat hawa panas menyengat semakin terasa. Terlebih di antara pohon sawit muda yang tingginya kira-kira baru dua meter. Kania menyusuri jalan setapak di sela-sela pokok tanaman sawit. Barry dan dua orang staff kebun mengekor di belakangnya. Sejak pagi ia dan Barry sudah berangkat menuju area perkebunan, menjelajah ke lokasi blok pepohonan sawit dan infrastruktur yang mendukungnya. Kania sibuk menjelaskan kepada atasannya secara detail proses-proses pemeliharaan tanaman sawit dan kendala-kendala yang dihadapi oleh para pekerja. Sesuai catatan Pak Prasetya tempo hari, Barry memang cukup cerdas, menangkap semua hal baru dengan cepat. “Kita bisa ke lokasi pemu
Hampir seminggu Kania dan rombongan berada di kebun. Rutinitas dimulai tiap pagi. Barry yang terbiasa bangun siang di rumah, kini mulai terbiasa bangun subuh. Mereka berangkat saat matahari belum muncul, masuk ke pos-pos di kebun, mengamati para pekerja yang berkumpul untuk melakukan briefing pagi sebelum mulai pekerjaan. Setelah itu mereka akan kembali ke rumah singgah untuk mandi dan sarapan, lalu melanjutkan aktivitas kunjungan ke kebun, meninjau pabrik dan berbagai sarana dan prasarana pendukung. Barry dan Marlo seperti melakukan gencatan senjata. Terpaksa tinggal dalam satu atap, mereka hanya bertemu saat sarapan dan makan malam. Itu pun dengan suasana yang kurang mengenakkan. Oleh karena itu Barry sering mengajak Kania pergi makan malam di luar kebun. Padahal membutuhkan waktu paling cepat satu jam untuk mencapai kota terdekat.&
Lima hari telah berlalu sejak Kania kembali dari dinas luar. Rutinitas harian kembali mengelilinginya. Kini ia masih membeku di depan layar laptop, berputar dengan data dan serangkaian gambar yang perlu ia susun menjadi laporan. “Nggak pulang?” Barry dengan senyum cerah menyapa staff idolanya. “Belum selesai, Pak.” “Saya ada meeting dengan perusahaan batubara malam ini, nggak bisa nunguin kamu untuk pulang bareng,” katanya. Sejak pulang dari dinas luar, Barry tampak semakin mendekati Kania. Ia bahkan memaksa mengantar Kania pulang tiap hari. Penolakan Kania rupanya tidak berarti bagi Barry. “Saya bisa pulang sendiri, Pak.” &n
Semenjak kejadian di lift, terjadi perang batin dalam hati Marlo. Ada rasa baru bergejolak di hatinya yang berusaha ia lawan. Sebuah rasa aneh yang muncul untuk Kania selalu menyeruak. Bayangan Kania sesekali menyelinap di benaknya. Mereka sempat berpapasan beberapa kali di kantor semenjak terakhir ia mengantar pulang wanita itu. Kania seolah-olah tidak merasa terjadi sesuatu di antara mereka, bahkan cenderung dingin terhadapnya. Hal itu membuat Marlo kembali membangun dinding-dinding pertahanan diri. Ia tidak mau sampai terlena dengan pesona Kania, apalagi harus bertekuk lutut kepada wanita itu. Marlo kini sedang menuju ruang rapat utama, ketika melihat dari sudut matanya, Kania dan Barry sedang berdiskusi di ruangan Barry. Ia berhenti sebentar di depan ruanga
Marlo melihat arloji di pergelangannya, waktu menunjukkan pukul 19.00. Ia masih mengamati wanita di lobby kantor. Wanita berkemeja putih dengan bawahan rok motif kotak-kotak jingga itu sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Senyum yang menawan dapat dipindai langsung oleh Marlo walaupun mereka berjarak setidaknya lima belas meter. Marlo sengaja tidak mendekat, memilih bersembunyi di balik bayangan pot tanaman tinggi. Lima menit berselang, seorang laki-laki datang mendekati wanita itu. Marlo bisa mendengar jelas percakapan mereka. “Maaf, ya, lama menunggu?” “Nggak papa, barusan terima telepon dari anakku,” jawa
Marlo melangkahkan kaki dengan ragu. Sebenarnya ia enggan sekali kembali ke rumah besar ini, walaupun ia sangat berhak berada di tempat tersebut. Jerih payah sang kakaklah yang membuat rumah megah bak istana itu berdiri. Banyak tahun telah ia lalui di rumah ini, banyak kenangan indah sekaligus sangat buruk berada di rumah ini. Marlo melepas kaca mata hitam, lalu memperhatikan halaman luas di sekelilingnya. Dilihat sekilas tak jauh berbeda dari terakhir kali ia berada di sini belasan tahun lalu. Mungkin karena beberapa pegawai rumah tangga yang sama masih berada di sini, kecuali Berto yang memilih mengikutinya. Memorinya kembali pada kejadian belasan tahun lalu, yang membuatnya pergi dari sini. Peringatan seratus h
Kania mempersiapkan sekeranjang penuh keperluan piknik hari ini. Sekotak roti lapis isi keju, ham, dan selada telah selesai dipotong siap untuk disantap nanti. Dua botol jus jeruk dan jambu kesukaan Nadin sudah masuk ke dalam keranjang, begitu juga dengan toples minum air putih. Aneka biskuit dan makanan kecil yang bisa disantap Nadin maupun orang dewasa tak ketinggalan. Sebagai menu utama, Kania membuat spaghetti brulee. Tiga kotak alumunium foil berisi pasta yang sudah dipanggangg itu akhirnya masuk juga ke keranjang piknik. “Mama sudah siap?” Nadin muncul dari dalam kamar berjalan riang ke arah Kania yang sibuk di dapur. Gadis mungil itu sudah siap berangkat dengan legging dan kaus berwarna pink,terlihat girang penuh semangat. Hari ini, sesuai janji Barry, mereka bertiga akan pergi piknik.
Kania meraih sebuah mug polos di nakas. Ia hendak membuat secangkir kopi untuk dibawa ke ruang meeting yang sementara ini menjadi ruang kerja pribadinya di lantai tiga puluh delapan. Dua hari ini ia memakai ruang meeting yang berada tepat di sebelah ruang Barry untuk menyelesaikan pembuatan buku SOP yang menjadi project-nya bersama sang CEO. Project tersebut digagas olehnya seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan di korporasi mereka. Dengan adanya buku panduan mengenai bisnis perusahaan mereka tersebut, diharapkan setiap ada regenerasi kepemimpinan akan mudah dalam beradaptasi, otomatis akan membuat efektivitas kerja meningkat. Selanjutnya buku panduan tersebut akan di-update setiap kali ada perkembangan bisnis mereka. Barry menunjuk Kania sebagai penanggung jawab karena di antara seluruh pegawai, hanya Kani