Hampir seminggu Kania dan rombongan berada di kebun. Rutinitas dimulai tiap pagi. Barry yang terbiasa bangun siang di rumah, kini mulai terbiasa bangun subuh. Mereka berangkat saat matahari belum muncul, masuk ke pos-pos di kebun, mengamati para pekerja yang berkumpul untuk melakukan briefing pagi sebelum mulai pekerjaan. Setelah itu mereka akan kembali ke rumah singgah untuk mandi dan sarapan, lalu melanjutkan aktivitas kunjungan ke kebun, meninjau pabrik dan berbagai sarana dan prasarana pendukung.
Barry dan Marlo seperti melakukan gencatan senjata. Terpaksa tinggal dalam satu atap, mereka hanya bertemu saat sarapan dan makan malam. Itu pun dengan suasana yang kurang mengenakkan. Oleh karena itu Barry sering mengajak Kania pergi makan malam di luar kebun. Padahal membutuhkan waktu paling cepat satu jam untuk mencapai kota terdekat.
Malam ini, Barry dan Marlo terpaksa harus makan malam bersama di kota. Mereka harus menerima undangan dari pejabat setempat yang ingin berdialog dengan pemilik perusahaan yang menaungi tujuh kebun terbesar di kabupaten. Pukul 18.00 tepat, keduanya sudah berangkat di antar oleh sopir. Sementara itu, Kania dan Damar memilih tinggal di rumah singgah, merapikan pekerjaan masing-masing menggunakan laptop hingga waktu makan malam tiba. Makan malam kali ini terasa lebih tenang dan nikmat karena kedua bos yang selama ini melakukan gencatan senjata tidak ada.
***
“Gimana, perjalanan pertama ke kebun?” tanya Kania sesaat setelah keduanya selesai makan malam. Mereka berdua duduk di serambi depan ditemani dua cangkir kopi dan makanan ringan. Suara serangga bagaikan iringan musik di tengah sepinya kehidupan kebun.
“Luar biasa, semua terasa tidak asing.” Damar menyeruput kopi hitamnya.
Kania mengawasi pemuda tampan yang duduk di sebelah. Damar begitu muda dan bersemangat. Usia pemuda itu terpaut enam tahun di bawah. Namun, pemikirannya cukup matang, wajar jika ia menjadi staff kepercayaan Marlo. Komisaris itu memiliki insting yang tepat dalam memilih bawahan. Kania hanya berharap Damar mendapat perlakuan yang baik dari sang komisaris. Damar pernah bercerita kepada Kania, bahwa ia hidup di dunia hanya dengan ibunya yang sedang sakit di kampung. Damar kini berjuang di Ibu Kota demi sang Ibu. Hal itu membuat Kania sangat bersimpati, ia dapat membayangkan hal yang sama terjadi pada dirinya dan Nadin.
“Kania,” panggil Damar ragu-ragu.
“Kenapa?” Wanita itu tersenyum geli melihat Damar yang kebingungan sendiri.
“Maaf, bukan maksutku lancang, hanya penasaran saja.” Damar menegakkan tubuhnya di kursi. “Apakah kamu punya hubungan khusus dengan Pak Barry?” lanjutnya.
Kania sampai hampir tersedak saking kagetnya mendengar pertanyaan teman kecilnya itu. Ia pun meletakkan kembali kopinya di meja serambi.
“Dari mana kamu menarik kesimpulan seperti itu? Jangan bilang dari bosmu yang mulutnya lancang itu, ya.” Kania mendelik sewot.
Damar tertawa geli. Kini, tanpa Kania melakukan klarifikasi pun, Damar sudah yakin kalau Kania tidak punya hubungan khusus dengan sang CEO. Baru beberapa bulan mengenaal wanita cantik itu, tetapi Damar sudah tahu sifat Kania. Baginya, Kania adalah wanita tulus yang baik hati. Seorang ibu yang sangat encintai putrinya. Wanita itu tidak akan bersedia menjual harga diri.
“Barry itu bos aku. Enggak ada hubungan lain lebih dari itu,” jawab Kania singkat.
Damar tersenyum puas.
Dering panggilan masuk dari ponsel Kania terdengar nyaring, membuat mereka sedikit terkejut. Kania segera menyambar ponselnya dengan girang melihat nama Nadin muncul dari layar.
“Anakku telepon,” bisiknya pada Damar.
“Halo, Sayang ...”
“Mama, Nadin kangen.” Suara Nadin terdengar bergetar dari ujung telepon.
Hati Kania seperti diiris tipis. Ia pun merindukan sang putri. Ingin rasanya segera menyelesaikan seluruh pekerjaan lalu segera pulang menemui buah hati. Namun, sepertinya dalam waktu dekat ini belum memungkinkan. Barry masih merasa penasaran dengan seluruh aktivitas kebun dan pabrik. Lelaki itu meminta waktu tiga hari lagi untuk tinggal lebih lama di kebun.
“Mama juga kangen, Sayang, tapi Mama harus selesaikan kerjaan Mama dulu, ya,” ujarnya selembut mungkin. Sejenak Nadin terdiam, membuat Kania khawatir,
“Mama jaga kesehatan, ya,” pinta gadis pintar itu.
Kania terharu putri semata wayangnya bisa bersikap dewasa. “Iya, Nadin juga jaga kesehatan, ya. Kamu sedang apa sekarang, Nak?”
“Nadin mau bobok, Ma.”
“Oke, sekarang Nadin bobok, jangan lupa berdoa dulu, ya.”
“Oke, Ma. I love you.”
“I love you to, Darling.”
“Oiya, Sayang ini ada Oom Damar, say hello juga sama Oom Damar, ya?”
Kania menyodorkan ponselnya ke telinga Damar.
“Hai, Nadin cantik, selamat bobok, ya. Mimpi indah.”
“Hai, Oom Damar, oke, Oom. Nadin titip, jagain Mama buat Nadin, ya?”
“Siap, tuan puteri.”
Terdengar Nadin terkikik dengan merdu. “Daah, Oom.”
Kania mematikan ponselnya. Ada setetes bening jatuh dari ujung matanya. Damar yang sempat melihat butiran bening itu, langsung menggenggam erat tangan sang wanita cantik di sebelahnya
“Kamu ibu yang hebat, Kania. Kamu pasti bisa melewati ini semua. Nadin begitu memujamu,” katanya berusaha menenangkan.
Terbawa suasana hati yang sedang tidak karuan, Kania memeluk erat tubuh Damar, pemuda yang sudah ia anggap sebagai adik. Terkadang ia merasa begitu lelah menanggung semuanya sendirian, lelah karena berpura-pura tegar dan kuat. Ada kalanya ia perlu bersandar pada seeorang, sekedar untuk saling menguatkan.
“Apa-apaan kalian ini?” Suara bariton yang cukup familier di telinga Kania tiba-tiba merusak momen harunya.
Lelaki jangkung berkemeja putih bersih dengan bawahan celana abu-abu sudah berdiri berkacak pinggang di depan Kania dan Damar.
Begitu terkejutnya Damar dan Kania sampai langsung refleks saling melepaskan pelukan. Lagi-lagi Kania melihat tatapan jijik yang ditujukan Marlo padanya.
“Ini tidak seperti yang Bapak bayangkan.” Damar membela diri. Kania tahu hal itu sia-sia.
“Sudahlah, Damar. Terserah beliau mau berpikir apa.” Kania berdiri, melirik sekilas ke arah Marlo, lalu segera beranjak masuk ke rumah. Ia berjalan lurus menuju kamarnya tanpa menoleh sedikit pun.
Marlo dan Damar saling berpandangan.
“Percayalah, tidak seperti itu. Kania mengaanggap saya seperti adiknya.”
“Sudah kubilang, Damar. Fokus pada rencana kita. Gimana kau bisa fokus kalau setiap saat kamu mencuri waktu berusaha bercinta dengan wanita seperti Kania?”
“Wanita seperti apa maksutnya? Kania wanita baik-baik!” Kata-kata terakhir Marlo rupanya berhasil menyulut emosi Damar.
“Hah, sudahlah ... kembali ke kamarmu. Percuma saja saya kasih tahu.” Marlo yang setengah mati jengkel melihat Damar membela Kania tiba-tiba memutuskan untuk segera masuk ke rumah menuju kamarnya.
Tak berselang lama muncul Barry yang terheran melihat Damar terengah-engah menahan emosi.
“Kamu kenapa?” tanya Barry penasaran.
Damar memejamkan mata sebentar menenangkan dirinya sendiri.
“Nggak apa-apa, Pak. Permisi saya mau istirahat,” ujarnya sambil segera pergi meningalkan Barry yang terbengong sendiri.
Lima hari telah berlalu sejak Kania kembali dari dinas luar. Rutinitas harian kembali mengelilinginya. Kini ia masih membeku di depan layar laptop, berputar dengan data dan serangkaian gambar yang perlu ia susun menjadi laporan. “Nggak pulang?” Barry dengan senyum cerah menyapa staff idolanya. “Belum selesai, Pak.” “Saya ada meeting dengan perusahaan batubara malam ini, nggak bisa nunguin kamu untuk pulang bareng,” katanya. Sejak pulang dari dinas luar, Barry tampak semakin mendekati Kania. Ia bahkan memaksa mengantar Kania pulang tiap hari. Penolakan Kania rupanya tidak berarti bagi Barry. “Saya bisa pulang sendiri, Pak.” &n
Semenjak kejadian di lift, terjadi perang batin dalam hati Marlo. Ada rasa baru bergejolak di hatinya yang berusaha ia lawan. Sebuah rasa aneh yang muncul untuk Kania selalu menyeruak. Bayangan Kania sesekali menyelinap di benaknya. Mereka sempat berpapasan beberapa kali di kantor semenjak terakhir ia mengantar pulang wanita itu. Kania seolah-olah tidak merasa terjadi sesuatu di antara mereka, bahkan cenderung dingin terhadapnya. Hal itu membuat Marlo kembali membangun dinding-dinding pertahanan diri. Ia tidak mau sampai terlena dengan pesona Kania, apalagi harus bertekuk lutut kepada wanita itu. Marlo kini sedang menuju ruang rapat utama, ketika melihat dari sudut matanya, Kania dan Barry sedang berdiskusi di ruangan Barry. Ia berhenti sebentar di depan ruanga
Marlo melihat arloji di pergelangannya, waktu menunjukkan pukul 19.00. Ia masih mengamati wanita di lobby kantor. Wanita berkemeja putih dengan bawahan rok motif kotak-kotak jingga itu sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Senyum yang menawan dapat dipindai langsung oleh Marlo walaupun mereka berjarak setidaknya lima belas meter. Marlo sengaja tidak mendekat, memilih bersembunyi di balik bayangan pot tanaman tinggi. Lima menit berselang, seorang laki-laki datang mendekati wanita itu. Marlo bisa mendengar jelas percakapan mereka. “Maaf, ya, lama menunggu?” “Nggak papa, barusan terima telepon dari anakku,” jawa
Marlo melangkahkan kaki dengan ragu. Sebenarnya ia enggan sekali kembali ke rumah besar ini, walaupun ia sangat berhak berada di tempat tersebut. Jerih payah sang kakaklah yang membuat rumah megah bak istana itu berdiri. Banyak tahun telah ia lalui di rumah ini, banyak kenangan indah sekaligus sangat buruk berada di rumah ini. Marlo melepas kaca mata hitam, lalu memperhatikan halaman luas di sekelilingnya. Dilihat sekilas tak jauh berbeda dari terakhir kali ia berada di sini belasan tahun lalu. Mungkin karena beberapa pegawai rumah tangga yang sama masih berada di sini, kecuali Berto yang memilih mengikutinya. Memorinya kembali pada kejadian belasan tahun lalu, yang membuatnya pergi dari sini. Peringatan seratus h
Kania mempersiapkan sekeranjang penuh keperluan piknik hari ini. Sekotak roti lapis isi keju, ham, dan selada telah selesai dipotong siap untuk disantap nanti. Dua botol jus jeruk dan jambu kesukaan Nadin sudah masuk ke dalam keranjang, begitu juga dengan toples minum air putih. Aneka biskuit dan makanan kecil yang bisa disantap Nadin maupun orang dewasa tak ketinggalan. Sebagai menu utama, Kania membuat spaghetti brulee. Tiga kotak alumunium foil berisi pasta yang sudah dipanggangg itu akhirnya masuk juga ke keranjang piknik. “Mama sudah siap?” Nadin muncul dari dalam kamar berjalan riang ke arah Kania yang sibuk di dapur. Gadis mungil itu sudah siap berangkat dengan legging dan kaus berwarna pink,terlihat girang penuh semangat. Hari ini, sesuai janji Barry, mereka bertiga akan pergi piknik.
Kania meraih sebuah mug polos di nakas. Ia hendak membuat secangkir kopi untuk dibawa ke ruang meeting yang sementara ini menjadi ruang kerja pribadinya di lantai tiga puluh delapan. Dua hari ini ia memakai ruang meeting yang berada tepat di sebelah ruang Barry untuk menyelesaikan pembuatan buku SOP yang menjadi project-nya bersama sang CEO. Project tersebut digagas olehnya seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan di korporasi mereka. Dengan adanya buku panduan mengenai bisnis perusahaan mereka tersebut, diharapkan setiap ada regenerasi kepemimpinan akan mudah dalam beradaptasi, otomatis akan membuat efektivitas kerja meningkat. Selanjutnya buku panduan tersebut akan di-update setiap kali ada perkembangan bisnis mereka. Barry menunjuk Kania sebagai penanggung jawab karena di antara seluruh pegawai, hanya Kani
Lalu lintas di pusat kota tidak dapat diprediksi. Sudah satu jam Kania berada di mobil Marlo yang terjebak macet di Bundaran HI, tak bergerak. Kania mencoba menghabiskan waktu dengan berselancar di dunia maya membaca berita hari ini dan menonton video-video viral. Semuanya tampak sudah dilakukan kecuali mengobrol dengan teman seperjalanannya yang sekarang tampak seperti tukang gerutu. Merutuki kemacetaan yang sudah menjadi langganan di Ibu Kota. Ada pesan di notifikasi hijau dari Barry, menanyakan dirinya. Kania menjawab kalau ia pulang dengan taksi daring. Ia tidak mau Barry kepikiran kalau dirinya ternyata pulang bersama Marlo. Barry pasti akan mencemaskannya. Lelaki itu tahu dirinya tidak pernah bisa akur dengan Marlo. Melihat kemacetan yang semakin parah Kania pun menghubungi Bi Darni, memberitahu bahwa mungkin dirinya akan
"Hari ini Pak Marlo enggak ke kantor, lu bisa taruh berkasnya di meja aja. "Kania mendengar Angelica--seketaris Marlo--berteriak dari ruangan sebelah. Seorang staff dari lantai bawah sedang membawa berkas ke meja wanita yang suaranya melengking tinggi itu.Satu pikiran terbesit di benak Kania. Jangan-jangan Pak Marlo sakit gara-gara kehujanan kemarin? Kania mengernyit.Mukanya tiba-tiba memerah mengingat kejadian malam tadi. Bagaimana mungkin ia tak berbuat apa pun sementara lelaki arogan itu berhasil menguasai tubuhnya. Semalaman ia tidak bisa tidur merutuki dirinya sendiri. Untunglah seisi rumah sudah terlelap dalam tidur sehingga tidak ada yang sempat melihat aksi Marlo di beranda rumahnya. Aksi Marlo? Tentu saja, kalau saja otaknya yang beku saat itu mau diajak bekerja sama, ia tidak akan menyesal seperti pagi ini."Kan, elu masih bertahan ngantor di sini?” Suara Divia membuyarkan lamunannya. “Sepi begini mana