Lima hari telah berlalu sejak Kania kembali dari dinas luar. Rutinitas harian kembali mengelilinginya. Kini ia masih membeku di depan layar laptop, berputar dengan data dan serangkaian gambar yang perlu ia susun menjadi laporan.
“Nggak pulang?” Barry dengan senyum cerah menyapa staff idolanya.
“Belum selesai, Pak.”
“Saya ada meeting dengan perusahaan batubara malam ini, nggak bisa nunguin kamu untuk pulang bareng,” katanya.
Sejak pulang dari dinas luar, Barry tampak semakin mendekati Kania. Ia bahkan memaksa mengantar Kania pulang tiap hari. Penolakan Kania rupanya tidak berarti bagi Barry.
“Saya bisa pulang sendiri, Pak.”
“Ya, oke, kalau begitu sampai besok, ya?” Barry mengedipkan mata lalu segera pergi.
***
Kania meregangkan otot-otot lengan, kedua tangan ditarik lurus ke atas lalu direntangkan ke samping. Dilanjutkan dengan menelengkan kepala ke kiri dan kanan bergantian. Wanita muda itu melirik cangkir kopi yang sudah mengering di sebelah laptop. Deretan angka dan grafik di layar berukuran sebelas inci itu telah menyita perhatiannya selama berjam-jam. Begitulah setiap kali dirinya berkonsentrasi penuh menyelesaikan pekerjaan, waktu terasa cepat sekali berlalu.
Wanita berkemeja merah muda itu melirik kembali ke sudut kanan bawah layar laptopnya, penanda waktu menunjukkan pukul 21.00. Kania terkesiap, ia segera merapikan meja, memasukkan beberapa file penting ke dalam tas, lalu mematikan laptop portabelnya. Besok pagi-pagi dirinya akan mereview ulang bahan-bahan presentasi tersebut. Sekarang ia harus pulang. Nadin, putri kecilnya pasti sudah menunggu di rumah.
Suasana kantor sudah senyap manakala Kania keluar dari ruangan menuju lift. Lampu utama sudah mati. Di lantai itu hanya tinggal dirinya dan seorang office boy yang sedang berbenah, bolak-balik ke pantry. Dari dua lift yang disediakan oleh pengelola gedung, saat jam lembur begini hanya satu yang berfungsi untuk lebih berhemat. Jam kantor sudah berakhir tiga jam yang lalu. Satu lift yang berfungsi ini, bisa mengakses semua lantai termasuk lantai direksi di lantai tiga puluh delapan, lantai paling atas gedung buatan arsitek Jepang tersebut. Kania sekarang menempati lantai tiga puluh.
Dengan bunyi denting pelan, pintu lift di hadapan Kania terbuka. Ia segera masuk ke ruangan kotak berukuran 2x3 meter, berdinding kaca itu. Lift terlebih dahulu naik ke lantai atas sebelum nanti turun sampai basemen. Lift kembali terbuka di lantai tiga puluh delapan. Kania setengah penasaran memikirkan siapa gerangan direksi yang masih tinggal di kantor sampai selarut ini. Pertanyaan langsung terjawab. Sesosok pria muda berostur tinggi tegap masuk. Pria dengan setelan jas terbuka itu menjinjing sebuah tas laptop, seperti milik Kania, tetapi lebih kecil. Kedua alis lebat pria itu berkerut hingga hampir menyatu, membingkai mata tajam yang sekarang menyorot ke arah Kania. Membuat tubuh Kania seolah-olah menyusut.
“Se-selamat malam, Pak.” Kania berusaha seramah mungkin menyapa sang komisaris.
Laki-laki itu mengangguk, pintu lift kembali menutup. Hening. Kedua insan tersebut larut dengan pikiran masing-masing sebelum sebuah hentakan cukup kuat melanda. Lift bergoncang, lalu seketika berhenti. Kania dan Marlo saling berpandangan.
Marlo mencoba menekan tombol pintu terbuka berkali-kali, tetapi tidak ada hasil. Mereka terjebak di dalam lift.
***
Dua puluh menit terasa begitu lama, mereka berdua masih terjebak di ruangan sempit berdinding kaca itu. Marlo sudah meningalkan pesan di interkom, berharap masih ada teknisi yang tinggal di kantor. Namun, sampai selama itu belum juga ada bantuan. Ia mengingatkan dirinya sendiri untuk memberikan sanksi, kalau perlu memecat bagian pengelola gedung yang menangani hal ini.
“Aduuuh, Pak. Gimana ini? Saya harus segera pulang.” Kania semakin panik.
“Hape saya tertinggal di meja, coba kamu pakai hape kamu, hubungi pacar-pacar kamu. Siapa tahu ada yang bisa nolong.” Suara bariton Marlo menggelegar di dalam lift sempit itu.
Kania yang sedari awal sudah antipati harus satu lift dengan atasannya yang arogan, kini muai jengah.
“Setahu saya, lift ini tidak tembus sinyal operator telepon, Pak.”
Lelaki itu justru memelotot ke arah Kania. Selama ini tidak pernah ada bawahaannya yang melawan perintah.
Dengan kesal, Kania mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi seseorang. Benar saja, layar ponsel blank, tidak ada sinyal. “Tuh, kan, Pak.” Kania menyodorkan ponselnya ke arah atasannya yang bermuka masam itu.
“Oh, iya Pak, Saya nggak pernah punya pacar. Ide dari mana Bapak bilang saya punya banyak pacar?” Kania merasa tersinggung dengan perkataan sang komisaris yang membuatnya merasa bukan wanita baik-baik. Lagipula, untuk apa bos yang tersohor itu capek-capek meninjau kehidupan pribadinya yang sama sekali bukan hak lelaki tampan yang arogan itu.
“Nggak usah sok suci, kamu.” Marlo tersenyum sinis. “Saya dengar kamu hobi dugem, mabuk-mabukan, sampai punya anak di luar nikah lagi. Rupanya kejeniusan kamu di dunia pekerjaan harus diimbangi dengan tingkah kamu yang liar, ya?” lanjutnya.
Wajah Kania memerah, amarahnya menggelegak. Tingkat kejengkelan kepada bos bebal itu sudah mendekati seratus persen. Ia mendekati lelaki jangkung dihadapannya. Dengan sekuat tenaga ia menendang tulang kering lelaki berambut cepak itu.
“Bapak jangan merasa sok mengenal saya, ya! Bapak boleh hina saya, jangan anak saya!”
Marlo meringis kesakitan, tidak menyangka wanita mungil yang terihat rapuh itu bisa menendang sekuat itu.
Kania berjongkok di sudut lift, mencoba meredakan emosi. Ia yakin besok pagi dirinya akan dipecat. Itu pun jika dirinya bisa selamat keluar dari lift terkutuk ini. Ia yakin sekali tabiat lelaki yang sekarang seang kesakitan di sebelahnya. Lelaki yang mengaku komisaris itu sebenarnya tidak pantas mendapat posisi tersebut, dengan kelakuan arogan seperti Hitler. Kania heran banyak sekali teman-teman kantornya, apalagi para wanita memuji atasannya itu setinggi langit. Berlomba-lomba cari muka di hadapan lelaki itu.
Bayangan Nadin, putri semata wayang tiba-tiba singgah di benak Kania. Bagaimana gadis kecil itu jika dirinya tidak juga pulang, atau ia tak akan pernah bisa pulang. Ia takut tidak bisa bertemu putrinya lagi. Nadin hanya punya dirinya. Bagaimana kalau ia tidak ada? Bahu Kania berguncang, air matanya tumpah.
Marlo membeku melihat Kania terguguk di lantai. Ia paling tidak tahan melihat wanita menangis. Sekelumit penyesalan menjalari batinnya.
“Ma-maafkan saya, ya. Nggak bermaksud membuatmu menangis.”
“Saya sudah muak bermuka dua di hadapan Bapak. Anda benar-benar kelewatan. Mulai sekarang jangan harap saya akan bersikap baik kepada Anda karena sungguh Anda tidak pantas!” Kania berdiri menantang sang atasan. Matanya menyala penuh amarah.
Marlo tidak mengira akan mendapat perlawanan sengit dari salah satu karyawan teladan di perusahaannya. Sudah lama ia mengagumi wanita itu, hanya saja ia tidak punya nyali untuk mendekatinya. Setiap berdekatan dengan wanita itu justru kalimat buruk yang keluar dari mulutnya tanpa terkendali. Seperti malam ini.
Marlo mendekati Kania, niatnya meminta maaf berubah melihat Kania yang tampak rapuh. Tiba-tiba ia ingin memeluknya.
Marlo setengah mati berusaha menahan keinginan untuk semakin mendekat. Ia sudah kalah di hadapan wanita yang berdiri dengan tegak menantangnya. Sorot mata penuh amarah itu menusuk batin. Benarkah ia percaya dengan ucapannya sendiri? Wanita pemberani ini bukan wanita baik-baik? Apakah wanita yang ia sebut liar itu bisa menangis seperti yang tadi dilihatnya?
Marlo tidak melihat Kania sebagai wanita perayu dan liar. Marlo justru melihat sisi Kania yang penyayang, Kania yang sok kuat, padahal sebenarnya rapuh.
“Saya tidak peduli. Bapak mau pecat saya sekarang juga? Silahkan saja!” serunya.
Marlo masih membisu.
Otaknya seolah-olah tidak bisa mencerna kata-kata Kania. Ia mendengar kata pecat, siapa yang dipecat? Peduli setan, batinnya.
Mata Marlo justru sibuk menangkap warna pipi mulus Kania yang merona, ada jejak air mata di sana. Air mata dari ulah mulutnya yang lancang. Tangan Marlo gatal ingin mengusap bekas basah itu.
Pandangannya kini beralih ke bibir yang bergetar, bibir berwarna merah muda, tidak ada polesan lipstick tebal di sana, hanya merah muda, bahkan cenderung pucat. Bibir itu terus bergerak menyemburkan rangkaian kata untuk dirinya yang tidak dapat ia pahami. Setolol itukah dirinya? Bukankah ia sendiri yang bilang, setiap lelaki di dekat Kania seperti kerbau dicocok hidung?
Hentakan kuat terjadi, lift bergoyang tak terkendali, membuat Kania terhempas ke dinding kaca di belakang, disusul oleh Marlo. Tubuh berat Marlo ambruk, pria besar itu menggunakan lengan untuk menahan berat tubuh supaya tidak menimpa Kania yang terjepit antara tubuhnya dengan dinding kaca.
Tidak ada di antara mereka yang bergerak selama sekian detik. Hidung Marlo hanya berjarak tiga jari dari pucuk kepala Kania. Aroma rambut wanita itu menyusup masuk ke peciumannya, meninggalkan memori yang sukar untuk dihilangkan.
“Kamu enggak apa-apa?” bisik Marlo, masih dengan posisi yang tidak berubah.
Kania ingin mendongak, tetapi tubuh besar Marlo menghalangi. Kania hanya menatap dada lelaki yang nyaris menghimpit tubuhnya. Dada berbalut kemeja katun putih dengan kancing terbuka di bagian atas. Kelepak jas laki-laki itu menjuntai menutup sisi kiri dan kanan tubuh Kania, seolah-olah ia sengaja bersembunyi di balik jas ukuran besar itu. Aroma aftershave yang tidak terlalu kuat menghampiri penciuman wanita itu, terasa familier seperti aroma leather yang berkesan maskulin. Tangannya sendiri sedang bersarang di dada itu cukup lama, menahan tubuh di depan supaya tidak menghimpit.
Lift kembali berguncang, Kania mencengkeram kemeja depan lelaki itu, ketakutan. Pikiran-pikiran buruk yang tadi sempat singgah di benaknya kini muncul kembali. Memejamkan mata adalah salah satu caranya menenangkan diri, berharap semuanya segera berlalu. Kania dapat merasakan Marlo melingkarkan lengan ke tubuhnya yang bergetar panik.
“Ya, Tuhan, Nadin, Nadin, Nadin ...,” bisiknya berkali-kali, masih dengan mata terpejam, hanya bayangan sang putri yang ada di benaknya.
Satu hentakan keras membuat lift seolah-olah terbanting. Kania makin merapatkan diri ke pelukan Marlo. Air mata kembali meluncur dari sudut matanya. Apakah akan berakhir seperti ini? Dua puluh tujuh tahun hidupnya akan selesai seperti ini?
“Sudah, sudah berlalu, Kania?”
“Kania, kamu enggak apa-apa?” Marlo mengguncang bahu wanita yang meringkuk dalam pelukannya.
“Kania?” Suara berat Marlo terdengar cukup mengkhawatirkan kondisi Kania.
Pintu lift terbuka, beberapa orang teknisi berdiri dengan was-was di depan pintu.
Kania membuka mata. Saat melihat pintu lift sudah terbuka, hatinya merasa sangat lega. Ia memandang kemeja putih di depan mata yang kusut terkena remasan tangannya. Seperti tersengat benda panas, Kania segera melepaskan diri dari pelukan Marlo. Ia berjalan terhuyung menuju luar lift, sementara Marlo mengekor di belakang.
“Bereskan lift ini, saya tidak mau terulang lagi kejadian seperti ini!” bentak Marlo kepada para teknisi yang cukup tegang.
Kania terus melaju menuju ke arah luar gedung. Sebetulnya hari ini ia bawa mobil sendiri ke kantor. Namun, karena kejadian naas barusan, sepertinya ia memilih pulang naik taksi, badannya masih gemetar, tetapi ia harus segera pulang untuk Nadin.
“Kania, tunggu!” Marlo menyentuh bahu wanita itu. “Biar saya antar pulang, ya? Takut terjadi sesuatu, kamu masih syok itu.” Ini buka tawaran, melainkan perintah.
Marlo menggamit lengan Kania, menuju sebuah sedan mewah berwarna gelap yang terparkir tepat di depan gedung, tempat parkir khusus direksi. Lelaki itu membuka pintu penumpang, membantu Kania duduk, lalu segera memutar masuk ke kursi pengemudi. Sedan mewah itu melaju menembus malam Ibu Kota.
***
“Kamu yakin tidak apa-apa?” tanya Marlo setelah mobilnya berhenti tepat di depan rumah Kania.
Setengah jam perjalanan dalam diam, Kania hanya sekali-sekali berbicara, menunjuk jalan menuju rumah.
Kania mengangguk. “Terima kasih, Pak.”
Membuka pintu penumpang, wanita itu segera keluar dari mobil. Sekali lagi mengangguk kepada sang atasan, sebelum berbalik masuk ke rumah melalui pintu pagar besi.
Marlo mengawasi dari kaca spion saat seorang gadis kecil berlari menubruk Kania. Wanita itu tiba-tiba berubah menjadi ceria menyambut sang gadis kecil, memelluk erat lalu membopong gadis itu dengan kedua tangan. Dada Marlo tiba-tiba terasa sesak, ada perasaan aneh yang membuncah di dirinya melihat pemandangan sekilas tersebut. Apakah ia terkenang memorinya sendiri dengan ibunda yang telah lama tiada?
Semenjak kejadian di lift, terjadi perang batin dalam hati Marlo. Ada rasa baru bergejolak di hatinya yang berusaha ia lawan. Sebuah rasa aneh yang muncul untuk Kania selalu menyeruak. Bayangan Kania sesekali menyelinap di benaknya. Mereka sempat berpapasan beberapa kali di kantor semenjak terakhir ia mengantar pulang wanita itu. Kania seolah-olah tidak merasa terjadi sesuatu di antara mereka, bahkan cenderung dingin terhadapnya. Hal itu membuat Marlo kembali membangun dinding-dinding pertahanan diri. Ia tidak mau sampai terlena dengan pesona Kania, apalagi harus bertekuk lutut kepada wanita itu. Marlo kini sedang menuju ruang rapat utama, ketika melihat dari sudut matanya, Kania dan Barry sedang berdiskusi di ruangan Barry. Ia berhenti sebentar di depan ruanga
Marlo melihat arloji di pergelangannya, waktu menunjukkan pukul 19.00. Ia masih mengamati wanita di lobby kantor. Wanita berkemeja putih dengan bawahan rok motif kotak-kotak jingga itu sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Senyum yang menawan dapat dipindai langsung oleh Marlo walaupun mereka berjarak setidaknya lima belas meter. Marlo sengaja tidak mendekat, memilih bersembunyi di balik bayangan pot tanaman tinggi. Lima menit berselang, seorang laki-laki datang mendekati wanita itu. Marlo bisa mendengar jelas percakapan mereka. “Maaf, ya, lama menunggu?” “Nggak papa, barusan terima telepon dari anakku,” jawa
Marlo melangkahkan kaki dengan ragu. Sebenarnya ia enggan sekali kembali ke rumah besar ini, walaupun ia sangat berhak berada di tempat tersebut. Jerih payah sang kakaklah yang membuat rumah megah bak istana itu berdiri. Banyak tahun telah ia lalui di rumah ini, banyak kenangan indah sekaligus sangat buruk berada di rumah ini. Marlo melepas kaca mata hitam, lalu memperhatikan halaman luas di sekelilingnya. Dilihat sekilas tak jauh berbeda dari terakhir kali ia berada di sini belasan tahun lalu. Mungkin karena beberapa pegawai rumah tangga yang sama masih berada di sini, kecuali Berto yang memilih mengikutinya. Memorinya kembali pada kejadian belasan tahun lalu, yang membuatnya pergi dari sini. Peringatan seratus h
Kania mempersiapkan sekeranjang penuh keperluan piknik hari ini. Sekotak roti lapis isi keju, ham, dan selada telah selesai dipotong siap untuk disantap nanti. Dua botol jus jeruk dan jambu kesukaan Nadin sudah masuk ke dalam keranjang, begitu juga dengan toples minum air putih. Aneka biskuit dan makanan kecil yang bisa disantap Nadin maupun orang dewasa tak ketinggalan. Sebagai menu utama, Kania membuat spaghetti brulee. Tiga kotak alumunium foil berisi pasta yang sudah dipanggangg itu akhirnya masuk juga ke keranjang piknik. “Mama sudah siap?” Nadin muncul dari dalam kamar berjalan riang ke arah Kania yang sibuk di dapur. Gadis mungil itu sudah siap berangkat dengan legging dan kaus berwarna pink,terlihat girang penuh semangat. Hari ini, sesuai janji Barry, mereka bertiga akan pergi piknik.
Kania meraih sebuah mug polos di nakas. Ia hendak membuat secangkir kopi untuk dibawa ke ruang meeting yang sementara ini menjadi ruang kerja pribadinya di lantai tiga puluh delapan. Dua hari ini ia memakai ruang meeting yang berada tepat di sebelah ruang Barry untuk menyelesaikan pembuatan buku SOP yang menjadi project-nya bersama sang CEO. Project tersebut digagas olehnya seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan di korporasi mereka. Dengan adanya buku panduan mengenai bisnis perusahaan mereka tersebut, diharapkan setiap ada regenerasi kepemimpinan akan mudah dalam beradaptasi, otomatis akan membuat efektivitas kerja meningkat. Selanjutnya buku panduan tersebut akan di-update setiap kali ada perkembangan bisnis mereka. Barry menunjuk Kania sebagai penanggung jawab karena di antara seluruh pegawai, hanya Kani
Lalu lintas di pusat kota tidak dapat diprediksi. Sudah satu jam Kania berada di mobil Marlo yang terjebak macet di Bundaran HI, tak bergerak. Kania mencoba menghabiskan waktu dengan berselancar di dunia maya membaca berita hari ini dan menonton video-video viral. Semuanya tampak sudah dilakukan kecuali mengobrol dengan teman seperjalanannya yang sekarang tampak seperti tukang gerutu. Merutuki kemacetaan yang sudah menjadi langganan di Ibu Kota. Ada pesan di notifikasi hijau dari Barry, menanyakan dirinya. Kania menjawab kalau ia pulang dengan taksi daring. Ia tidak mau Barry kepikiran kalau dirinya ternyata pulang bersama Marlo. Barry pasti akan mencemaskannya. Lelaki itu tahu dirinya tidak pernah bisa akur dengan Marlo. Melihat kemacetan yang semakin parah Kania pun menghubungi Bi Darni, memberitahu bahwa mungkin dirinya akan
"Hari ini Pak Marlo enggak ke kantor, lu bisa taruh berkasnya di meja aja. "Kania mendengar Angelica--seketaris Marlo--berteriak dari ruangan sebelah. Seorang staff dari lantai bawah sedang membawa berkas ke meja wanita yang suaranya melengking tinggi itu.Satu pikiran terbesit di benak Kania. Jangan-jangan Pak Marlo sakit gara-gara kehujanan kemarin? Kania mengernyit.Mukanya tiba-tiba memerah mengingat kejadian malam tadi. Bagaimana mungkin ia tak berbuat apa pun sementara lelaki arogan itu berhasil menguasai tubuhnya. Semalaman ia tidak bisa tidur merutuki dirinya sendiri. Untunglah seisi rumah sudah terlelap dalam tidur sehingga tidak ada yang sempat melihat aksi Marlo di beranda rumahnya. Aksi Marlo? Tentu saja, kalau saja otaknya yang beku saat itu mau diajak bekerja sama, ia tidak akan menyesal seperti pagi ini."Kan, elu masih bertahan ngantor di sini?” Suara Divia membuyarkan lamunannya. “Sepi begini mana
Barry melirik ke arah Kania yang sedang asyik menyantap steak sapi. Tangan kiri wanita itu menahan steak dengan grapu, sementara tangan kanannya memotong daging gemuk itu menggunakan pisau. Potongan demi potongan daging masuk ke dalam mulut wanita itu dengan sempurna. Barry tersenyum, wanita di hadapannya bukan wanita yang terlalu menjaga image. Wanita itu menghabiskan potongan-potongan steak dengan lahap tanpa khawatir akan diet ketat. Di suatu masa Barry pernah berjumpa dengan seorang wanita di belahan bumi lain, wanita yang begitu mirip dengan Kania. Bukan secara fisik karena tentu saja mereka beda kebangsaan. Cara Kania makan, lembut tutur kata, dan cara bergaul mereka sama. Keduanya memiliki kecantikan khas yang berbeda. Namun, dengan attitude yang sama. Dulu ia pernah sangat memuja wanita itu. Kini dengan menatap Kania seolah-olah Barry kembali ke masa lalu, mengingat betapa sering