Kania mempersiapkan sekeranjang penuh keperluan piknik hari ini. Sekotak roti lapis isi keju, ham, dan selada telah selesai dipotong siap untuk disantap nanti. Dua botol jus jeruk dan jambu kesukaan Nadin sudah masuk ke dalam keranjang, begitu juga dengan toples minum air putih. Aneka biskuit dan makanan kecil yang bisa disantap Nadin maupun orang dewasa tak ketinggalan. Sebagai menu utama, Kania membuat spaghetti brulee. Tiga kotak alumunium foil berisi pasta yang sudah dipanggangg itu akhirnya masuk juga ke keranjang piknik.
“Mama sudah siap?” Nadin muncul dari dalam kamar berjalan riang ke arah Kania yang sibuk di dapur.
Gadis mungil itu sudah siap berangkat dengan legging dan kaus berwarna pink,terlihat girang penuh semangat. Hari ini, sesuai janji Barry, mereka bertiga akan pergi piknik.
“Siap tuan puteri ...,” ujar Kania membalas kegirangan anaknya. “Tapi tunggu sebentar, Mama ganti baju dulu, ya.”
Kania menantang keranjang pikniknya sampai ke ruang tamu, meletakkan keranjang dari anyaman enceng gondok itu di atas meja kayu. Ia gegas menuju kamar, bersiap berganti pakaian.
Kania menerima ajakan Barry untuk piknik bertiga. Sebenarnya lebih karena tidak tega melihat Nadin yang mengiba di depannya kemarin. Barry langsung mengajak Nadin tanpa sepengatahuan Kania, setelah sang putri setuju, baru lelaki itu menyampaikan kepada Kania. Akhirnya wanita itu tidak bisa menolak.
Suara klakson mobil di depan menandakan sang penjemput sudah tiba. Nadin bergegas lari keluar, beberapa detik kemudian ia kembali ke dalam.
“Mama! Oom Barry sudah datang, ayo, Ma!” teriak gadis keil itu tidak sabar.
Ibunda Nadin segera manantang keranjang piknik yang sudah disiapkan. Berpamitan pada Bi Darni lalu segera keluar rumah diiringi si bocah kecil yang meloncat-loncat kegirangan.
Kali ini Kania mengenakan celana denim pudar sepanjang mata kaki yang dipadu dengan kaus v-neck warna putih, rambut sebahunya ia urai lepas, dipercantik dengan sebuah bandana warna cerah. Tak lupa sebuah syal manis berwarna merah muda melingkar di leher jenjangnya.
“Cantik sekali, Bu,” seloroh Barry saat membukakan pintu penumpang untuk Kania dan Nadin. Sejujurnya ia sangat terpukau melihat Kania di luar baju kerja sehari-hari, terlihat santai dan amat sangat cantik.
Kania melirik masam ke arah Barry. Selama ini wanita itu selalu menjauhi berbagai macam hubungan pribadi semacam ini. Kali ini ia beniat tetap bertahan. Namun, tak dapat dipungkiri pesona sang CEO begitu kuat.
Setelah meletakkan keranjang piknik di bagasi belakang, Barry segera menuju ke kemudi. Mobil sport keluaran terbaru itu meluncur manis ke jalanan. Nadin dengan gembira melambaikkan tangan kepada Bi Darni yang mengantar sampai pagar.
“Dada ... Bi Darni!” seru Nadin di pangkuan Kania.
Bi Darni membalas lambaian gadis kecil yang sudah ia anggap sebagai cucu. Ia senang nona mudanya bersedia meluangkan waktu untuk bersenang-senang, dan berharap Pak Barry adalah laki-laki yang tepat untuk Kania.
***
Mobil Marlo baru saja tiba ketika mobil Barry mulai melaju. Lelaki itu keluar dari mobil yang ia parkir tepat di depan rumah Kania.
“Cari siapa, Pak?”sapa Bi Darni
“Kania ada, Bu?”
Bi Darni mengamat-amati lelaki jangkung yang ada di depannya, terasa cukup familier.
“Maaf, Pak, baru saja Non Kania sama Nadin pergi, mau piknik katanya.”
Lelaki berbaju kasual itu tertegun, ia sempat melihat mobil sport milik Barry. Apakah Kania pergi bersama Barry?
“Ooo, pergi sama yang barusan naik mobil warna putih itu, ya, Bu?”
“Iya, Pak. Em-bapak siapa? Nanti kalau Non Kania pulang biar saya sampaikan.”
“Oh, nggak usah, Bu, nggak papa, kok. Lain kali saja saya ke sini. Mari, saya permisi.”
Marlo segera kembali ke mobil dan meajukan mobilnya menderu membelaah pagi.
Sial, aku terlambat! Mungkinkah Kania kini sudah menerima Barry? batin Marlo.
***
Marlo berkendara dengan kecepatan tinggi tanpa tahu tujuan. Minggu pagi yang cerah, biasanya akan ia gunakan waktu untuk istirahat di rumah atau pergi bermain basket. Namun, kini tidak ada satu kegiatan pun yang menarik mood-nya
Kenyataan bahwa Kania sedang bersama Barry membuat hatinya panas. Ia mengira Kania adalah wanita cerdas, tetapi kenapa justru sekarang ia meladeni Barry. Bocah tolol yang sok ganteng. Otak Marlo berputar-putar dengan satu nama, Kania.
Marlo menepikan mobil sebentar ke bahu jalan, lalu mencari ponselnya di saku.
Ia mencari satu nama untuk dihubungi.
“Damar, lagi di mana kamu?” Tidak ada nada ramah dalam suara lelaki itu.
“Lagi di apartemen, Bos,” jawab suara di ujung telepon.
“Kamu siap-siap, saya jemput kamu sekarang. Tungguin saya di depan!”
Itu adalah perintah, tentu saja Damar tidak sempat memprotes karena Marlo langsung menutup telepon.
***
Nadin berlari-lari sambil membawa benang layang-layang. Angin yang berhembus sepoi-sepoi menerbangkan layang-layang berbentuk hati miliknya ke angkasa, meliuk-liuk indah bak penari.
“Jangan jauh-jauh, ya, Sayang!” teriak Kania.
Wanita itu duduk bersila di atas sebuah alas duduk yang sudah disiapkan oleh Barry. Aneka makanan dan minuman yang dibawa telah di tata rapi di tengah alas duduk tersebut. Sekotak roti lapis sudah habis oleh mereka.
Barry yang duduk berselonjor kaki di seberang Kania melambai-lambaikan tangannya kepada Nadin.
“Nadin beruntung sekali punya ibu seperti dirimu.” Barry mengalihkan pandangaan epada wanita cantik di seberangnya. “Cantik, baik, jago masak.”
“Sudahlah hentikan omong kosongmu, aku nggak akan tergoda.” Kania tersenyum sambil melempar sebatang rumput kering ke arah Barry.
“Terima kasih Kania, sudah mengijinkan aku ngajak kalian berpiknik.”
“Gimana aku nggak ngijinin? Nadin yang memaksa.”
“Jadi trikku sukses, kan? Ajak anaknya dulu baru emaknya.” Barry nyengir memperlihatkan gigi geligi yang rapi.
“Aku penasaran, seorang tampan sepertimu tidak punya kekasih? Kini malah menghabiskan waktu dengan emak-emak dan bocah kecil seperti kami.”
“Duh, bilang aja mau nanya? Aku punya pacar atau belum?”
“Eh, siapa, nggak, aku nggak bilang gitu, ya ... kamunya aja ke-ge-er-an.”
Kania melemparkan lagi sebatang rumput kering. Kali ini Barry tidak mau tinggal diam, ia balas dengan melempar beberapa daun kering, membuat beberapa tersangkut di rambut Kania. Mereka terus bercanda hingga Nadin datang. Mereka melanjutkan dengan makan siang bersama. Orang lain yang melihat mungkin akan menyangka mereka adalah sebuah keluarga kecil yang bahagia.
***
Damar membisu di depan Marlo yang sedang jengkel. Seorang pelayan kafe mendekat untuk mengantar pesanan, segelas lemon squash dan sebotol minuman keras dosis rendah.
“Kamu tahu ada hubungan Barry dengan Kania?”
Damar terlihat bingung sebelum menjawab. Apakah tampang Marlo yang kesal ini karena Kania?
“Emang kenapa, Bos?”
“Sudah bilang jangan panggil, Bos!”
“Ya, maaf, Oom Marlo,”
“Kamu, kan, sering ngobrol sama Kania. Dia pernah cerita tentang Barry?”
Damar menatap lekat sang paman, kini ia yakin kerabatnya ini memang sedang jatuh hati pada Kania.
“Setahu saya, dulu, waktu di kebun, Kania pernah bilang, kalau Barry dan dirinya tidak ada hubungan spesial. Dan saya percaya, sih.”
Damar menunggu reaksi lelaki berbaju kasual di depannya. Ia meneguk segelas lemon squash yang terhidang di meja. Pelayan kembali datang membawa dua piring penuh aneka seafood. Tadi saat Marlo menelepon dirinya sedang bersiap untuk makan siang. Ia terpaksa meninggalkan makan siangnya demi sang paman yang sedang risau.
Kania meraih sebuah mug polos di nakas. Ia hendak membuat secangkir kopi untuk dibawa ke ruang meeting yang sementara ini menjadi ruang kerja pribadinya di lantai tiga puluh delapan. Dua hari ini ia memakai ruang meeting yang berada tepat di sebelah ruang Barry untuk menyelesaikan pembuatan buku SOP yang menjadi project-nya bersama sang CEO. Project tersebut digagas olehnya seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan di korporasi mereka. Dengan adanya buku panduan mengenai bisnis perusahaan mereka tersebut, diharapkan setiap ada regenerasi kepemimpinan akan mudah dalam beradaptasi, otomatis akan membuat efektivitas kerja meningkat. Selanjutnya buku panduan tersebut akan di-update setiap kali ada perkembangan bisnis mereka. Barry menunjuk Kania sebagai penanggung jawab karena di antara seluruh pegawai, hanya Kani
Lalu lintas di pusat kota tidak dapat diprediksi. Sudah satu jam Kania berada di mobil Marlo yang terjebak macet di Bundaran HI, tak bergerak. Kania mencoba menghabiskan waktu dengan berselancar di dunia maya membaca berita hari ini dan menonton video-video viral. Semuanya tampak sudah dilakukan kecuali mengobrol dengan teman seperjalanannya yang sekarang tampak seperti tukang gerutu. Merutuki kemacetaan yang sudah menjadi langganan di Ibu Kota. Ada pesan di notifikasi hijau dari Barry, menanyakan dirinya. Kania menjawab kalau ia pulang dengan taksi daring. Ia tidak mau Barry kepikiran kalau dirinya ternyata pulang bersama Marlo. Barry pasti akan mencemaskannya. Lelaki itu tahu dirinya tidak pernah bisa akur dengan Marlo. Melihat kemacetan yang semakin parah Kania pun menghubungi Bi Darni, memberitahu bahwa mungkin dirinya akan
"Hari ini Pak Marlo enggak ke kantor, lu bisa taruh berkasnya di meja aja. "Kania mendengar Angelica--seketaris Marlo--berteriak dari ruangan sebelah. Seorang staff dari lantai bawah sedang membawa berkas ke meja wanita yang suaranya melengking tinggi itu.Satu pikiran terbesit di benak Kania. Jangan-jangan Pak Marlo sakit gara-gara kehujanan kemarin? Kania mengernyit.Mukanya tiba-tiba memerah mengingat kejadian malam tadi. Bagaimana mungkin ia tak berbuat apa pun sementara lelaki arogan itu berhasil menguasai tubuhnya. Semalaman ia tidak bisa tidur merutuki dirinya sendiri. Untunglah seisi rumah sudah terlelap dalam tidur sehingga tidak ada yang sempat melihat aksi Marlo di beranda rumahnya. Aksi Marlo? Tentu saja, kalau saja otaknya yang beku saat itu mau diajak bekerja sama, ia tidak akan menyesal seperti pagi ini."Kan, elu masih bertahan ngantor di sini?” Suara Divia membuyarkan lamunannya. “Sepi begini mana
Barry melirik ke arah Kania yang sedang asyik menyantap steak sapi. Tangan kiri wanita itu menahan steak dengan grapu, sementara tangan kanannya memotong daging gemuk itu menggunakan pisau. Potongan demi potongan daging masuk ke dalam mulut wanita itu dengan sempurna. Barry tersenyum, wanita di hadapannya bukan wanita yang terlalu menjaga image. Wanita itu menghabiskan potongan-potongan steak dengan lahap tanpa khawatir akan diet ketat. Di suatu masa Barry pernah berjumpa dengan seorang wanita di belahan bumi lain, wanita yang begitu mirip dengan Kania. Bukan secara fisik karena tentu saja mereka beda kebangsaan. Cara Kania makan, lembut tutur kata, dan cara bergaul mereka sama. Keduanya memiliki kecantikan khas yang berbeda. Namun, dengan attitude yang sama. Dulu ia pernah sangat memuja wanita itu. Kini dengan menatap Kania seolah-olah Barry kembali ke masa lalu, mengingat betapa sering
Wanita dengan gaun warna beige itu turun dari mobil mewah. Wajah cantiknya menjadi daya tarik tersendiri. Usia yang tidak lagi muda sepertinya tidak berpengaruh pada keelokan wajah yang tak tertandingi oleh para kaum muda. Ia menyadari betul pesona dirinya bisa menaklukan pria mana pun di dunia, kecuali satu orang. Pria yang begitu dicintai olehnya, yang membiarkan kisah asmara bertepuk sebelah tangan. "Kita langsung ke lantai atas, Nyonya?" Sekretaris pribadi wanita itu, seorang pria dengan setelan rapi, menenteng tas kecil di satu tangan dan ponsel di tangan yang lain, menyejajari langkah sang wanita cantik. "Tentu saja langsung ke atas, kamu sudah hubungi putraku?" "Sudah saya coba berkali-kali, tidak ada respons." Wanita itu terus melangkah menuju lift dengan anggun. Kaki beralas sepatu hak tinggi berayun dengan langkah anggun dan molek. Puluhan mata menatapnya dengan terpukau. Hal yang biasa ia terim
“Saya cuma minta kamu berhati-hati dengan Clarissa. Jangan samakan dia dengan dirimu. Clarissa tidak punya ketulusan.” Barry mengatakan hal itu dengan serius Kania yang berada sejengkal di depannya tetap bergeming mengawasi bibir Marlo yang terus bergerak memperingatkan tentang Clarissa. “Bapak yang mungkin selama ini salah menilai orang.” Kania mulai rileks bersandar di dinding marmer kamar kecil. Ia melipat kedua lengannya di depan, seakan-akan menjadi pembatas bagi dirinya dan Marlo. “Bukankah dulu Bapak jijik sama saya, meragukan moral saya, dan mengangap saya liar? Mungkin Bapak perlu mengevaluasi lagi cara Bapak menilai orang lain. Mungkin ada yang salah?” Gotcha! Kania menembak te
Restoran Red Diamond Barry menarik sebuah kursi, mempersilakan wanita cantik yang baru datang untuk duduk. Malam itu Jeslyn tampil sangat menawan dengan gaun cantik berwarna silver, membungkus ketat tubuhnya yang sempurna. Ia mendekat mencium pipi kiri dan kanan Barry. "Lama tidak bertemu, Beib," bisiknya. Barry hanya tersenyum. Setelah memastikan Jeslyn duduk dengan nyaman, Barry kembali duduk di kursinya. "Senang bertemu kembali, Jes. Kamu cantik sekali malam ini." Jeslyn sudah terbiasa menerima pujian, tidak ada rasa tersipu malu. "Well, Mama sudah bercerita mengenai rencana perjodohan kita. Bagaimana menurutmu?" Gadis berambut cokelat itu menatap lekat wajah Barry, sementara yang ada di benak Barry hanya Savitri. Ancaman ibunya mengenai Savitri tidak bisa dianggap remeh. "Kita coba ...," jawab Barry tak mampu memberi kepastian. Seorang pelayan da
Berto membuka pintu depan begitu mendengar suara mobil Marlo memasuki halaman. Akhir minggu, seperti biasa, tuannya akan pulang ke rumah ini. Rumah besar peninggalan Tuan Erlangga Hadinegoro yang memang dibuat untuk adik tercinta. Lokasinya yang cukup jauh di pinggir kota dengan suasana perbukitan membuat rumah itu cukup jarang disinggahi. Di hari-hari kerja Tuan Marlo lebih memilih tinggal di apartemen tak jauh dari kantor. “Selamat Malam, Berto.” Marlo masuk dengan wajah berseri-seri. “Selamat malam, Tuan Marlo, malam yang indah sepertinya.” Marlo menepuk-nepuk bahu pria kurus itu. “Yah, begitulah.” “Mau saya siapkan makan malam sekarang, Tuan?” &nb
Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat
Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor
Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so
Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.
Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya
"Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."
Divia baru saja selesai melakukan aktivitas rutin di akhir minggu. Pagi tadi ia sudah berangkat ke fitness center, melakukan yoga sekitar sejam lamanya. Kini setelah mandi dan sedikit bersolek di ruang ganti fitness center, ia menjejakkan kakinya ke lorong mal yang masih sepi. Pusat kebugaran favoritnya itu terletak di dalam mal. Jam di dinding masih menunjuk pukul 09.00 ketika ia keluar dari pusat kebugaran itu.Mode getar dari ponsel pintarnya berfungsi, sambil terus berjalan menyusuri lorong, Divia meraih benda pipih itu dari kantong tas fitness-nya. Bibir wanita itu melengkung ke atas saat melihat nama Damar muncul di layar."Halo, Mar?" sapanya."Vi, bisa ikut aku, nggak?" Lelaki di ujung telepon rupanya tidak suka basa-basi."Ha? Ikut ke mana? Aku baru aja selesai yoga di Gym, sebentar lagi nyampe kos-kosan." Divia masih mengayunkan langkah dengan pelan."Okelah, setengah jam l
"Mama!" Gadis kecil itu berteriak, berlari ke arah Kania. Sedetik kemudian Kania limbung karena tubuh kecil nan energik itu menghantam bagian bawah tubuhnya.Gadis kecil itu terkikik girang, membuat Kania langsung menangkap dan menggendongnya di lengan."Aduuuh, Sayang, kebiasaan!" Dengan gemas Kania menowel hidung mungil Nadin."Hei, Cantik, selamat yaa, pertunjukanmu berjalan lancar. Kamu luar biasa sekali!" Marlo memekik tertahan.Nadin tersenyum semringah, merentangkan tangan kepada lelaki di sebelah Kania itu. Marlo buru-buru meraihnya, memindahkan Nadin dari lengan Kania ke lengannya sendiri."Makasih, Om," ucap Nadin dengan riang. Gadis kecil itu memeluk bahu Marlo dengan kencang.Dengan ekspresi bangga, Marlo menatap Kania. Senyumnya lebar, matanya berbinar. Kania sangat suka melihat ekspresi Marlo seperti ini. Batinnya terus berteriak bahwa Marlo adalah tipe seora
Kania mememui Prasetya di sebuah kafe di pusat kota."Sehat, Pak?" Wanita itu duduk di kursi di seberang lelaki berambut kelabu."Alhamdulilah," jawab lelaki itu mantap."Maaf, agak lama menunggu."*Saya juga baru sampai. Kamu gimana, Kan? Sehat?""Puji Tuhan, Pak."Seorang pelayan membawa baki berisi satu cangkir kopi pekat untuk Prasetya. Lelaki itu mengangguk menunjukkan Terima kasih, sebelum sang pelayan undur diri."Kania sudah pesan?""Sudah, tadi di konter depan, sebentar lagi mungkin datang.""Saya senang kalau kamu sehat, Kan. Saya lihat kamu juga malah lebih fresh sekarang."Kania tersenyum merona. Pak Prasetya belum mengetahui sejauh mana hubungan dirinya dengan Marlo."Pak, saya dengar Bapak mau resign dari kantor. Apa betul?"Lelaki itu menatap Kania dari balik kepulan uap panas ko