Share

Sayap Patah Kania

last update Last Updated: 2021-03-19 09:40:23

            Arloji di pergelangan tangan kanan Kania menunjuk pukul 19.00. Wanita muda itu menghembuskan napas lega. Ia menepati janjinya untuk pulang lebih awal hari ini. Sopir kantor telah mengantar dirinya sampai di depan rumah. Beberapa detik setelah menutup pintu pagar yang terbuat dari besi bercat perunggu, suara tinggi melengking menyambutnya, disusul tubrukan ke arah lutut yang seketika hampir oleng.

            “Mamaaa!”

            Kania berjongkok, kini ia sejajar dengan gadis kecil berambut ikal yang tadi menubruknya.

            “Hai, sayangkuu!” Kania memeluk erat gadis berponi itu.

            “Mama temani Nadin belajar, ya?” pintanya sambil bergelayut manja di lengan Kania.

            “Siap, Bos! Mama ganti baju dulu, ya!”

            Gadis kecil itu meloncat-loncat kegirangan di samping Kania. Mereka berdua berjalan bergandengan masuk ke rumah.

            “Mama, tadi Nadin pintar di sekolah. Miss Patricia kasih Nadin pin juara!” serunya sambil berjalan menandak-nandak.

            “Oh ya? Wah, hebat sekali anak Mama. Juara apa itu, Nak?” Kania membopong si gadis yang berceloteh riang.

            “Juara melipat taplak meja!” jeritnya bangga.

            Kania memperlihatkan ekspresi kagum, membuat bocah lima tahun itu semakin bangga. “Waw, keren! Anak Mama juara!”

            Kania menciumi gadis kecilnya dengan gemas. Seharian tidak bertemu dan menghirup aroma manis bocah itu membuatnya merasa rindu.

***

            Kania menguap kesekian kalinya. Ia masih bertahan di depan layar laptop saat jam dinding menunjuk pukul 23.30. Setelah menemani Nadin--putrinya--belajar, ia harus kembali ke dunianya, berjibaku dengan data dan laporan.

            Kini ia duduk tegak di ruang kerja mungil miliknya. Piyama kedodoran yang ia pakai sungguh nyaman. Sebenarnya akan terasa lebih nyaman apabila bisa bergelung di kasur empuk bersama Nadin. Namun, untuk sekarang, ia harus menahan hasrat tersebut.

            “Ini kopinya, Non.” Bi Darni meletakkan secangkir kopi panas di meja. Uapnya mengepul di udara mengirim aroma wangi ke penciuman Kania.

            “Besok pagi jangan lupa diminum vitaminnya, kayaknya tadi pagi lupa diminum. Non kan harus jaga kesehatan! Kasihan Nadin kalau mamanya sakit, lho!” Bi Darni mulai memberikan ceramah.

            “Iyaaa, makasih Bibi sayang, besok pagi janji enggak lupa lagi.” Kania mengangkat dua jarinya.

            Wanita paruh baya itu tersenyum, ia selalu khawatir dengan bocah momongannya yang sekarang sudah tumbuh dewasa. Kini gadis yang diasuhnya sejak puluhan tahun lalu bahkan sudah melahirkan bocah lucu juga sama seperti Kania waktu kecil. Bi Darni sangat menyayangi Kania dan Nadin. Mereka sudah seperti anak dan cucunya sendiri.

            “Ya sudah, Bibi beres-beres dulu, ya. Non jangan terlalu malam kerjanya!”

            Kania menjawab Bibi Darni dengan cengiran di mulutnya. Wanita paruh baya itu segera keluar dari ruangan kerja, ditutupnya pintu dengan pelan-pelan, takut membangunkan si kecil Nadin yang sudah pulas di kamar sebelah.

            Kania kembali fokus ke layar sebelas inci yang menyala di hadapannya. Deretan angka, grafik, dan gambar bermunculan saling sambung.

            Mengingat data yang diminta oleh sang CEO harus segera dilaporkan besok pagi, ia pun rela menyita waktu tidurnya.

            Sekilas Kania mengingat percakapan dengan sang CEO, sesaat setelah lelaki tampan itu mendatangi dirinya di ruang rapat. Kania curiga lelaki itu memang sengaja kembali ke ruang rapat untuk menemuinya.

            “Saya berencana untuk melakukan kunjungan dinas ke lokasi perkebunan kita.” Lelaki itu menatap lurus kepada Kania.

            “Saya mau kamu temani saya, Ya! Saya perlu ringkasan mengenai seluruh seluk beluk bisnis perkebunan kita.”

            Kania memandang bibir lelaki itu yang terus bergerak dengan kagum. Belum pernah selama ini ia menatap bibir seseorang kala bercakap-cakap. Namun, bibir lelaki ini sungguh ranum dan sangat provokatif.

            “Bagaimana? Kamu bisa?”

            “Kania,” tegur Barry, melihat lawan bicaranya lebih seperti melamun.

            Kania nyaris terlonjak karena kaget.

            “Biasanya pimpinan akan ditemani oleh manajer operasional di wilayah kerja masing-masing, Pak. Jangan khawatir, mereka pasti akan menjawab setiap pertanyaan teknis yang Bapak ajukan,” jawab Kania, ia risih dan malu begitu menyadari dirinya sempat terbengong melihat wajah tampan sang atasan.

            Jari-jemari yang liat itu kini memegang ujung dagu Kania, mengangkatnya pelan, hingga kepala wanita itu mendongak. Kania kini tak lagi bisa menghindari tatapan sang lelaki mata elang.

            “Saya tidak mau! Saya mau kamu yang dampingin saya!” Nada suara Barry seperti mengancam walaupun dilontarkan dengan suara pelan.

            Bersirobok langsung dengan wajah tampan yang mulus tak bercacat itu membuat jantungnya berdebar-debar.

Kania menangkap sifat arogan sang atasan, lalu tiba-tiba teringat pesan Pak Prasetya sebelum rapat. “Ba-baik, Pak,” ujarnya gugup.

Sebelumnya, tidak pernah wanita muda yang meraih posisi manager di usia dua puluh empat tahun itu merasa gugup dihadapan atasan, bahkan di hadapan sang Komisari Marlo sekalipun ia tak segugup ini.

            Kania menyambar kopi yang disiapkan Bi Darni di sebelah kanan laptopnya. Memasukkan beberapa teguk cairan hitam ke dalam mulutnya, berharap bisa membantu mengusir kantuk.

Ia harus menyusun ulang semua SOP dan standar operasional yang akan dilaporkan kepada Barry besok pagi. Lusa kemungkinan ia akan berangkat bersama atasannya itu ke ujung barat Pulau Sumatera, lokasi perkebunan berada. Perjalanan dinas ke lokasi kebun akan memakan waktu lama. Selain itu, lokasi kebun yang terpencil mungkin tidak bisa diakses oleh gawai.

            Kania membayangkan harus meninggalkan Nadin selama beberapa hari. Rasa sesak memenuhi dada. Naluri keibuan yang selalu muncul di benak wanita dua puluh delapan tahun itu kembali bergelora. Namun, ia menguatkan diri. Kania sudah sering mengalami hal ini. Kali ini ia pasti bisa.

            Kania meraih gelar sarjana di bidang perkebunan pada usia dua puluh satu tahun. Dua tahun kemudian ia meraih gelar master, dari kuliah sampingan yang diikuti selama bekerja di perusahaan yang membesarkan namanya. Prestasinya di bidang pekerjaan sudah tidak diragukan lagi, terobosan-terobosan baru yang ia terapkan membawa keuntungan yang berlipat bagi perusahaan. Tak heran Pak Prasetya menjulukinya si Anak Emas.

            Sebagai seorang Ibu, sesungguhnya dirinya ingin selalu mendampingi putri tercinta yang kini menginjak usia lima tahun. Namun, apa daya konsekuensi sebagai orang tua tunggal mengharuskan ia sering meninggalkan Nadin. Ia beryukur Bi Darni, wanita paruh baya yang dulu merawatnya sejak kecil bersedia selalu menjaga Nadin untuknya. Siapa lagi yang bisa ia andalkan? Dirinya hanya seorang diri di dunia ini.

            Membesarkan sendiri seorang anak di usia yang relatif muda tidaklah gampang. Keringat dan air mata telah tumpah. Hari-hari penuh kekhawatiran dan putus asa telah dilalui. Kini, masa-masa gelap itu telah berlalu. Kania yang sekarang, siap terbang tinggi walaupun dengan sayap patah. Ia telah mengubur masa lalunya dalam-dalam dan menunjukkan kepada dunia bahwa ia dan putrinya siap menyambut masa depan cerah.    

Related chapters

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Marlo dan Damar

    “Mama sudah bisa melihat. Kamu tertarik dengan Kania, benar?” Clarissa menyesap secangkir teh dalam cangkir keramik bermotif klasik. Teh Earl Grey kesukaannya itu disajikan dengan racikan yang pas. Barry membawakan untuknya beberapa waktu yang lalu dari London. Wanita paruh baya itu tak juga mendapat respons dari pemuda tampan, putra kesayangannya, aset besarnya. Barry masih asyik dengan gawai, sesekali tersenyum menanggapi ocehan beberapa sahabat di media sosial. Ibu jarinya terus berputar di layar ponsel pintar. “Barry, Sayang, kamu dengar Mama?”Barry mendongak, memandang sang ibu yang tersenyum hangat padanya. Ia meletakkan ponsel pintarnya di meja re

    Last Updated : 2021-03-20
  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Dinas Luar

    Kania menunggu dengan sabar di loket pembelian kereta bandara yang akan membawanya dari Bandara Kualanamu ke kota Medan. Ia telah menempuh dua jam perjalanan udara dari Jakarta sampai Kualanamu, bandara internasional, gerbang udara untuk perjalanan ke daerah Sumatera Utara. Hari ini adalah jadwal perjalanan dinasnya bersama sang atasan, Barry. Sejak berangkat dari bandara Soekarno-Hatta wanita itu belum berjumpa langsung dengan Barry. Ia sempat melihat mealui jendela kabin, CEO-nya itu berlari kecil masuk ke pesawat, langsung menuju kursi kelas bisnis. Sebelumnya, sang CEO sudah mengirimkan pesan supaya mereka bertemu di bandara Kualanamu, Kania diminta untuk membeli tiket kereta api bandara terlebih dahulu untuk mereka berdua. Sesuai perintah atasan, kini Kania menanti di dekat loket bandara terb

    Last Updated : 2021-03-22
  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Sang Pilot

    Kania menghentakkan sepatu boot kulitnya ke tanah berpasir. Matahari berada di titik kulminasi, membuat hawa panas menyengat semakin terasa. Terlebih di antara pohon sawit muda yang tingginya kira-kira baru dua meter. Kania menyusuri jalan setapak di sela-sela pokok tanaman sawit. Barry dan dua orang staff kebun mengekor di belakangnya. Sejak pagi ia dan Barry sudah berangkat menuju area perkebunan, menjelajah ke lokasi blok pepohonan sawit dan infrastruktur yang mendukungnya. Kania sibuk menjelaskan kepada atasannya secara detail proses-proses pemeliharaan tanaman sawit dan kendala-kendala yang dihadapi oleh para pekerja. Sesuai catatan Pak Prasetya tempo hari, Barry memang cukup cerdas, menangkap semua hal baru dengan cepat. “Kita bisa ke lokasi pemu

    Last Updated : 2021-03-28
  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Teman Kecil Yang Tampan

    Hampir seminggu Kania dan rombongan berada di kebun. Rutinitas dimulai tiap pagi. Barry yang terbiasa bangun siang di rumah, kini mulai terbiasa bangun subuh. Mereka berangkat saat matahari belum muncul, masuk ke pos-pos di kebun, mengamati para pekerja yang berkumpul untuk melakukan briefing pagi sebelum mulai pekerjaan. Setelah itu mereka akan kembali ke rumah singgah untuk mandi dan sarapan, lalu melanjutkan aktivitas kunjungan ke kebun, meninjau pabrik dan berbagai sarana dan prasarana pendukung. Barry dan Marlo seperti melakukan gencatan senjata. Terpaksa tinggal dalam satu atap, mereka hanya bertemu saat sarapan dan makan malam. Itu pun dengan suasana yang kurang mengenakkan. Oleh karena itu Barry sering mengajak Kania pergi makan malam di luar kebun. Padahal membutuhkan waktu paling cepat satu jam untuk mencapai kota terdekat.&

    Last Updated : 2021-03-28
  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Lifted

    Lima hari telah berlalu sejak Kania kembali dari dinas luar. Rutinitas harian kembali mengelilinginya. Kini ia masih membeku di depan layar laptop, berputar dengan data dan serangkaian gambar yang perlu ia susun menjadi laporan. “Nggak pulang?” Barry dengan senyum cerah menyapa staff idolanya. “Belum selesai, Pak.” “Saya ada meeting dengan perusahaan batubara malam ini, nggak bisa nunguin kamu untuk pulang bareng,” katanya. Sejak pulang dari dinas luar, Barry tampak semakin mendekati Kania. Ia bahkan memaksa mengantar Kania pulang tiap hari. Penolakan Kania rupanya tidak berarti bagi Barry. “Saya bisa pulang sendiri, Pak.” &n

    Last Updated : 2021-03-28
  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Cemburu

    Semenjak kejadian di lift, terjadi perang batin dalam hati Marlo. Ada rasa baru bergejolak di hatinya yang berusaha ia lawan. Sebuah rasa aneh yang muncul untuk Kania selalu menyeruak. Bayangan Kania sesekali menyelinap di benaknya. Mereka sempat berpapasan beberapa kali di kantor semenjak terakhir ia mengantar pulang wanita itu. Kania seolah-olah tidak merasa terjadi sesuatu di antara mereka, bahkan cenderung dingin terhadapnya. Hal itu membuat Marlo kembali membangun dinding-dinding pertahanan diri. Ia tidak mau sampai terlena dengan pesona Kania, apalagi harus bertekuk lutut kepada wanita itu. Marlo kini sedang menuju ruang rapat utama, ketika melihat dari sudut matanya, Kania dan Barry sedang berdiskusi di ruangan Barry. Ia berhenti sebentar di depan ruanga

    Last Updated : 2021-04-13
  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Dia dan Kamu

    Marlo melihat arloji di pergelangannya, waktu menunjukkan pukul 19.00. Ia masih mengamati wanita di lobby kantor. Wanita berkemeja putih dengan bawahan rok motif kotak-kotak jingga itu sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Senyum yang menawan dapat dipindai langsung oleh Marlo walaupun mereka berjarak setidaknya lima belas meter. Marlo sengaja tidak mendekat, memilih bersembunyi di balik bayangan pot tanaman tinggi. Lima menit berselang, seorang laki-laki datang mendekati wanita itu. Marlo bisa mendengar jelas percakapan mereka. “Maaf, ya, lama menunggu?” “Nggak papa, barusan terima telepon dari anakku,” jawa

    Last Updated : 2021-04-15
  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Persekongkolan

    Marlo melangkahkan kaki dengan ragu. Sebenarnya ia enggan sekali kembali ke rumah besar ini, walaupun ia sangat berhak berada di tempat tersebut. Jerih payah sang kakaklah yang membuat rumah megah bak istana itu berdiri. Banyak tahun telah ia lalui di rumah ini, banyak kenangan indah sekaligus sangat buruk berada di rumah ini. Marlo melepas kaca mata hitam, lalu memperhatikan halaman luas di sekelilingnya. Dilihat sekilas tak jauh berbeda dari terakhir kali ia berada di sini belasan tahun lalu. Mungkin karena beberapa pegawai rumah tangga yang sama masih berada di sini, kecuali Berto yang memilih mengikutinya. Memorinya kembali pada kejadian belasan tahun lalu, yang membuatnya pergi dari sini. Peringatan seratus h

    Last Updated : 2021-04-17

Latest chapter

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Lumpuh

    Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Setia

    Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Memory

    Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Restu

    Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Tentang Clarissa

    Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Anjani

    "Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Gejolak Hati Divia

    Divia baru saja selesai melakukan aktivitas rutin di akhir minggu. Pagi tadi ia sudah berangkat ke fitness center, melakukan yoga sekitar sejam lamanya. Kini setelah mandi dan sedikit bersolek di ruang ganti fitness center, ia menjejakkan kakinya ke lorong mal yang masih sepi. Pusat kebugaran favoritnya itu terletak di dalam mal. Jam di dinding masih menunjuk pukul 09.00 ketika ia keluar dari pusat kebugaran itu.Mode getar dari ponsel pintarnya berfungsi, sambil terus berjalan menyusuri lorong, Divia meraih benda pipih itu dari kantong tas fitness-nya. Bibir wanita itu melengkung ke atas saat melihat nama Damar muncul di layar."Halo, Mar?" sapanya."Vi, bisa ikut aku, nggak?" Lelaki di ujung telepon rupanya tidak suka basa-basi."Ha? Ikut ke mana? Aku baru aja selesai yoga di Gym, sebentar lagi nyampe kos-kosan." Divia masih mengayunkan langkah dengan pelan."Okelah, setengah jam l

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Tak Bisa Jauh

    "Mama!" Gadis kecil itu berteriak, berlari ke arah Kania. Sedetik kemudian Kania limbung karena tubuh kecil nan energik itu menghantam bagian bawah tubuhnya.Gadis kecil itu terkikik girang, membuat Kania langsung menangkap dan menggendongnya di lengan."Aduuuh, Sayang, kebiasaan!" Dengan gemas Kania menowel hidung mungil Nadin."Hei, Cantik, selamat yaa, pertunjukanmu berjalan lancar. Kamu luar biasa sekali!" Marlo memekik tertahan.Nadin tersenyum semringah, merentangkan tangan kepada lelaki di sebelah Kania itu. Marlo buru-buru meraihnya, memindahkan Nadin dari lengan Kania ke lengannya sendiri."Makasih, Om," ucap Nadin dengan riang. Gadis kecil itu memeluk bahu Marlo dengan kencang.Dengan ekspresi bangga, Marlo menatap Kania. Senyumnya lebar, matanya berbinar. Kania sangat suka melihat ekspresi Marlo seperti ini. Batinnya terus berteriak bahwa Marlo adalah tipe seora

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Pertunjukan

    Kania mememui Prasetya di sebuah kafe di pusat kota."Sehat, Pak?" Wanita itu duduk di kursi di seberang lelaki berambut kelabu."Alhamdulilah," jawab lelaki itu mantap."Maaf, agak lama menunggu."*Saya juga baru sampai. Kamu gimana, Kan? Sehat?""Puji Tuhan, Pak."Seorang pelayan membawa baki berisi satu cangkir kopi pekat untuk Prasetya. Lelaki itu mengangguk menunjukkan Terima kasih, sebelum sang pelayan undur diri."Kania sudah pesan?""Sudah, tadi di konter depan, sebentar lagi mungkin datang.""Saya senang kalau kamu sehat, Kan. Saya lihat kamu juga malah lebih fresh sekarang."Kania tersenyum merona. Pak Prasetya belum mengetahui sejauh mana hubungan dirinya dengan Marlo."Pak, saya dengar Bapak mau resign dari kantor. Apa betul?"Lelaki itu menatap Kania dari balik kepulan uap panas ko

DMCA.com Protection Status