Erlangga Hadinegoro, milyader gagah perkasa itu jatuh berlutut di lantai. Marlo menyaksikan sendiri, betapa kakak kandungnya yang terkenal gagah perkasa dalam dunia bisnis kini seperti hilang gelabah. Kabar yang baru saja didengar telah memporak porandakan hati dan mental lelaki empat puluh tahun itu. Anjani Hadinegoro, istri yang sangat dikasihinya, dikabarkan meninggal dunia dalam kecelakaan maut. Mobil yang ditumpangi perempuan tiga puluh tahun itu jatuh ke jurang dan terbakar habis. Lebih mengenaskan lagi, Anjani sedang mengandung anak pertamanya, buah hati yang telah dinanti hampir delapan tahun lamanya oleh pasangan milyuner itu.
Dengan tangan gemetar, Marlo mencoba menyentuh bahu kakaknya. Ia sendiri juga merasa terpukul. Anjani sudah seperti ibu baginya.
"Bang ...." Marlo berusaha meraih sang kakak.
Bahu Erlangga terguncang hebat. Tiba-tiba mata lelaki itu terlihat nyalang. Ia memandang setiap orang di sekitarnya. Semua orang kepercayaan Erlangga berkumpul di ruang kerja lelaki itu.
"Arifin!" teriaknya.
Seseorang yang dipanggil namanya itu maju ke hadapan sang atasan.
"Kamu cari di sekitar lokasi kecelakaan! istriku pasti masih hidup! Bawa semua anak buahmu! Cari sampai ketemu!" teriak Erlangga. Ia masih belum mau menerima kenyataan bahwa maut telah merenggut wanita yang sangat dicintainya.
Arifin, salah satu tangan kanan Erlangga yang sering berhubungan dengan kepolisian segera beranjak mematuhi perintah atasannya.
***
Rumah duka di kawasan pusat Ibu Kota begitu ramai oleh pelayat. Puluhan bunga papan berderet seolah menjadi gerbang sembilu bagi keluarga yang ditinggalkan. Siapa yang tak kenal dengan Erlangga Hadinegoro? Pemilik rangkaian bisnis yang melaju pesat di tahun 90-an itu adalah orang yang cukup dermawan. tak heran apabila rumah duka, persinggahan terakhir sang istri tercinta dipenuhi oleh ratusan orang dari berbagai kalangan.
Marlo berdiri di sisi peti mati sang kakak ipar yang tertutup rapat. Hasil pencarian di lokasi kejadian beberapa waktu yang lalu nihil, tidak ada jejak bahwa Anjani berhasil keluar dari mobil sebelum terbakar. Di dalam mobil yang terbakar ditemukan dua sosok mayat lelaki dan perempuan yang sudah hancur dan tidak dapat teridentifikasi. Dua jenasah tersebut kemudian ditetapkan sebagai almarhumah Nyonya Anjani dan sopirnya.
Air mata Marlo tumpah tak terbendung mengingat sosok Anjani. Ia dan Erlangga yatim piatu sejak kecil. Mereka tumbuh besar tanpa sosok seorang ibu, membuat ia dan kakaknya menjadi orang yang cukup kaku. Namun, semenjak kehadiran Anjani, kehidupan mereka berubah hangat. Anjani merawat Marlo seperti anaknya sendiri. Ia pun teringat kenangan kakak iparnya yang tak pernah lupa mengantar jemput dirinya ke sekolah. Anjani yang selalu membela dirinya apabila kena marah sang kakak. Anjani yang selalu membelikan baju-baju bagi Marlo yang sangat buta fashion.
Kini melihat Erlangga yang duduk tak berdaya di samping peti mati putih membuat batinnya makin tersayat-sayat.
"Saya enggak mau tahu, ya, semua bunga harus di taruh sebelah sini!" Suara seorang wanita membuat Marlo menoleh. Remaja tujuh belas tahun itu melihat Clarissa sedang membentak seorang pelayan. Ia sebenarnya ingin memaki wanita itu, berani-beraninya ia membuat keributan di masa berkabung.
Wanita cantik itu melirik Marlo dengan kesal, sudah lama ia tahu bahwa saudara iparnya itu begitu membencinya. Ia pun berlalu sedikit menjauh dari jangkauan bocah tengil, adik satu-satunya dari Erlangga sang suami.
Marlo mengamati kepergian Clarissa, suara hak sepatu wanita itu bak irama keriangan di sela sela duka keluarga Hadinegoro. Ia sangat menyesalkan keputusan sang kakak lima tahun yang lalu menikahi wanita itu. Ketika itu ia masih terlalu kecil untuk memahami bahwa kakaknya menjadi sasaran empuk setiap wanita murahan yang mencoba menjebak pria tampan dan kaya raya. Pernikahan Erlangga dengan Anjani belum juga dikaruniai momongan setelah menginjak tahun ketiga. Kehadiran Clarissa yang mengaku sedang mengandung bayi Erlangga menjadi duri dalam pernikahan mereka. Namun, kebaikan hati Anjani memaksa Erlangga untuk menerima Clarissa sebagai istri kedua, walaupun Erlangga tak pernah sedikitpun mencintai Clarissa. Anjani merawat anak Clarissa seolah-olah seperti anak kandungnya sendiri.
Kini lima tahun sudah berlalu sejak duri pernikahan Erlangga. Saat Anjani dinyatakan mengandung pada umur pernikahan delapan tahun, justru wanita itu menemui maut.
***
Marlo baru saja selesai membasuh muka di wastafel kamar mandi dekat dapur. Matanya masih merah karena terus menerus menangis di pemakaman Anjani. Semenjak siang, sepulang dari pemakaman, ia mengurung diri di ruang perpustakaan di lantai bawah. Berharap dengan menenggelamkan diri di antara tumpukan buku rasa sakit di hatinya segera hilang. Sebelum naik ke kamar, ia mengambil segelas air putih, menghabiskannya dalam beberapa tegukan.
"Saya mau terima beres, ya! Saya nggak mau dia muncul lagi di sini!" Suara Clarissa terdengar dari arah lorong menuju gudang. Sepertinya wanita itu berbicara melalui telepon yang terletak di lorong dekat gudang.
Marlo menahan kakinya yang hendak melangkah ke tangga, lalu perlahan mengendap-endap mendekati suara Clarissa berasal.
"Lima puluh juta apa masih kurang, heh? Kamu mau memeras saya?" Suara Clarissa terdengar gusar.
Marlo curiga, dengan siapa wanita itu berbicara. Ia semakin mendekat. Namun, tangannya tak sengaja menyenggol sebuah boks berisi peralatan makan dari alumunium di atas meja. Suara alat makan jatuh berkelontang di lantai membuat Clarissa tersentak dan menoleh ke arah Marlo. Wanita itu buru-buru menutup telepon.
"Sedang apa kamu di sini? Mencoba memata-matai aku?" tanya wanita berambut ikal sebahu itu.
"Sedang berbicara dengan siapa kamu?" Marlo menjawab dengan pertanyaan balik.
"Anak kecil tidak usah ikut-ikutan urusan orang dewasa!" sanggah Clarissa.
Marlo menatap tajam ke arah wanita bergaun hitam itu. Tangan wanita itu sudah mengembalikan gagang telepon ke tempat semula. Entah kenapa firasat Marlo selalu buruk apabila menyangkut Clarissa. Wanita itu memang sangat cantik. Namun, Marlo cukup bisa mengetahui jika kecantikan Clarissa tidak sebanding dengan hatinya. Anjani terlalu baik hati atau mungkin terlalu bodoh telah menerima Clarissa masuk ke dalam rumahnya.
"Kalau sampai aku menemukan bukti kamu terlibat dalam kecelakaan Kak Anjani, aku bersumpah tidak akan melepaskanmu sampai ujung neraka sekalipun!" ancam Marlo.
Clarissa menatap adik iparnya dengan sengit. Ia menghembuskan napas lega saat Marlo akhirnya pergi menjauh.
***
Marlo hendak melaporkan kecurigaannya terhadap Clarissa kepada Erlangga. Kakaknya harus tahu tingkah istri keduanya. Ia memasuki ruang kerja sang kakak dan langsung syok melihat lelaki di depannya terkapar tak berdaya di lantai. Ruang kerja sang kakak yang biasanya rapi kini berantakan seperti habis diamuk badai. Tangan Erlangga menggenggam botol minuman keras. Botol minuman keras yang lain berserakan di lantai, ada tujuh botol kurang lebih. Marlo berjongkok dan menemukan kakaknya tidak sadarkan diri.
Kania buru-buru membawa semua dokumen yang diperlukan. Divia, sekretaris wakil direktur baru saja menghubunginya lewat telepon. Memberitahukan bahwa Pak Prasetya—bosnya—meminta Kania untuk ke ruangan beliau sebelum rapat besar bersama jajaran direksi dimulai. Kania melintasi beberapa blok kubikel berisi karyawan sebelum sampai ke ruangan wakil direktur. “Langsung masuk aja, Pak Bos sudah nunggu,” seru Divia. “Et...et...et tunggu dulu bentar.” Divia tiba-tiba meminta sahabatnya mundur, mendekat ke mejanya yang persis berada di depan ruangan Pak Prasetya. “Gue enggak sabar nunggu CEO baru datang, ganteng banget!” bisiknya sambil terkikik.&nb
Arloji di pergelangan tangan kanan Kania menunjuk pukul 19.00. Wanita muda itu menghembuskan napas lega. Ia menepati janjinya untuk pulang lebih awal hari ini. Sopir kantor telah mengantar dirinya sampai di depan rumah. Beberapa detik setelah menutup pintu pagar yang terbuat dari besi bercat perunggu, suara tinggi melengking menyambutnya, disusul tubrukan ke arah lutut yang seketika hampir oleng. “Mamaaa!” Kania berjongkok, kini ia sejajar dengan gadis kecil berambut ikal yang tadi menubruknya. “Hai, sayangkuu!” Kania memeluk erat gadis berponi itu. “Mama temani Nadin belajar, ya?
“Mama sudah bisa melihat. Kamu tertarik dengan Kania, benar?” Clarissa menyesap secangkir teh dalam cangkir keramik bermotif klasik. Teh Earl Grey kesukaannya itu disajikan dengan racikan yang pas. Barry membawakan untuknya beberapa waktu yang lalu dari London. Wanita paruh baya itu tak juga mendapat respons dari pemuda tampan, putra kesayangannya, aset besarnya. Barry masih asyik dengan gawai, sesekali tersenyum menanggapi ocehan beberapa sahabat di media sosial. Ibu jarinya terus berputar di layar ponsel pintar. “Barry, Sayang, kamu dengar Mama?”Barry mendongak, memandang sang ibu yang tersenyum hangat padanya. Ia meletakkan ponsel pintarnya di meja re
Kania menunggu dengan sabar di loket pembelian kereta bandara yang akan membawanya dari Bandara Kualanamu ke kota Medan. Ia telah menempuh dua jam perjalanan udara dari Jakarta sampai Kualanamu, bandara internasional, gerbang udara untuk perjalanan ke daerah Sumatera Utara. Hari ini adalah jadwal perjalanan dinasnya bersama sang atasan, Barry. Sejak berangkat dari bandara Soekarno-Hatta wanita itu belum berjumpa langsung dengan Barry. Ia sempat melihat mealui jendela kabin, CEO-nya itu berlari kecil masuk ke pesawat, langsung menuju kursi kelas bisnis. Sebelumnya, sang CEO sudah mengirimkan pesan supaya mereka bertemu di bandara Kualanamu, Kania diminta untuk membeli tiket kereta api bandara terlebih dahulu untuk mereka berdua. Sesuai perintah atasan, kini Kania menanti di dekat loket bandara terb
Kania menghentakkan sepatu boot kulitnya ke tanah berpasir. Matahari berada di titik kulminasi, membuat hawa panas menyengat semakin terasa. Terlebih di antara pohon sawit muda yang tingginya kira-kira baru dua meter. Kania menyusuri jalan setapak di sela-sela pokok tanaman sawit. Barry dan dua orang staff kebun mengekor di belakangnya. Sejak pagi ia dan Barry sudah berangkat menuju area perkebunan, menjelajah ke lokasi blok pepohonan sawit dan infrastruktur yang mendukungnya. Kania sibuk menjelaskan kepada atasannya secara detail proses-proses pemeliharaan tanaman sawit dan kendala-kendala yang dihadapi oleh para pekerja. Sesuai catatan Pak Prasetya tempo hari, Barry memang cukup cerdas, menangkap semua hal baru dengan cepat. “Kita bisa ke lokasi pemu
Hampir seminggu Kania dan rombongan berada di kebun. Rutinitas dimulai tiap pagi. Barry yang terbiasa bangun siang di rumah, kini mulai terbiasa bangun subuh. Mereka berangkat saat matahari belum muncul, masuk ke pos-pos di kebun, mengamati para pekerja yang berkumpul untuk melakukan briefing pagi sebelum mulai pekerjaan. Setelah itu mereka akan kembali ke rumah singgah untuk mandi dan sarapan, lalu melanjutkan aktivitas kunjungan ke kebun, meninjau pabrik dan berbagai sarana dan prasarana pendukung. Barry dan Marlo seperti melakukan gencatan senjata. Terpaksa tinggal dalam satu atap, mereka hanya bertemu saat sarapan dan makan malam. Itu pun dengan suasana yang kurang mengenakkan. Oleh karena itu Barry sering mengajak Kania pergi makan malam di luar kebun. Padahal membutuhkan waktu paling cepat satu jam untuk mencapai kota terdekat.&
Lima hari telah berlalu sejak Kania kembali dari dinas luar. Rutinitas harian kembali mengelilinginya. Kini ia masih membeku di depan layar laptop, berputar dengan data dan serangkaian gambar yang perlu ia susun menjadi laporan. “Nggak pulang?” Barry dengan senyum cerah menyapa staff idolanya. “Belum selesai, Pak.” “Saya ada meeting dengan perusahaan batubara malam ini, nggak bisa nunguin kamu untuk pulang bareng,” katanya. Sejak pulang dari dinas luar, Barry tampak semakin mendekati Kania. Ia bahkan memaksa mengantar Kania pulang tiap hari. Penolakan Kania rupanya tidak berarti bagi Barry. “Saya bisa pulang sendiri, Pak.” &n
Semenjak kejadian di lift, terjadi perang batin dalam hati Marlo. Ada rasa baru bergejolak di hatinya yang berusaha ia lawan. Sebuah rasa aneh yang muncul untuk Kania selalu menyeruak. Bayangan Kania sesekali menyelinap di benaknya. Mereka sempat berpapasan beberapa kali di kantor semenjak terakhir ia mengantar pulang wanita itu. Kania seolah-olah tidak merasa terjadi sesuatu di antara mereka, bahkan cenderung dingin terhadapnya. Hal itu membuat Marlo kembali membangun dinding-dinding pertahanan diri. Ia tidak mau sampai terlena dengan pesona Kania, apalagi harus bertekuk lutut kepada wanita itu. Marlo kini sedang menuju ruang rapat utama, ketika melihat dari sudut matanya, Kania dan Barry sedang berdiskusi di ruangan Barry. Ia berhenti sebentar di depan ruanga