Gadis kecil berusia tujuh tahun berlari riang, mengejar kupu-kupu yang banyak terdapat di taman itu. Gadis kecil berambut pirang dan mata biru cemerlang tersebut bernama Crystal Mars. Ia dan keluarganya menjadi salah satu tamu pada pesta yang diadakan oleh kerajaan Namira, salah satu dari tiga kerajaan besar yang ada.
Pesta ulang tahun raja Namira yang ke empat puluh lima memang lebih meriah daripada pesta-pesta sebelumnya. Seluruh rakyat Namira diundang, pintu gerbang istana di buka selama satu minggu penuh. Rakyat boleh menginjakkan kaki di istana dan bertatap muka langsung dengan raja dan putra mahkota. Sungguh kesempatan yang sangat langka.Keluarga Mars bukanlah keluarga biasa. Mereka adalah keluarga bangsawan, walaupun hanya bangsawan yang tinggal di desa. Bersama para bangsawan lainnya mereka menghadiri dan menginap di istana selama pesta berlangsung. Oleh sebab itu, Crystal Mars, putri tunggal keluarga Mars, bisa mengenal dan berteman dengan pangeran Alexant Vrent. Para bangsawan yang datang sangat jarang membawa anak-anak mereka sehingga Crystal dan Alexant menjadi dekat hanya dalam waktu satu hari."Berhentilah terus berlarian, Crystal, aku tidak mau kau terjatuh!" seru Alexant dari bawah pohon.Anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu duduk bersandar di bawah pohon. Tangannya terlihat sibuk sejak tadi. Sementara George Bryne, sahabat sekaligus pengawalnya, berada di atas pohon. Ia meminta George untuk mengawasi Crystal yang tidak pernah bisa diam."Hei, George, apa menurutmu Crystal akan mau duduk di sampingku kalau aku memberikan mahkota ini padanya?" tanya Alexant dengan kepala menengadah menatap George. "Aku tidak suka ia terus berlari seperti itu, aku takut ia terjatuh."George melompat turun dari atas pohon sebelum menjawab. Rasanya sangat tidak nyaman saat melihat majikanmu mengangkat kepala hanya untuk berbicara denganmu."Saya tidak tahu, Yang Mulia," jawab George hormat. Mereka memang berteman sejak balita dan bersahabat sampai usia mereka sepuluh tahun ini, tetapi George masih sadar diri. Meskipun mereka bersahabat, Alexant tetaplah seorang pangeran yang harus ia jaga keselamatannya. "Anda coba berikan saja kepadanya."Alexant mengangguk, ia mempertimbangkan usul George. Tatapannya fokus pada mahkota bunga yang tadi dibuatnya sambil duduk."Bagaimana menurutmu? Apakah mahkota ini cantik?" Alexant bertanya sambil mengangkat mahkota bunga itu, menunjukkannya pada George. "Jawab aku dengan jujur, George! Sebagai sahabat bukan sebagai pengawalku!"George berdeham satu kali. Alexant menatapnya tajam. Mata abu-abu anak itu bersinar mengancam. Jika sudah seperti itu ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengatakan yang sebenarnya."Menurutku mahkota ini cukup cantik," ucap George sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dengan jari telunjuk mengusap dagu. Lagaknya sudah seperti orang dewasa saja. Memang George menirukan gaya sang Ayah. Jenderal besar Namira, Wallace Bryne, suka seperti ini kalau ia sedang mencoba menilai sesuatu. "Aku yakin Crystal akan senang menerimanya.""Benarkah?" tanya Alexant dengan mata berbinar.George mengangguk."Menurutmu begitu?" tanya Alexant lagi, kali ini ia memastikan kalau pendengarannya tidak salah.Sekali lagi George mengangguk. "Tentu saja!" jawabnya yakin. "Kalau Anda tidak percaya Anda bisa memanggil Crystal, kemudian berikan mahkota bunga ini padanya. Aku yakin kalau Crystal pasti akan senang menerimanya."Alexant mengangguk. Bocah sepuluh tahun berambut pirang dengan mata abu-abu itu berseru memanggil Crystal yang sedang mencoba menangkap seekor kupu-kupu yang hinggap pada setangkai bunga liar."Crystal, bisakah kau ke sini sebentar?"Gadis kecil itu menoleh. Hanya sekilas, setelah itu ia kembali fokus pada kupu-kupu yang ingin ditangkapnya sejak tadi.Alexant berdecak kesal. Crystal mengacuhkannya. Ia paling tidak suka diacuhkan, apalagi oleh orang yang disukainya. Ia memang masih kecil, tetapi ia juga menyukai Crystal. Gadis kecil itu selalu menebarkan aroma ceria di mana pun dia berada. Ia membutuhkan keceriaan itu. Sejak Ibunya meninggal karena sakit dua tahun yang lalu, ia sudah tidak tahu lagi bagaiman rasanya tersenyum.Alexant bukan anak yang dingin. Ia selalu ramah kepada siapa pun, termasuk kepada semua bawahannya sehingga mereka semua menyayanginya. Di luar, Alexant memang tidak tampak kalau ia kesepian. Namun, di dalam hatinya ia selalu menangis. Alexant merindukan sosok ibunya yang selalu hangat dan penyayang. Ayahnya juga seperti itu, tetapi Ayahnya tetap tidak bisa menggantikan posisi sang Ibu. Ayah juga terlalu sibuk mengurus kerajaan dan rakyat mereka.Alexant bertemu Crystal dua hari yang lalu pada malam pesta pertama. Mereka dikenalkan oleh orang tua mereka saat Crystal dan keluarganya memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada Raja Henry, Ayah Alexant, dan Alexant merasa sudah menyukai gadis kecil itu sejak pertama melihatnya. Pipi bulat Crystal yang kemerahan membuatnya gemas ingin mencubitnya."Crystal, ke sinilah!" seru Alexant sekali lagi. "Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu."Crystal berhenti berlari. Gadis kecil itu menatap Alexant dengan tatapan bertanya. Hanya sekejap kemudian Crystal kembali berlari. Kali ini, dia menghampiri Alexant dan George yang masih berdiri di bawah sebuah pohon besar.Alexant tersenyum melihat Crystal menghampiri mereka. Saat gadis itu berlari tadi, kunciran rambut pirangnya yang bergelombang ikut bergoyang. Terlihat sangat cantik dan menggemaskan."Ada apa?" tanya Crystal setelah berada di depan kedua anak laki-laki itu. Ia masih mengatur napasnya yang tersengal. "Benarkah kau ingin memberikanku sesuatu? Apa itu? Apakah kupu-kupu?" Dia memiringkan kepala.Alexant menggeleng. Anak itu maju dan memasangkan mahkota bunga di kepala Crystal.Gadis kecil itu meraba-raba bagian atas kepalanya, kemudian memekik gembira."Apakah ini untukku?" tanya Crystal dengan mata berbinar.Alexant tersenyum, ia mengangguk. "Untuk saat ini aku hanya dapat memberikan mahkota ini padamu," ucapnya dengan mimik wajah yang serius. Meski begitu ia tetap mempertahankan senyumnya. "Kelak kita dewasa aku akan memasangkan mahkota sungguhan di kepalamu."Crystal mengerjap. Tangan mungilnya kembali meraba mahkota bunga yang diberikan Alexant. Senyum manis terkembang di wajah bak boneka itu. Crystal mengangguk."Crystal Mars, hanya kau yang akan menjadi ratuku kelak!"Mata George melebar mendengarnya. Mereka memang masih anak-anak, tetapi mereka sudah diajarkan tata krama juga adat dan kebiasaan. Kata-kata yang diucapkan Alexant adalah sebuah janji. Ikrar yang secara tak langsung sudah mengikat mereka sampai raga meninggalkan tubuh mereka kelak.Aturan dalam setiap kerajaan memang tidak selalu sama. Di Namira, para anggota kerajaan terutama raja dan pangeran dilarang untuk berkata sembarangan. Perkataan mereka adalah ikrar dan janji yang harus ditepati.Crystal mengangguk cepat. Tentu saja ia ingin menjadi ratu. Ia ingin memiliki mahkota sungguhan seperti yang dikatakan Alexant tadi."Kalau begitu kau harus duduk di sampingku dan berhenti mengejar kupu-kupu terus." Alexant menarik tangan Crystal, membawa gadis kecil itu duduk di bawah pohon besar yang sejak tadi didudukinya. "Aku tidak mau kau terjatuh dan terluka nantinya."Crystal mengangguk. Gadis itu tersenyum lebar menunjukkan deretan gigi susunya yang putih. Sebab gemas, Alexant mencubit pipi putih itu sekali sebelum memberikan kecupan pada pipi yang tadi dicubitnya."Dewasa nanti kau harus menikah denganku. Benarkan, George?" Alexant menolehkan kepalanya pada George yang sejak tadi terlihat masih berpikir. "Tidak boleh menikah dengan pemuda lain, hanya boleh denganku saja!"Crystal lagi-lagi mengangguk. "Janji!" Gadis itu menjulurkan jari kelingking kanannya.Alexant tersenyum. Menyambut uluran jari kelingking Crystal dengan jari kelingking miliknya."Berjanji!" balas Alexant. "Aku tidak akan terima jika kau menikahi orang lain," sambungnya. "Kau itu milikku!"Crystal tak menjawab. Gadis kecil itu hanya mengangguk lagi. Tangan mungilnya kembali meraba mahkota bunga yang menghiasi kepalanya."Alex, aku cantik tidak?" tanya Crystal. Gadis kecil itu berdiri dan berputar di depan Alexant dan George.Alexant mengangguk. "Tentu saja kau sangat cantik, dan aku menyukaimu," jawab Alexant."Aku juga menyukaimu," balas Crystal. Serta-merta gadis itu menerjang Alexant dan memeluknya erat.Semilir angin menjadi saksi janji mereka berdua selain George. Alam seakan merestui ikrar yang diucapkan kedua anak kecil itu. Bunga-bunga bergoyang dengan indahnya. Daun-daun juga berguguran di atas mereka. Alexant tidak tahu bahwa ikrar masa kecil jua lah yang menyebabkan kehancuran kerajaannya.Waktu satu minggu ternyata berjalan sangat cepat saat seseorang yang merasa bahagia. Hal itu juga yang dirasakan Alexant. Tidak terasa pesta yang dilangsungkan di istana akan berakhir malam ini. Setelah ini, istana akan kembali sepi seperti biasanya. Tidak ada lagi suara musik dan suara ramai para tamu. Yang ada hanya para dayang dan pembantu serta prajurit. Alexant menatap bosan pada para dayang yang berseliweran di depannya. Ia ingin meninggalkan pesta sejak tadi, ingin bermain bersama Crystal. Malam ini adalah malam terakhir mereka bertemu. Entah kapan mereka akan bertemu lagi. Semoga sebelum mereka dewasa mereka masih bisa bertemu. Alexant celingukan mencari Crystal. Gadis kecil itu tidak tampak sejak pesta dimulai. Hanya terlihat kedua orang tuanya saja di sudut sana. Selain Crystal, George juga tak terlihat. Sahabatnya itu tadi pulang ke kediaman keluarga Bryne lebih dulu, setelah itu baru kembali ke sini lagi. Itu yang dikatakan George sebelum pergi tadi. Namun, sampai sekara
"Kau sudah siap, Sayang?" Seorang perempuan muda di kisaran dua puluh tahun menghampiri Crystal. Perempuan yang memiliki rambut sewarna Crystal itu mengusap pucuk kepala si gadis kecil. Crystal mendongak kemudian mengangguk. "Iya, Mama," jawabnya tersenyum. Astrid Mars tersenyum manis membalas senyuman sang putri. Tangannya berpindah ke arah pipi Crystal, mencubit pipi itu pelan sebelum mengusapnya hangat."Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang."Senyum di bibir mungil Crystal langsung surut. Gadis kecil itu mengangguk sedih. Mereka akan kembali ke kediaman mereka di desa pagi ini. Para tamu yang lain juga pulang hari ini. Tadi ia sempat melihat ratusan kereta kuda berjejer di halaman istana. Kepala Crystal tertunduk luruh. Ia masih belum ingin pulang, masih ingin bermain bersama Alexant, juga George. Di desanya ia tidak banyak memiliki teman, orang tuanya selalu memintanya untuk belajar etika kesopanan dan tata krama. Sebagai seorang gadis bangsawan, walaupun mereka hanya
Suara burung berkicau, ditambah dengan sinar hangat matahari pagi yang jatuh tepat di wajahnya membuat anak laki-laki itu membuka mata. Alexant mengerjap beberapa kali sebelum memejamkan mata abu-abunya kembali, tak peduli dengan sinar matahari yang semakin tinggi. Ia masih mengantuk, masih memerlukan waktu untuk tidur beberapa saat lagi, sebelum ia ingat kalau tadi malam adalah malam pesta terakhir. Hari ini seluruh tamu undangan akan meninggalkan istana, termasuk keluarga bangsawan Mars. Crystal!Mengingat gadis kecil itu membuat kantuk yang tadi masih menggelayuti mata Alexant, seketika pergi. Bergegas anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu bangun. Tanpa memakai mantel atau mengganti piyama, juga tanpa alas kaki Alexant langsung berlari menuju ruangan yang digunakan keluarga Crystal. Betapa terkejut Alexant ketika menemukan ruangan itu telah kosong. Tidak ada lagi barang-barang yang kemarin masih mengisi ruangan. Begitu juga dengan Crystal dan keluarganya. "Di mana Crystal?" ta
Jenderal Wallace berdeham sekali, menatap tegas pria yang juga balas menatapnya dengan tatapan tak terbantahkan. Edmund Mars, meskipun hanya seorang bangsawan yang berasal dari desa, tetapi ketegasan dan wibawanya tidak perlu diragukan. Terlihat dari tatapan tajamnya itu. "Aku juga minta maaf pada Anda, Duke Mars." Wallace menundukkan sedikit kepalanya. "Namun, bagaimanapun juga peraturan kerajaan kita....""Kami hanya bangsawan dari desa, Jenderal." Sekali lagi Edmund memotong perkataan jenderal Wallace. "Sangat tidak pantas untuk putriku berada di istana. Crystal lebih pantas berada di kastil kami daripada di istana di ibu kota."Wallace menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan tanpa gerakan berarti. Bangsawan desa yang keras kepala dan pemberani. Meskipun menentang aturan kerajaan dan negara, pria berambut hitam di depannya ini tetap tidak mau melepaskan putrinya. "Mereka masih anak-anak, Jenderal." Astrid ikut berbicara. Dia yang sejak beberapa menit yang lalu sudah berad
Dua minggu tanpa Crystal terasa seperti dua tahun. Mungkin kedengarannya sedikit berlebihan bagi seorang anak kecil, tetapi itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Hari-harinya terasa sangat membosankan, terlalu monoton karena hanya diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Tak ada lagi waktu untuk bermain, semua tersita untuk belajar yang kata mereka –para orang dewasa– untuk bekalnya kelak saat ia dewasa, agar ia bisa memimpin Namira sehebat ayahnya. Alexant mendengkus, ia selalu saja tidak suka setiap kali gurunya membicarakan tentang kehebatan sang Ayah karena menurutnya ayahnya biasa saja. Tak ada yang dapat dibanggakan dari seorang pria yang hanya duduk diam di atas singgasana dan menerima upeti tanpa harus bekerja. Seandainya saja bisa memilih, ia tak ingin menjadi raja. Menjadi raja bukanlah sesuatu yang mudah. Ia harus bertanggung jawab atas semua yang berada di kerajaannya. Itu tidak terdengar menyenangkan untuk seorang anak berusia sepuluh tahun sepertinya. Yang diperlu
Alexant sudah biasa melihat pemandangan para pengawal istana yang menundukkan kepala setiap kali ia berjalan melewati mereka, bahkan juga George Bryne, sahabatnya, juga berlaku demikian. Selalu menundukkan kepala dan berbicara dalam bahasa formal setiap kali berbicara padanya. Jujur saja, sebenarnya ia terganggu dengan semua itu. Para pengawal dan prajurit istana itu berusia jauh di atasnya, tetapi sikap mereka terlalu memberi hormat kepadanya. Mungkin itu memang seharusnya, tetapi ia terkadang sedikit merasa tidak nyaman. George juga tidak mau bersikap santai sekalipun mereka hanya berdua, kecuali ia yang memintanya. George adalah pengawal pribadinya. Mereka seusia, sama-sama sepuluh tahun. Namun, George sudah dipercaya untuk menjaganya. Itu merupakan sesuatu yang sangat keren menurutnya. Mereka juga sering berlatih pedang dan senjata lainnya bersama, dalam pengawasan Wallace Bryne, jenderal besar Namira yang juga merupakan Ayah George. Jenderal adalah pelatih bertarungnya. Jender
"Kapan kita kembali ke istana, Mama?" Itu adalah pertanyaan kesekian dari Crystal yang didengar Astrid hari ini. Entah sudah berapa kali putri kecilnya menanyakan hal itu. Katanya, dia ingin cepat ke istana lagi agar bisa bertemu dan bermain bersama Alexant. Untuk hari ini, entah sudah berapa kali Crystal menanyakannya. Belum lagi hari-hari belakangan. Mungkin seandainya dihitung, dalam tiga bulan terakhir sejak mereka kembali dari istana sudah lebih dari jutaan kali dia bertanya, sampai rasanya dia bosan menjawabnya. Setiap hari pertanyaan Crystal selalu sama, seolah dia tidak memiliki pertanyaan yang lain. Astrid mengembuskan napas pelan. "Mama tidak tahu, Sayang. Tidak ada undangan dari istana, kita tidak bisa ke sana." Dia tersenyum, tangannya membingkai pipi chubby putrinya yang kemerahan. "Kau pasti tahu, 'kan, tidak sembarang orang bisa memasuki istana. Jika tidak ada undangan atau izin, para penjaga tidak akan membiarkanmu masuk."Wajah mungil Crystal tertunduk. "Tapi, aku
Lalu, apakah Astrid senang? Apakah dia gembira dengan kenyataan itu? Jawabannya tentu saja tidak. Tidak ada seorang pun Ibu di dunia ini yang ingin menjerumuskan putrinya dalam masalah. Lingkungan istana penuh intrik, orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah orang-orang yang berpikiran licik. Semua hanya mementingkan jabatan dan kekuasaan. Menjadi ratu bukanlah hal yang patut dibanggakan. Menjadi ratu di kerajaan yang penuh tipu muslihat sama saja dengan menceburkan diri dalam permasalahan yang tak kunjung usai. Seandainya saja bisa, dia ingin menghentikan hal itu. Sayangnya tidak. Bukannya pernikahan yang batal, malah dirinya yang akan kehilangan kepala. Entah siapa yang memutuskan demikian –perkataan keluarga kerajaan adalah ikrar dan harus terjadi– untuk pertama kali, dia tidak tahu. Yang pasti semua ini sangat merugikan semua pihak, kecuali mereka yang menginginkan kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum jika mendiang Ratu Amora mangkat karena tidak sanggup lagi bertahan mengh
Pagi datang lebih cepat saat kita berada di tempat yang lebih tinggi, Beatrice merasakannya. Sudah dua hari ini dia menyaksikan matahari terbit lebih awal dari biasanya saat dia masih di istana. Hari jadi terasa lebih panjang dan semakin membosankan. Tak ada gadis seusianya di sini, yang ada hanya Nenek dan Bibi Fasha. Prajurit yang waktu itu pergi bersama mereka juga sudah tidak terlihat lagi, sepertinya dia hanya mengantarkan saja, tidak menetap di sini bersama mereka. Tidak apa-apa, dia justru mensyukurinya. Daripada prajurit itu juga ikut tinggal di sini bersama mereka akan membuat dia ketakutan saja. Selama ini hanya Alexant, laki-laki yang dekat dengannya. Dia tidak memercayai yang lainnya. Pengalaman buruk saat ayahnya masih hidup membekas sampai sekarang. Meskipun ayahnya tidak pernah berbuat kasar, tetapi Ayah selalu mabuk. Bahkan Ayah tewas karena mabuknya itu. Ayah yang sudah sakit keras terlalu banyak meminum alkohol sampai nyawanya tak tertolong. Kejadian itu membuatnya
"Bisakah kita tetap berada di sini beberapa hari lagi?" George dan Jerome Walker, prajurit yang memimpin tugas di Rainbow Hill, sudah menduga jika Alexant akan bertanya seperti itu. Cepat atau lambat dia pasti akan menanyakannya, seolah waktu satu minggu bersama Crystal masih kurang saja baginya. George memutar bola mata jengah. "Kupikir tidak bisa." Ia memalingkan muka hanya untuk menyembunyikan senyumnya. "Kita harus segera kembali ke istana, Yang Mulia. Sepuluh hari merupakan waktu yang lama bagi seorang pangeran meninggalkan istana." Alexant mendengkus kesal. "Aku baru beberapa hari di sini, George!" erangnya kesal. "Baru satu minggu, belum sepuluh hari seperti yang kau katakan.""Ditambah tiga hari selama perjalanan kita menuju ke sini, Yang Mulia.""Astaga!" Alexant memotong perkataan George tiba-tiba. Kepalanya langsung terasa berdenyut nyeri, dadanya panas seakan terbakar. "Lama di perjalanan tidak dihitung!" Ia mengibaskan kedua tangannya. "Lagi pula, George, kenapa kita h
Sejak dia tinggal di istana, Nenek juga tidak lagi bekerja. Mama secara rutin mengirimkan uang untuknya, juga untuk membayar pekerjaan gadis pelayan yang menemani Nenek. Sebab, tidak lagi bekerja di perkebunan tomat, Nenek tidak lagi memasak sup tomat. Sekarang makanan di rumahnya sudah berbeda, berbagai hidangan selalu tersedia di meja saat tiba waktu makan. Kehidupan Nenek lebih terjamin. Beatrice mensyukurinya, dia merasa sangat senang karena Nenek bahagia. "Kita ada di mana, Nek?" tanya Beatrice dengan alis berkerut tajam. Matanya menatap liar sekeliling kamar. Dugaannya jika dia tidak sedang berada di rumah Nenek, semakin kuat. Keadaan kamar ini berbeda, lebih sederhana dibandingkan dengan kamar tidurnya di rumah nenek. Tidak ada perabotan apa-apa selain sebuah meja dan kursi yang kelihatannya sudah tua. "Apakah kita di rumah Nenek?" Imelda tersenyum melihat kepanikan di wajah cucu tersayangnya. Dia sendiri juga awalnya kaget ketika bangun tidur menemukan dirinya di tempat yang
Kicauan burung yang terdengar tajam di telinga membangunkan Beatrice dari tidurnya. Dia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk membiasakan penglihatannya pada cahaya yang masuk. Alam tampak terang benderang di tangkap indra penglihatannya.Beatrice mengucek mata untuk memastikan. Dia menggerakkan kepala ke arah kanan, segera memejamkan mata dan menaikkan tangan untuk melindungi wajahnya dari paparan sinar matahari. Hangat terasa, tetapi juga sangat menyilaukan. Keadaan yang berbeda setiap dia bangun pagi pada biasanya. Beatrice menjauhkan tangan, duduk perlahan. Sepasang alisnya berkerut merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Mulutnya tanpa sadar mengeluarkan ringisan. Dia baru bangun tidur, bahkan nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Apa yang terjadi tadi malam masih belum diingat semuanya, masih samar-samar. Pagi ini dia merasa ada yang aneh. Entah keadaan kamarnya yang terasa jauh lebih terang dari biasanya –sinar matahari langsung masuk tanpa halangan apa pun– juga s
Beatrice mencoba untuk tidur lagi, dan berharap saat terbangun nanti semuanya hanya mimpi. Dia akan tetap berada di istana, berbaring di ranjang empuknya, di kamarnya bersama Bibi Fasha. Sayangnya, Beatrice tidak dapat tidur lagi. Meskipun sudah memejamkan mata, tetapi pikirannya tetap melayang ke mana-mana. Dia berusaha keras mengosongkan pikiran, tetap saja tidak bisa. Alexant memenuhi pikirannya. Dadanya bergemuruh, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang terikat. Belum lagi dia berada di atas kereta kuda yang melaju kencang. Siapa yang dapat tidur dalam keadaan seperti dirinya saat ini? Air mata terus mengalir membasahi pipi Beatrice. Dalam hati dia terus berdoa semoga dia bisa keluar dari kereta ini dan bertemu dengan Alexant. Dia yakin Bibi Fasha berbohing saat mengatakan padanya tentang Alexant. Tidak mungkin Alexant memiliki gadis lain selain dirinya, hubungan mereka sangat dekat. Alexant selalu jujur padanya, jika ada seorang gadis yang mendekatinya, dia pasti akan berceri
Fasha tidak percaya jika seorang Ibu bisa melakukan hal yang kejam terhadap anaknya. Namun, setelah mendengar rencana Selena, sekarang dia memercayainya. Rencana Selena untuk menyingkirkan Beatrice dari istana tergolong rencana yang gila. Bahkan Selena langsung bergerak setelah mendapatkan rencana itu. Dia meminta seorang prajurit yang dapat dipercayainya untuk membawa ibunya yang tinggal di sebuah desa, memindahkannya ke sebuah tempat terpencil yang sangat sulit untuk dijangkau. Setelah itu, barulah mereka akan membawa Beatrice ke sana, tempat yang sama dengan neneknya. Yang lebih gila lagi, Selena juga meminta Fasha untuk mendampingi mereka. Tidak mempunyai pilihan, dia mengangguk menyetujuinya. Tak mungkin dia membiarkan gadis semuda Beatrice hanya tinggal berdua bersama neneknya di tempat yang penuh bahaya. Mengendap mereka mendekati kamar tidur Fasha yang ditempatinya bersama Beatrice. Fasha sudah memastikan Beatrice tertidur lelap, gadis itu kelelahan setelah seharian menangi
Alexant menoleh ke belakangnya, menatap sekilas Crystal yang berada satu meter di belakangnya. "Kau benar!" katanya tersenyum. "Astaga, George! Aku tidak percaya jika sudah bertindak bodoh seperti itu. Ini sangat memalukan!" Ia menggeram kesal. George tertawa tanpa suara. "Jangan khawatir, ini akan menjadi rahasia kita," sahutnya, menepuk bahu Alexant akrab. Alexant mengusap wajah kasar, kemudian memutar tubuh, melangkah ke arah Crystal, dan memeluknya. Mereka harus berpisah untuk hari ini sekarang. Sudah semakin sore, senja sebentar lagi akan datang. Bayangan pohon-pohon dan ilalang semakin memanjang ke arah timur. Alexant meraih jemari Crystal, meremasnya hangat. "Kau harus pulang sekarang," katanya lirih, tak rela mengucapkan kata-kata itu. "Aku tak ingin Duke Mars melarangnu untuk ke sini lagi besok.""Kita masih bisa bertemu lagi besok, Alexant?" Pertanyaan Crystal penuh semangat. Mata birunya tersenyum. Alexant mengangguk. "Tentu saja, aku tidak akan bersedia untuk pulang sec
Waktu selalu terasa cepat berlalu saat kita berada dalam perasaan bahagia, gembira, dan perasaan positif lainnya. Namun, akan terasa sangat lambat, bahkan lebih lambat dari lari seekor kura-kura, jika kita berada dalam fase tidak bahagia. Itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Ia merasa matahari cepat sekali tergelincir di ufuk barat, padahal rasanya baru beberapa menit ia bersama Crystal matahari sudah hampir terbenam saja. Sebagian bukit sudah terlihat gelap karena terlindung bayangan pohon-pohon yang tumbuh dengan tinggi menjulang dari hutan di sebelah sana. Padang bunga juga sedikit tertutup bayangan ilalang yang lebih tinggi dari mereka. "Bisakah aku menghentikan laju perputaran matahari?" Alexant bertanya entah kepada siapa. Hanya ada dirinya, Crystal, dan George di atas bukit ini. Crystal mengerutkan alis, sementara George tertawa mendengarnya. Keluhan Alexant terdengar lucu di telinganya, seperti mimpi seorang anak kecil. Alexant mendelik tajam, melemparkan ranting kayu k
"Bibi tidak tahu ke mana perginya Pangeran Alexant, Beatrice." Fasha menggelengkan kepala. "Tidak ada yang tahu kecuali Raja Henry dan Jenderal Wallace, dan mereka tentu tidak akan memberi tahu ke mana tujuan Pangeran Alexant. Pelayan seperti kita tidak penting, tidak ada gunanya memberitahukan apa pun pada kita. Tugas kita hanya melayani mereka, bukan untuk ikut campur urusan mereka." Sengaja Fasha mengatakan seperti ini. Dia hanya ingin Beatrice sadar kedudukannya di istana ini. Dia ingin Beatrice melupakan mimpinya untuk bisa berdampingan dengan Alexant sebagai suami istri. Mereka hanyalah pelayan, para bangsawan itu mengingat nama mereka saja sudah merupakan sebuah keberuntungan yang sangat langka bagi mereka. Beatrice menggigit bibir. Air matanya jatuh lagi mendengar jawaban Fasha. Kali ini dia tidak mengusapnya, Dibiarkannya air matanya jatuh melewati dagu dan menetes ke lutut, kemudian diserap oleh gaun yang menutupi lututnya. Kata-kata panjang lebar Fasha menamparnya, mencub