Suara burung berkicau, ditambah dengan sinar hangat matahari pagi yang jatuh tepat di wajahnya membuat anak laki-laki itu membuka mata. Alexant mengerjap beberapa kali sebelum memejamkan mata abu-abunya kembali, tak peduli dengan sinar matahari yang semakin tinggi. Ia masih mengantuk, masih memerlukan waktu untuk tidur beberapa saat lagi, sebelum ia ingat kalau tadi malam adalah malam pesta terakhir. Hari ini seluruh tamu undangan akan meninggalkan istana, termasuk keluarga bangsawan Mars.
Crystal!Mengingat gadis kecil itu membuat kantuk yang tadi masih menggelayuti mata Alexant, seketika pergi. Bergegas anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu bangun. Tanpa memakai mantel atau mengganti piyama, juga tanpa alas kaki Alexant langsung berlari menuju ruangan yang digunakan keluarga Crystal. Betapa terkejut Alexant ketika menemukan ruangan itu telah kosong. Tidak ada lagi barang-barang yang kemarin masih mengisi ruangan. Begitu juga dengan Crystal dan keluarganya."Di mana Crystal?" tanya Alexant pada seorang pelayan yang lewat. Ia menghentikan langkah si pelayan dengan cara menarik lengannya. Persetan dengan aturan tidak boleh menyentuh pelayan. Ia perlu tahu di mana gadis kecilnya.berada.Pelayan perempuan berusia lima belas tahun itu berdiri dengan tubuh gemetar, dia ketakutan. Setiap pelayan maupun prajurit sudah mengetahui aturan istana. Pelayan yang berani menyentuh anggota kerajaan akan dipenggal atau digantung."Jawab pertanyaanku, di mana Crystal?" Alexant berteriak di depan wajah pelayan itu. Meskipun usianya lima tahun lebih muda, tetapi tinggi tubuh mereka sama.Teriakan Alexant terdengar sampai keluar ruangan. Selena Lloyd, pengasuh Alexant yang sejak tadi mencari ke mana anak itu pergi, segera menyusul. Dia tadi kehilangan Alexant, anak itu berlari terlalu cepat.Selena memasuki ruangan dan menemukan Alexant tengah mencengkeram kuat dagu pelayan yang ditugaskan untuk merapikan ruangan yang digunakan keluarga bangsawan Mars selama di istana. Bergegas Selena menghampiri dan mencegah Alexant untuk berbuat yang lebih jauh. Anak itu memang masih berusia sepuluh tahun, tetapi ia sangat kuat, apalagi dalam keadaan emosi tak terkendali seperi sekarang."Hentikan, Yang Mulia!" pinta Selena berusaha menjauhkan tangan Alexant dari dagu pelayan perempuan yang meringis menahan sakit. "Dia kesakitan!"Alexant menoleh cepat, melepaskan tangannya kasar. Berdiri tepat di depan Selena. "Apa kau tahu di mana Crystal, Selena?" tanyanya menahan kekesalan. "Apakah semua tamu ayahku sudah pulang?"Selena tersenyum lembut. Tangannya terangkat mengusap rambut abu-abu Alexant. Dia sudah menganggap anak ini putra kandungnya sendiri. Sejak kecil dia yang merawat Alexant, sementara Ratu sakit-sakitan. Setelah melahirkan Alexant, kesehatan Ratu yang memang sudah memburuk sejak awal mengandung semakin bertambah buruk sehingga tidak bisa turun dari tempat tidur. Dia merawat Alexant sejak anak ini dilahirkan, bahkan rela mengorbankan putrinya sendiri untuk dirawat oleh ibunya yang tinggal di desa. Putrinya, Beatrice, pasti sudah besar sekarang. Usianya hanya dua tahun di bawah Alexant.Selena menatap Alexant lembut, selembut senyum dan suaranya. "Semua tamu undangan akan pulang hari ini, Yang Mulia. Saya rasa keluarga Mars juga demikian. Kalau Anda memang ingin bertemu dengan Lady Mars, sebaiknya Anda mencarinya di halaman istana, semua kereta yang akan membawa tamu undangan pulang sudah berjejer di sana sejak tadi malam. Mungkin bangsawan Mars dan keluarganya masih berada ...."Tanpa menunggu perkataan Selena lebih lanjut, Alexant kembali berlari menuju halaman. Kakinya yang tanpa alas sangat sakit ketika bersentuhan dengan batu kerikil di halaman istana. Sekali lagi Alexant tidak memedulikannya. Yang ia inginkan adalah bertemu dengan Crystal-nya sebelum gadis itu pergi, bukan yang lain.Alexant terus memaksakan kakinya melangkah walaupun rasa perih kian menjalar. Sepertinya telapak kakinya terluka, bercak darah mulai terlihat. Alexant menggeleng, ia hampir putus asa karena tidak juga menemukan Crystal, padahal sudah sejak beberapa menit yang lalu ia mencari. Namun, sebuah suara halus yang begitu familiar menyapa indra pendengarannya, membuatnya kembali bersemangat."Alexant?"Secepat kilat Alexant menoleh. Tersenyum lebar melihat gadis kecil yang dicarinya berdiri tepat di sampingnya."Kenapa kau di sini?" tanya Crystal heran. "Apa kau juga akan ikut pulang?"Alexant berdecak. "Bodoh!" makinya lirih. "Aku tinggal di sini, ini rumahku, Crystal. Ke mana aku harus pulang?" Alexant mencubit pipi gembil yang memerah."Ah, iya!" Crystal berseru girang. Dia melompat-lompat, rambut pirangnya yang diikat dua ikut bergoyang ketika dia melompat. "Aku lupa." Dia meringis. "Lalu, apa yang kau lakukan di sini?" Gadis kecil itu kembali mengulang pertanyaannya."Aku mencarimu," jawab Alexant jujur. "Aku harus menemuimu sebelum kau pulang ke rumahmu."Alis Crystal menekuk. "Kenapa?" tanyanya bingung."Karena aku ingin bertemu!" ketus Alexant. Tingkah Crystal dan kepolosannya selalu saja menggemaskan."Aku juga ingin bertemu denganmu," sahut Crystal tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi susunya yang rapi. Namun, segera saja senyum ceria itu hilang, berubah menjadi gumpalan awan mendung begitu dia ingat kata-kata ibunya. "Tapi, aku harus pulang dan tidak boleh bertemu lagi denganmu.""Eh, kenapa?" tanya Alexant heran. Ia tidak tahu kenapa Crystal tak boleh bertemu dengannya lagi. Apakah ia berbahaya? Setahunya tidak. Mereka berteman dan berjanji akan menikah kelak ketika dewasa. Apakah itu salah? Ia memang ingin menikahi Crystal bila dewasa nanti. Tak ingin perempuan lain. "Kenapa kau tidak boleh bertemu denganku lagi? Kita, 'kan, akan menikah bila dewasa nanti, bagaimana mungkin kita tidak bertemu lagi?""Pangeran Alexant, apa yang Anda katakan?" tanya Edmund Mars. Sama seperti istrinya yang sedikit syok mendengar kata-kata itu, Edmund juga merasakannya. Ia tidak percaya, khawatir kalau-kalau ia salah mendengarkan kata-kata. "Maafkan saya, tetapi Anda tidak boleh berbicara sembarangan. Anda sudah tahu, 'kan, kalau apa yang Anda ucapkan berarti sebuah janji?"Alexant mengangguk. Aku tahu!" jawabnya yakin. "Kata-kata yang aku ucapkan adalah ikrar. Aku akan menikahi Crystal ketika kami dewasa kelak, Duke Mars. Aku hanya akan menikah dengan Crystal!"Edmund memijit pelipis. Kepalanya berdenyut disebabkan oleh kata-kata bocah berusia sepuluh tahun. Seandainya bocah itu bukan siapa-siapa, ia tidak masalah. Hanya saja, bocah di depannya yang masih mengenakan piyama dan tanpa alas kaki ini adalah seorang pangeran, putra mahkota di negara mereka. Apakah ini artinya putri kecilnya akan menjadi ratu Namira? Inikah takdir yang sudah digoreskan di tangan Crystal ketika gadis kecilnya dilahirkan?Edmund menatap sekeliling, mereka dikerubungi oleh prajurit dan pelayan, termasuk pengasuh Alexant yang tampak sangat terkejut. Ada juga Wallace Bryne, jenderal besar Namira di antara orang-orang tersebut. Ini sangat gawat jika sampai Jenderal Bryne juga mendengarnya. Diam-diam Edmund berharap semoga pria itu tidak mendengarnya."Duke Mars....""Aku tidak mendengar apa pun, Jenderal!" potong Edmund cepat, ia menunduk hormat. "Maaf, tetapi kami akan pulang ke Rainbow Hill hari ini."Jenderal Wallace berdeham sekali, menatap tegas pria yang juga balas menatapnya dengan tatapan tak terbantahkan. Edmund Mars, meskipun hanya seorang bangsawan yang berasal dari desa, tetapi ketegasan dan wibawanya tidak perlu diragukan. Terlihat dari tatapan tajamnya itu. "Aku juga minta maaf pada Anda, Duke Mars." Wallace menundukkan sedikit kepalanya. "Namun, bagaimanapun juga peraturan kerajaan kita....""Kami hanya bangsawan dari desa, Jenderal." Sekali lagi Edmund memotong perkataan jenderal Wallace. "Sangat tidak pantas untuk putriku berada di istana. Crystal lebih pantas berada di kastil kami daripada di istana di ibu kota."Wallace menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan tanpa gerakan berarti. Bangsawan desa yang keras kepala dan pemberani. Meskipun menentang aturan kerajaan dan negara, pria berambut hitam di depannya ini tetap tidak mau melepaskan putrinya. "Mereka masih anak-anak, Jenderal." Astrid ikut berbicara. Dia yang sejak beberapa menit yang lalu sudah berad
Dua minggu tanpa Crystal terasa seperti dua tahun. Mungkin kedengarannya sedikit berlebihan bagi seorang anak kecil, tetapi itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Hari-harinya terasa sangat membosankan, terlalu monoton karena hanya diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Tak ada lagi waktu untuk bermain, semua tersita untuk belajar yang kata mereka –para orang dewasa– untuk bekalnya kelak saat ia dewasa, agar ia bisa memimpin Namira sehebat ayahnya. Alexant mendengkus, ia selalu saja tidak suka setiap kali gurunya membicarakan tentang kehebatan sang Ayah karena menurutnya ayahnya biasa saja. Tak ada yang dapat dibanggakan dari seorang pria yang hanya duduk diam di atas singgasana dan menerima upeti tanpa harus bekerja. Seandainya saja bisa memilih, ia tak ingin menjadi raja. Menjadi raja bukanlah sesuatu yang mudah. Ia harus bertanggung jawab atas semua yang berada di kerajaannya. Itu tidak terdengar menyenangkan untuk seorang anak berusia sepuluh tahun sepertinya. Yang diperlu
Alexant sudah biasa melihat pemandangan para pengawal istana yang menundukkan kepala setiap kali ia berjalan melewati mereka, bahkan juga George Bryne, sahabatnya, juga berlaku demikian. Selalu menundukkan kepala dan berbicara dalam bahasa formal setiap kali berbicara padanya. Jujur saja, sebenarnya ia terganggu dengan semua itu. Para pengawal dan prajurit istana itu berusia jauh di atasnya, tetapi sikap mereka terlalu memberi hormat kepadanya. Mungkin itu memang seharusnya, tetapi ia terkadang sedikit merasa tidak nyaman. George juga tidak mau bersikap santai sekalipun mereka hanya berdua, kecuali ia yang memintanya. George adalah pengawal pribadinya. Mereka seusia, sama-sama sepuluh tahun. Namun, George sudah dipercaya untuk menjaganya. Itu merupakan sesuatu yang sangat keren menurutnya. Mereka juga sering berlatih pedang dan senjata lainnya bersama, dalam pengawasan Wallace Bryne, jenderal besar Namira yang juga merupakan Ayah George. Jenderal adalah pelatih bertarungnya. Jender
"Kapan kita kembali ke istana, Mama?" Itu adalah pertanyaan kesekian dari Crystal yang didengar Astrid hari ini. Entah sudah berapa kali putri kecilnya menanyakan hal itu. Katanya, dia ingin cepat ke istana lagi agar bisa bertemu dan bermain bersama Alexant. Untuk hari ini, entah sudah berapa kali Crystal menanyakannya. Belum lagi hari-hari belakangan. Mungkin seandainya dihitung, dalam tiga bulan terakhir sejak mereka kembali dari istana sudah lebih dari jutaan kali dia bertanya, sampai rasanya dia bosan menjawabnya. Setiap hari pertanyaan Crystal selalu sama, seolah dia tidak memiliki pertanyaan yang lain. Astrid mengembuskan napas pelan. "Mama tidak tahu, Sayang. Tidak ada undangan dari istana, kita tidak bisa ke sana." Dia tersenyum, tangannya membingkai pipi chubby putrinya yang kemerahan. "Kau pasti tahu, 'kan, tidak sembarang orang bisa memasuki istana. Jika tidak ada undangan atau izin, para penjaga tidak akan membiarkanmu masuk."Wajah mungil Crystal tertunduk. "Tapi, aku
Lalu, apakah Astrid senang? Apakah dia gembira dengan kenyataan itu? Jawabannya tentu saja tidak. Tidak ada seorang pun Ibu di dunia ini yang ingin menjerumuskan putrinya dalam masalah. Lingkungan istana penuh intrik, orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah orang-orang yang berpikiran licik. Semua hanya mementingkan jabatan dan kekuasaan. Menjadi ratu bukanlah hal yang patut dibanggakan. Menjadi ratu di kerajaan yang penuh tipu muslihat sama saja dengan menceburkan diri dalam permasalahan yang tak kunjung usai. Seandainya saja bisa, dia ingin menghentikan hal itu. Sayangnya tidak. Bukannya pernikahan yang batal, malah dirinya yang akan kehilangan kepala. Entah siapa yang memutuskan demikian –perkataan keluarga kerajaan adalah ikrar dan harus terjadi– untuk pertama kali, dia tidak tahu. Yang pasti semua ini sangat merugikan semua pihak, kecuali mereka yang menginginkan kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum jika mendiang Ratu Amora mangkat karena tidak sanggup lagi bertahan mengh
"Jangan gunakan kekuatan dari sikumu untuk menyerang, seranganmu tidak akan sempurna!" Teriakan Jenderal Wallace Bryne membuat kedua bocah berusia sepuluh tahun di depannya membenarkan posisi mereka. Sudah beberapa kali mereka mempraktekkan apa yang diajarkan sang jenderal, tetapi ternyata tetap saja salah di matanya yang sudah terlatih. "Gunakan kekuatan pada bahu dan punggung untuk mendorong pedang ke depan!" Jenderal Wallace mendekati Alexant, membenarkan posisi tangan kanannya yang memegang pedang, mengarahkannya ke depan. "Posisi yang benar seperti ini, Yang Mulia," katanya, kemudian berpindah ke samping George yang berada di sebelah kirinya. Jenderal Wallace juga melakukan hal yang sama pada George, membenarkan posisi tubuh George, dan mengarahkan pedangnya ke depan. "Lakukan dengan benar, Anak-anak! Kita sudah mengulangi bagian ini sejak dua hari yang lalu. Apakah kalian tidak merasa malu karena masih saja salah?"Tidak ada yang menjawab. Kedua bocah itu terlalu fokus mende
Kesehatan Ratu Amora semakin menurun drastis setelah peristiwa itu. Dia bahkan tidak bisa turun dari tempat tidurnya. Semakin hari semakin memburuk sampai akhirnya Ratu Amora dinyatakan meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan putranya. Bukannya berduka dan menyesal, Raja Henry yang sudah naik tahta menggantikan ayahnya sejak lima tahun yang lalu, malah kembali memanggil si pelayan untuk kembali bekerja. Dia memintanya untuk menjadi pengasuh pangeran yang baru berusia satu bulan. Entah memang tidak memiliki rasa malu atau apa, perempuan itu menerimanya dengan syarat diizinkan pulang ke rumahnya setiap satu minggu sekali. Dia dan suaminya baru memperbaiki hubungan mereka. Lagi pula, dia memerlukan banyak istirahat karena kondisinya yang tengah berbadan dua. Si pelayan yang berubah status menjadi pengasuh putra mahkota tengah mengandung anak dari suaminya. Selena Llyod, mengambil cuti selama sebulan karena melahirkan. Setelah itu dia kembali ke istana. Daripada merawat bayi
Suasana di pedesaan memang lebih asri dibandingkan di kota. Udaranya sejuk dan masih segar tanpa banyak polusi. Padang rumput dan pohon-pohon besar menghiasi setiap jalan yang dilalui. Pemandangan yang indah dan menyegarkan indra penglihatan. Crystal sudah sejak pagi berada di atas bukit yang terletak di belakang kastil keluarga Mars. Memetik bunga liar yang tumbuh di atas bukit dan menangkap kupu-kupu adalah dua hal yang dilakukannya. Meskipun matahari bersinar cukup terik, dia tak berhenti. Belum ada satu ekor pun kupu-kupu yang berhasil ditangkapnya. Crystal berjalan mengendap-endap, sangat hati-hati. Tangan kanannya memegang jala penangkap serangga, tangan kirinya memegangi gaun yang dipakainya. Dia berusaha agar ujung gaunnya tidak jatuh mengenai rumput yang dilaluinya, tak ingin menimbulkan gerakan berarti yang membuat kupu-kupu buruannya terbang. Seorang anak perempuan seusia dengannya dan seorang bocah laki-laki berlari ingin menghampirinya. Crystal meletakkan jari telunjuk