Jenderal Wallace berdeham sekali, menatap tegas pria yang juga balas menatapnya dengan tatapan tak terbantahkan. Edmund Mars, meskipun hanya seorang bangsawan yang berasal dari desa, tetapi ketegasan dan wibawanya tidak perlu diragukan. Terlihat dari tatapan tajamnya itu.
"Aku juga minta maaf pada Anda, Duke Mars." Wallace menundukkan sedikit kepalanya. "Namun, bagaimanapun juga peraturan kerajaan kita....""Kami hanya bangsawan dari desa, Jenderal." Sekali lagi Edmund memotong perkataan jenderal Wallace. "Sangat tidak pantas untuk putriku berada di istana. Crystal lebih pantas berada di kastil kami daripada di istana di ibu kota."Wallace menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan tanpa gerakan berarti. Bangsawan desa yang keras kepala dan pemberani. Meskipun menentang aturan kerajaan dan negara, pria berambut hitam di depannya ini tetap tidak mau melepaskan putrinya."Mereka masih anak-anak, Jenderal." Astrid ikut berbicara. Dia yang sejak beberapa menit yang lalu sudah berada di kereta akhirnya terpaksa turun juga karena suami dan putrinya belum kembali.Edmund bersama Crystal memeriksa barang bawaan mereka karena putri kecil mereka itu mengatakan dia tertinggal sesuatu, dan sesuatu itu adalah mahkota bunga yang sudah mulai kering, yang berada di tangan putrinya sekarang. Crystal sangat menyayangi mahkota itu, katanya pemberian Alexant."Maafkan saya karena sudah tidak sopan menyela pembicaraan kalian, tetapi saya pikir tidak perlu menganggap serius apa yang sudah dikatakan oleh Pangeran Alexant. Pangeran masih kecil, masih belum mengerti apa yang dikatakannya."Alexant mengepal mendengar perkataan Astrid, ia tidak terima. Bukan karena dikatakan anak kecil, melainkan karena apa yang dikatakannya hanya dianggap bercanda. Seandainya saja perempuan itu bukan Ibu dari Crystal, ia pasti sudah akan menghukumnya.Ada apa dengan semua orang dewasa ini, mengapa kedua orang tua Crystal seolah menghalangi niatnya? Apa yang dikatakannya adalah janji seorang pangeran, ia hanya menginginkan Crystal untuk menjadi pendampingnya kelak bila ia menjadi raja.Sementara Wallace hanya mengangguk. Ia tak ingin berdebat dengan wanita. Pengalaman berdebat dengan istrinya selalu dimenangkan oleh sang istri. Wanita selalu menang, apa pun dan di mana pun mereka yang berkuasa. Para wanita selalu memiliki banyak perbendaharaan kata-kata untuk menyangkal perkataan para pria."Kami akan kembali ke desa kami sekarang, Jenderal. Permisi!" Astrid menundukkan kepala tanda menghormat sekali lagi, kepada jenderal Wallace, juga pada Alexant. "Selamat tinggal, Yang Mulia. Semoga Anda panjang umur," ucap Astrid mendoakan sebelum menarik tangan Crystal. "Ayo, Sayang. Kita pulang sekarang!"Crystal mengangguk. Tersenyum lebar pada Alexant dan melambaikan tangan. "Sampai nanti, Alexant. Sampai bertemu lagi!""Kau harus kembali ke istana lima tahun lagi, Crystal, karena saat itu kita sudah boleh menikah!" seru Alexant kencang. Ia tak peduli, tak ada siapa pun yang berani melarangnya. Ia bisa melakukan semua yang diinginkan. Ia adalah pangeran, putra mahkota yang akan menggantikan negara ini bila ayahnya turun tahta.Jenderal Wallace kembali mengembuskan napas. Dalam peraturan negara dan kerajaan mereka, perkataan Alexant harus terlaksana. Tak peduli berapa usia saat ia mengatakan itu, semua adalah janji yang harus ditepati.Wallace menatap Alexant yang mengepal. Dilihat dari sikapnya, sepertinya Alexant menyukai Crystal. Entah apa yang akan terjadi nanti, hanya waktu yang dapat menjawab. Saat ini, ia hanya harus menjalankan tugasnya sebagai seorang jenderal perang Namira, juga menjaga anggota kerajaan.Wallace mengernyit melihat noda berwarna merah di lantai yang diinjak Alexant. Diperlukan beberapa detik baginya untuk menyadari jika telapak kaki Alexant terluka."Selena!" teriak Wallace, tatapannya menyapu wajah lembut sang pengasuh putra mahkota. Selena tadi menjauh bersama dengan prajurit dan pelayan yang sempat mengerubungi mereka. "Yang Mulia terluka, segera bawa ke kamarnya!"Selena tergesa menghampiri Alexant dan menggendongnya, membawa anak itu ke kamarnya seperti permintaan Jenderal Wallace. Sepanjang jalan menuju kamar Alexant, perempuan itu merutuki kecerobohannya di dalam hati. Bagaimana mungkin dia sampai tidak menyadari jika telapak kaki Alexant terluka.Tidak seharusnya Alexant seperti ini, seharusnya anak ini baik-baik saja, atau kepalanya sebagai pengasuh akan melayang. Tadi dia terkejut saat Alexant yang langsung berlari keluar, dan terpana mendengar kata-katanya yang akan menikahi gadis bangsawan Mars kelak mereka dewasa. Entah kenapa dia merasa tidak rela, juga tidak siap.Tiba-tiba saja bayangan putri kecilnya yang berusia delapan tahun melintas di kepalanya. Bukan, dia tak ingin putrinya yang diberikan Alexant janji untuk dinikahi, dia hanya ingin tahu bagaimana seandainya putrinya juga berada di istana ini, apakah putrinya dan Alexant akan berteman juga, seperti halnya Alexant dan putri keluarga bangsawan Mars."Maafkan saya, Yang Mulia, saya sudah membiarkan kaki Anda terluka. Saya mohon, ampuni saya!" pinta Selena menyesal. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri juga pada mendiang Ratu Amora, akan menjaga Alexant baik-baik seperti menjaga anaknya sendiri. Namun, hari ini dia ceroboh dan mengakibatkan Alexant terluka. "Sekali lagi maafkan saya."Alexant berdecak. "Apa-apaan kau? Ini bukan salahmu, Selena. Kakiku terluka karena kecerobohanku sendiri! Jangan menyalahkan dirimu atas sesuatu yang tidak kau lakukan!"Usia sepuluh tahun, tetapi sudah bisa berbicara selayaknya orang dewasa seperti itu, Alexant memang benar-benar seorang putra mahkota. Selena yakin Alexant pasti akan menjadi raja yang baik dan bijaksana kelak.Selena tidak berbicara lagi, dia hanya mengangguk, dan mendudukkan Alexant di kursi setelah tiba di kamar anak itu. Dengan telaten dan hati-hati Selena membersihkan telapak kaki itu, bahkan sesekali dia berhenti, khawatir Alexant akan merasakan sakit atau perih. Meskipun Alexant mengatakan ini bukan kesalahannya, tetap saja Selena merasa dia yang bersalah. Jika saja dia tidak lalai dan ceroboh tak mungkin Alexant terluka seperti sekarang."Terima kasih, Selena," ucap Alexant berdiri. "Sekarang kakiku sudah tidak apa-apa lagi, aku sudah bisa berdiri."Selena tersenyum lega, menganggukkan kepala, dan berdiri. "Syukurlah, saya senang Anda sudah merasa baikan," ucapnya. "Apakah Anda mau mandi sekarang?"Alexant mengangguk. Melangkah tergesa ke kamar mandi tanpa menunggu Selena yang akan memandikannya. Ia sudah bisa mandi sendiri padahal, tetapi sebagai pangeran ia tetap harus dimandikan. Kadang Alexant iri mendengar George atau Hans, putra dari wakil jenderal Namira, bercerita bahwa mereka bisa melakukan semuanya sesuka hati mereka, tanpa ada yang melarang apalagi mengatur harus ini dan itu.Ia juga ingin seperti anak lainnya yang dianggapnya memiliki kehidupan normal, dan bebas bermain kapan pun. Sementara itu, dirinya untuk bermain pun harus mencuri waktu, kabur di saat guru yang akan mengajari saat itu masih belum tiba atau berpura-pura sakit setelah itu bisa keluar dengan sembunyi-sembunyi. Hanya saat ulang tahun ayahnya kemarin saja ia dibebaskan dari belajar dan bisa bermain sepuasnya bersama Crystal.Ingat gadis kecil itu Alexant jadi sedih. Baru saja Crystal meninggalkan istana ia sudah merindukannya.Waktu, cepatlah berlalu agar aku bisa menyongsong kedewasaanku dan bertemu dengan gadis pujaan hatikuDua minggu tanpa Crystal terasa seperti dua tahun. Mungkin kedengarannya sedikit berlebihan bagi seorang anak kecil, tetapi itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Hari-harinya terasa sangat membosankan, terlalu monoton karena hanya diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Tak ada lagi waktu untuk bermain, semua tersita untuk belajar yang kata mereka –para orang dewasa– untuk bekalnya kelak saat ia dewasa, agar ia bisa memimpin Namira sehebat ayahnya. Alexant mendengkus, ia selalu saja tidak suka setiap kali gurunya membicarakan tentang kehebatan sang Ayah karena menurutnya ayahnya biasa saja. Tak ada yang dapat dibanggakan dari seorang pria yang hanya duduk diam di atas singgasana dan menerima upeti tanpa harus bekerja. Seandainya saja bisa memilih, ia tak ingin menjadi raja. Menjadi raja bukanlah sesuatu yang mudah. Ia harus bertanggung jawab atas semua yang berada di kerajaannya. Itu tidak terdengar menyenangkan untuk seorang anak berusia sepuluh tahun sepertinya. Yang diperlu
Alexant sudah biasa melihat pemandangan para pengawal istana yang menundukkan kepala setiap kali ia berjalan melewati mereka, bahkan juga George Bryne, sahabatnya, juga berlaku demikian. Selalu menundukkan kepala dan berbicara dalam bahasa formal setiap kali berbicara padanya. Jujur saja, sebenarnya ia terganggu dengan semua itu. Para pengawal dan prajurit istana itu berusia jauh di atasnya, tetapi sikap mereka terlalu memberi hormat kepadanya. Mungkin itu memang seharusnya, tetapi ia terkadang sedikit merasa tidak nyaman. George juga tidak mau bersikap santai sekalipun mereka hanya berdua, kecuali ia yang memintanya. George adalah pengawal pribadinya. Mereka seusia, sama-sama sepuluh tahun. Namun, George sudah dipercaya untuk menjaganya. Itu merupakan sesuatu yang sangat keren menurutnya. Mereka juga sering berlatih pedang dan senjata lainnya bersama, dalam pengawasan Wallace Bryne, jenderal besar Namira yang juga merupakan Ayah George. Jenderal adalah pelatih bertarungnya. Jender
"Kapan kita kembali ke istana, Mama?" Itu adalah pertanyaan kesekian dari Crystal yang didengar Astrid hari ini. Entah sudah berapa kali putri kecilnya menanyakan hal itu. Katanya, dia ingin cepat ke istana lagi agar bisa bertemu dan bermain bersama Alexant. Untuk hari ini, entah sudah berapa kali Crystal menanyakannya. Belum lagi hari-hari belakangan. Mungkin seandainya dihitung, dalam tiga bulan terakhir sejak mereka kembali dari istana sudah lebih dari jutaan kali dia bertanya, sampai rasanya dia bosan menjawabnya. Setiap hari pertanyaan Crystal selalu sama, seolah dia tidak memiliki pertanyaan yang lain. Astrid mengembuskan napas pelan. "Mama tidak tahu, Sayang. Tidak ada undangan dari istana, kita tidak bisa ke sana." Dia tersenyum, tangannya membingkai pipi chubby putrinya yang kemerahan. "Kau pasti tahu, 'kan, tidak sembarang orang bisa memasuki istana. Jika tidak ada undangan atau izin, para penjaga tidak akan membiarkanmu masuk."Wajah mungil Crystal tertunduk. "Tapi, aku
Lalu, apakah Astrid senang? Apakah dia gembira dengan kenyataan itu? Jawabannya tentu saja tidak. Tidak ada seorang pun Ibu di dunia ini yang ingin menjerumuskan putrinya dalam masalah. Lingkungan istana penuh intrik, orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah orang-orang yang berpikiran licik. Semua hanya mementingkan jabatan dan kekuasaan. Menjadi ratu bukanlah hal yang patut dibanggakan. Menjadi ratu di kerajaan yang penuh tipu muslihat sama saja dengan menceburkan diri dalam permasalahan yang tak kunjung usai. Seandainya saja bisa, dia ingin menghentikan hal itu. Sayangnya tidak. Bukannya pernikahan yang batal, malah dirinya yang akan kehilangan kepala. Entah siapa yang memutuskan demikian –perkataan keluarga kerajaan adalah ikrar dan harus terjadi– untuk pertama kali, dia tidak tahu. Yang pasti semua ini sangat merugikan semua pihak, kecuali mereka yang menginginkan kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum jika mendiang Ratu Amora mangkat karena tidak sanggup lagi bertahan mengh
"Jangan gunakan kekuatan dari sikumu untuk menyerang, seranganmu tidak akan sempurna!" Teriakan Jenderal Wallace Bryne membuat kedua bocah berusia sepuluh tahun di depannya membenarkan posisi mereka. Sudah beberapa kali mereka mempraktekkan apa yang diajarkan sang jenderal, tetapi ternyata tetap saja salah di matanya yang sudah terlatih. "Gunakan kekuatan pada bahu dan punggung untuk mendorong pedang ke depan!" Jenderal Wallace mendekati Alexant, membenarkan posisi tangan kanannya yang memegang pedang, mengarahkannya ke depan. "Posisi yang benar seperti ini, Yang Mulia," katanya, kemudian berpindah ke samping George yang berada di sebelah kirinya. Jenderal Wallace juga melakukan hal yang sama pada George, membenarkan posisi tubuh George, dan mengarahkan pedangnya ke depan. "Lakukan dengan benar, Anak-anak! Kita sudah mengulangi bagian ini sejak dua hari yang lalu. Apakah kalian tidak merasa malu karena masih saja salah?"Tidak ada yang menjawab. Kedua bocah itu terlalu fokus mende
Kesehatan Ratu Amora semakin menurun drastis setelah peristiwa itu. Dia bahkan tidak bisa turun dari tempat tidurnya. Semakin hari semakin memburuk sampai akhirnya Ratu Amora dinyatakan meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan putranya. Bukannya berduka dan menyesal, Raja Henry yang sudah naik tahta menggantikan ayahnya sejak lima tahun yang lalu, malah kembali memanggil si pelayan untuk kembali bekerja. Dia memintanya untuk menjadi pengasuh pangeran yang baru berusia satu bulan. Entah memang tidak memiliki rasa malu atau apa, perempuan itu menerimanya dengan syarat diizinkan pulang ke rumahnya setiap satu minggu sekali. Dia dan suaminya baru memperbaiki hubungan mereka. Lagi pula, dia memerlukan banyak istirahat karena kondisinya yang tengah berbadan dua. Si pelayan yang berubah status menjadi pengasuh putra mahkota tengah mengandung anak dari suaminya. Selena Llyod, mengambil cuti selama sebulan karena melahirkan. Setelah itu dia kembali ke istana. Daripada merawat bayi
Suasana di pedesaan memang lebih asri dibandingkan di kota. Udaranya sejuk dan masih segar tanpa banyak polusi. Padang rumput dan pohon-pohon besar menghiasi setiap jalan yang dilalui. Pemandangan yang indah dan menyegarkan indra penglihatan. Crystal sudah sejak pagi berada di atas bukit yang terletak di belakang kastil keluarga Mars. Memetik bunga liar yang tumbuh di atas bukit dan menangkap kupu-kupu adalah dua hal yang dilakukannya. Meskipun matahari bersinar cukup terik, dia tak berhenti. Belum ada satu ekor pun kupu-kupu yang berhasil ditangkapnya. Crystal berjalan mengendap-endap, sangat hati-hati. Tangan kanannya memegang jala penangkap serangga, tangan kirinya memegangi gaun yang dipakainya. Dia berusaha agar ujung gaunnya tidak jatuh mengenai rumput yang dilaluinya, tak ingin menimbulkan gerakan berarti yang membuat kupu-kupu buruannya terbang. Seorang anak perempuan seusia dengannya dan seorang bocah laki-laki berlari ingin menghampirinya. Crystal meletakkan jari telunjuk
Chloe dan Neil saling pandang sesaat, kemudian kembali menatap Crystal dengan sorot mata penasaran. Apakah yang dimaksud Crystal dengan Alexant adalah putra mahkota kerajaan mereka? Setiap orang tua di Namira selalu memperkenalkan nama pemimpin mereka, juga anggota kerajaan yang lain. Kerajaan Namira hanya memiliki dua orang anggota kerajaan, Raja Henry dan putranya, pangeran Alexant. Sejak sedari bisa menyebutkan kata, para orang tua mengajari anak-anaknya tentang itu sehingga baik Neil maupun Chloe sudah mengetahui jika yang disebut Crystal adalah putra mahkota di kerajaan mereka. Tidak ada orang lain yang menggunakan nama itu selain dirinya. "Alexant?" ulang Niel bertanya. Sepasang alisnya berkerut. "Apakah yang kau maksud adalah Pangeran Alexant?" Crystal mengangguk. "Tentu saja!" jawabnya tanpa menatap. Kepalanya menunduk, memperhatikan rumput tebal yang mereka duduki. "Kau pernah bertemu dengannya?" tanya Chloe tidak percaya. Matanya melebar menatap Crystal. Sekali lagi Cr
Pagi datang lebih cepat saat kita berada di tempat yang lebih tinggi, Beatrice merasakannya. Sudah dua hari ini dia menyaksikan matahari terbit lebih awal dari biasanya saat dia masih di istana. Hari jadi terasa lebih panjang dan semakin membosankan. Tak ada gadis seusianya di sini, yang ada hanya Nenek dan Bibi Fasha. Prajurit yang waktu itu pergi bersama mereka juga sudah tidak terlihat lagi, sepertinya dia hanya mengantarkan saja, tidak menetap di sini bersama mereka. Tidak apa-apa, dia justru mensyukurinya. Daripada prajurit itu juga ikut tinggal di sini bersama mereka akan membuat dia ketakutan saja. Selama ini hanya Alexant, laki-laki yang dekat dengannya. Dia tidak memercayai yang lainnya. Pengalaman buruk saat ayahnya masih hidup membekas sampai sekarang. Meskipun ayahnya tidak pernah berbuat kasar, tetapi Ayah selalu mabuk. Bahkan Ayah tewas karena mabuknya itu. Ayah yang sudah sakit keras terlalu banyak meminum alkohol sampai nyawanya tak tertolong. Kejadian itu membuatnya
"Bisakah kita tetap berada di sini beberapa hari lagi?" George dan Jerome Walker, prajurit yang memimpin tugas di Rainbow Hill, sudah menduga jika Alexant akan bertanya seperti itu. Cepat atau lambat dia pasti akan menanyakannya, seolah waktu satu minggu bersama Crystal masih kurang saja baginya. George memutar bola mata jengah. "Kupikir tidak bisa." Ia memalingkan muka hanya untuk menyembunyikan senyumnya. "Kita harus segera kembali ke istana, Yang Mulia. Sepuluh hari merupakan waktu yang lama bagi seorang pangeran meninggalkan istana." Alexant mendengkus kesal. "Aku baru beberapa hari di sini, George!" erangnya kesal. "Baru satu minggu, belum sepuluh hari seperti yang kau katakan.""Ditambah tiga hari selama perjalanan kita menuju ke sini, Yang Mulia.""Astaga!" Alexant memotong perkataan George tiba-tiba. Kepalanya langsung terasa berdenyut nyeri, dadanya panas seakan terbakar. "Lama di perjalanan tidak dihitung!" Ia mengibaskan kedua tangannya. "Lagi pula, George, kenapa kita h
Sejak dia tinggal di istana, Nenek juga tidak lagi bekerja. Mama secara rutin mengirimkan uang untuknya, juga untuk membayar pekerjaan gadis pelayan yang menemani Nenek. Sebab, tidak lagi bekerja di perkebunan tomat, Nenek tidak lagi memasak sup tomat. Sekarang makanan di rumahnya sudah berbeda, berbagai hidangan selalu tersedia di meja saat tiba waktu makan. Kehidupan Nenek lebih terjamin. Beatrice mensyukurinya, dia merasa sangat senang karena Nenek bahagia. "Kita ada di mana, Nek?" tanya Beatrice dengan alis berkerut tajam. Matanya menatap liar sekeliling kamar. Dugaannya jika dia tidak sedang berada di rumah Nenek, semakin kuat. Keadaan kamar ini berbeda, lebih sederhana dibandingkan dengan kamar tidurnya di rumah nenek. Tidak ada perabotan apa-apa selain sebuah meja dan kursi yang kelihatannya sudah tua. "Apakah kita di rumah Nenek?" Imelda tersenyum melihat kepanikan di wajah cucu tersayangnya. Dia sendiri juga awalnya kaget ketika bangun tidur menemukan dirinya di tempat yang
Kicauan burung yang terdengar tajam di telinga membangunkan Beatrice dari tidurnya. Dia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk membiasakan penglihatannya pada cahaya yang masuk. Alam tampak terang benderang di tangkap indra penglihatannya.Beatrice mengucek mata untuk memastikan. Dia menggerakkan kepala ke arah kanan, segera memejamkan mata dan menaikkan tangan untuk melindungi wajahnya dari paparan sinar matahari. Hangat terasa, tetapi juga sangat menyilaukan. Keadaan yang berbeda setiap dia bangun pagi pada biasanya. Beatrice menjauhkan tangan, duduk perlahan. Sepasang alisnya berkerut merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Mulutnya tanpa sadar mengeluarkan ringisan. Dia baru bangun tidur, bahkan nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Apa yang terjadi tadi malam masih belum diingat semuanya, masih samar-samar. Pagi ini dia merasa ada yang aneh. Entah keadaan kamarnya yang terasa jauh lebih terang dari biasanya –sinar matahari langsung masuk tanpa halangan apa pun– juga s
Beatrice mencoba untuk tidur lagi, dan berharap saat terbangun nanti semuanya hanya mimpi. Dia akan tetap berada di istana, berbaring di ranjang empuknya, di kamarnya bersama Bibi Fasha. Sayangnya, Beatrice tidak dapat tidur lagi. Meskipun sudah memejamkan mata, tetapi pikirannya tetap melayang ke mana-mana. Dia berusaha keras mengosongkan pikiran, tetap saja tidak bisa. Alexant memenuhi pikirannya. Dadanya bergemuruh, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang terikat. Belum lagi dia berada di atas kereta kuda yang melaju kencang. Siapa yang dapat tidur dalam keadaan seperti dirinya saat ini? Air mata terus mengalir membasahi pipi Beatrice. Dalam hati dia terus berdoa semoga dia bisa keluar dari kereta ini dan bertemu dengan Alexant. Dia yakin Bibi Fasha berbohing saat mengatakan padanya tentang Alexant. Tidak mungkin Alexant memiliki gadis lain selain dirinya, hubungan mereka sangat dekat. Alexant selalu jujur padanya, jika ada seorang gadis yang mendekatinya, dia pasti akan berceri
Fasha tidak percaya jika seorang Ibu bisa melakukan hal yang kejam terhadap anaknya. Namun, setelah mendengar rencana Selena, sekarang dia memercayainya. Rencana Selena untuk menyingkirkan Beatrice dari istana tergolong rencana yang gila. Bahkan Selena langsung bergerak setelah mendapatkan rencana itu. Dia meminta seorang prajurit yang dapat dipercayainya untuk membawa ibunya yang tinggal di sebuah desa, memindahkannya ke sebuah tempat terpencil yang sangat sulit untuk dijangkau. Setelah itu, barulah mereka akan membawa Beatrice ke sana, tempat yang sama dengan neneknya. Yang lebih gila lagi, Selena juga meminta Fasha untuk mendampingi mereka. Tidak mempunyai pilihan, dia mengangguk menyetujuinya. Tak mungkin dia membiarkan gadis semuda Beatrice hanya tinggal berdua bersama neneknya di tempat yang penuh bahaya. Mengendap mereka mendekati kamar tidur Fasha yang ditempatinya bersama Beatrice. Fasha sudah memastikan Beatrice tertidur lelap, gadis itu kelelahan setelah seharian menangi
Alexant menoleh ke belakangnya, menatap sekilas Crystal yang berada satu meter di belakangnya. "Kau benar!" katanya tersenyum. "Astaga, George! Aku tidak percaya jika sudah bertindak bodoh seperti itu. Ini sangat memalukan!" Ia menggeram kesal. George tertawa tanpa suara. "Jangan khawatir, ini akan menjadi rahasia kita," sahutnya, menepuk bahu Alexant akrab. Alexant mengusap wajah kasar, kemudian memutar tubuh, melangkah ke arah Crystal, dan memeluknya. Mereka harus berpisah untuk hari ini sekarang. Sudah semakin sore, senja sebentar lagi akan datang. Bayangan pohon-pohon dan ilalang semakin memanjang ke arah timur. Alexant meraih jemari Crystal, meremasnya hangat. "Kau harus pulang sekarang," katanya lirih, tak rela mengucapkan kata-kata itu. "Aku tak ingin Duke Mars melarangnu untuk ke sini lagi besok.""Kita masih bisa bertemu lagi besok, Alexant?" Pertanyaan Crystal penuh semangat. Mata birunya tersenyum. Alexant mengangguk. "Tentu saja, aku tidak akan bersedia untuk pulang sec
Waktu selalu terasa cepat berlalu saat kita berada dalam perasaan bahagia, gembira, dan perasaan positif lainnya. Namun, akan terasa sangat lambat, bahkan lebih lambat dari lari seekor kura-kura, jika kita berada dalam fase tidak bahagia. Itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Ia merasa matahari cepat sekali tergelincir di ufuk barat, padahal rasanya baru beberapa menit ia bersama Crystal matahari sudah hampir terbenam saja. Sebagian bukit sudah terlihat gelap karena terlindung bayangan pohon-pohon yang tumbuh dengan tinggi menjulang dari hutan di sebelah sana. Padang bunga juga sedikit tertutup bayangan ilalang yang lebih tinggi dari mereka. "Bisakah aku menghentikan laju perputaran matahari?" Alexant bertanya entah kepada siapa. Hanya ada dirinya, Crystal, dan George di atas bukit ini. Crystal mengerutkan alis, sementara George tertawa mendengarnya. Keluhan Alexant terdengar lucu di telinganya, seperti mimpi seorang anak kecil. Alexant mendelik tajam, melemparkan ranting kayu k
"Bibi tidak tahu ke mana perginya Pangeran Alexant, Beatrice." Fasha menggelengkan kepala. "Tidak ada yang tahu kecuali Raja Henry dan Jenderal Wallace, dan mereka tentu tidak akan memberi tahu ke mana tujuan Pangeran Alexant. Pelayan seperti kita tidak penting, tidak ada gunanya memberitahukan apa pun pada kita. Tugas kita hanya melayani mereka, bukan untuk ikut campur urusan mereka." Sengaja Fasha mengatakan seperti ini. Dia hanya ingin Beatrice sadar kedudukannya di istana ini. Dia ingin Beatrice melupakan mimpinya untuk bisa berdampingan dengan Alexant sebagai suami istri. Mereka hanyalah pelayan, para bangsawan itu mengingat nama mereka saja sudah merupakan sebuah keberuntungan yang sangat langka bagi mereka. Beatrice menggigit bibir. Air matanya jatuh lagi mendengar jawaban Fasha. Kali ini dia tidak mengusapnya, Dibiarkannya air matanya jatuh melewati dagu dan menetes ke lutut, kemudian diserap oleh gaun yang menutupi lututnya. Kata-kata panjang lebar Fasha menamparnya, mencub